• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cylas Formicarius (F.)

Cylas formicarius merupakan hama ubi jalar yang menyerang tidak hanya di lapangan tapi juga menimbulkan kerusakan yang cukup nyata di tempat penyimpanan (Capinera 1998, Kalshoven 1981). Kehilangan hasil akibat serangan hama ini berkisar antara 10–80%, bergantung pada lokasi, jenis lahan, dan musim (Widodo et al. 1994). Larva merusak umbi dengan masuk ke dalam umbi dan memakan umbi tersebut dengan membuat liang-liang gerekan. Umbi yang terserang berasa pahit dan akhirnya membusuk. Mikroorganisme di sekitar liang gerek dapat menghasilkan senyawa furanterpen dan coumarin yang menyebabkan ubi menjadi pahit. Hama ini memiliki tipe metamorfosis holometabola (metamorfosis sempurna) (Uritani 1982 dalam Afandhi 1987).

Telur. Imago betina meletakkan telur pada permukaan umbi yang telah dilubangi terlebih dahulu. Telur yang telah diletakkan ditutupi oleh bahan semacam gelatin untuk melindunginya dari rayap predator dan semut predator (Capinera 1998, 2003). Telur berbentuk oval dan berwarna putih kekuningan dengan panjang 0,7 mm dan lebar 0,5 mm. Menurut Kalshoven (1981) setiap hari imago betina dewasa bisa bertelur ± 2 butir dan jumlahnya bisa mencapai 200 butir. Sedangkan Capinera (1998) mengatakan bahwa di laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu meletakkan telur 122–250 butir.

Larva. Budiyono (2010) menyatakan setelah telur menetas larva akan masuk menggerek umbi selama 3-4 minggu. Perkembangan larva terdiri dari tiga instar dengan periode instar pertama 8-16 hari, instar kedua 2-21 hari, dan instar ketiga 35-36 hari (Capinera 2003). Larva tidak memiliki tungkai, panjangnya mencapai 8-10 mm, berwarna putih tetapi kepalanya berwarna coklat muda dengan posisi tubuh sedikit melengkung (Rosfiansyah 2009). Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan larva.

Pupa. Pupa bertipe eksarata, berwarna coklat muda, berukuran sekitar 6 mm. Pupa awalnya berwarna putih, kemudian berubah warna menjadi keabu- abuan dan pada bagian mata dan tungkai berwarna gelap. Waktu yang dibutuhkan pupa untuk menjadi imago sekitar 7-10 hari (Capinera 1998, 2003).

Imago. Bentuk imago menyerupai semut, berupa kumbang yang berwarna hitam-kemerahan mengkilap (Filert et al. 1999). Suharto (2007) menyatakan imago memiliki panjang 6-8 mm, tubuh ramping, tungkai panjang. Moncong, kepala, dan elitra berwarna biru sedangkan toraks, antena, dan tungkainya berwarna merah. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk ujung antena. Antena imago jantan pada ruas ke-10 memanjang sedangkan antena betina pada ruas ke-10 menggada. Antena pada imago betina lebih pendek dibandingkan dengan imago jantan. Imago pada umumnya aktif pada malam hari dan kondisi yang kering (Borror et al 1996).

C. formicarius dewasa dapat hidup selama tiga bulan. Siklus hidup setiap generasi berlangsung 38 hari, sehingga dalam setahun terdapat 9 generasi (Supriyatin 2001). Siklus hidup C. formicarius bervariasi dari satu lokasi dengan lokasi lainnya, kemungkinan terbesar perbedaan disebabkan karena perbedaan suhu (Sutherland 1986). Selain suhu perkembangan siklus hidup C. formicarius

juga dipergaruhi ketersediaan makanan. Pada suhu 15oC di laboratorium, serangga dewasa dapat hidup lebih dari 200 hari jika makanan tersedia, dan hanya 30 hari jika dilaparkan (Capinera 1998). Menurut Miyatake (2001) imago jantan lebih awal mati tanpa makanan daripada imago betina.

Di Indonesia C. formicarius banyak ditemukan di Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara (Nonci & Sriwidodo 1993; Trustina et al. 1993). Bukan hanya di Indonesia hama ini dapat ditemukan namun juga terdapat di negara-negara lain seperti Amerika Serikat di daerah Louisiana pada tahun 1875, kemudian di Florida tahun 1878 dan Texas tahun 1890; diduga hama tersebut masuk melalui Kuba (Capinera 1998).

Beauveria bassiana

Cendawan Beauverian bassiana (Bals.) Vuill tergolong dalam divisi Eumycota, subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes, dan ordo Monililales (Tanada & Kaya 1993). Cendawan ini mampu bertahan hidup di dalam tanah dalam bentuk konidia atau hifa saprofit (Gottwold & Tedders 1984). Cendawan B. bassiana memiliki kemampuan bereproduksi secara aseksual dengan

menghasilkan konidia. B. bassiana termasuk dalam fungi imperfecti (tidak sempurna) karena tidak ditemukan fase seksual.

Karakteristik utama B. bassiana adalah bentuk konidiofornya yang bercabang-cabang dengan pola zig-zag dan pada bagian ujungnya terbentuk konidia. Konidia berukuran 2-3 μm (Barnet & Hunter 1972). Konidia berbentuk oval dan hialin. Miselia berwarna putih atau kuning pucat, berbentuk benang- benang halus, tampak seperti kapas atau kapur (Alexopoulus & Mims 1972, Steinhaus 1947, Barnet & Hunter 1972, Tanada & Kaya 1993).

Studi laboratorium dan lapangan menunjukkan B. bassiana efektif terhadap berbagai hama tanaman maupun hama dalam penyimpanan (Hansen & Steenberg 2007). Hama ordo Coleoptera lebih efektif dikendalikan oleh cendawan ini (Varela & Morales 1996), dan hama boleng merupakan salah satu inangnya (Canipera 2003). Keefektifan B. bassiana sebagai cendawan entomopatogen cukup tinggi untuk mengendalikan C. formicarius. Capinera (1998) menyatakan bahwa B.bassiana mampu menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembaban yang tinggi dan kepadatan C. formicarius yang juga tinggi. Bari (2006) melaporkan tingkat kematian C. formicarius yang disebabkan oleh B.bassiana hampir mencapai 100%. Selain itu, Faishol (2011) juga melaporkan cendawan B.bassiana dengan kerapatan konidia 109/ml cukup efektif dalam mengendalikan hama C. formicarius hingga 80% dan pada kerapatan konidia 108/ml mampu mengendalikan C. formicarius

hingga 50%. Penelitian yang berkaitan dengan cendawan B. bassiana dan hama C. formicarius selama ini tidak memperhatikan aspek umur dan jenis kelamin serangga inang.

Secara umum cendawan entomopatogen menginfeksi inangnya melalui integumen. B. bassiana menembus integumen inang dengan hifa yang tumbuh dari konidia dan kemudian merusak jaringan (Barson 1977). Penempelan konidia pada tubuh inang pada umumnya terjadi secara pasif dengan bantuan angin dan air. Perkecambahan konidia untuk dapat menginfeksi tubuh inang memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan karena perkecambahan konidia tergantung pada kelembaban, suhu, cahaya, dan nutrisi (Tanada & Kaya 1993; Inglis et al. 2001). Apabila

keadaan kurang mendukung perkembangan cendawan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integumen (Santoso 1993). Keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh konsentrasi cendawan yang diaplikasikan (Hall 1980), yaitu kerapatan konidia dalam setiap volume air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan cendawan yang dibutuhkan setiap hektar. Konsentrasi cendawan entomopatogen harus ditentukan secara tepat untuk mendapatkan hasil pengendalian yang optimal (Prayogo 2006). Soenartiningsih et al. (1999) mengungkapkan bahwa cendawan B. bassiana yang disimpan pada suhu kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi akibat terjadinya penurunan daya kecambah.

Ciri yang paling mencolok pada serangga yang terinfeksi oleh

Beauveria bassiana adalah adanya miselia berwarna putih pada tubuh serangga yang mati setelah terinfeksi (Neves & Alves 2004). Gerakan serangga yang terinfeksi lamban, nafsu makan berkurang, bahkan berhenti, lama kelamaan diam dan mati (Riyatno & Santoso 1991). Inglish et al.

(2001) menyatakan selain kehabisan nutrisi, kematian serangga juga dapat disebabkan adanya tekanan fisik akibat masuknya hifa pada jaringan serangga, peracunan oleh mikotoksin B. bassiana serta aksi kombinasi ketiganya. Mikotoksin yang dihasilkan dapat berupa beauvericin yang merupakan toksin penghambat perkembangan serangga, bassianaolide dan

Dokumen terkait