• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Ekosistem Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, dipengaruhi pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin atau payau (Santoso, 2000).

Secara ekologi, keberadaan habitat hutan mangrove memberikan kontribusi bagi penyediaan unsur hara dalam ekosistem. Guguran daun mangrove yang jatuh ke lahan mangrove akan diuraikan oleh mikroorganisme dan berfungsi sebagai makanan bagi anak udang, kepiting, ikan (Kustanti, 2011).

Menurut Soerianegara (1998), ciri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut : tidak dipengaruhi iklim, dipengaruhi pasang surut air laut, tanah tumbuhnya, dan sekaligus mencegah salinisasi pada wilayah-wilayah di belakangnya. Melindungi terumbu karang, karena sistem perakarannya mampu menahan lumpur sungai dan menyerap berbagai bahan polutan. Melindungi tempat buaya dan berpijanya berbagai jenis ikan dan udang.

Taksonomi dan Morfologi Bruguiera cylindrica

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Myrtales

Famili : Rhizophoraceae Genus : Bruguiera

Spesies : Bruguiera cylindrica

Bakau putih merupakan pohon bakau, berakar lutut dan akar papan yang melebar kesamping dibagian pangkal pohon, ketinggian pohon kadang-kadang mencapai 23 m. Jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat yang baru terbentuk dan tidak cocok untuk jenis lainnya. Kemampuan tumbuhnya pada tanah liat membuat pohon jenis ini sangat bergantung kepada akar nafas untuk memperoleh pasokan oksigen yang cukup dan oleh karena itu sangat responsif terhadap penggenangan yang berkepanjangan.

Dekomposisi Serasah

Menurut Lear dan Turner (1997), bagian terbesar dari serasah mangrove merupakan bahan yang pokok untuk tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Kemudian bahan-bahan tersebut mengalami penguraian yang merupakan mata rantai dari hewan-hewan laut. Bagian-bagian partikel daun yang kaya akan protein dirombak oleh koloni-koloni bakteri dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut terus sampai menjadi partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti molusca dan crustaceae kecil. Selama proses perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari serasah sebagian

dilepas sebagai materi yang berperan bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorpsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan.

Serasah yang jatuh ke dalam sungai dan daerah pantai mengalami dekomposisi yang melibatkan peran mikroorganisme air seperti bakteri dan fungi. Dekomposisi akan berjalan lebih cepat jika ada mikroorganisme tersebut. Menurut Moore-Landecker (1996), fungi merupakan organisme penyebab kerusakan yang memperoleh nutrisi dari material organik yang telah mati. Fungi berperan penting dalam proses perombakan bahan organik.

Serasah dari dedaunan menyumbang unsur hara ke perairan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme setempat. Lingkungan mangrove pada waktu pasang digenagi air laut, maka mikororganisme yang hidup di daerah tersebut harus memiliki ketahanan terhadap lingkungan berkadar garam tinggi. Selain serasah dari pepohonan mangrove, sungai-sungai yang bermuara ke daerah tersebut juga membawa bahan organik dari daratan (Gandjar et al, 2006).

Fungi Hutan Mangrove

Fungi merupakan salah satu mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi berbagai komponen serasah, yang terdiri atas daun, bunga, cabang, ranting, dan bagian-bagian tumbuhan yang lain. Fungi detritus bukanlah dekomposer awal yang berperan di dalam pembusukan serasah mangrove. Arief (2007) menyatakan makrobentos seperti fauna kelas Gastropoda, Crustaceae, Bivalvia, Hirudinae, Polichaeta dan Amfibi sangat menunjang keberadaan unsur hara.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ramadhanita (2012), Aspergillus dan

Penicillium merupakan jenis yang paling banyak dijumpai sewaktu isolasi serasah daun Rhizophora apiculata yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) maupun yang telah mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Fungi

Aspergillus dan Penicillium mendominasi baik dari segi jenis dan jumlah karena kedua kelompok fungi ini merupakan fungi Ascomycotina yang sering hidup di tanah sebagai mikroba saprofit.

Hubungan tingkat salinitas dan jumlah koloni fungi yang didapatkan pada serasah daun yang belum dan telah mengalami dekomposisi, menunjukkan jenis-jenis fungi yang mempunyai koloni terbesar, yaitu Aspergillus sp. 2 (terbesar pada kontrol, < 10, 10 – 20, dan 20 - 30) dan Fusarium sp. 2 (terbesar pada > 30 ppt. Adapun jumlah koloni fungi terbesar kedua pada serasah daun yang mengalami

dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas, yaitu Aspergillus sp. 4 (Yunasfi, 2006).

Yunasfi (2006) mengatakan bahwa jumlah jenis fungi terbesar terdapat pada serasah daun yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas <10 ppt dan 10-20 ppt. Hal ini terjadi karena kondisi ini hampir sama dengan kondisi tawar (payau) yang cukup baik untuk pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis fungi dibanding dengan kondisi pada tingkat salinitas yang lebih tinggi. Pada tingkat salinitas ini ketersediaan oksigen yang dibutuhkan oleh organisme untuk hidup dan berkembang lebih banyak dibanding dengan tingkat salinitas lainnya.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove adalah formasi dari tumbuhan yang spesifik. Mangrove biasanya tumbuh dan berkembang disepanjang pesisir, yang terlindungi dari gelombang yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan kondisi tanah yang anaerob. Mangrove juga didefinisikan sebagai hutan yang tumbuh pada lumpur alluvial di daerah pantai dan muara sungai (Kuriandewa, 2003).

Hutan mangrove sebagai sebuah ekosistem terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri dari vegetasi mangrove yang meliputi pepohonan, semak, dan fauna. Pasang surut air laut, lumpur berpasir, ombak laut, pantai yang landai, salinitas laut merupakan komponen abiotik yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hutan mangrove (Kustanti, 2011).

Proses dekomposisi serasah dibantu oleh fungi yang merupakan organisme eukariot yang terdiri dari kapang dan khamir. Pada dasarnya, tubuh fungi terdiri dari dua bagian yaitu miselium dan spora. Miselium merupakan kumpulan dari beberapa filament yaitu hifa. Bila fungi hidup pada benda mati yang terlarut maka fungi akan bersifat saprofit (Pelczar dan Chan, 2005).

Kondisi alam Indonesia yang memiliki iklim tropik dan lembab menjadikan Indonesia terdapat beragam jenis fungi. Seperti pada Mueller et al. (2004) dan Alexopoulus et al. (1996) membagi fungi dalam kelompok sebagai berikut: Ascomycota. Kelompok ini merupakan kelompok terbesar yang meliputi 3.250 genus dan mencakup 32.250 spesies. Sebagian besar adalah mikrofungi.

Basidiomycota. Kelompok ini meliputi 1.400 genus dan 22.250 spesies. Sebagian besar adalah Basidiomycota yang mikroskopik. Zygomycota. Kelompok ini mencakup 56 genus dan kurang lebih 300 spesies. Kelompok ini tidak memiliki septa dalam hifanya. Chytridiomycota. Kelompok ini mencakup 112 genus dan 793 spesies. Kelompok tersebut dikenal sebagai kelompok fungi akuatik. Deuteromycota. Kelompok ini juga disebut fungi anamorf, fungi imperfekti, fungi konidial, fungi mitosporik, atau fungi aseksual, dan mencakup 2.600 genus dan 15.000 spesies (Gandjar dkk, 2014).

Kawasan mangrove yang terdapat di Kampung Nypa, Desa Sei Nagalawan merupakan kawasan ekowisata yang sedang dalam proses rehabilitasi. Sehingga ekosistemnya dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Dalam hal ini perlu diketahui keanekaragaman fungi yang terdapat pada vegetasi mangrove, terutama pada serasah daun mangrove Bruguiera cylindrica. Pemilihan jenis B. cylindrica

dikarenakan populasi jenis ini terdapat sangat sedikit di kawasan Kampung Nypa. Dengan mengetahui berbagai jenis fungi yang berasosiasi pada berbagai tingkat salinitas dan kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia, hal ini diharapkan akan membantu dalam proses rehabilitasi kawasan mangrove tersebut.

Kerangka Penelitian

Ketersediaan bahan organik diperlukan dalam produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan dan ketersediaan unsur hara. Fungi memiliki peranan penting sebagai dekomposer dalam mengubah serasah menjadi bahan organik. Peran fungi sebagai dekomposer dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan seperti salinitas yang juga mempengaruhi proses dekomposisi serasah mangrove. Adapun kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun B. cylindrica yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah lama proses dekomposisi dan perbedaan tingkat salinitas mempengaruhi keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun B. cylindrica.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cara mempercepat proses dekomposisi serasah sesuai dengan tingkat salinitas.

Hutan Mangrove

Dekomposisi

Bahan Organik

Serasah Daun B. cylindrica

Dekomposer a.Organisme b.Mikroorganisme - Fungi - Bakteri Lingkungan a. Faktor Iklim b. Salinitas c. pH d. Nutrisi

ABSTRAK

AMALIA NADHILAH SEMBIRING. Keanekaragaman Fungi pada Serasah Daun Bruguiera cylindrica pada Berbagai Tingkat Salinitas di Kampung Nypa, Desa Sei Nagalawan, Sumatera Utara dibimbing oleh YUNASFI dan MOHAMMAD BASYUNI.

Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghitung keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Bruguiera cylindrica

yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Penelitian ini dilakukan di kawasan hutan mangrove Kampung Nypa, Desa Sei Nagalawan, Kabupaten Serdang Berdagai, Sumatera Utara dan Laboratorium Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pada penelitian ini sebanyak 5 g sampel serasah B. cylindrica dihaluskan dengan mortal dan alu. Lalu serasah yang telah dihaluskan disuspensikan dengan 90 ml air laut pada masing-masing salinitas yang telah disterilkan. Kemudian dilakukan pengenceran 10ˉ². Hasil penilitian menunjukkan terdapat 16 jenis fungi yang telah diisolasi dari serasah daun B. cylindrica yang mengalami proses dekomposisi. Jumlah kemunculan koloni rata-rata terbesar adalah Aspergillus sp.6 pada tingkat salinitas 0 – 10 ppt sebesar 12,7 x 10² cfu/ml. Sedangkan yang terkecil adalah Aspergillus

sp.3 pada tingkat salinitas 0 – 10 ppt, Syncephalastrum sp.3 pada tingkat salinitas 10 – 20 ppt dan 20 – 30 ppt, fungi tidak teridentifiasi 2 pada tingkat salinitas 20 – 30 ppt. Nilai Indeks Shannon-Wiener untuk keanekaragaman jenis fungi yaitu pada tingkat salinitas 0 – 10 ppt, 10 – 20 ppt, dan 20 – 30 ppt secara berturut adalah 1.64, 1.85, dan 1.80 dengan tingkat keanekaragaman sedang.

ABSTRACT

AMALIA NADHILAH SEMBIRING. The Diversity of Fungi

Bruguiera cylindrica Leaf Litter at Different Levels of Salinity at Kampung Nypa, Desa Sei Nagalawan, Sumatera Utara under academic supervision by YUNASFI and MOHAMMAD BASYUNI.

The aim of this research are to identify and calculate fungi diversity of

Bruguiera cylindrica leaf litter during decomposition process in various salinity. This research was conducted at the mangrove forest, Kampung Nypa, Desa Sei Nagalawan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara and Pest and Diseases Laboratory of Agriculture USU. In research process, 5 g of leaf litter B. cylindrica

mashed by mortal and pestle. Mashed leaf litter suspende with 90 ml seawater at each salinity that has been sterilized, and then be diluted till 10ˉ². The result of this research showed that totally 16 species of fungi were succeeded isolated from

B. cylindrica leaf litter during decomposition process. The largest average colony is Aspergillus sp.6 at the level of salinity 0-10 ppt 12.7 x 10² cfu / ml .While the smallest is Aspergillus sp.3 at the level of salinity 0-10 ppt , Syncephalastrum sp.3 at the level of salinity 10-20 ppt and 20-30 ppt , unidentified fungi 2 at the level of salinity 20-30 ppt . Index value of Shannon-Wiener for fungi diversity are salinity 0 – 10 ppt, 10 – 20 ppt, and 20 – 30 ppt successive are 1.64, 1.85, and 1.80 with moderate diversity.

Dokumen terkait