• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahan pasang surut adalah lahan yang sepanjang tahun atau selama waktu

panjang dalam setahun tergenang air (waterlogged). Di lahan ini sering ditemui

tumbuhan (pohon, gelagah, rumput dan tumbuhan akuatik) dan genangannya

secara relatif dangkal dan menggenang (stagnant) dan tanah dasarnya lumpur

(Notohadiprawiro1996). Lahan ini berpotensi untuk dijadikan persawahan. Pada kondisi alami tanah-tanah pada lahan pasang surut merupakan tanah jenuh air atau tergenang dangkal, sepanjang tahun atau dalam waktu yang lama, beberapa bulan dalam setahun. Tanah ini dicirikan oleh kondisi aquik, yakni mengalami penjenuhan air dan reduksi secara terus-menerus atau periodik(Soil Survey Staff 1999). Proses pembentukan tanah yang dominan adalah

pembentukan horison tanah tereduksi berwarna kelabu-kebiruan (proses gleisasi)

dan pembentukan lapisan gambut di permukaan. Bentuk wilayah lahan pasang

surut sangat rata (flat) dengan ketinggian tempat sekitar 0-0.5 m dpl di pinggir

laut sampai sekitar 5 m dpl di wilayah lebih ke pedalaman.

Ada dua jenis tanah yang terbentuk di daerah ini, yaitu tanah gambut (peat

soils), dan tanah mineral basah (wet mineral soils). Tanah mineral yang terdapat di wilayah ini merupakan endapan bahan halus, berupa debu halus dan lumpur yang diendapkan air pasang ditambah dengan bahan aluvium yang dibawa ke muara oleh air sungai. Oleh karena itu, tanah yang terbentuk semuanya merupakan tanah aluvial basah yang di permukaannya terdapat lapisan gambut tipis (<20 cm), atau agak tebal, antara 20-50 cm. Yang terakhir ini disebut tanah

mineral-bergambut (peaty-soils). Jika ketebalan lapisan gambut sudah melebihi

50 cm sudah termasuk tanah gambut.

Pada sistem klasifikasi, tanah aluvial yang selalu jenuh air disebut Aluvial

Hidromorf, dan yang relatif agak kering tidak selalu basah hanya disebut Aluvial. Tanah aluvial yang memiliki lapisan gambut tipis (<20 cm) di permukaan, disebut

Glei Humus Rendah; sedangkan yang lapisan gambutnya agak tebal (20-50 cm),

disebut Glei Humus. Sementara tanah gambut disebut Organosol. Dalam

termasuk dalam (ordo) Entisols, atau Inceptisols; sedangkan tanah gambut disebut Histosols.

Lahan pasang surut merupakan ekosistem dengan karakteristik yang tidak stabil dan selalu berubah sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan. Kesalahan dalam mengelola lahan ini, berdampak terhadap perubahan karakteristik ke arah

negatif dan irreversibleyang menimbulkan kendala dalam pengembangan.

Kendala yang harus diperhatikan dalam menyusun pola pemanfaatan, rencana pengembangan serta teknik pengelolaan air dan tanah lahan rawa, antara lain adalah lama dan kedalaman genangan air, serta kualitas airnya; ketebalan dan kematangan gambut; kedalaman lapisan pirit, kandungan hara yang rendah serta kemasaman total potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya; pengaruh luapan atau intrusi air asin/payau; dan tinggi muka air tanah dan keadaan substratum lahan, apakah endapan sungai, laut atau pasir kuarsa (Subagjo &Widjaja-Adhi 1998). .

Lahan rawa dapat dikembangkan dengan menerapkan teknologi pengelolaan yang tepat, yang bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya lahan rawa secara optimal. Teknologi pengelolaan lahan rawa meliputi: pengelolaan air; penataan lahan; pengolahan tanah; ameliorasi dan pemupukan; pola tanam dan cara budidaya; pengendalian hama dan penyakit; mekanisasi; dan aspek pendukung lainnya.

Sistem Tata Air

Fluktuasi muka air di sungai dan saluran karena gerakan pasang surut, serta fluktuasi curah hujan menyebabkan proses pengelolaan tata air di daerah pasang surut menjadi sulit, yaitu antara keinginan membuang air (drainase) dan keinginan tetap menjaga muka air tanah untuk kelembaban dan suplai air (irigasi). Sehingga pengelolaan tata air di lahan ini dibedakan antara pengelolaan tata air

makro (canal water management) dan tata air mikro (on farm water

management). Sistem tata air di daerah ini juga dipengaruhi oleh kondisi hidrolik di sekelilingnya, yaitu gerakan air disungai yang meliputi fluktuasi pasang surut, fluktuasi muka air karena pengaruh musim (musim hujan dan kemarau), intrusi air laut serta pengaruh aliran yang berasal dari lahan. Sehingga sistem irigasi teknis

9 hanya dapat dikembangkan untuk daerah yang tidak pernah tergenangi air pada

saat pasang rendah (neaptide) maupun saat pasang tinggi (springtide). Hanya saja

petani daerah lahan rawa beririgasi teknis ini umumnya masih menggunakan padi varietas lokal berumur panjang sehingga keperluan airnya mengikuti pola pertumbuhan padi tersebut, walaupun daerah ini dapat dilakukan pengaturan air dengan baik dari sistem irigasi teknis yang ada.

Pengelolaan air di lahan pasang surut umumnya mengikuti pergerakan air secara alami (hidrotopografi). Secara umum ada wilayah yang masih terendam

ketika pasang tinggi (springtide) dan tidak digenangi air atau air di bawah

permukaan tanah ketika pasang rendah (neaptide). Pertumbuhan padi mengikuti

surutnya air hingga pada saat panen air di lahan semakin sedikit, hingga memasuki musim kemarau. Pada saat musim kemarau ini lahan diberakan hingga air laut atau sungai yang mempengaruhinya mulai pasang. Seperti halnya yang terjadi di lahan pasang surut di wilayah Barito Kuala Kalimantan Selatan, pada musim kemarau jumlah air yang terevaporasi lebih besar dibanding dengan curah hujannya, yaitu pada bulan Juni hingga Oktober, besarnya evaporasi mendekati 150 mm sedangkan curah hujan 100 mm (Lemlit Unlam 2004).

Persoalan utama yang dihadapi ketika musim kemarau adalah terjadi evaporasi pada permukaan tanah dapat menyebabkan akumulasi garam-garam

beracun dari horison bawah oleh pergerakan kapiler ke atas (Minh et al. 1998).

Kecepatan kapiler keatas di kontrol oleh kondisi iklim, kedalaman muka air tanah dan sifat-sifat fisik tanah. Pengelolaan air seperti pemeliharaan muka air tanah dangkal dan mengurangi kapileritas ke atas dapat digunakan untuk mengurangi akumulasi unsur beracun di permukaan tanah selama musim kemarau, sehingga lahan masih bisa dimanfaatkan.

Kemasaman Tanah dan Kelarutan Unsur-unsur Beracun

Pemasaman tanah mineral di lahan rawa pasang surut disebabkan oleh oksidasi pirit dan kemudian meningkatnya kandungan Fe dan Al yang dapat meracuni tanaman. Pirit terbentuk pada keadaan reduksi dalam endapan laut di dekat pantai dengan kandungan bahan organik tinggi. Bahan ini bersifat stabil pada suasana lingkungan pembentukannya. Subagjo (2006) menjelaskan bahwa

penurunan air tanah yang menyebabkan tereksposnya pirit ke lingkungan yang aerob, dan mengalami oksidasi, menghasilkan asam sulfat dan senyawa besi bebas

bervalensi 3 (Fe3+). Hasil akhirnya merupakan tanah bereaksi masam ekstrim

(pH <3.5), dan banyak mengandung sulfat (SO4-2), besi bervalensi 3 (Fe3+), dan

aluminium (AI3+

Tanah di lahan pasang surut mengandung mineral-mineral yang telah mengalami pelapukan lanjut sehingga yang banyak ditemukan dalam tubuh tanah adalah unsur-unsur lambat dan/atau tidak larut, sedangkan unsur-unsur yang

). Tanah bereaksi masam ekstrim yang banyak mengandung

sulfat ini disebut tanah sulfat masam aktual (actual acid sulphate soils).

Sebaliknya, tanah yang mengandung pirit belum teroksidasi, mempunyai reaksi tanah agak masam (pH 4.6-5.5), tetapi berpotensi akan menjadi ekstrim masam

bila mengalami drainase, disebut tanah sulfat masam potensial (potential acid

sulphate soils).

Permasalahan ini hingga kini diatasi dengan cara mempertahankan kondisi reduksi (dengan sistem irigasi) dan/atau pemberian amelioran berupa kapur atau bahan organik. Penggunaan kapur dimaksudkan untuk menaikan pH tanah sehingga menekan kelarutan unsur-unsur yang beracun bagi tanaman. Namun efesiensi pengapuran di daerah pasang surut sangat rendah hingga rendah karena sebagian dari bahan kapur tercuci oleh pasang surutnya air. Noor (1996) mengemukakan bahwa pengapuran di daerah pasang surut berpirit melebihi 2 ton/ha. Pemberian bahan organik sebagai bahan amelioran merupakan salah satu alternatif yang mungkin dapat dilakukan di lahan rawa pasang surut. Hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan bahan organik adalah tingkat dekomposisi bahan ini, bahan organik yang telah terdekomposisi sempurna akan mengurangi penurunan potensial reduksi dan meningkatkan kemampuan dalam mengkelasi unsur-unsur yang beracun. Namun sebaliknya, jika bahan organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna seperti pengembalian sisa jerami padi yang masih segar dapat memberikan efek terhadap menurunnya potensial reduksi lahan yang berakibat meningkatnya kelarutan besi-ferro yang dapat meracuni tanaman (Ammari2005).

11 mudah larut yang merupakan unsur-unsur esensial bagi tanaman seperti K, Ca dan Mg di lahan ini mudah tercuci dan meninggalkan tubuh tanah. Sumber hara yang tersisa pada lahan ini pada umumnya berasal dari bahan organik atau intrusi garam dari laut dengan kandungan yang rendah dan relatif lambat tersedia. sehingga tanah di daerah ini umumnya tidak subur. Tabel 1 di bawah ini menyajikan sifat kimia tanah daerah pasang surut di desa Terantang Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan.

Tabel 1. Sifat kimia tanah daerah pasang surut desa Terantang Kabupaten Barito

Kuala Kalimantan Selatan(Lemlit Unlam 2004)

Parameter Nilai Status

C (%) 3.54 - 4.18 Tinggi

N (%) 0.21- 0.30 Sedang

C/N 14.76 -20,55 Sedang-tinggi

P2O5 Bray I (ppm) 15.07 -28.84 Sedang-tinggi

P2O5 HCl 25% (me/100g) 26.68 – 203.00 Sedang-sangat tinggi

K2O HCl 25% (me/100g) 1.22 - 3.77 Sangat rendah

pH H2O 2,91 - 3.61 Sangat masam

Ca-dd (me/100g) 4.58 - 7.86 Rendah-sedang

Mg-dd (me/100g) 0.14 - 0.24 Sangat rendah

Na-dd (me/100g) 0.66 - 1.01 Sedang-sangat tinggi

K-dd (me/100g) 0.23 – 0.28 Sedang

KTK (me/100g) 29.16 – 42.29 Tinggi-sangat tinggi

KB (me/100g) 13.22 - 30.29 Rendah

Usaha untuk memenuhi kebutuhan padi adalah dengan pemberian pupuk anorganik. Padi unggul di daerah ini membutuhkan 200-250 kg Urea/ha, 100-200 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha(Lemlit Unlam 2004). Kondisi pasang surutnya air dipersawahan menyebabkan cepatnya hilangnya hara yang diberikan dari daerah perakaran padi. Sebagian besar N hilang melalui proses pencucian, volatilisasi dan denitrifikasi. Sementara ketersediaan hara P rendah disebabkan terfiksasi kuat unsur oleh Al dan Fe pada pH yang masam hingga sangat masam,

Havlin et al. (1999) menjelaskan bahwa keberadaan hara P dalam tanah akan

terikat pada Al dan/atau Fe dan mengendap dalam tanah ketika pH tanah di bawah 6.5. Demikian juga ketersediaan K yang sangat mobil menyebabkan mudah tercucinya hara ini dari daerah perakaran.

Budidaya Padi SRI

Budidaya padiSRI pertama kali dikemukakan oleh Henri de Laulanie di

Madagaskar pada tahun 1983 dengan nama “le system de riziculture intensive”.

Budidaya padi SRI merupakan suatu rangkaian prinsif dan suatu rangkaian mekanisme biofisikal. Metode ini pertama kali dilakukan di lahan kering Madagaskar daerah humid dengan curah hujan 1000 hingga > 2000 mm. Sifat tanah yang dimiliki daerah tersebut adalah pH rendah, KTK rendah, P tersedia rendah dan konsentrasi Fe dan Al larut tinggi. Produksi pada budidaya SRI yang diperoleh 7-15 ton/ha, sementara hasil padi secara nasional di Madagaskar pada waktu itu berkisar 2 ton/ha (Stoop et al. 2002).

Prinsip utama budaya padi metode SRI adalah (1) meningkatkan kualitas persemaian yang dikelola secara hati-hati, (2) menanam bibit muda berumur 8-15 hari saat bibit masih berdaun 2 helai, tanam satu bibit per satu titik tanam dengan

jarak tanam ≥ 25 cm x 25 cm, pindah tanam harus segera mungkin (kurang 30

menit) dan harus hati-hati agak akar tidak putus dan ditanam dangkal, (3) irigasi

terputus (intermittent) untuk menghindari penggenangan permanen selama fase

pertumbuhan vegetatif, (4) pemupukan, terutama dalam bentuk organik seperti kompos sebagai pengganti pupuk kimia, dan (5) pengendalian gulma secara manual atau mekanik secara intensif tanpa menggunakan herbisida (Dobermann 2004). SRI bukan sebuah paket standar yang spesifik, tetapi lebih menggambarkan cara empiris yang mungkin berbeda-beda sesuai kondisi lahan. Keragaman SRI juga diuji dimana hanya beberapa komponen dasar yang dilaksanakan.Pada budidaya SRI memberikan kondisi pertumbuhan optimal dimana pertunasan dan perakaran dimaksimumkan sehingga mempercepat pertumbuhan.

Budidaya Padi SRI di Indonesia

Di Indonesia metode SRI pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8.2 ton/ha (Sato, 2007). Metode ini juga telah diterapkan dibeberapa kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat

13 dan Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya budidaya SRI juga telah berkembang di beberapa daerah di Sulawesi dan Kalimantan. Di Jawa barat pola pendekatan budidaya SRI pertama kali dengan memadukan praktek pemahaman ekologi tanah yang dikenal dengan budidaya padi SRI Organik (Kuswara, 2003).

Pengembangan budidaya SRI organik dengan menerapkan indigeneous

microorganism (IMO) atau mikro organisme lokal (MOL) sebagai dekomposer dan pupuk cair organik. Adopsi komponen budidaya SRI organik berpegang pada tiga hal yaitu pengelolaan tanah yang sehat serta menggunakan bahan organik, pengelolaan potensi lahan untuk mendukung pertumbuhan optimal tanaman dan pengelolaan air yang baik dan teratur.

Penggunaan Pupuk Organik dalam SRI

Cara budidaya SRI menggunakan pupuk organik untuk menjadikan lingkungan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi mampu mendukung pertumbuhan optimal tanaman.Kondisi tanah yang mendorong meningkatnya populasi dan aktivitas mikrob-mikrob yang menguntungkan, sehingga

mempercepat ketersediaan hara dan akanmeningkatkan serapan hara

tanaman.Perbaikan struktur dan aerasi tanah dengan pemberian kompos, akan memperbaiki siklus hara melalui aktivitas dan keragaman organisme tanah(Purwasasmita 2008). Budidaya SRI mengoptimalkan pertumbuhan tunas dan akar, penggunaan kompos serta mikrob lokal dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan keanekaragaman organisme tanah sehingga menjamin penyediaan hara bagi tanaman.

Perbaikan biota tanah pada budidaya SRI menggunakan pupuk organik/kompos mendorong meningkatnya aktivitas mikrob tanah yang beranekaragam.Purwasasmita (2008) mengemukakan bahwa penggunaan kompos

pada budidaya SRI meningkatkan populasi mikroorganisme (Azospirillum,

Azotobacter, Phosphobacteria, dan lain-lain) pada rizosfir dibandingkan dengan

budidaya padi konvensional di India. Populasi Azospirillumdi rizosfer padi

budidaya konvensional sebanyak 6.5x107 sel/g memberikan 17 anakan dan

produksi padi 1.8 ton/ha, sementara populasi Azospirillumdi rizosfer pada

ton/ha. Penambahan kompos pada budidaya SRI meningkatkan populasi

Azospirillumsebanyak 1.4109 sel/g, memberikan 78 anakan dan produksi padi 10.5 ton/ha.

Penggunaan kompos pada budidaya SRI meningkatkan populasi

mikroorganisme (Azospirillum, Azotobacter, Phosphobacteria) pada rizosfer lebih

tinggi dibandingkan dengan cara konvensional. Anas (2008) menunjukkan bahwa

total populasi mikrob pada aplikasi pupuk cair hayati (biofertilizer) di lahan

budidaya SRI lebih banyak dibandingkan dengan budidaya SRI lainnya ataupun budidaya padi konvensional pada Gambar 2, namun demikian relatif tidak ada

perbedaan antara jumlah Azospirillum dan Azotobacter antara budidaya SRI

organik yang ditambah dan tanpa pupuk cair hayati.

Keterangan : HSbT= hari sebelum tanam

HST = hari setelah tanam

Gambar 2. Total mikrob, Azospirillum, Azotobacter dan mikrob pelarut fosfat

pada budidaya SRI dan konvensional (Anas 2008)

Pola Irigasi Terputus (Intermittent)

Budidaya SRI menggunakan pola pengairan secara terputus (intermittent)

untuk memperbaiki aerasi di daerah perakaran. Pengambilan oksigen melalui akar

4.41 4.03 3.65 3.67 4.69 6.34 7,11 8 7,03 7,31 12,8 17,2

Conventional Inorganic SRI Organic SRI Organic SRI+BF

Total Mikrob At compost application 20 DBT 0 DAT 28 DAT Aplikasi kompos 20 HSbT 0 HST 28 HST

Konvensional SRI-anorganik SRI-organik SRI-organik+BF

2,27 2,37 1,92 1,87

4.11

6,17

12,5

11.30

Conventional Inorganic SRI Organic SRI Organic SRI+BF

Azospirillum

Konvensional SRI-anorganik SRI-organik SRI-organik+BF

3 4.14 4.99 7.84 5.57 4.49 6.14 10.08 4.54 6,66 10,2 10.4

Conventional Inorganic SRI Organic SRI Organic SRI+BF

Azotobacter

Konvensional SRI-anorganik SRI-organik SRI-organik+BF

3,35 2,89 2,94 4,28 10.54 7.91 11.27 12.13 11 14,4 18,1 22,7

Conventional Inorganic SRI Organic SRI Organic SRI+BF

Mikrob Pelarut Fosfat

15 untuk menghasilkan energi pada proses metabolisme sel menjadi lebih mudah, yaitu proses-proses katabolisme dan anabolisme dalam sel, sintesa ATP (akumulasi energi yang dilepas). Pasokan oksigen yang banyak akan memacu proses metabolisme dan pertumbuhan, dimana akar akan menjadi lebih kuat, membangun jaringan, dan mengaktifkan asimilasi hara.

Kekurangan oksigen dalam tanah akan memproduksi asam yang tinggi menyebabkan keracunandan menghambat serapan haradan pelepasan energi, selanjutnya menyebabkan kerusakan seldan pertumbuhan struktur akar tidak

sempurnasehingga membentuk struktur aerenchyma. Hal ini diduga yang

menyebabkan rendahnya produksi padi (hanya efektif 25-50%) potensi akar seperti terlihat dari Gambar 3.

Tidak tergenang Tergenang Tidak tergenang Tergenang

Padi di daerah dataran rendah Padi di daerah dataran tinggi

Gambar 3. Penampang akar padi yang tergenang dan tidak tergenang(Poerwanto 2008)

Tahapan dari pola irigasi terputus pada budidaya SRI secara umum dapat dilihat pada Gambar 4.Kondisi lahan mulai sejak awal tanam sampai dengan 7 hari setelah tanam (HST) diberikan air macak-macak (jenuh lapang), pada masa vegetatif (7 HST sampai dengan 40 HST) diberikan air dalam kondisi macak- macak sampai dengan 80% dari jenuh lapang dengan irigasi terputus 5 harian, pada masa generatif (pembungaan dan pengisian bulir) dari 40 HST sampai dengan 75 HST diberikan air setinggi 2 cm sampai 80% jenuh lapang dengan irigasi terputus 5 harian, pada masa pemasakan dari 75 HST sampai dengan panen tidak diberikan air irigasi, dan semua pemberian airnya yaitu terputus (intermittent), untuk tanah bertekstur liat (clay) interval irigasi sekitar 5 harian. Interval irigasi dapat lebih lama ataupun pendek tergantung kondisi iklim dan perkolasi setempat.

Gambar 4. Skema pemberian air irigasi pada setiap fase pertumbuhan padi(Poerwanto 2008)

Hasil pengamatan Balai Irigasi Badan Litbang PU di Lemah Abang Bekasi pada petak tersier ± 17.8 ha dengan pola irigasi terputus dan digenangi maksimum 2 cm pada budidaya SRI menyebabkan konsumsi air SRI lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi air konvensional saat setelah 3 musim tanam, tetapi produksi budidaya SRI menggunakan pupuk organik tidak berbeda dengan budidaya konvensional yaitu berkisar 4.3-6.4 ton/ha. Studi yang dilakukan Wang

et al. (2002) juga menunjukan bahwa jumlah tunas akhir, hasil gabah dan komponen hasil dari padi unggul pada budidaya SRI sama, bahkan lebih rendah dibanding dengan budidaya padi konvensional. Hal ini diduga pupuk organik yang diberikan belum mampu meningkatkan produksi secara nyata, dimana pengaruh pupuk organik lebih lambat dibandingkan pupuk kimia. Keadaan berbeda dengan laporan budidaya SRI dari 17 negara yang disampaikan oleh Fernandes &Uphoff (2002) menunjukkan bahwa rata-rata hasil gabah untuk budidaya SRI yaitu sebesar 6.8 ton/halebih tinggi dibandingkan dengan budidaya konvensional yaitu sebesar 3.9 ton/ha.

Jerami Padi

Jerami padi adalah bagian vegetatif dari tanaman padi yaitu batang, daun dan tangkai malai, ketika tanaman di panen tidak di pungut. Kandungan hara pada jerami padi adalah 0.51-0.76% N, 0.07-0.12% P dan 1.17–1.68% K (Dobermann & Fairhurst 2000). Untuk setiap ton gabah kering giling padi di Indonesia dihasilkan 1.5 ton jerami mengandung 9 kg N, 2 kg P dan 25 kg

K(Makarim et al. 2007). Jerami padi yang mengalami proses dekomposisi

menghasilkan bermacam-macam senyawa organik dan anorganik. Karbohidrat Vegetatif

Awal (pembungaan dan pengisian bulir) Generatif Pemasakan 10 cm 2 cm 0 cm G e n a n g a n 80% JL 60% JL 7 40 75 Panen 0 HST

17 dan protein akan mengalami mineralisasi menjadi senyawa-senyawa anorganik seperti fosfat (PO43-), sulfat (SO42-), nitrat (NO3-), amonium (NH4+), karbon

dioksida (CO2

Gambar 5. Perubahan level nitrat tanah selama proses dekomposisi sisa tanaman (Havlin et al. 1999)

), air dan beberapa unsur hara lainnya seperti K, Ca dan Mg. Sedangkan Minyak, lemak dan lilin relatif sukar terdekomposisi. Hasil akhir proses dekomposisi adalah bahan berukuran koloidal berwarna hitam, mempunyai kapasitas yang tinggi dalam menyerap air dan hara, daya sangga yang tinggi dan aktivitas lain dalam tanah, yang disebut dengan humus (Sutanto, 2002).

Dekomposisi bahan jerami padi sangat tergantung dari kandungan karbon dan nitrogennya. Kandungan unsur karbon dan nitrogen bahan-bahan ini sangat bervariasi sehingga imbangan unsur tersebut menjadi sangat penting dalam mempertahankan dan memperbaiki kesuburan tanah. Nisbah karbon nitrogen harus selalu tetap dipertahankan setiap waktu. Karena nisbah C/N setiap jenis tanah relatif konstan, maka untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah sangat tergantung pada jumlah nitrogen. Apabila bahan organik yang diberikan ke dalam tanah mempunyai nisbah C/N tinggi, maka mikroba tanah memanfaatkan nitrogen sehingga N dalam tanah akan terimmobilisasi oleh mikroba menjadi tidak tersedia dan sebaliknya akan terjadi mineralisasi ketika

nisbah C/N rendah,seperti digambarkan oleh Havlin et al. (1999) pada Gambar 5.

Immobilisasi Mineralisasi Level NO3- Level NO3- Level CO2 Ju ml ah Ra si o C/ N 4-8 minggu Evolusi CO2 Waktu

Penambahan bahan organik dengan C/N tinggi mengakibatkan tanah mengalami perubahan imbangan C dan N dengan cepat. Mikroorganisme menggunakan nitrogen dalam bentuk nitrat sebagai sumber energi untuk

berkembang, dan cukup banyak senyawa karbon dalam bentuk CO2 ke udara.

Selama proses dekomposisi akan terjadi pelepasan CO2

Selulosa

ke udara dan pengikatan N oleh tanah sehingga nisbah C/N turun.

Jerami padi merupakan sumber pupuk organik yang tersedia langsung di lahan usaha tani. Hampir semua K dan sepertiga N, P dan S terserap dalam jerami padi. Selain itu jerami padi mengandung sekitar 40% unsur karbon, Senyawa karbon seperti gula, pati, selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin berfungsi sebagai substrat metabolisme mikroba tanah (Sutanto, 2002). Seperti dijelaskan oleh Alexander (1961) bahwa secara umum bahan organik terdiri dari selulolsa (15-60%), hemi selulosa (10-30%), lignin (5-30%), gula sederhana, asam-asam

amino dan asam alifatik (5-30%), lemak, minyak, wax, resin dan sejumlah pigmen

dan protein-protein yang pada strukturnya mengandung nitrogen dan sulfur.

Selulosa

)n adalah berantai panjang

struktural utama dar organik merupakan karbohidrat utama yang disintesis oleh tanaman dan menempati hampir 60% komponen penyusun struktur tanaman. Alexander (1961) menyebutkan bahwa kuantitas dari kandungan selulosa yang menyusun senyawa organik bervariasi dari 15 hingga 60% berat kering. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosidadalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui

ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Selulosa

19 -1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan cara hidrolisis asam atau enzimatis.

Jumlah selulosa di alam sangat berlimpah sebagai sisa tanaman atau dalam bentuk limbah pertanian seperti jerami padi, berangkasan jagung, gandum, dan

Dokumen terkait