• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Sistem Usahatani Berkelanjutan

Usahatani merupakan suatu industri biologis yang memanfaatkan materi dan proses hayati untuk memperoleh laba yang layak bagi pelakunya yang dikemas dalam berbagai subsistem mulai dari subsistem praproduksi, produksi, panen, pascapanen, distribusi, dan pemasaran (Adnyana, 2001). Menurut Bachtiar Rifai dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) usahatani adalah setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian, dimana tatalaksana organisasi tersebut dilaksanakan oleh seseorang atau sekumpulan orang-orang. Definisi usahatani menurut Fardiyanti dalam Sunarso (2005) adalah kegiatan di bidang pertanian yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan untuk produksi di bidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang menggunakan faktor produksi (sumberdaya alam, modal, dan tenaga kerja) untuk menghasilkan produk pertanian yang bermanfaat bagi manusia.

Faktor-faktor produksi dalam usahatani antara lain: faktor produksi alam, faktor produksi tenaga kerja, faktor produksi modal dan pengelolaan. Modal menurut Soehardjo dan Dahlan (1973) adalah barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau meningkatkan produksi. Modal dalam usahatani yaitu:

1. Tanah beserta bagian-bagian yang terdapat di atasnya seperti tanggul saluran air.

2. Bangunan-bangunan seperti; kandang ternak, lumbung, gudang.

3. Alat-alat pertanian dan mesin: alat-alat sederhana yaitu: bajak, garu, cangkul, linggis, mesin traktor, pengolah tanah, mesin penanam dan mesin pemungut hasil.

5. Sarana produksi pertanian yang terdiri dari; bibit, pupuk, obat pengendali hama dan penyakit tanaman.

6. Uang tunai untuk membeli perlengkapan produksi yang diperlukan.

Menurut Mosher dalam Soehardjo dan Dahlan (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Pengelolaan usahatani terdiri dari beberapa tahapan pengambilan keputusan. Dalam pengambilan keputusan, petani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu :

1. Penentuan perkembangan harga.

Pengetahuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku.

2. Kombinasi beberapa cabang usaha.

Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun.

3. Pemilihan cabang usaha.

Penentuan cabang usahatani dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan ekonomi seperti: luas usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, keadaan harga di waktu cabang usaha itu menghasilkan.

4. Penentuan cara produksi yang terdiri dari : penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam dan sebagainya.

5. Pembelian sarana produksi yang diperlukan.

Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk atau membeli peralatan.

6. Pemasaran hasil pertanian.

Masalah pemasaran yang sering dihadapi petani adalah: waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang digunakan dan lain-lain.

7. Pembiayaan usahatani yaitu biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen).

8. Pengelolaan modal dan pendapatan.

Perubahan usahatani ke arah yang lebih komersiil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk konsumsi keluarga.

Usahatani dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu subsisten dan komersial. Usahatani subsisten ditujukan untuk kebutuhan keluarga dengan penggunaan alat yang masih sederhana, sedangkan usahatani komersial lebih berorientasi bisnis dan diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar agar keuntungan yang diperoleh semakin besar.

Sistem usahatani dikatakan berkelanjutan jika dalam pengelolaannya menerapkan teknologi yang ramah lingkungan atau tidak menimbulkan eksternalitas negatif pada lingkungan baik lingkungan biofisik maupun lingkungan sosial ekonomi pada tingkat mikro maupun makro. Menurut Adnyana (2001) beberapa strategi yang dapat diterapkan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan sistem usahatani berkelanjutan, yaitu :

1) Sistem usahatani yang ingin dicapai sedapat mungkin diwujudkan melalui pemanfaatan sumberdaya internal untuk mensubstitusi penggunaan sumberdaya eksternal.

2) Mengurangi penggunaan pupuk buatan yang bersumber dari sumberdaya yang tidak dapat pulih (pupuk anorganik).

3) Menekan intensitas penggunaan pestisida dan herbisida serta penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) secara massal.

4) Memperluas penerapan rotasi tanaman dan diversifikasi horizontal untuk meningkatkan kesuburan tanah, pengendalian hama dan penyakit, meningkatkan produktifitas dan menekan resiko.

5) Mempertahankan residu tanaman maupun input eksternal serta penanaman tanaman penutup tanah guna mempertahankan kelembaban dan kesuburan tanah.

Menurut Suryana,et al (1998), konsep berkelanjutan mengandung pengertian, bahwa pengembangan produk pertanian harus tetap memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna menjaga keberlanjutan pertanian dalam jangka panjang lintas generasi (inter-generational sustainability), antara lain dengan mengembangkan sistem usahatani konservasi, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT), dan kepatuhan pada prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pertanian. Departemen Pertanian (2001) mengemukakan bahwa dalam pengembangan sistem usahatani perlu diterapkan prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa dalam pengembangan sistem usahatani perlu memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi yang terus-menerus, menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Strategi untuk mewujudkan sistem usahatani lebih sering dikaitkan dengan keberlanjutan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan input eksternal dari bahan kimiawi, khususnya pupuk buatan dan pestisida maupun herbisida. Berbagai negara dengan sistem usahatani yang sudah maju, menerapkan sistem usahatani dengan input eksternal rendah (Low

External Input Sustainable Agriculture, LEISA). Argumen untuk

meningkatkan efisiensi penggunaan input eksternal meliputi sumber energi fosil, menekan biaya produksi, meningkatkan kemampuan untuk swasembada, sadar terhadap bahaya polusi pada kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan (Conway dan Barbier, 1990).

Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian mampu memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalamnya menjadi lancar

dan dapat mengikat unsur Al (aluminium), Mg (magnesium), dan Fe (besi), sehingga unsur pospornya menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di samping itu, penggunaan pupuk organik membuat produk pertanian lebih aman untuk dikonsumsi. Dari segi harga jual produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dari pada produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik.

Menurut Pambudy (1999), sejalan dengan perkembangan pembangunan bidang pertanian, kegiatan usahatani dilaksanakan pendekatan teknis, pendekatan terpadu, dan pendekatan agribisnis.

1. Pendekatan Teknis

Pendekatan teknis dilakukan dengan tujuan peningkatan produksi pertanian, sehingga dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan pertanian dengan upaya: (a) penggunaan bibit unggul; (b) menekan kejadian hama dan penyakit tanaman melalui kegiatan penolakan, pencegahan, penyidikan, pemberantasan, dan pengendalian penyakit; dan (c) penggunaan pupuk sesuai dengan kebutuhan tanaman.

2. Pendekatan Terpadu

Pengalaman menunjukkan bahwa berbagai upaya pendekatan teknis yang dilakukan ternyata tidak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pembangunan. Untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani maka diterapkan pendekatan terpadu dengan cara melakukan pembinaan secara pasif melalui tiga penerapan teknologi, yaitu teknologi produksi, ekonomi, dan sosial.

Penerapan teknologi produksi dilakukan melalui: perbaikan mutu bibit, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pengolahan tanah. Sebagai pendukung penerapan teknologi produksi diterapkan pula teknologi ekonomi berupa perbaikan pasca panen dan pemasaran, sedangkan penerapan teknologi sosial dilakukan dengan mengorganisir petani dalam kelompok tani dan koperasi.

3. Pendekatan Agribisnis

Istilah agribisnis pertama kali muncul tahun 1950-an sebagai istilah yang digunakan terhadap gugus industri (cluster industry) yang melakukan pendayagunaan sumberdaya hayati (Pambudy et al., 2001). Berdasarkan pendekatan etimologis pengertian agribisnis adalah usaha dagang yang berbasis pada semua kegiatan yang memanfaatkan tanah atau lahan sebagai basis budidaya (agri berarti tanah atau lahan dan bisnis berarti usaha dagang). Sistem agribisnis berarti pemanfaatan tanah atau lahan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usahatani yang berorientasi pada peningkatan pendapatan petani. Pengertian agribisnis saat ini tidak hanya terbatas pada pengertian berdasarkan etimologis, akan tetapi telah meluas seiring dengan tuntutan aspirasi dan tantangan global yang dikaitkan dengan semangat modernisasi dan aktualisasi kehidupan di berbagai bidang.

Sistem agribisnis merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu kluster industri

(industrial cluster) pertanian yang mencakup empat subsistem Saragih

(2000). Keempat subsistem tersebut adalah : (1) Subsistem agribisnis hulu (upstream off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi (produksi dan perdagangan) yang menghasilkan sapronak seperti bibit, pupuk, dan pestisida; (2) Subsistem agribisnis budidaya pertanian (on-farm agribussiness) yaitu, kegiatan ekonomi yang selama ini kita sebut sebagai kegiatan budidaya pertanian; (3) Subsistem agribisnis hilir (downstream

off-farm agribussiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah dan

memperdagangkan hasil pertanian; (4) Subsistem jasa penunjang

(supporting institution), yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi

kegiatan usahatani seperti perbankan, asuransi, koperasi, trasportasi, Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan dan penelitian.

Menurut Irawan dan Pranadji (2002), agribisnis merupakan sistem terpadu yang meliputi empat bagian (subsistem) yaitu:1) Subsistem

pengadaan dan distribusi sarana/prasarana produksi yang akan dipergunakan sebagai input produksi pada subsistem budidaya, 2). Subsistem produksi atau usahatani, yang akan menghasilkan produk pertanian primer, misalnya daging, beras, jagung dan lain-lain, 3). Subsistem pengolahan hasil dan pemasaran, dan 4). Subsistem pelayanan pendukung, berupa fasilitas jalan, kredit, kebijakan pemerintah, dan lain-lain. Dengan demikian dapat diartikan secara substansial pengertian sistem agribisnis dari kedua teori tersebut tidak ada perbedaan.

Sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis, sebagaimana disajikan pada Gambar 2 (Departemen Pertanian, 2001).

Subsistem Agribisnis Hulu

Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat pertanian:

• Bibit

• Pupuk

• Pestisida

• Lahan

• Mesin dan alat

• Tenaga kerja

Subsistem Agribisnis Budidaya

Sistem kegiatan produksi usahatani primer, penanganan dan

pemasaran produk-produk primer:

• Pengolahan lahan

• Antisipasi iklim/cuaca

• Pencegahan penyakit

• Pemberantasan penyakit

• Pembelian sarana produksi

• Manajemen

• Kegiatan produksi

Subsistem Lembaga Penunjang

• Penyediaan sarana usaha (agrisupport) dan pengaturan iklim usaha (agriclimate):

• Prasarana (jalan, pasar, kelompok tani, koperasi, lembaga keuangan, dan lain-lain).

• Sarana (transpotasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain)

• Kebijakan (RUTR, Makro, Mikro, dan lain-lain).

• Penyuluhan Subsistem Agribisnis Hilir Sistem pengumpulan produk primer pertanian, pengolahan produk, distribusi dan pemasaran produk olahan sampai ke konsumen akhir.

Gambar 2. Lingkup pembangunan sistem agribisnis 2.2. Gender

Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan dukungan masyarakat itu sendiri (Anonim,

2001). Pengertian gender menurut Handayani dan Sugiarti (2002) adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor sosial maupun budaya sehingga timbul beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan tersebut misalnya laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (memilih dan memisahkan) peran antara laki- laki dan perempuan. Secara kodrati laki-laki dan perempuan memiliki

perbedaan yang mendasar, terutama laki-laki dikodratkan memiliki alat kelamin yang sifatnya memberi dan perempuan memiliki alat

reproduksi yang sifatnya menerima. Fungsi kodrati ini tidak dapat dipertukarkan. Perbedaan secara kodrati inilah yang secara turun temurun menjadikan perempuan memiliki kedudukan dan peran yang berbeda dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan faktor sosial, geografis dan kebudayaan suatu masyarakat. Perempuan tersubordinasi oleh faktor- faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Banyak mitos dan kepercayaan yang menjadikan kedudukan perempuan berada lebih rendah daripada laki-laki. Perbedaan konsep seks dan gender dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender

No. Karakteristik Seks Gender

1. Sumber pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

2. Visi, misi Kesetaraan Kebiasaan

3. Unsur pembeda Biologis (alat reproduksi)

Kebudayaan (tingkah laku)

4. Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan

Harkat, martabat dapat dipertukarkan

Tabel 1 (lanjutan)

No. Karakteristik Seks Gender

5. Dampak Terciptanya nilai-nilai kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian, dll. Sehingga menguntungkan kedua pihak. Terciptanya norma- norma/ketentuan tentang “pantas” atau “tidak pantas”. Laki-laki “pantas” menjadi pemimpin,

perempuan “pantas” dipimpin dll. Sering merugikan salah satu pihak, kebetulan adalah perempuan.

6. Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas.

Dapat berubah, dan berbeda antar kelas.

Sumber: Sugiarti dan Handayani (2002)

Sistem budaya patriarkhi merupakan sistem budaya yang berakar dari nilai-nilai, norma-norma dan tatanan sosial budaya masyarakat yang terbentuk akibat pemahaman yang keliru dan bias terhadap kodrat dan peran perempuan. Dalam proses sosialisasi, perempuan diorientasikan sebagai penanggung jawab keluarga atas segala kegiatan yang berhubungan dengan rumahtangga, seperti pengasuhan anak. Laki-laki diorientasikan dengan kegiatan ekonomi dan politik. Pengaruh sistem budaya patriarkhi yang telah memasuki tatanan sosial budaya masyarakat Indonesia nampak dari konstruksi sosial yang membentuk dikotomi pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada jenis kelamin.

Menurut Fakih (1996), budaya patriarkhi adalah suatu sistem sosial dalam tata kekeluargaan dimana ayah menguasai semua anggota keluarga, semua harta milik dan sumber-sumber ekonomi, serta membuat keputusan penting. Sistem sosial yang patriarkhi mengalami perkembangan dalam hal lingkup institusi sosial, diantaranya pada

lembaga perkawinan, institusi ketenagakerjaan, dan lain-lain. Pengertiannya pun berkembang dari “hukum ayah” ke “hukum suami”, “hukum bos laki-laki” dan “hukum laki-laki” secara umum. Penerapan hukum ini dapat dilihat pada hampir semua institusi sosial, politik dan ekonomi. Perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan suatu sistem dan struktur dimana laki-laki serta perempuan menjadi korban dari sistem tersebut Fakih (1996) menyatakan bahwa perbedaan gender yang melahirkan ketidakadilan dapat dilihat melalui berbagai manifestasi sebagai berikut:

1. Gender dan marginalisasi perempuan

Marginalisasi adalah proses pemiskinan ekonomi yang dapat menimpa baik laki-laki maupun perempuan. Kemiskinan yang terjadi dapat disebabkan oleh penggusuran, bencana alam dan eksploitasi. Terdapat bentuk pemiskinan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yaitu perempuan yang disebabkan oleh gender. Proses marginalisasi perempuan dapat berbeda dilihat dari jenis, bentuk, tempat dan waktu. 2. Gender dan subordinasi

Pandangan gender dapat menyebabkan subordinasi terhadap perempuan. Pandangan bahwa perempuan adalah irrasional dan emosional memberikan anggapan bahwa perempuan tidak dapat tampil untuk memimpin sehingga menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Contoh kasusnya adalah: anggapan masyarakat jawa bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan bekerja di dapur.

3. Gender dan stereotipi

Stereotipi adalah penandaan atau pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipi selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu umumnya perempuan yang bersumber dari penandaan atau stereotipi yang dilekatkan pada mereka.

4. Gender dan kekerasan

Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender-related violence. Bentuk kekerasan gender antara lain; bentuk pemerkosaan, tindakan pemukulan dan serangan fisik dalam rumahtangga, bentuk penyiksaan, kekerasan dalam bentuk pelacuran, dan kekerasan dalam bentuk pornografi. 5. Gender dan beban kerja

Stereotipi bahwa perempuan memiliki sifat memelihara, rajin, cocok menjadi ibu rumahtangga menyebabkan pekerjaan domestik rumahtangga menjadi tanggung jawab perempuan. Pada keluarga miskin, beban ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih lagi jika perempuan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka ia memikul beban ganda. Pekerjaan domestik tersebut dianggap rendah dan bukan termasuk pekerjaan produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Bagi golongan menengah dan kaya, beban kerja dilimpahkan pada pembantu rumahtangga.

2.3. Gender danRumah tangga Pertanian

Menurut Nurhilaliah (2003), rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu- kayuan, budidaya ikan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani monokultur sayuran adalah rumahtangga yang salah satu atau lebih anggota rumahtangganya kegiatan utamanya adalah mengusahakan tanaman sayuran dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri.

Roger dan Shoemaker dalam Nurhilaliah (2003) mengemukakan tiga karakteristik yang melekat pada masyarakat petani sebagai adopter inovasi yaitu status sosial ekonomi, kepribadian dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi: umur, tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi usaha, dan sikap terhadap kredit. Karakteristik kepribadian diantaranya: empati, dogmatisme, sikap terhadap perubahan, sikap terhadap resiko, aspirasi (terhadap pekerjaan dan pendidikan) serta motivasi, sementara perilaku komunikasi mencakup partisipasi sosial, integrasi sosial, perilaku kosmopolit, kontak dengan penyuluh dan media massa.

Peranan gender menurut Mugniesyah dalam Meliala (2006) adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan sebagai peranan perempuan dan laki-laki. Terdapat tiga peranan dalam rumahtangga yaitu peranan reproduktif, produktif, serta pengelolaan masyarakat. Ketiga peranan tersebut oleh Sajogyo (1993) dikategorikan sebagai peranan yang terkait dengan kedudukan perempuan: yaitu berturut-turut sebagai isteri atau ibu rumahtangga, sebagai pencari nafkah dan sebagai anggota masyarakat. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dalam Meliala (2006) kegiatan produktif merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam rangka mencari nafkah dan disebut sebagai kegiatan ekonomi karena menghasilkan uang secara langsung. Kegiatan reproduktif yaitu kegiatan yang berhubungan erat dengan pemeliharaan dan pengembangan serta menjamin kelangsungan sumberdaya manusia dan biasanya dilakukan dalam keluarga. Kegiatan ini tidak menghasilkan uang secara langsung dan biasanya dilakukan bersamaan dengan tanggung jawab domestik atau kemasyarakatan dan dalam beberapa referensi yang disebut reproduksi sosial. Kegiatan politik dan sosial budaya atau kemasyarakatan adalah kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat yang berhubungan dengan bidang politik, sosial dan kemasyarakatan serta mencakup penyediaan dan pemeliharaan

sumberdaya yang digunakan oleh setiap orang seperti air, sekolah, pendidikan dan lain-lain.

Gender pada dasarnya membahas permasalahan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat agar terjadi keadilan dan kesetaraan. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi yang setara, seimbang, dan sederajat dalam hubungan peran, kedudukan, fungsi, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki, sedangkan keadilan gender mengandung pengertian suatu kondisi dan perlakuan yang adil tanpa ada perbedaan dalam hubungan peran, fungsi, kedudukan, hak, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki.

2.4. Gender dan Pembangunan Berkelanjutan

Kesetaraan gender merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan, karena pembangunan berkelanjutan secara sederhana diartikan sebagai perpaduan tujuan sosial, ekonomi dan ekologi. Menurut konsepnya, perpaduan ini dapat dimengerti dan diterima tetapi dalam penerapannya tidak sederhana. Masing-masing tujuan tersebut perlu pendekatan yang tepat agar manfaat yang diperoleh menjadi optimal. Pendekatan yang tepat untuk melakukan tujuan sosial, ekonomi dan ekologi adalah pendekatan keruangan (spasial). Yang berarti penataan ruang dengan segala komponen dan proses yang ada di dalamnya menjadi bagian penting dalam pengelolaan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan.

Pendekatan keruangan dalam upaya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian dimulai dari tahap penyusunan rencana dan pengendalian yang mengintegrasikan antara ruang sosial, ruang ekonomi dan ruang ekologi. Apabila konsep semacam ini belum dibangun, maka diperlukan upaya yang lebih besar dan kompleks untuk melakukan pemaduan, karena bisa jadi aktivitas ekonomi dan kerusakan ekologi akan memberikan dampak sosial bagi masyarakat Jika hal ini terjadi, perencanaan pengelolaan sistem usahatani akan berhadapan dengan kepentingan masyarakat yang

mempunyai tujuan yang berbeda, sehingga secara sederhana dapat dikatakan bahwa, telah muncul konflik kepentingan yang tajam dalam merencanakan dan pengelolaan suatu sumberdaya pembangunan,

Gerakan Perempuan Peduli Lingkungan Hidup (GPPLH) Berkelanjutan di Jakarta Utara merupakan model kiprah perempuan yang memberikan peran yang begitu besar dalam upaya menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan produktif. Model ini dapat diadopsi untuk diterapkan di berbagai wilayah dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk pengembangan sistem usahatani. Peran perempuan ternyata dapat memberikan sentuhan kebersamaan dan keharmonisan dalam suatu ikatan yang kuat untuk secara bersama-sama mengelola suatu sumberdaya dan memberikan hasil yang memuaskan dan produktif (Dewanto et al, 2004).

Dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2002 di Johannesburg telah disepakati bahwa kelompok perempuan mempunyai peran yang penting bagi keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai salahsatu di antara sembilan kelompok utama yang menjadi ujung tombak pengelolaan lingkungan, peran kelompok perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup perlu ditingkatkan dan diberdayakan agar dapat memiliki posisi tawar yang cukup untuk memperjuangkan hak mereka atas lingkungan yang baik dan sehat. Hal tersebut dapat direalisasikan jika pengarusutamaan gender diterapkan dalam pengelolaan lingkungan hidup (Rwelamira, 1999).

Pengarusutamaan gender dalam pengembangan sistem usahatani akan meningkatkan partisipasi, fungsi kontrol, distribusi sumberdaya, dan

Dokumen terkait