• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Morfologi dan Bioekologi

  Spodoptera litura termasuk dalam ordo Lepidoptera, famili Noctuidae, genus Spodoptera dan spesies litura. Hama ini bersifat polifag mempunyai kisaran inang yang cukup luas, sehingga sulit dikendalikan. Strategi pengendalian hama yang efektif dapat disusun dengan mempelajari bioekologi hama (Marwoto & Suharsono 2008).

  Sayap ngengat bagian depan berwarna coklat, dan sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Kemampuan terbang ngengat pada malam hari mencapai 5 km. Telur diletakkan pada bagian daun atau bagian tanaman lainnya, baik pada tanaman inang maupun bukan inang, bentuk telur bervariasi. Kelompok telur tertutup bulu seperti beludru yang berasal dari bulu- bulu tubuh bagian ujung ngengat betina, berwarna kuning kecoklatan, diletakkan berkelompok masing-masing 25−500 butir (Marwoto & Suharsono 2008).

Larva mempunyai warna yang bervariasi, memiliki kalung (bulan sabit) berwarna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Larva yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan, dan hidup berkelompok. Beberapa hari setelah menetas, larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Pada siang hari, larva bersembunyi di dalam tanah atau tempat yang lembab dan menyerang tanaman pada malam hari atau pada intensitas cahaya matahari yang rendah. Larva berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Perilaku larva instar akhir mirip larva tanah Agrotis ipsilon, namun terdapat perbedaan yang cukup mencolok, yaitu pada larva S. litura

terdapat tanda bulan sabit berwarna hijau gelap dengan garis punggung gelap memanjang. Pada umur dua minggu, panjang larva sekitar 5 cm (Arifin 1988).

Larva berkepompong di dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa (kokon), berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,60 cm. Siklus hidup berkisar antara 30−60 hari (lama stadium telur 2−4 hari). Stadium larva terdiri atas 5 instar yang berlangsung selama 20−46 hari. Lama stadium pupa 8−11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan 2.000−3.000 telur.

5 Larva S. litura tersebar luas di Asia, Pasifik, dan Australia. Di Indonesia, hama ini terutama menyebar di Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua (Marwoto & Suharsono 2008).

Gejala serangan

Larva instar awal merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas dan tulang daun. Larva instar akhir merusak tulang daun dan kadang- kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan larva. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Departemen Pertanian 2008).

Tanaman inang S. litura

Larva S. litura adalah serangga polifag yang dapat menyerang tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Beberapa tanaman yang dapat diserang oleh hama ini diantaranya cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang-kacangan (kedelai dan kacang tanah), kangkung, bayam dan pisang. Selain itu tanaman hias dan gulma (Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium sp. dan

Trema sp) juga dapat diserang oleh hama ini (Departemen Pertanian 2008).

Nucleopolyhedrovirus (NPV)

Morfologi dan Struktur

Nucleopolyhedrovirus merupakan salah satu anggota genus Baculovirus, famili Baculoviridae. Famili Baculoviridae terdiri dari tiga genus, yaitu

Nucleopolyhedrovirus (NPV), Granulovirus (GV) dan Non-occluded baculovirus (Murphy et al. 1995).

6 Badan inklusi merupakan kristal matriks protein dengan bentuk yang tidak beraturan. Matriks protein ini yang menyelimuti partikel virus. Matriks protein inilah yang disebut dengan Polyhedral Inclusion Body (PIB) (Ahmad et al. 2008).

Polyhedral Inclusion Body dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Kerapatan PIB dalam suatu larutan digunakan sebagai satuan untuk menentukan konsentrasi dan dosis NPV. Diameter polyhedra berukuran antara 0,05 – 15,00 µm. Bentuk

polyhedra tergantung pada jenis serangga inang yang terinfeksi NPV (Maddox 1975). Partikel NPV yang terdapat dalam PIB berbentuk tongkat dengan ukuran sekitar panjang 336 nm dan berdiameter 62 nm. Virion terbungkus oleh membran yang disebut amplop, jika dalam satu amplop terkandung satu partikel virus disebut single nukleokapsid (SNPV). Jika dalam satu amplop terkandung lebih dari satu partikel virus ini disebut multi nukleokapsid (MNPV) (Tanada & Kaya, 1993). Pada umumnya SNPV mempunyai inang yang lebih spesifik dibandingkan dengan MNPV (Ignoffo & Couch 1981). Menurut (Tisley & Kelly 1985) ciri khas NPV adalah adanya nukleokapsid berbentuk batang yang mengandung untaian ganda deoxiribonucleic acid (DNA) yang panjangnya 250 – 400 nm dan lebar 40 – 70 nm.

Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus (SlNPV) Patogenisitas

Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus ditemukan dalam berbagai jaringan seperti hemolimfa, badan lemak, hipodermis dan matriks trakea. Larva yang terinfeksi SlNPV menunjukan gejala seperti, tubuhnya tampak berminyak, disertai dengan pembengkakan dan warnanya berubah menjadi pucat kemerahan. Gejala khas di lapangan, larva merayap ke pucuk tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan tungkai semunya menempel pada bagian tanaman. Integumen larva mengalami lisis dan disintegrasi sehingga menjadi sangat rapuh. Apabila sobek, dari dalam tubuh larva keluar cairan hemolimfa yang mengandung banyak polihedra (Arifin 1993).

Nilai LC50 dan LC90SlNPV untuk larva instar III, masing-masing sebesar

7 instar larva, semakin rentan terhadap SlNPV. Tingkat kerentanan larva instar I 100 kali lebih tinggi daripada larva instar V (Arifin 1993).

Mekanisme Mematikan Inang dan Siklus Hidup NPV di Alam

Proses infeksi NPV dimulai dengan tertelannya polihedra bersama pakan. Di dalam saluran pencernaan yang memiliki pH basa (pH 9,0-10,5), selubung polihedra larut sehingga membebaskan virion. Virion menginfeksi sel-sel saluran pencernaan kemudian menembus dinding saluran dan masuk ke dalam rongga tubuh. Dalam waktu 1-2 hari setelah polihedra tertelan, hemolimfa yang semula jernih berubah menjadi keruh karena banyak mengandung polihedra. Larva instar awal mati dalam dua hari, sedangkan larva instar akhir mati dalam 4-9 hari setelah polihedra tertelan (Ignoffo & Couch 1981; Deacon 1983). Polyhedra Inclusion Body dalam tubuh larva yang terserang ukurannya bervariasi tergantung pada perkembangan stadium larva, tetapi pada beberapa jenis NPV, sebagian besar

polyhedra memiliki ukuran dan stadium pematangan yang hampir sama (Granados & Federici 1986).

Keunggulan dan Kekurangan SlNPV

Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus berpotensi untuk dijadikan bioinsektisida karena memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain : (a) bersifat spesifik terhadap serangga sasaran sehingga aman bagi musuh alami, (b) tidak menimbulkan residu berbahaya, (c) efektif terhadap inang atau hama sasaran yang sudah resisten terhadap insektisida kimia, dan (d) kompatibel dengan komponen pengendalian hama yang lain, termasuk insektisida kimia (Smith 1987).

Menurut Smith (1987) dan Young (2003), kelemahan SlNPV pada saat diaplikasikan di lapangan yaitu menurunnya keefektifan SlNPV setelah terpapar sinar matahari, khususnya sinar ultraviolet. Arifin 1993 melaporkan bahwa bahwa dosis 1,5 x 1012 PIBs/ha yang semula dinyatakan efektif terhadap ulat grayak di rumah kaca dengan tingkat kematian larva 73%, menurun menjadi 33% apabila diaplikasikan ke lapang. Salah satu faktor penyebab menurunnya tingkat efektivitas SlNPV adalah sifatnya yang peka terhadap radiasi sinar surya.

8 Bahan Pelindung Ultraviolet untuk SlNPV

Untuk mencegah terjadinya inaktivasi karena radiasi sinar ultraviolet, beberapa bahan pelindung telah digunakan, antara lain karbon, pewarna dengan bahan dasar karbon, alumunium oksida, titanium dioksida, lempung, tepung, dan bahan flourescent, seperti polyflavonoids dan bahan pemutih (Ignoffo & Couch, 1981). Bahan tambahan untuk melindungi NPV dari sinar matahari diantaranya

lignosulfat (Tamez-Guerra et al. 2000), epigallocatechin gallate, caffeic acid,

chlorogenic acid, galat acid, tannic acid, apigenin, naringenin, luteolin, dan

thymonin. Selain bahan-bahan tersebut, beberapa bahan nabati telah digunakan sebagai UV protektan, contohnya tanaman kudzu (Pueraria lobata) dan teh (Camellia sinensis) (Shapiro et al. 2009). Tanaman kudzu yang mudah ditemukan di Indonesia adalah spesies Pueraria javanica. Tanaman ini mudah didapatkan di lapang, merupakan tanaman merambat, dan digunakan sebagai tanaman penutup tanah. P. javanica mengandung epigallocatechin gallate.

Daun teh mudah diperoleh dan banyak dipasarkan. Daun teh (C. sinensis) mengandung epigallocatechin gallate, caffeic acid, dan apigenin berfungsi sebagai pelindung UVA dan UVB (Shapiro et al. 2009).

Ultraviolet A memiliki panjang gelombang antara 320-400 nm, UV B antara 290 dan 320 nm. UV C berkisar antara 250-280 nm, diserap oleh lapisan ozon dan tidak mencapai bumi (Sajap et al. 2007).

Tanaman Kudzu (P. javanica)

Tanaman kudzu di beberapa negara tropis telah dimanfaatkan dan dibudidayakan sebagai pencegah erosi, obat-obatan, penutup tanah, pakan ternak, pupuk hijau, serta seratnya telah dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan, tali dan kertas. Bagian umbi, daun dan bunga dapat diolah menjadi makanan. Akar dan bunganya mengandung zat daidzin yang dapat digunakan sebagai perlakuan terhadap ketergantungan alkohol. Selain itu juga kudzu mengandung berbagai zat yang berfungsi sebagai antidote, antiemetic, antipyretic, antispasmodic, mencegah iritasi, diaphoretic, febrifuge, hypoglycaemic dan hypotensive. Ramuan bunga dan umbinya juga digunakan untuk meredakan demam, diare, disentri, gangguan pencernaan juga migrain dan anginga pectoris (nyeri dada akibat otot jantung

9 kekurangan suplai darah atau oksigen). Tanaman kudzu di Jepang digunakan untuk membuat lotion, sabun dan kompos. Tanaman kudzu di Indonesia yaitu P. javanica atau P. phaseoloides yang telah ditanam sejak lama di kebun-kebun sebagai penutup tanah, fiksasi nitrogen atau pakan ternak, dan fungsi lainnya sebagai obat atau serat belum banyak diketahui (Valentim & Andrade 2005).

P. javanica merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Fabaceae (polong-polongan). Tanaman ini mampu tumbuh dengan merambat dengan cepat menyebar secara vegetatif dan generatif. Sulur-sulur kudzu dapat tumbuh sepanjang 20 meter per musim, atau rata-rata 30 cm per hari dan dapat mencapai panjang maksimal 30 meter. Akar-akarnya gemuk, berukuran diameter 10-20 cm dan dapat menembus tanah sampai kedalaman 4 meter dengan total berat mencapai 18 kilogram. Sekurangnya 30 sulur dapat tumbuh dari satu mahkota tanaman. Bagian yang digunakan dari P. javanica adalah akarnya yang mengandung epigallocatechin gallate yang berfungsi sebagai pelindung ultraviolet terhadap sinar UVA dan UVB (Shapiro et al. 2009).

Tanaman Teh (C. sinensis)

Teh merupakan tanaman yang termasuk dalam famili Theaceae. Genus camellia, dan jenis Camellia sinensis (Graham 1984). Teh merupakan bahan minuman yang digemari dan dikonsumsi di berbagai negara serta berbagai lapisan masyarakat.

Daun teh mengandung lebih dari 700 bahan kimia, di antaranya senyawa terkait erat dengan kesehatan manusia yaitu flavonoid, asam amino, vitamin (C, E dan K), kafein dan polisakarida. Teh merupakan sumber alami kafein, teofilin dan antioksidan dengan kadar lemak, karbohidrat atau protein mendekati nol persen. Daun teh mengandung epicatechin, catechin, epigallocatechin, epigallocatechin gallat yang dapat berfungsi sebagai pelindung ultra violet (Shapiro et al. 2009).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari Februari 2011 sampai Oktober 2011.

Alat dan Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serangga uji

S. litura, SlNPV, daun teh dan akar kudzu, daun kedelai, akuades (distilled H2O/dH2O), buffer SDS dan kertas tisu. Alat-alat yang digunakan adalah

sentrifuse, vortex, wadah pembiakan dan pemeliharaan Spodoptera litura, UV meter, cawan petri, pinset, pipet mikro, tabung reaksi, gelas ukur, lemari pendingin, autoklaf, timbangan digital, saringan, kuas, dan wadah plastik.

Pemeliharaan Serangga Uji

Serangga S. litura yang digunakan dalam penelitian ini merupakan larva yang berasal dari lapang yang dipelihara di laboratorium. Larva S. litura

dipelihara dalam kurungan kasa (40 cm x 30 cm x 10 cm). Larva dipelihara setiap harinya dan diberi pakan daun talas bebas pestisida sampai instar empat. Larva dipindahkan ke tempat yang telah diberi serbuk gergaji sebagai media berpupa. Pupa-pupa yang terbentuk kemudian diletakkan dalam kurungan yang berdiameter (20 cm x 20 cm) sebagai tempat peletakkan telur bagi imago. Imago diberi makanan larutan madu yang diserapkan pada segumpal kapas. Setelah telur menetas, larva dipindahkan ke dalam kotak plastik lain. Larva tetap dipelihara sampai generasi kedua. Larva yang digunakan dalam percobaan adalah larva instar tiga yang sehat dengan ciri-ciri larva aktif bergerak, warna tubuh cerah, dan tubuh larva tidak lembek. Pakan larva S. litura yang digunakan dalam pengujian adalah daun kedelai bebas pestisida untuk perlakuan, setelah daun kedelai habis pakan diganti dengan daun talas.

11 Purifikasi Suspensi Polihedra

Inokulum NPV diperoleh dari larva S. litura yang sakit akibat infeksi NPV. Larva yang menunjukkan gejala terserang NPV dikumpulkan dan dibersihkan dari kotoran yang melekat, kemudian digerus dengan mortar dalam larutan buffer SDS 0,1%. Suspensi kasar yang diperoleh disentrifugasi dengan sentrifus Tomy tipe MRX-151 yang bertujuan untuk memisahkan NPV dari partikel lain, seperti jaringan tubuh serangga, sehingga diperoleh suspensi polihedra NPV yang murni.

Sentrifugasi pertama yaitu dengan kecepatan 2000 rpm selama 2 menit. Supernatan dari proses ini dikumpulkan dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 6000 rpm selama 20 menit. Supernatan dari sentrifugasi kedua dibuang dan endapannya dikumpulkan untuk diresuspensikan. Sentrifugasi ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh suspensi polihedra yang relatif murni. Konsentrasi polihedra yang diperoleh dihitung dengan menggunakan hemositometer. Konsentrasi yang digunakan dalam perlakuan diperoleh dengan cara mengencerkan suspensi induk dengan air destilata (Shapiro et al. 2009).

Uji Toksisitas SlNPV

Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan taraf konsentrasi dari SlNPV terhadap larva S. litura. Penentuan konsentrasi yang digunakan berdasarkan

SlNPV dengan tingkat patogenisitas tertinggi yang dihitung dengan nilai LC50.

Nilai LC50 untuk larva instar III sebesar 4,86 x 103 polihedra inclusion bodies

(PIBs)/ml dan sebagai kontrol digunakan akuades.

Pengujian toksisitas SlNPV terhadap larva S. litura dilakukan dengan metode kontaminasi pakan. Ekstrak virus yang diuji dengan lima taraf konsentrasi mulai dari 4,35 x 107 PIBs/ml dengan pengenceran 10 kali hingga 4,35 x 103 PIBs/ml. Hal ini diharapkan dapat mengakibatkan kematian S. litura

10% sampai 100%. Metode kontaminasi pakan dilakukan dengan cara meneteskan 100 µl SlNPV pada daun kedelai yang telah dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm. Daun kontrol hanya ditetesi akuades. Daun perlakuan dan kontrol masing-masing sebanyak satu lembar dimasukkan ke dalam wadah plastik, yang berisikan satu larva instar tiga S. litura dan diulang tiga kali. Setiap ulangan

12 terdiri atas 30 larva. Pakan diganti setiap hari dengan daun kedelai yang tidak mengandung NPV. Pengamatan dilakukan setiap hari selama delapan hari.

Jika terdapat kematian S. litura pada kontrol maksimal 5% maka dilakukan koreksi dengan menggunakan rumus Abbott (1925) sebagai berikut :

Pt = {(P0 – Pc)/(100 – Pc)} x 100% Pt = % Kematian terkoreksi

P0 = % Kematian kumulatif pada perlakuan

Pc = % Kematian kumulatif pada kontrol

Bahan UV Protektan

Bahan UV protektan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akar

P. javanica dan daun teh dalam kemasan celup. Akar P. javanica yang telah dibersihkan dijemur sampai kering kemudian dihaluskan menggunakan blender

dan disaring menggunakan saringan halus. Sebanyak 1 g akar P. javanica

diekstrak menggunakan pelarut akuades sebanyak 9 ml. Hasil ekstraksi kemudian diencerkan sehingga konsentrasinya menjadi 0,1%, 0,5 %, dan 1%.

Daun teh dalam kemasan celup di tumbuk sampai halus menjadi serbuk kemudian disaring menggunakan saringan halus. Sebanyak 1 g daun teh dalam kemasan diekstrak menggunakan pelarut akuades sebanyak 9 ml. Hasil ekstraksi kemudian diencerkan sehingga konsentrasinya menjadi 1% (Shapiro et al. 2009).

Pengaruh Lama Penyinaran Sinar Matahari terhadap Virulensi SlNPV Intensitas UV yang diukur menggunakan UV meter (Luxtron Electronic Enterprise Co., Ltd, Taiwan) pada saat perlakuan penjemuran (Gambar 2). Intensitas sinar UV mulai meningkat pada pukul 11.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB dengan tingkat rata-rata lebih dari 2000 µW/cm2. Intensitas tertinggi terjadi pada pukul 13.00 WIB. Hunter-Fujita et al.(1998) menyatakan bahwa sebagian besar sinar UV mengenai permukaan bumi antara pukul 09.00-15.00 waktu setempat. Perlakuan penjemuran dilakukan pada pukul 11.00-14.00 WIB karena pada waktu tersebut intensitas sinar UV berada pada tingkat tertinggi.

13

Gambar 2 Rata-rata intensitas sinar UV dari sinar matahari di Dramaga IPB pada bulan Juli 2011.

Uji Efektivitas Bahan Tambahan Daun Teh dan P. javanica

Paparan Sinar Matahari

Ekstrak daun teh dan akar kudzu, dari masing-masing konsentrasi diambil 1 ml yang kemudian ditambahkan ke dalam suspensi NPV sebanyak 9 ml dengan konsentrasi 4,3 x 107 polyhedra/ml (PIB/ml) hingga volume akhir suspensi berisi 1% UV protektan. Sebanyak 10 ml suspensi dituangkan ke dalam cawan petri yang telah disediakan. Cawan petri tersebut diletakkan dalam keadaan terbuka di bawah sinar matahari langsung dengan lama penyinaran yang berbeda-beda yaitu 0, 1, 2, dan 3 jam, pada pukul 11.00, 12.00, 13.00, dan 14.00 WIB.

Daun kedelai segar berukuran 1 x 1 cm dicelupkan dalam suspensi NPV kemudian dikeringanginkan selama 30 detik. Daun kedelai tersebut kemudian dimasukkan kedalam wadah plastik yang sudah berisi larva S. litura instar tiga. Setelah pakan habis diganti dengan daun talas yang tidak diberi perlakuan dan diberikan sesuai kapasitas makan, sehingga larva tidak kekurangan pakan. Pengamatan dilakukan setiap hari selama delapan hari dan pengamatan kontrol negatif dihentikan setelah semua larva menjadi pupa.

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 Intensitas Sinar UV W/cm2) Waktu (WIB)

14 Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva yang mati akibat perlakuan. Persentase mortalitas larva dihitung dengan menggunakan rumus :

%

Keterangan :

P = Persentase mortalitas larva n = Jumlah larva yang mati N = Jumlah larva yang diuji.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam pengujian konsentrasi virus dengan ekstrak daun teh dan akar kudzu P. javanica terhadap mortalitas dan waktu kematian S. litura adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan tiga faktor sebanyak tiga ulangan setiap ulangan terdiri dari 30 larva. Faktor pertama adalah perlakuan virus dengan konsentrasi 4,35 x 107 PIBs/ml dan tanpa virus, faktor kedua ialah bahan tambahan yaitu P. javanica (0,1%, 0,5%, 1%) dan teh (1%). Perlakuan yang diberikan yaitu K (akuades, distilled H2O /dH2O), PJ 0,1%

(dH2O + ekstrak akar P. javanica), PJ 0,5% (dH2O + ekstrak akar P. javanica),

PJ 1% (dH2O + ekstrak akar P. javanica), Teh 1% (dH2O + ekstrak daun teh), V

(NPV+ dH2O), VPJ 0,1% (NPV + ekstrak akar P. javanica), VPJ 0,5% (NPV +

ekstrak akar P. javanica), VPJ 1% (NPV + ekstrak akar P. javanica), VT 1% (NPV + ekstrak daun teh). Sedangkan faktor yang ketiga yaitu waktu pemaparan di bawah sinar matahari langsung yaitu 0, 1, 2, dan 3 jam.

Analisis Data

Data selanjutnya diolah dengan menggunakan program Statistical Analisis System (SAS) for Windows versi 9.0 untuk memperoleh analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata α = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Infeksi SlNPV pada S. litura

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa inokulasi SlNPV dengan konsentrasi 4,35 x 107 PIBs/ml menyebabkan kematian hingga 100% pada hari kedelapan setelah perlakuan. Ciri-ciri larva yang tidak terinfeksi pada perlakuan tanpa menggunakan SlNPV (kontrol negatif) yaitu tubuh larva berwarna cerah, larva aktif bergerak, tubuh larva tidak lembek dan aktivitas makan normal. Gejala larva yang terinfeksi SlNPV terlihat bahwa tubuh larva berwarna pucat, larva tidak aktif bergerak, tubuh larva lembek dapat mengeluarkan cairan berwarna coklat susu yang mengandung banyak terdapat polihedra dan aktivitas makan berkurang. Kondisi ini terlihat setelah 24 jam perlakuan.

Gejala infeksi SlNPV pada larva S. litura akan terlihat setelah hari pertama perlakuan diikuti pada hari berikutnya. Dalam waktu 1 – 2 hari setelah polihedra tertelan, larva yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara morfologis, fisiologis dan perilakunya. Secara morfologis, hemolimfa ulat yang semula jernih berubah keruh, tubuh membengkak akibat replikasi atau perbanyakan partikel- partikel virus NPV, dan integumen larva biasanya menjadi lunak, rapuh, dan mudah sobek. Secara fisiologis, larva tampak berminyak dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi pucat kemerahan, terutama di bagian abdomen. Larva cenderung merayap ke pucuk tanaman, berkurangnya kemampuan makan gerakan yang lambat. Apabila tubuh larva pecah maka akan mengeluarkan cairan kental berwarna coklat susu, terdapat banyak polihedra pada tubuh serangga yang terinfeksi SlNPV, kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan kaki semunya pada bagian tanaman (Granados & Federici 1986).

Masa infeksi NPV sampai larva yang terserang mati dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur larva, suhu, dan banyaknya PIB yang tertelan. Isolat virus yang lebih virulen dapat mematikan larva dalam 2 – 5 hari, tetapi isolat yang kurang virulen membutuhkan 2 – 3 minggu untuk mematikan inangnya (Granados & William 1986).

16

Gambar 1 Polihedra SlNPV dengan perbesaran 400x.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa badan inklusi atau polihedra dapat dilihat di bawah mikroskop cahaya (Gambar 1). Polihedra dapat berbentuk dodecahedra, tetrahedral, kubus, dan tidak beraturan. Diameter polihedra berukuran 0,05 – 15,00 μm. Bentuk polihedra tergantung pada jenis serangga inang yang terinfeksi NPV (Granados & Federici 1986).

Toksisitas SlNPV terhadap Larva S. litura pada Berbagai Jenis Konsentrasi Uji pendahuluan memberikan hasil taraf konsentrasi untuk perlakuan (Tabel 1).

Tabel 1 Toksisitas SlNPV terhadap larva S. litura dengan metode perlakuan pakan (berdasarkan mortalitas kumulatif larva instar dua)

Taraf toksisitas Konsentrasi Regresi (Y) SK95(%)

LC50 (PIBs/ml) 48.6 0.835 + 0.072 31.0 – 73.5

LC95 (PIBs/ml) 4522.3 0.835 + 0.072 2280.7 – 11295.1 1

SK : Selang Kepercayaan 2

LC : Lethal concentration untuk tanggap mortalitas

Analisis probit memberikan hasil persamaan regresi yaitu Y = 8.35X + 0.72. Rata-rata kematian yang dicatat merupakan hasil pengamatan hari ketujuh setelah aplikasi. Nilai LC50 dari SlNPV adalah 4,86 x 101 PIBs/ml dan LC95 adalah 4,52

x 103 PIBs/ml (Tabel 1).

Dari hasil pengujian terhadap beberapa tingkat konsentrasi, kematian larva

tertinggi t terendah t Gambar 2 Interaksi Int diuji deng Tabel 2 Sumber Virus Ekstrak virus*ekst Jemur virus*jem ekstrak*je virus*ekst Galat Total R2 = 0,96 Coeficien V Tabe penambah waktu pe penambah terjadi pada erjadi pada 2 Rata-rata Antara Ba teraksi anta gan sidik rag Sidik ragam dan ekstrak trak mur emur trak*jemur Variation = 22, el di atas han ekstrak njemuran, han ekstrak a konsentras 4,3 x 103 P a kematian S ahan Camp ara bahan c gam (Tabel m interaksi k) dan waktu Db 1 4 4 3 3 12 12 20 39 ,44% menunjukk k, pengguna penggunaa dan laman si 4,3 x 107 IBs/ml sebe S. litura pad puran Ekstr campuran e 2). antara perl u penjemur JK 929.63 57.12 57.12 42.70 42.70 72.55 72.55 27.00 1301.3 kan adanya aan SlNPV an SlNPV nya waktu 7 PIBs/ml se esar 22 % (G da berbagai

Dokumen terkait