• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 HIDROLOGI

Cabang ilmu yang mempelajari tentang air disebut sebagai Hidrologi. Hidrologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata hidro (air) dan loge (ilmu) (Ward et al, 1995). Dengan demikan hidrologi berarti ilmu yang mempelajari tentang air. Menurut Brooks et al (2003), siklus hidrologi adalah siklus yang menggambarkan proses sirkulasi air dari lahan dan badan air di permukaan bumi menuju atmosfer yang terus berulang.

Gambar 1. Siklus Hidrologi (Somantri, 2007)

Siklus hidrologi dapat dimulai dari preptisipasi. Preptisipasi adalah jatuhan air dalam bentuk cairan atau padatan dari atmosfer menuju permukaan bumi yang terbentuk akibat kumpulan uap air dan tetesan air jenuh di atmosfer (Ward et al,1995). Selama siklus, presipitasi yang turun ke bumi akan menjadi interception, runoff (stream flow), surface runoff (overland flow), berinfiltrasi dan berperkolasi kedalam permukaan tanah sehingga membentuk interflow (lateral flow) dan ground water flow (return flow/base flow) serta kembali lagi ke atmosfer melalui evaporasi dan transpirasi.

Interception adalah air presipitasi yang tertahan pada batang dan daun tanaman dan tidak sampai ke permukaan bumi. Presipitasi yang sampai ke permukaan bumi akan berinfiltrasi ke dalam profil tanah. Air yang berinfiltrasi ke dalam tanah akan menambah kelemban tanah dan dapat menguap kembali ataupun diserap oleh akar tanaman. Evaporasi adalah proses penguapan air yang terjadi pada pernukaan lahan dan bagan air seperti lautan atau danau, serta dipengaruhi oleh angin dan lama penyinaran matahari (Cech,2005). Transpirasi adalah penguapan air pada tumbuhan yang merupakan hasil sampingan fotosintesis (Ward et al, 1995). Gabungangan darievaporasi dan

uap air melalui proses evapotranspirasi ini.

Air yang berinfiltrasi kedalam vadose zone (zona tidak jenuh) berada diantara permukaan tanah dan saturation zone (zona jenuh) (Brooks et al,2003). Pada vadose zone, pori-pori tanah akan berisi air dan udara dalam jimlah yang berbeda. Air dalm zona ini disebut juga sebagai lengas tanah (soil mosture), (Linsley, 1979). Air dalam vadose zone dapat bergerak secara lateral saat di bagian bawah vadose zone dibatasi oleh lapisan kedap. Aliran lateral air ini disebut sebagai interflow. Interflow kemudian akan menjadi tambahan input pada aliran sungai (sream flow) (Ward et al, 1995).

Proses begerak turunnya air dari vadose zone menuju zona tanah yang lebih dalam karena pengaruh gravitasi disebut perkolasi. Pada zona tanah yang lebih dalam ini, semua pori-pori tanah telah terisi oleh air (saturated zone). Permukaan saturated zone disebut sebagai muka iar tanah (warter table) dan air yang berada di dalam zona ini disebut air tanah (groundwater) (Brooks et al, 2003). Aliran groundwater yang disebut baseflow akan keluar dairi dalam melalui sela-sela batuan sehngga menjadi sumber mata air ataupun bergabung dengan aliran sungai (stream flow).

Aliran permuakaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah. Aliran permukaan terdiri atas dus jenis. Pertama yaitu runoff (stream flow) untuk aliran yang berada didalam sungai atau saluran. Kedua adalah surface runoff (overland flow) untuk aliran air yang mengalir diatas permukaaan tanah (Arsyad, 2006). Aliran air sungai (runoff) terbentuk sebagai gabungan dari prepitasi yang masuk kedalam sungai, surface runoff, interflow, dan baseflow. Debit runoff sungai dapat naik saat prresipitasi dan akan kembali turun setelah presipitasi selesai. Menurut Seyhan (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya runoff antara lain :

1. Besarnya presipitasi. 2. Besarnya evapotranspirasi. 3. Faktor DAS, yaitu :

a. Ukuran dan bentuk DAS. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah yang dibatasi oleh punggung bukit atau percabangan saluran yang mengalirkan air dari beberapa titik di wilayah bagian atas DAS (upstream) menuju titik outlet (Cech, 2005). Dalam bahasa Inggris disebut juga dengan watershed, catchment area, atau river basin (Sinukaban, 2007). Semakin besar luas DAS, akan semakin besar nilai runoff. Menurut Ward et al (1995), bentuk DAS yang cenderung bulat akan menghasilkan debit runoff yang tinggi karena ruoff dari berbagi titik pada DAS tersebut akan mencapai outlet pada waktu yang hampir sama. Sedangkan pada DAS yang berbentuk lebih memanjang, runoff pada bagian downstream akan keluar dari outlet telebih dahulu kemudian disusul runoff dari upstream.

b. Topografi . Topografi akan berprngaruh terhadap kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan parit/saluran. Volume aliran permukaan akan lebih besar pada DAS yang memiliki kemiringan curam dan saluran yang rapat dibanding dengan DAS yang landai, terdapat cekungan-cekungan, dan jarak antar parit/saluran jarang.

Kecuraman suatu lereng dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) A = 0 sampai < 3% (datar)

2) B = > 3 sampai 8% (landai atau berombak)

3) C = > 8 sampai 15% (agak miring atau beregelombang) 4) D = > 15 sampai 30% (miring atau berbukit)

5) E = > 30 sampai 45% (agak curam atau bergununga0 6) F = > 45 sampai 65% (curam)

c. Jenis tanah dan penggunaan lahan. Perbedaan misalnya pada karakteristik tanah dalam menyerap air dan besarnya lahan hijau penyerap air atau besarnya luas wilayah kedap air.

Daerah Hulu dari suatu DAS beperan sebagai lingkungan pengendali (conditioning environtment). Sedangkan dearah hilir merupakan daerah penrima (acceptor) bahan dan energi, atau lingkungan konsumsi atau lingkungan yang dikendalikan (commanded environment). Perubahan yang terjadi dalam suatu DAS dari segi hidrologi dapat mempengaruhi bagian lain dalam DAS tersebut. Penanganan suatu DAS harus meliputi penanganan sebagai suatu kesatuan sistem dengan bagian DAS lainnya sehingga perbaikan DAS dapat berjalan efektif (Sinukaban, 2007).

2.2 GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS)

Bidang ilmu yang berkaitan dengan informasi keruangan saat ini tidak lepas dari bantuan Geographic Information Sistem (GIS). Geographic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem yang dirancang untuk menangkap, menyimpan, mrngedit, memanipulasi, menganalisis, menampilkan, dan mengeksport data yang berhubungan dengan fitur-fitur geografis. Sistem ini tidak hanya meliputi hardware dan software yang digunakan, tapi juga meliputi database yang diperlukan atau dikembangkan dan personal yang mengerjakan (Bettinger dan wing, 2004). Aplikasi GIS banyak dituangkan dalam bentuk software karena lebih mudah dan presisi dibandingkan dengan metode manual.

Data peta digital akan diolah menggunakan software berbasis GIS. Peta digital tersebut memiliki sistem koordinator tersendiri. Sistem koordinat adalah aturan bagaimana mendefinisikan suatu titj awal pada pembuatan peta. Sistem koordinat yang di gunakan di Indonesia terdiri dari sistem koordinat geografis dan sistem kooodinat Universal Transverse Mecator (UMT). Pada sistem koordinasi geograofis, bumi dibagi menurut garis khayal yang disebut garis lintang. (latitude/paralell) dan garis bujur (longitude/meridian)

Pada sistem koordinat UTM, permukaan bumi dibagi kedalam 60 bagian zona bujur yang setiap zona dibnatasi oleh 2 meridian selebar 6° yang memiliki meridian tengah sendiri. Zona 1-60 dimulai dari 180°-174°, 174°-168°BB,174°-180°BT. Untuk Indonesia (90° BT-144°BT, 11°LS-6°LU) terdapat sembilan zone, yaitu zone 46-54(Gandasasmita et al, 2003).

Data GIS terdiri dari dua jenis yaitu data raster dan data vektor. Data vektor , data ini tidak memiliki bentuk yang tidak berkententuan dan terdiri atas tiga jenis yaitu point, lines, dan polygons. Data vektor menggunakan koordinat x dan y dalam menampilkan data spasial (Chang, 2004). Sedangkan data raster terdiri atas satuan kecil yang disebut grid cells atau piksel-piksel yang memiliki posisi kolom dan baris tertentu dalam file database. Database GIS yang memiliki struktur raster misalnya terdapat hasil citra satelit dan Digital Elevation Models (DEM). Bila suatu data raster GIS dikatakan memiliki resolusi 30 m, maka suatu gris cells akan mewakili luas wilayah sebesar 900 m² (30 m x 30 m).

2.3 SOIL AND WATER ASSESMENT TOOL (SWAT)

Analisis hidrologi dapat dilakukan dengan menggunakan software SWAT yang pertama kali dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990an untuk Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Menurut Neitsch et al (2005), SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa

Erosion from Agricultultural Management Sistem (CREAMS); Groundwater Loading effects on Agricultural Management Sistem (GREAMS); dan Erosian Productivity Impact Calculator (EPIC). Software SWAT pertama kali digunakan di Amerika Serikat yang kemudian meluas ke Eropa, Afrika dan Asia. Software SWAT dikembangkan untuk mengetahui pengaruh dari menejemen lahan terhadap siklus hidrologi, sedimen yang ditimbulkan dan daur dari bahan kimia pertanian yang diproleh berdasarkan data pada waktu tertentu. Software SWAT akan diaplikasikan sebagai tool tambahan pada menu bar plug-in MapWindow 46SR. MapWindow 46SR adalah open source software berbasis GIS yang kemungkinan para penggunanya untuk menambahkan sendiri program atau tool baru. Dengan demikian, SWAT dapat diintegrasikan dengan MapWindow (MapWindow SWAT/MWSWAT) tanpa perlu membeli sistem berbasis GIS lainnya secara lengkap (Usman et al, 2008).

SWAT memungkinkan beberapa proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada DAS. Neraca air dalam SWAT adala fenomena paling utama yang dikadikan dasar dari setiap kejadian suatu DAS. Siklus hidrologi yang dijalankan oleh software SWAT dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida untuk mengisi saluran utama pada masing-masing sub basin. Kedua adalah fase air yang berupa pergerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan-jaringan sungai pada DAS menuju outlet.

Persamaan neraca air yang digunakan dalam SWAT : SWt = SWo + Ʃ (Rday – Qsurf – Ea -Wseep – Qgw) Keterangan :

SWt = kandungan akhir air tanah (mm H2O)

SWo = kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm H2O) Rday = jumlah presipitasi padaahri ke-i (mm H2O) Qsurf = jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm H2O) Ea = jumlah avapotranspirasi pada hari ke-i (mm H2O)

Wseep = jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah pada hari ke-i (mm H2O)

Qgw = jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm H2O)

Iklim menyediakan masukan air dan energi yang berpengaruh terhadap keseimbangan air. Input energi berupa iklim penting dalam melakukan simulasi SWAT untuk perhitungkan water balance yang akurat (Neitsch et al, 2005). Parameter iklim yang digunakan dalam SWAT berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, serta kelembapan nisbi. Keunggulan dari SWAT adalah iklim yang sulit untuk disediakan secara harian dapat dibangkitkan dengan menggunakan input file water generator (.wgn.)

Selain iklim, masukkan data lainnya berupa sifat-sifat tanah, jenis penutupan lahan (landcover), jenis pengelolaan tanah, dan jenis pemukiman. Adapun syarat agar SWAT dapat diterapkan di Asia Tenggara adalah kesiapan dalam menerima teknologi baik hardware atau software, ketersediaan data untuk mendukung proses input data dan kalibrasi, kebutuhan akan penggunaan SWAT, dukungan masyarakat dan para ahli ahli didaerah tersebut (Neitsch et al)

2.4 SEQUENCIAL UNCERTAINT FITTING VERSION 2. SOIL AND

WATER ASSESMENT TOOL-CALIBRATION AND UNCERTAINTY

PROGRAMS (SUFI-2.SWAT-CUP)

SWAT-CUP adalah progam komputer yang digunakan untuk kalibrasi model hidrolologi SWAT. SWAT-CUP memiliki empat program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan SUFI-2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT. .

Pada SUFI2, ketidakpastian parameter – parameter masukkan digambarkan memiliki distribusi yang seragam. Kemudian ketidakpastian nilai output, dikalibrasi menggunakan metode 95% Prediction Uncertainty (95PPU). 95PPU dihitung pada level 2.5% sampai 97.5% dari distribusi kumulatif variabel output menggunakan Latin Hypercube Sampling. Konsep algoritma analisis ketidakpastian dari SUFI2 dapat dijelaskan oleh grafik pada Gambar 2. Gambar tersebut mengilustrasikan bahwa nilai parameter tunggal (diwakili oleh titik) memberi pengaruh tunggal pada model (Gambar 2a), kemudian peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter masukan (diwakili oleh garis) mempengaruhi nilai 95PPU yang diilustrasikan oleh luasan wilayah pada Gambar 2b. ketika ketidakpastian pada parameter masukkan meningkat (gambar 2c) maka meningkat pula ketidakpastian pada output yang dihasilkan.

Perpotongandata hasil observasi di sepanjang luasan 95PPU menunjukan bahwa range nilai parameter masukan kalibrasi sudah tepat/valid. Sebagai contoh, jika situasi pada gambar 2d terjadi, dimana data hasil observasi tidak berpotongan dengan luasan 95PPU maka range nilai parameter masukan harus diubah. Dan jika range nilai parameter masukan sudah sesuai dengan batas nilai fisik yang diinginkan tetapi keadaan tersebut tetap terjadi, maka masalahnya bukan pada parameter masukan kalibrasi tetapi konsep dari model yang harus dievaluasi.

SUFI-2 memulai proses kalibrasi dengan mengasusmsikan besarnya ketidakpastian pada parameter masukan, kemudian nilai ketidakpastian berkurang seiring dengan proses kalibrasi sampai dua syarat terpenuhi: (1) sebagian besar data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU dan (2) selisih rata – rata antara batas atas (pada level 97.5%) dan batas bawah (pada level 2.5%) 95PPU kecil. Model dianggap valid jika 80 – 100% data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU serta selisih antara batas atas dan batas bawah 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi.

Gambar 2. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukkan dengan ketidakpastian hasil prediksi

Gambar 2. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukkan dengan ketidakpastian hasil prediksi

Gambar 2a. Menunjukkan satu nilai parameter dalam masukkan paramter kalibrasi sehingga model yang dihasilkan tunggal atau 1 titik atau berbentuk garis bukan luasan.

Gambar 2b. Menunjukkan bahwa nilai parameter dalam bentuk ketidakpastian (nilai dalam bentuk range) dan jumlah parameter meningkat sehingga model yang dihasilkan berupa luasan ketidakpastian yang nantinya akan dipotongkan dengan data observasi untuk dilihat sampai mana luasan ketidakpastian yang berpotongan dengan data observasi dan data keluaran(debit) dari hasil simulasi.

Gambar 2c. Menunjukkan bahwa nilai parameter dalam bentuk ketidakpastian (nilai dalam bentuk range) bertambah atau meningkat sehingga model luasan prediksi ketidakpastian meningkat dan menyebabkan output simulasi meningkat sehingga luasan prediksi ketidakpastian menjadi lebih besar. Gambar 2d. Menunjukkan pada garis merah merupakan data observasi yang berada di

luar luasan prediksi ketidakpastian dari simulasi nilai parameter-parameter ketidakpastian. Nilai parameter harus di atur ulang kembali.

Kalibrasi dan validasi yang telah dilakukan oleh mahasiswa IPB, Muhammad Hamdan pada tahun 2009 terhadap sungai Ciliwung Hulu, dengan menggunakan peta landuse 2008 dan data tahun 2008 mengenai total hasil air, aliran permukaan dan aliran lateral. Kalibrasi yang dilakukan menggunakan perbandingan debit yang keluar di lapangan dengan hasil simulasi dengan mengunakan data debit bulanan. Hasil R2 yang diperoleh adalah 0.85 dengan nilai Nash Sutclife (ENS) 0.46.

III. METODOLOGI

3.1 WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian dilakukan di Sub DAS Cisadane hulu dengan menggunakan outlet sungai daerah Batubeulah. Sub DAS Cisadane Hulu secara geografis terletak pada 106°28’53.61”-106°56’42.32” BT dan 06°31’21.54”-06°47’16.87” LS. Outlet sungai pada Batubeulah terletak pada 106°41’211”BT dan 06°31’21”LS. Letak Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Wilayah Sub DAS Cisadane Hulu (BPDAS Citarum-Ciliwung, 2007)

Sub DAS Cisadane Hulu yang terletak pada Propinsi Jawa Barat memiliki DAS yang berbentuk radial, dengan bentuk DAS melebar dan anak-anak sungai mengalir dengan arah yang terkonsentrasi di satu titik yaitu outlet Batubeulah. Penelitian dilaksanakan pada bulan maret 2010 sampai dengan Januari 2011.

3.2 ALAT DAN BAHAN

1. Alat penelitian ini dilaksanakan dengan alat bantu berupa perangkat komputer dengan menggunakan open souce software MapWindow GIS 4.6 SR, MWSWAT, dan SWAT Ploth and Graph, SWATCUP.

a. Data global. berupa peta DEM (Digital Elevation Mode) dengan resolusi 90 m x 90 m yang berasal dari STRM (Shuttle Radar Thopography Mission) International Centre for tropical Agricultutre (CIAT) tahun 2004. Kemudian peta digital Australasia drainage basin.

b. Data Lokal

1. Data debit outlet sungai Cisadane Batubeulah tahun 2009 dari Balai PSDA Bogor. 2. Peta tanah Sub DAS Cisadane Hulu skala 1 : 250000 dan peta batas Sub DAS

Cisadane Hulu dari BPDAS Ciliwung –Cisadane Bogor dan Limnologi Lipi Bogor. 3. Peta landuse olahan citra satelit Sub DAS Cisadane Hulu tahun 2008 skala 1:

250000 dari BPDAS Ciliwung–Cisadane Bogor.

4. Data iklim harian stasiun iklim Darmaga tahun 2004-2009 dari BKMG Jakarta. 5. Data curah hujan harian tahun 2004-2009 dari pos hujan Sub DAS Cisadane Hulu

dari Balai PSDA Bogor.

6. Daftar stasiun iklim (stsnlist.txt) yang berisi nomor dan nama stasiun dan pos hujan yang digunakan.

3.3METODOLOGI PENELITIAN

Tahapan penelitian terdiri dari lima tahap kegiatan. Kegiatan tersebut, antara lain: 1) pengumpulan data, 2) pengolahan data, 3) analisis MWSWAT, 4) kalibrasi data 5) validasi. Adapun diagram alir proses penelitian dapat dilihat pada gambar 4.

1. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data didapat dari penelitian sebelumnya atau dari instansi terkait. Data – data tersebut terdiri dari dua jenis data yaitu data spasial dan data teks (atribut). Data hidrologi DAS Cisadane Hulu berupa data debit harian di SPAS (Stasiun Pencatat Aliran Sungai) Batubeulah dan data curah hujan dari pos hujan yang berada di Sub DAS Cisadane Hulu. Peta penggunaan lahan (land use), peta jenis tanah, dan peta batas Sub DAS Cisadane Hulu, peta au basin, peta DEM dan daftar stasiun iklim (stnlist.txt).

2. Pengolahan Data a. Data spasial

Beberapa data masukan yang diperlukan untuk menjalankan model hidrologi SWAT berupa data spatial (peta – peta). Peta – peta yang diperlukan seperti peta penggunaan lahan dan peta jenis tanah diperoleh dari BPDAS masih dalam bentuk vektor. Sedangkan SWAT hanya bisa mengolah data spasial dalam bentuk raster sehingga peta – peta tersebut perlu diolah terlebih dahulu menggunakan tool yang ada di Map Window yaitu tool convert a shapefile a grid dengan ukuran cell 30x30, tipe data grid long interger, dan disimpan dalam bentuk TIF, kemudian peta tersebut di reprojected dengan bantuan gistool raster (reprojected grid).

b. Data teks (atribut)

Data atribut yang diperlukan sebagai masukan SWAT adalah data tanah, data iklim, dan data debit sungai Cisadane. Data tanah dalam SWAT dimasukkan dalam fileSOL yang terdapat di database MWSWAT. Data iklim yang merupakan masukkan dalam SWAT

adalah curah hujan , temperatur udara maksimum dan minimum harian (0C), radiasi sinar matahari harian (MJ/m2/hari), kelembaban udara harian (%). Data – data tersebut dikumpulkan file PCP, TMP, SLR, HMD, WGN.

3. Analisis MWSWAT

Analisis dilakukan dengan membandingkan keluaran output debit hasil simulasi SWAT dengan debit outlet Batubeulah yang ada dilapangan (observasi) dengan menggunakan parameter p-value dan r-factor. Nilai p-value > 0.8 langsung ke proses validasi sedangkan Nilai p-value < 0.8 harus melalui proses kalibrasi dan r-factor < 1 langsung ke proses validasi sedangkan Nilai - r-factor > 1 harus melalui proses kalibrasi.

4. Kalibrasi

Pada proses kalibrasi dimasukkan nilai parameter-parameter yang dalam bentuk range atau ketidakpastian, nilai parameter-parameter tersebut akan disimulasikan oleh SUFI2.SWATCUP. Nilai p-value > 0.8 langsung ke proses validasi sedangkan Nilai p-value < 0.8 harus melalui proses kalibrasi kembali dan r-factor < 1 langsung ke proses validasi sedangkan Nilai - r-factor > 1 harus melalui proses kalibrasi. Pada proses kalibrasi data mengenai iklim dan data debit sungai yang digunakan adalah data dari tahun 2004 sampai dengan 2006, sedangkan data mengenai peta tanah dan peta penggunaan lahan yang digunakan adalah tahun 2008.

5. Validasi

Pada proses validasi dimasukan nilai parameter-parameter hasil kalibrasi disimulasikan kembali untuk di pastikan bahwa hasil kalibrasi dapat valid digunakan. Model dianggap valid jika lebih dari 80% data hasil observasi perpotongan dengan luasan grafik 95PPU (p-value > 0.8). Selain itu, rata – rata selisih nilai antara batas bawah (pada level 2.5%) dan batas atas (pada level 97.5%) grafik 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi (r-fator < 1). Pada proses validasi data mengenai iklim dan debit yang digunakan adalah data dari tahun 2007 sampai dengan 2009, sedangkan data untuk peta tanah dan penggunaan lahan adalah tahun 2008.

3.3.1 Map Window Soil and Water Assessment Tool (MWSWAT)

1. Pengumpulan data.

Data yang diperoleh berupa data sekunder yang diperoleh dari Balai Pengolahan Sumber Daya Air (PSDA) Bogor, Balai Pengolahan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ciliwung-Cisadane, Limnologi LIPI Bogor, dan BMKG Jakarta.

2. Pengolahan data.

a. Pengolahan data peta digital dilakukan dengan menggunakan software Global Mapper v7, arc view 3.3 dan Mapwindow 4.6SR.

1. Memotong peta DEM, basin, landuse, dan tanah sesuai dengan daerah penelitian. 2. Memberi ID tambahan pada Tabel atribut peta tanah (SOIL_ID) dan landuse

(LANDUSE_ID) sesuai dengan ID yang terdapat pada dabase mwswat.mdb. 3. Menyamakan sisten koordinat pada peta agar dapat digunakan bersama

Tidak

Ya Tidak

Gambar 4. Diagram Alir Validasi dan Kalibrasi model MWSWAT

Mulai

Analisis MWSWAT

Kalibrasi

Pengolahan Data :

Pengolahan data peta

dan iklim

Data spatial

Data iklim 2004-2006

Validasi

Menggunakan data

2007-2009

selesai

p-value > 0.8 r-factor < 1 p-value > 0.8 r-factor < 1

ya

3. Menyiapkan data iklim

1. Menyiapkan data stasiun (stnlist.txt) dengan kordinat, elevasi, serta nama dan pos yang digunakan.

2. Menyiapkan data hujan harian (.pcp) tahun 2009 dalam satuan mm yang berasal dari stasiun iklim Darmaga, pos hujan Empang serta PLTA Karacak.

3. Menyiapkan data temperatur harian dalam satuan °C dari stasiun iklim Darmaga 2009. 4. Menyiapkan data iklim tahun 2003-2009 didalam file generator (.wgn).

Untuk membentuk weather generator, data iklim yang ada diolah menjadi beberapa tahapan yang meliputi :

a. TITTLE : judul pada baris pertama file. Wgn b. WLATITUDE : koordinat lintang pada stasiun iklim. c. WLONGITUDE : koordinat bujur pada stasiun iklim. d. WLEV : elevasi stasiun iklim (m).

e. RAIN_YRS : jumlah tahun data iklim yang digunakan. f. Temperatur maksimum (TMPMX)

Temperatur ini merupakan suhu maksimum rata – rata harian pada satu bulan tertentu selama n tahun, untuk contoh suhu maksimum rata – rata pada bulan Januari 10 tahun.

Dimana :

Tmx,bulan = temperatur maksimum harian selama pencatatan pada bulantersebut (0C).

N = jumlah hari perhitungan temparatur maksimum pada bulan tersebut.

g. Temperatur Minimum (TMPMN)

Temperatur ini merupakan suhu minimum rata – rata pada satu bulan tertentu selama n tahun. Contoh suhu minimum rata – rata pada bulan Januari selama 10 tahun.

Dimana :

Tmn,bulan = temperatur minimum harian selama pencatatan pada bulan itu (0C). N = jumlah hari perhitungan temperatur minimum pada bulan tersebut.

h. Standar Deviasi Suhu Maksimum Harian (TMPSTMTDMN) Standar deviasi ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan.

Dimana :

σmx = standar deviasi suhu maksimum.

Tmxbulan = suhu maksimum harian pada bulan tertentu. N = periode waktu (tahun).

i. Standar Deviasi Suhu Minimum Harian (TMPSTMTDMN) Standar deviasi ini dapat dihitung dengan menggunakan persamaan.

Dimana:

σmx = standar deviasi suhu minimum.

Tmxbulan = suhu minimum harian pada bulan tertentu. N = periode waktu (tahun).

j. Curah Hujan Rata – rata (PCPMM)

Curah hujan rata – rata pada satu bulan selama n tertentu

Dimana:

Rhari,bulan = curah hujan harian selama pencatatan pada bulan tersebut (mmH2O) N = total hari pencatatan selama bulan tersebut yang digunakan untuk

menghitung rata – rata.

Tahun = jumlah tahun dari hujan harian dicatat.

Dokumen terkait