Pengertian Kinerja
Kinerja berasal dari pengertian performance.Performance ialah hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja, tetapi termasuk berlangsungnya proses pekerjaan.
Kinerja adalah hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen, dan memberikan kontribusi pada ekonomi (Armstrong dan Baron, 1998). Kinerja ialah cara melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Jadi Kinerja ialah hal-hal yang dikerjakan dan cara mengerjakannya.
Menurut Mangkunegara dan Prabu, (2000), “kinerja (prestasi kerja) ialah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.” Menurut Sulistiyani (2003), “kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dinilai dari hasil kerjanya.”
Bernadin dan Russel (Sulistiyani, 2003) menjelaskan bahwa kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Gibson et al., (2002) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil yang diinginkan dari perilaku, dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi.
Menurut John Whitmore (Wibowo, 2007), “kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang, kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan.” Menurut Barry Cushway (Wibowo, 2007), “Kinerja adalah menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah ditentukan.” Veizal Rivai (Suprasta, 2005) mengemukakan bahwa kinerja “merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.”
Robert L. Mathis dan John H. Jackson (Wibowo, 2007), menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah hal-hal yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan.” Menurut John Witmore (Wibowo, 2007), “kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan.” Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi. Kinerja dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mink (Wibowo, 2007) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang kinerjanya tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu: (a) berorientasi pada prestasi, (b) percaya diri, (c) berpengendalian diri dan (d) kompeten.
Siagian (2002) mengemukakan rumus P = f (M, K, T); P adalah
performance atau kinerja, M adalah motivasi, K adalah kemampuan dan T adalah tugas yang tepat. Menurut Simanjuntak (2003), kinerja individu adalah tingkat pencapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, sedangkan kinerja organisasi adalah tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang harus dicapai oleh organisasi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Rahman dan Muh Azis (Sedarmayanti, 2001) juga memberikan definisi tentang kinerja, yaitu “prestasi yang dicapai seseorang, sekelompok orang atau lembaga berkaitan dengan posisi dan peran yang dimilikinya.”
Murdijanto dan Sularso (2004) menyatakan kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Prawirosentono (2007) mendefenisikan kinerja sebagai hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Untuk mengukur kinerja suatu organisasi,
digunakan beberapa faktor, yakni: effective dan efficient, authority dan
responsibility baik secara moral etik maupun secara hukum discipline dan
initiative.
Menurut Sedarmayanti (2001), “performance” yang diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja atau tindakan, untuk kerja dan penampilan kerja.” Menurut Robbins (Veithzal, 2004) kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability
(A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = f (A, M, O). Artinya: kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan. Jadi, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan.
Hasibuan (2001) menyatakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu.
Manajemen Kinerja
Kinerja juga dapat dilihat dari sisi manajemen. Hal ini sesuai dengan pendapat Simanjuntak (2003), yang menjelaskan bahwa: “manajemen kinerja adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja organisasi, termasuk kinerja setiap individu dan kelompok kerja. Kinerja individu dan kinerja kelompok dipengaruhi oleh banyak faktor intern dan ekstern organisasi.”
Menurut Wibowo (2007), manajemen kinerja adalah manajemen tentang menciptakan hubungan dan memastikan komunikasi yang efektif. Manajemen kinerja memfokuskan pada apa yang diperlukan oleh organisasi, manajer dan pekerja untuk berhasil. Manajemen kinerja adalah bagaimana kinerja dikelola untuk memperoleh sukses.
Bacal (2004) memandang manajemen kinerja sebagai proses komunikasi
yang dilakukan secara terus-menerus dalam kemitraan antara karyawan dengan atasan langsungnya. Proses komunikasi ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Proses
komunikasi merupakan suatu sistem, memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikutsertakan, apabila manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan.
Armstrong (2004) melihat manajemen kinerja sebagai sarana untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, tim dan individu dengan cara memahami dan mengelola kinerja dalam suatu kerangka tujuan, standar dan persyaratan-persyaratan atribut yang disepakati.
Armstrong dan Baron (1998) berpandangan bahwa manajemen kinerja adalah pendekatan strategis dan terpadu untuk menyampaikan sukses berkelanjutan pada organisasi dengan memperbaiki kinerja karyawan yang bekerja di dalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas tim dan kontributor individu. Mereka mengutip pendapat Fletcher yang menyatakan manajemen kinerja adalah pendekatan menciptakan visi bersama tentang maksud dan tujuan organisasi, membantu karyawan memahami dan mengenal bagiannya dalam memberikan kontribusi, dalam melakukannya, mengelola, dan meningkatkan kinerja baik individu maupun organisasi.
Menurut Schwartz (1999), manajemen kinerja ialah gaya manajemen yang berdasarkan komunikasi terbuka antara manajer dan karyawan dalam penetapan tujuan, memberikan umpan balik, baik, dari manajer kepada karyawan maupun sebaliknya dari karyawan kepada manajer, maupun penilaian kinerja.
Costello (1994) menyatakan bahwa manajemen kinerja merupakan dasar dan kekuatan pendorong yang berada di belakang semua keputusan organisasi, usaha kerja dan alokasi sumberdaya.
Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan organisasi untuk dicapai. Tujuan organisasi dapat berupa perbaikan pelayanan pelanggan, pemenuhan permintaan pasar, peningkatan kualitas produk atau jasa, meningkatnya daya saing, dan meningkatnya kinerja organisasi. Setiap organisasi, tim atau individu dapat menentukan tujuannya sendiri.
Pencapaian tujuan organisasi menunjukkan hasil kerja atau prestasi kerja organisasi dan menunjukkan sebagai kinerja atau performa organisasi. Hasil kerja organisasi diperoleh dari serangkaian aktivitas yang dijalankan organisasi.
Aktivitas organisasi dapat berupa pengelolaan sumberdaya organisasi maupun proses pelaksanaan kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk menjamin agar aktivitas tersebut dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan upaya manajemen dalam pelaksanaan aktivitasnya. Hakekat manajemen kinerja adalah bagaimana mengelola seluruh kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Manajemen kinerja memberikan manfaat bukan hanya bagi organisasi, tetapi juga manajer, dan individu. Manfaat manajemen kinerja bagi organisasi
antara lain adalah: menyesuaikan tujuan organisasi dengan tujuan tim dan individu, memperbaiki kinerja, memotivasi pekerja, meningkatkan komitmen, mendukung nilai-nilai inti, memperbaiki proses pelatihan dan pengembangan, meningkatkan dasar keterampilan, mengusahakan perbaikan dan pengembangan berkelanjutan, mengusahakan basis perencanaan karier, membantu menahan pekerja terampil untuk tidak pindah, mendukung inisiatif kualitas total dan pelayanan pelanggan dan mendukung program perubahan budaya.
Manfaat manajemen kinerja bagi manajer antara lain berupa: mengusahakan klarifikasi kinerja dan harapan perilaku, menawarkan peluang menggunakan waktu secara berkualitas, memperbaiki kinerja tim dan individual, mengusahakan penghargaan nonfinansial pada staf, mengusahakan dasar untuk membantu pekerja yang kinerjanya rendah, digunakan untuk mengembangkan individu, mendukung kepemimpinan, proses motivasi dan pengembangan tim, mengusahakan kerangka kerja untuk meninjau kembali kinerja dan tingkat kompetensi.
Manfaat manajemen kinerja bagi individu adalah: memperjelas peran dan tujuan, mendorong dan mendukung untuk tampil baik, membantu mengembangkan kemampuan dan kinerja, peluang menggunakan waktu secara berkualitas, dasar objektivitas dan kejujuran untuk mengukur kinerja, dan menformulasi tujuan dan rencana perbaikan cara bekerja dikelola dan dijalankan.
Menurut Costello (1994), manajemen kinerja mendukung tujuan menyeluruh organisasi dengan mengaitkan pekerjaan dari setiap pekerja dan manajer pada misi keseluruhan dari unit kerjanya. Seberapa baik kita mengelola kinerja bawahan akan secara langsung memengaruhi tidak hanya kinerja
masing-masing pekerja secara individu dan unit kerjanya, tetapi juga kinerja seluruh organisasi.
Pekerja perlu memahami dengan jelas tentang apa yang diharapkan dari mereka dan mendapat dukungan yang diperlukan untuk memberikan kontribusi pada organisasi secara efisien dan produktif, maka pemahaman akan tujuan, harga diri dan motivasinya akan meningkat. Manajemen kinerja memerlukan kerjasama, saling pengertian, dan komunikasi secara terbuka antara atasan dan bawahan. Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui deviasi dari rencana yang telah ditentukan selama pelaksanaan pekerjaan, atau apakah pekerjaan dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan.
Pengukuran kinerja membutuhkan kemampuan untuk mengukur kinerja sehingga diperlukan adanya ukuran kinerja. Pengukuran kinerja dapat dilakukan terhadap kinerja yang nyata dan terukur. Untuk memperbaiki kinerja, perlu diketahui seperti apa kinerja saat ini. Apabila deviasi kinerja dapat diukur, dapat diperbaiki.
Menurut Casio (1992), pengukuran kinerja merupakan proses mengevaluasi capaian karyawan dalam rangka mengembangkan potensi karyawan tersebut. Pengukuran kinerja adalah proses mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode tradisional atau metode modern. Pengukuran tradisional, antara lain dengan rating scale dan
employee comparison, sedangkan pengukuran dengan menggunakan metode modern, antara lain dengan management by objective dan assessment centre. Menurut Kreitner dan Kinicki (2001), orang yang melakukan pengukuran kinerja perlu memenuhi persyaratan di antaranya: (a) dalam posisi mengamati perilaku dan kinerja yang menjadi kepentingan individu, (b) mampu memahami dimensi atau gambaran kinerja, (c) mempunyai pemahaman tentang format skala dan instrumennya, dan (d) harus termotivasi untuk melakukan pekerjaan rating secara sadar.
Thor (Armstrong & Baron, 1998) mengemukakan ada tiga dasar pengembangan ukuran kinerja sebagai alat peningkatan efektivitas organisasi, yaitu: (a) apa yang diukur semata-mata ditentukan oleh apa yang dipertimbangkan penting oleh pelanggan, (b) kebutuhan pelanggan diterjemahkan menjadi prioritas strategis dan rencana strategis mengindikasikan apa yang harus diukur dan (c) memberikan perbaikan kepada tim dengan mengukur hasil dari prioritas strategis, memberi kontribusi untuk perbaikan lebih lanjut dengan mengusahakan motivasi tim, dan informasi tentang apa yang berjalan dan tidak berjalan.
Tujuan ukuran kinerja adalah memberikan bukti apakah hasil yang diinginkan telah dicapai atau belum dan apakah muatan yang terdapat di tempat pekerja memproduksi hasil tersebut. Fokus dan isi ukuran kinerja bervariasi di antara berbagai pekerjaan.
Menurut Armstrong dan Baron (1998), ukuran kinerja adalah alat ukur yang obyektif sehingga diperlukan adanya kriteria yang sama. Kriteria yang sama akan memberikan hasil yang dapat diperbandingkan secara obyektif dan adil. Kriteria ukuran kinerja adalah: (a) dikaitkan dengan tujuan strategis dan mengukur sesuatu yang secara organisasional penting dan mendorong kinerja; (b) relevan dengan sasaran dan akuntabilitas tim dan individu; (c) fokus pada output
yang terukur; (d) fokus pada data yang tersedia sebagai dasar pengukuran; (e) dapat diverifikasi; (f) hasil pengukuran dijadikan dasar untuk umpan balik dan tindakan; serta (h) bersifat komprehensif, mencakup semua aspek kinerja.
Karakteristik ukuran kinerja adalah (a) secara akurat mengukur peubah kunci kinerja; (b) termasuk basis komparasi untuk membantu pemahaman yang lebih baik yang ditunjukkan tingkat kinerja; (c) dikumpulkan dan didistribusikan berdasarkan waktu; (d) dapat dianalisis secara makro dan mikro; dan (e) tidak mudah dimanipulasi untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Pedoman mendefinisikan ukuran kinerja adalah sebagai berikut: (a) ukuran harus berhubungan dengan hasil dan perilaku yang diamati; (b) hasilnya harus dalam jangkauan pengawasan tim atau individu, dan berdasarkan target yang disepakati; (c) kompetensi yang merupakan persyaratan perilaku harus didefinisikan dan disepakati; (d) data harus tersedia untuk pengukuran dan (e) ukuran harus obyektif. (Armstrong & Baron, 1998)
Indikator Kinerja Penyuluh Pertanian
Departemen Pertanian menyatakan ada sembilan indikator kinerja (patokan kerja) penyuluhan pertanian dalam memotivasi dan membangun profesionalisme penyuluh pertanian. Kesembilan indikator kinerja (patokan kerja) penyuluhan pertanian tersebut, yaitu: (1) tersusunnya programa penyuluhan pertanian di tingkat BPP/Kecamatan sesuai dengan kebutuhan petani, (2) tersusunnya kinerja penyuluh pertanian di wilayah kerja masing-masing, (3) tersusunnya peta wilayah komoditas unggulan spesifik lokasi, (4) terdiseminasinya informasi dan teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, (5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, usaha/asosiasi petani dan usaha formal (koperasi dan kelembagaan lainnya), (6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha yang saling menguntungkan, (7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, (8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditi unggulan di masing-masing wilayah kerja dan (9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani di masing-masing wilayah kerja.
Kesembilan indikator kinerja penyuluhan pertanian tersebut, dilengkapi dengan sembilan alat verifikasi, yaitu: (1) naskah programa penyuluhan pertanian di BPP kabupaten/kota, provinsi dan nasional, (2) naskah rencana kerja penyuluhan pertanian di BPP kabupaten/kota, provinsi dan nasional, (3) peta wilayah perkembangan komoditas unggulan spesifik lokasi, (4) materi informasi teknologi pertanian sesuai dengan kebutuhan petani, (5) jumlah kelompok tani, usaha/asosiasi petani yang berkembang menjadi koperasi dan lembaga formal lainnya, (6) jumlah petani/kelompok tani yang sudah menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan pengusaha, (7) jumlah petani yang sudah mengakses lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, (8) produksi persatuan skala usaha untuk komoditas unggulan di masing-masing wilayah kerja dan (9) pendapatan dan kesejahteraan petani di masing-masing wilayah kerja.
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparat Negara No.9/KEP/MK.Waspan/5/1999, tugas pokok penyuluh pertanian adalah: (1) menyiapkan penyuluhan yang meliputi identifikasi potensi wilayah agroekosistem, penyusunan programa penyuluhan pertanian dan penyusunan rencana kerja penyuluhan pertanian; (2) melaksanakan penyuluhan meliputi penyusunan materi penyuluhan pertanian, penerapan metode penyuluhan pertanian dan pengembangan keswadayaan masyarakat; (3) evaluasi dan pelaporan penyuluhan; (4) pengembangan penyuluhan meliputi penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyuluhan pertanian, perumusan kajian arah kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian dan pengembangan metode dan sistem kerja penyuluhan pertanian; (5) pengembangan profesi penyuluhan meliputi penyusunan karya tulis ilmiah penyuluhan pertanian, penerjemahan atau penyaduran buku penyuluhan pertanian dan bimbingan penyuluh pertanian dan (6) penunjang penyuluhan meliputi seminar dan lokakarya penyuluhan pertanian serta mengajar pada diklat bidang penyuluhan.
Spencer dan Spencer (1993) berpendapat dalam rangka menghasilkan kinerja yang baik, kompetensi dibagi menjadi dua yaitu treshold competency dan
differentiating competency. Treshold competency merupakan suatu kompetensi dasar yang wajib dimilki suatu individu dalam suatu organisasi, sedangkan
differentiating competency adalah kompetensi bidang yang merupakan karakteristik pribadi yang spesifik dengan bidang pekerjaan yang dilaksanakan serta pengetahuan dan keterampilan yang relevan dimana lebih bersifat teknis. Kompetensi dasar (treshold competency) yang dimaksud adalah (1) integritas, (2) kepemimpinan, (3) perencanaan dan pengorganisasian, (4) kerjasama dan (5) fleksibilitas.
Berdasar konsep kinerja dan tugas-tugas penyuluh, maka penyuluh dikatakan memiliki kinerja yang baik apabila bisa melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Kondisi ini ditunjukkan oleh perubahan perilaku petani ke arah yang lebih baik dan kepuasan petani terhadap pelayanan yang diberikan oleh penyuluh. Ciri-ciri kinerja penyuluh yang bermutu dan kinerja penyuluh yang cenderung kurang berhasil disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri-ciri kinerja penyuluh yang bermutu dan yang cenderung kurang berhasil
Aspek Kinerja Kinerja Penyuluh yang Bermutu
Kinerja Penyuluh yang Cenderung Kurang Berhasil
Persiapan Penyuluhan
(1) Tersusunnya rumusan hasil pengumpulan data potensi wilayah dan agroekosistem tepat waktu
(2) Tersedianya rumusan hasil kebutuhan teknologi spesifik lokasi sesuai dengan kebutuhan petani (3) Programa penyuluhan
tersusun dengan jelas, terukur dan mengakomodir kebutuhan petani
(4) Rencana kerja penyuluh tersusun dengan jelas, terukur dan terealisasi setiap tahunnya
(1) Rumusan hasil pengumpulan data potensi wilayah dan agroekosistem tidak tersusun tepat waktu
(2) Rumusan hasil kebutuhan teknologi spesifik lokasi kurang sesuai dengan kebutuhan petani
(3) Programa penyuluhan yang disusun kurang jelas, sulit diukur dan cenderung mengakomodir program-program pusat
(4) Rencana kerja penyuluh kurang disusun secara jelas, tidak terukur dan kurang bisa direalisasikan setiap tahunnya Pelaksanaan
Penyuluhan
(1) Materi Penyuluhan disusun dan disajikan sesuai dengan kebutuhan petani, dalam bentuk dan bahasa yang mudah dipahami petani
(2) Penerapan metode penyuluhan bervariasi dan sesuai dengan karakteristik petani
(3) Berkembangnya kelompok tani menjadi kelompok yang lebih besar terkait dengan pengembangan usahataninya.
(1) Materi Penyuluhan cenderung dari program pusat dan kurang bisa dipahami petani
(2) Penerapan metode penyuluhan monoton dan kurang sesuai dengan karakteristik petani (3) Kelompok tani kurang
berkembang dalam meningkatkan usahataninya. Evaluasi dan Pelaporan Penyuluhan (1) Setiap melaksanakan kegiatan penyuluhan selalu dibuat pelaporan dan evaluasi hasilnya (2) Evaluasi dampak
penyuluhan dilakukan setiap dua tahun sekali
(1) Tidak semua kegiatan dibuat pelaporan dan evaluasi hasilnya
(2) Evaluasi dampak penyuluhan tidak pernah dilakukan
Pengembangan Penyuluhan
(1) Tersusunnya pedoman teknis dan pelaksanaan penyuluhan untuk acuan penyuluhan dalam melaksanakan tugasnya (2) Adanya rumusan hasil
kajian arah kebijakan
(1) Penyuluh kurang terlibat dalam penyusunan pedoman penyuluhan
(2) Penyuluhan kurang bahkan tidak pernah melakukan kajian arah kebijakan penyuluhan (3) Penyuluhan kurang bahkan
Aspek Kinerja Kinerja Penyuluh yang Bermutu
Kinerja Penyuluh yang Cenderung Kurang Berhasil
penyuluhan
(3) Adanya rumusan hasil konsep baru metode penyuluhan
tidak pernah menghasilkan rumusan konsep baru metode penyuluhan
Pengembangan Profesi
Penyuluhan
(1) Penyuluh selalu
menghasilkan karya tulis ilmiah bidang penyuluhan (2) Penyuluh selalu
menghasilkan karya tulis ilmiah bidang penyuluhan (3) Penyuluh selalu
menghasilkan saduran dan terjemahan bidang
penyuluhan
(1) Karya tulis ilmiah bidang penyuluhan jarang dihasilkan dan bahkan tidak pernah (2) Jarang menghasilkan karya
tulis ilmiah populer bidang penyuluhan dan bahkan tidak pernah
(3) Kurang atau bahkan tidak pernah melakukan penyaduran dan penerjemahan di bidang penyuluhan
Penunjang penyuluhan
(1) Sering mendapat kesempatan mengikuti kegiatan seperti seminar, lokakarya dan pelatihan bidang penyuluhan (2) Sering mendapat
kesempatan mengajar pada diklat terkait dengan bidang penyuluhan (3) Sering mendapat
penghargaan atas prestasi kerjanya
(1) Kesempatan mengikuti kegiatan seperti seminar, lokakarya dan pelatihan bidang penyuluhan terbatas (2) Kesempatan mengajar pada diklat terkait dengan bidang penyuluhan terbatas
(3) Kurang atau bahkan tidak pernah mendapat penghargaan atas prestasi yang diraihnya
Menurut Rennekamp (1999), uraian tugas dan tanggungjawab penyuluh pertanian yang dijadikan indikator kinerja adalah sebagai berikut:
(1) Penetapan Program (program determination); terdiri atas: (a) menganalisis situasi dan menetapkan prioritas, (b) pengembangan hubungan dengan publik secara formal/informal, (c) inventarisasi kebutuhan dan aset, (d) mengidentifikasi peluang program, (e) membuat prioritas, (f) programa penyuluhan wilayah, menumbuhkan komitmen masyarakat, mengidentifikasi kolaborasi dan (g) menyusun situasi wilayah kerja
(2) Penyusunan rencana kerja tahunan; terdiri atas: (a) menetapkan hasil atau
outcomes yang diharapkan, (b) kriteria kesuksesan dan (c) mengidentifikasi pengalaman belajar yang direkomendasikan oleh penelitian dan pengalaman. (3) Evaluasi dan akuntabilitas; terdiri atas: (a) pengumpulan data tentang
hitungan input yang digunakan, aktivitas yang dilakukan, catatan kehadiran peserta dan karakteristik peserta (partisipasi), reaksi atau perasaan peserta
terhadap program dan (b) mengukur sejauh mana efektivitas program dalam memproduksi outcome yang diharapkan. Outcome adalah benefit bagi orang lain seperti pengetahuan baru, perubahan perilaku.
Deborah et al., (2002) memperkenalkan sebelas kompetensi inti yang perlu dikuasai penyuluh pertanian dalam menghasilkan kinerja yang baik, kompetensi inti tersebut adalah sebagai berikut: (1) proses aksi sosial, yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi dan memonitor variabel-variabel dan isu-isu penting bagi vitalitas masyarakat contohnya demografis, ekonomi, pelayanan manusia, lingkungan, dll serta kemampuan untuk menggunakan dan menerapkan peubah-peubah dalam memprioritaskan program, perencanaan dan penyerahan; (2) keanekaragaman, yaitu kesadaran, komitmen, dan kemampuan termasuk rasa memiliki seperti juga budaya yang berbeda, asumsi-asumsi, norma-norma, kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai; (3) program pembelajaran, yaitu kemampuan merencanakan, desain, penerapan, mengevaluasi, menghitung, dan menjual program pendidikan penyuluhan untuk memperbaiki mutu hidup pelajar penyuluhan; (4) berkomitmen, yaitu kemampuan untuk mengenali, memahami, dan memudahkan peluang dan sumberdaya yang diperlukan untuk merespons dengan baik terhadap kebutuhan individu atau masyarakat; (5) penyampaian informasi dan pendidikan, yaitu penguasaan keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan, penerapan teknologi, dan metode-metode pengantara untuk mendukung program-program pendidikan dan memandu perubahan perilaku terhadap sasaran penyuluhan; (6) hubungan interpersonal, yaitu kemampuan berinteraksi secara baik dengan individu dan kelompok-kelompok yang berbeda untuk membangun kemitraan, jaringan dan sistem yang dinamis antara individu; (7) pengetahuan tentang organisasi, yaitu pemahaman terhadap sejarah, filosofi, dan sifat zaman dari penyuluhan; (8) kepemimpinan, yaitu kemampuan untuk memengaruhi individu dan kelompok secara positif; (9) manajemen organisasi, yaitu kemampuan membangun struktur, mengorganisasi proses, mengembangkan dan memonitor sumberdaya, dan memimpin perubahan untuk mencapai hasil-hasil pembelajaran secara efektif dan efisien; (10) profesionalisme, yaitu menunjukkan perilaku yang merefleksikan kinerja yang tinggi, etos kerja yang kuat, komitmen pada pendidikan yang berkelanjutan dengan visi, misi dan target penyuluhan; dan
(11) keahlian teknis, yaitu penguasaan terhadap disiplin ilmu, atau pengetahuan spesifik yang berguna, efektivitas individu dan organisasi.
Komponen Kinerja Penyuluh Pertanian