• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rusa Timor (Cervus timorensis)

Rusa (Cervus sp.) adalah salah satu fauna yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri atas dua genus Cervus yaitu rusa Timor (Cervus timorensis), rusa Sambar (Cervus unicolor), dan satu dari genus Axis yaitu rusa Bawean (Axis kuhlii) sebagai satwa endemik asli Indonesia (Schroder 1976), dan rusa totol (Axis axis) sebagai rusa jenis eksotik yang didatangkan dari Srilanka dan India (Sudirman 1986). Selain itu ada satu jenis satwa lain yang seringkali dimasukkan ke dalam kelompok rusa, yaitu kijang (Muntiacus muntjak) yang juga termasuk dalam famili Cervidae.

Menurut Drajat (2002), taksonomi atau klasifikasi rusa Timor adalah sebagai berikut:

Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Infrakelas : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub Ordo : Ruminansia Famili : Cervidae Sub famili : Cervinae Genus : Cervus

Spesies : Cervus timorensis

Nama lokal : Rusa/ Rusa Timor/ Mayung.

Para peneliti yang berkecimpung dalam konservasi rusa menyimpulkan bahwa rusa Timor terbagi ke dalam delapan subspesies yang tersebar di pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, Sumbawa, Sumba, Timor, Kalimantan Timur, dan Papua. Jenis rusa tersebut merupakan hewan introduksi (Hardjosentono 1978). Hewan introduksi adalah hewan yang dimasukkan ke suatu daerah, dan hewan tersebut sebelumnya tidak terdapat di wilayah tersebut atau dengan kata lain bukan satwa asli daerah tersebut (Aini et al. 2007). Kedelapan subspesies tersebut adalah Cervus timorensis russa (rusa di Jawa), Cervus timorensis timorensis (Pulau Timor, Rote dan Alor), Cervus timorensis floresiensis (Flores dan

kepulauan Alor), Cervus timorensis maccasaricus (Sulawesi), Cervus timorensis djonga (pulau Buton), Cervus timorensis moluccensis (Maluku, Papua, dan Aru), Cervus timorensis renschi (Bali dan Sumbawa), dan Cervus timorensis laronesiotes (Pulau Peucang) (Schroder 1976).

Rusa Timor merupakan rusa tropis ke dua terbesar setelah rusa Sambar. Dibandingkan rusa tropis Indonesia lainnya, rusa Timor memiliki banyak keunikan yaitu sebagai kelompok rusa yang mempunyai banyak subspesies dan nama yang berbeda di daerah yang cukup beragam dan sebagai rusa yang paling luas tersebar di seluruh negeri. Bobot badan berkisar antara 40-120 kg, tergantung pada subspesiesnya. Pemberian nama lokal cukup beragam, tergantung pada daerah asalnya. Rusa di pulau Jawa dikenal dengan rusa Jawa, di pulau Timor sebagai rusa Timor, di Sulawesi sebagai jonga, dan di Kepulauan Maluku sebagai rusa Maluku. Namun demikian, nama yang paling umum dipakai dalam bahasa nasional adalah rusa Timor. Rusa Timor di luar negeri disebut sebagai Russa deer (Semiadi& Nugraha 2004).

Perbedaan antara rusa Timor jantan dan betina dapat dilihat dari adanya ranggah yang hanya dimiliki oleh hewan jantan. Dari segi warna tubuh, keduanya didominasi oleh warna cokelat gelap, tetapi pada rusa betina, bagian dagu, leher depan, perut, berwarna abu-abu putih, dan kaki berwarna cokelat terang (Pattiselanno et al. 2008).

Gambar 1 Rusa Timor (Cervus timorensis). Sumber: Setiawan (2010)

Ciri-ciri rusa jantan adalah mempunyai ranggah. Ranggah tumbuh pertama kali pada anak jantan umur 8 bulan. Ranggah merupakan jaringan tulang yang tumbuh keluar dari anggota tubuh dan memiliki siklus tumbuh, mengeras dan luruh secara berulang dan terus-menerus. Siklus pertumbuhan ranggah erat kaitannya dengan siklus hormon reproduksi dan musim, sehingga secara tidak langsung kondisi ranggah dalam keadaan keras berkorelasi kuat dengan keadaan fisiologi reproduksi. Saat pertumbuhan ranggah berlangsung, akan diawali

dengan pertumbuhan tulang rawan (kartilago) yang memanjang dan diselimuti

oleh lapisan kulit tipis berbulu, yang disebut velvet. Ketika pertumbuhan ranggah

velvet telah mencapai puncaknya, akan terjadi proses pengerasan jaringan

(kalsifikasi) yang dilanjutkan dengan proses pembentukan tulang (osifikasi) (Hartanto 2008).

Darah

Darah merupakan cairan yang mengalir dan bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dalam sistem kardiovaskular (Colville & Bassert 2008). Darah membawa berbagai kebutuhan hidup bagi semua sel-sel tubuh dan menerima produk buangan hasil metabolisme untuk disekresikan melalui organ ekskresi. Pemeriksaan hematologi pada hewan berfungsi sebagai screening test untuk menilai kesehatan secara umum, kemampuan tubuh melawan infeksi untuk evaluasi status fisiologis hewan dan untuk membantu menegakkan diagnosa (Jain 1993).

Darah tersusun atas sel darah (eritrosit, leukosit dan trombosit) yang bersirkulasi dalam cairan yang disebut plasma (Meyer & Harvey 2004). Jika darah diberi antikoagulan dan dilakukan sentrifugasi, maka dapat terlihat darah terdiri dari plasma 55% dan sel 45% yang terdiri dari leukosit, eritrosit dan trombosit. Jumlah leukosit lebih sedikit dibandingkan dengan eritrosit dan trombosit. Menurut Colville dan Bassert (2008), fungsi darah adalah sebagai sistem transportasi, sistem regulasi, dan sistem pertahanan.

Sumsum tulang merupakan organ tempat dihasilkannya sel darah. Di dalam sumsum tulang terdapat sel yang disebut stem hemopoietik pluripoten yang akan berdiferensiasi menjadi sel induk khusus. Selanjutnya sel ini akan

berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel darah tertentu (Ganong 2003). Proses pembentukan sel darah dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Pembentukan sel-sel darah yang berasal dari stem sel (Department of Health and Human Services 2006)

Leukosit

Leukosit berasal dari bahasa Yunani yaitu leukos yang berarti putih dan kytos yang berarti sel. Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 2008). Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih (Effendi 2003). Leukosit merupakan unit yang mobil/aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh untuk digunakan. Fungsi leukosit adalah sebagai pertahanan tubuh untuk melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang terutama dengan cara mencernanya, yaitu melalui fagositosis. Fungsi utama limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imun yaitu produksi antibodi (Guyton 2008).

Status fisiologis adalah nilai yang menggambarkan kondisi fisiologis rusa. Rusa yang mengalami gangguan, baik fisik maupun non fisik (stres) akan

mengalami perubahan fisiologis tertentu. Selain itu patokan nilai fisiologis dari rusa yang sehat dapat dijadikan parameter untuk menentukan kondisi kesehatan rusa, sehingga perawatan, pencegahan, dan pengobatan dapat dilakukan dengan tepat (Zein 1998).

Kondisi yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan fisiologis yang akan berakibat juga pada perubahan nilai hematologi. Sebagai contoh, rusa yang terkena infeksi bakteri secara akut akan memperlihatkan perubahan suhu tubuh. Perubahan ini akibat aktivitas sistem kekebalan tubuh yang bekerja melawan agen penyakit. Jika dilihat dari nilai hematologi, jumlah leukosit dalam darah akan mengalami peningkatan (Ma’ruf et al. 2005).

Respon leukosit muncul pada keadaan fisiologis normal dan patologis. Manifestasi respon leukosit berupa penurunan atau peningkatan salah satu atau beberapa jenis sel leukosit. Informasi ini dapat memberikan petunjuk terhadap kehadiran suatu penyakit dan membantu dalam diagnosa penyakit yang diakibatkan oleh agen tertentu (Jain 1993).

Diferensiasi Leukosit

Diferensiasi leukosit sangat bermanfaat, tidak hanya untuk mengetahui persentase leukosit tetapi juga memberikan informasi jika hewan dalam kondisi anemia atau patogenesa suatu abnormalitas. Pemeriksaan preparat ulas darah memberikan informasi lebih lanjut mengenai morfologi sel eritrosit, leukosit, dan trombosit (Mills 1998).

Berdasarkan ada atau tidaknya granul dalam sitoplasma hasil pewarnaan, leukosit dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu granulosit dan agranulosit (Colville & Bassert 2008). Leukosit granulosit memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma, sedangkan agranulosit tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma (Junqueira & Caneiro 2005).

Morfologi leukosit Cervidae berdasarkan pewarnaan sitokimia dan ultrastruktur telah dilakukan pada darah putih rusa. Leukosit rusa dan kijang memperlihatkan morfologi yang sama seperti dengan pewarnaan Romanowsky. Limfosit dan neutrofil merupakan jenis leukosit terbanyak pada rusa. Rasio neutrofil lebih sedikit dibandingkan limfosit, sama atau lebih banyak. Namun

demikian, pada beberapa studi menunjukkan bahwa jenis neutrofil lebih dominan (Weiss & Wardrop 2010).

Tabel 1 Kisaran nilai normal komponen darah pada rusa Sambar (Cervus unicolor) di kebun binatang Ragunan Jakarta

Komponen sel darah Cervus unicolor

Min. Maks. BDM (x106/µL) 10.018 11.1 BDP (x103/µL) 5.21 5.42 Nilai He. (%) 48.0 49.0 Kadar Hb. (g/100ml) 18.3 21.6 Diferensiasi: ƒ Neutrofil (%) ƒ Eosinofil (%) ƒ Basofil (%) ƒ Limfosit (%) ƒ Monosit (%) 36 3 1 50 1 41 4 3 59 2 Sumber: Yusmin (1998)

Ket: BDP = Butir Darah Putih BDM = Butir Darah Merah

He. = Hematokrit

Hb. = Hemoglobin

Neutrofil

Neutrofil disebut juga sebagai polimorfonuklear (PMN), karena inti memiliki berbagai jenis bentuk dan bersegmen (Tizard 2000). Neutrofil berupa sel bundar dengan diameter 12 µm, memiliki sitoplasma yang bergranula halus dan di tengah terdapat nukleus bersegmen. Neutrofil matang/dewasa yang berada dalam peredaran darah perifer memiliki bentuk inti yang terdiri dari dua sampai lima segmen, sedangkan neutrofil yang belum matang (neutrofil band) akan memiliki bentuk inti seperti ladam kuda (Colville & Bassert 2008).

Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), neutrofil dikenal sebagai garis pertahanan pertama (first line of defense). Neutrofil bersama dengan makrofag memiliki kemampuan fagositosis untuk menelan organisme patogen dan sel debris (Lee et al. 2003). Neutrofil merupakan sistem imun bawaan, dapat memfagositosis dan membunuh bakteri. Neutrofil akan mengejar organisme patogen dengan gerakan kemotaksis (Weiner et al. 1999). Kemampuan neutrofil untuk membunuh bakteri berasal dari enzim yang terkandung dalam granul yang

dapat menghancurkan bakteri maupun virus yang sedang difagosit. Granul neutrofil tersebut sering disebut dengan lisosom (Colville & Basster 2008).

Neutrofil diproduksi di dalam sumsum tulang bersamaan dengan sel granulosit lainnya, kemudian bersirkulasi atau disimpan dalam depo marginal neutrofil setelah 4-6 hari masa produksi. Neutrofil segera akan mati setelah melakukan fagosit terhadap agen penyakit dan akan dicerna oleh enzim lisosom, kemudian neutrofil akan mengalami autolisis yang akan melepaskan zat-zat degradasi yang masuk ke dalam jaringan limfe. Jaringan limfe akan merespon dengan mensekresikan histamin dan faktor leukopoietik yang akan merangsang sumsum tulang untuk melepaskan neutrofil muda untuk melawan infeksi (Dellman & Brown 1992).

Penyakit yang disebabkan oleh agen bakteri, pada umumnya menyebabkan peningkatan jumlah neutrofil dan akan tampak neutrofil muda. Jumlah neutrofil di dalam darah dipengaruhi oleh tingkat granulopoiesis, laju aliran sel darah dari sumsum tulang, pertukaran antar sel di dalam sirkulasi dan depo marginal, masa hidup dalam sirkulasi dan laju aliran sirkulasi darah menuju jaringan (Jain 1993).

Eosinofil

Eosinofil merupakan nama yang diberikan oleh Ehrlich yang didasarkan pada afinitas sel terhadap pewarnaan anionik, seperti eosin (Hirsch & Hirsch 1980). Menurut Weiss dan Wardrop (2010), sel ini memiliki kemampuan melawan parasit cacing, dan bersamaan dengan basofil atau sel mast sebagai mediator peradangan dan memiliki potensi untuk merusak jaringan inang. Eosinofil juga penting sebagai imunitas dapatan, bawaan, pembentukan jaringan, dan perkembangan biologi. Eosinofil adalah sel multifungsi yang memegang peranan fisiologis, dan merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap kompleks antigen dan antibodi. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat (Effendi 2003).

Eosinofil berkembang di sumsum tulang, dan pada beberapa spesies yang diuji di laboratorium, eosinofil juga berkembang pada timus, limpa, paru-paru,

dan kelenjar getah bening (Elsas 2007). Diferensiasi dan pematangan eosinofil terjadi di sumsum tulang selama 2-6 hari, tergantung dari spesies (Weiss & Wardrop 2010).

Eosinofil merupakan sel yang terdapat di jaringan, terutama pada kulit, saluran pernapasan dan saluran gastrointestinal. Lokasi dan jumlah eosinofil bervariasi tergantung spesies, tahapan siklus estrus, pakan, dan kandungan histamin dalam jaringan. Namun demikian, mayoritas populasi eosinofil ditemukan di saluran gastrointestinal (Mishra et al. 1999).

Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), eosinofil berdiameter 10-15 µm, inti bergelambir dua, sitoplasma dikelilingi butir-butir asidofil yang cukup besar berukuran 0.5-1.0 µm, dengan jangka waktu hidup berkisar antara tiga sampai lima hari. Eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut dan proses perbarahan, investasi parasit, memfagosit bakteri, memfagosit antigen-antibodi kompleks, memfagosit mikoplasma dan memfagosit ragi.

Basofil

Basofil merupakan leukosit jenis granulosit dengan jumlah paling sedikit di dalam darah hewan, sekitar 0.5% dari jumlah leukosit total dalam aliran darah pada hewan yang sehat (Dvorak & Monahan 1985). Proses pematangan basofil terjadi di dalam sumsum tulang dalam waktu sekitar 2.5 hari. Basofil akan beredar dalam aliran darah dalam waktu yang singkat (± 6 jam) tetapi dalam jaringan dapat hidup selama 2 minggu (Hirai et al. 1997). Basofil akan masuk ke dalam jaringan sebagai respon terhadap inflamasi (Jain 1993).

Menurut Junqueira dan Caneiro (2005), basofil berdiameter 10-12 µm, dengan inti dua gelambir atau bentuk inti tidak beraturan. Granul basofil mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, seroton, dan beberapa faktor kemotaktik.

Sel mast dan basofil berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, karena tipe antibodi yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu Immunoglobulin E (IgE) mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil (Guyton 2008). Bukti keterlibatan basofil dalam reaksi alergi yaitu timbulnya kondisi rinitis, urtikaria, asma, alergi, konjungtivitis, gastritis akibat alergi, dan

anafilaksis akibat induksi obat atau induksi gigitan serangga (Casolaro et al. 1990).

Monosit

Monosit adalah leukosit berukuran terbesar, berdiameter 15-20 µm dengan populasi berkisar antara 3-9% dari jumlah leukosit total. Sitoplasma monosit berwarna biru abu-abu pucat dan berinti lonjong seperti ginjal atau tapal kuda (Junqueira & Caneiro 2005). Monosit dibentuk di sumsum tulang, dan setelah dewasa akan bermigrasi dari darah ke jaringan perifer. Monosit akan berdiferensiasi menjadi berbagai subtipe jaringan tergantung dari proses inflamasi yang terjadi. Makrofag di jaringan antara lain sel Kupfer, makrofag alveolar, sel mikroglia, dan osteoklas (Sharma 1986).

Fungsi monosit adalah 1) membersihkan sel debris yang dihasilkan dari proses peradangan atau infeksi, 2) memproses beberapa antigen yang menempel pada membran sel limfosit menjadi lebih antigenik sehingga dapat mudah dicerna oleh monosit dan makrofag, 3) menghancurkan zat asing yang masuk ke dalam tubuh (Colville & Bassert 2008).

Limfosit

Limfosit adalah leukosit jenis agranulosit yang mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi. Limfosit merupakan satu-satunya jenis leukosit yang tidak memiliki kemampuan fagositik. Pengamatan pada sediaan ulas yang diwarnai, dapat dibedakan terhadap adanya limfosit besar dan limfosit kecil. Limfosit kecil berdiameter 6-9 µm, inti besar dan kuat mengambil zat warna, dikelilingi sedikit sitoplasma yang berwarna biru pucat. Limfosit besar berdiameter 12-15 µm, memiliki lebih banyak sitoplasma, inti lebih besar dan sedikit lebih pucat dibandingkan dengan limfosit kecil (Junqueira & Caneiro 2005).

Limfosit memiliki fungsi utama yaitu memproduksi antibodi sebagai respon terhadap benda asing yang difagosit makrofag (Tizard 2000). Kebanyakan sel limfosit berada pada jaringan limfoid dan akan bersirkulasi kembali secara konstan ke pembuluh darah (Colville & Bassert 2008).

Limfosit dapat digolongkan menjadi dua yaitu limfosit B dan limfosit T. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang berperan dalam respon imunitas humoral untuk memproduksi antibodi, sedangkan limfosit T akan berperan dalam respon imunitas seluler (Junqueira & Caneiro 2005). Ilustrasi sel leukosit rusa dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3 Morfologi leukosit rusa normal; bar = 10 µm. Neutrofil (A), Eosinofil (B), Basofil (C), Monosit (D), Limfosit (E).

Sumber: Weiss dan Wardrop (2010)

Eritrosit

Menurut Weiss dan Wardrop (2010), anggota famili Cervidae memiliki eritrosit dengan karakteristik yang unik. Eritrosit bersirkulasi dalam pembuluh darah sebagai sel yang berbentuk bulat (bikonkaf), dan memiliki ukuran eritrosit yang lebih kecil dibanding eritrosit sapi. Setelah proses pengambilan darah melalui vena (phlebotomy), eritrosit rusa cenderung berubah menjadi berbentuk sabit. Eritrosit tidak berbentuk sabit saat pertama kali keluar dari tubuh, tetapi bentuknya berubah jika darah mengalami alkalinasi, oksigenasi, berada di suhu ruang atau pada 4 °C.

Fenomena perubahan bentuk ini pertama kali dilaporkan oleh Gulliver tahun 1840, dan telah diobservasi pada beberapa spesies dari famili Cervidae, antara lain Rucervus duvaucelii, Muntiacus muntjak, Axis axis, Dama dama, Axis porcinus, Odocoileus hemionus, Muntiacus reevesi, Cervus elaphus, Elaphurus davidianus, Cervus elaphus nelson, Cervus timorensis russa,Odocoileus virginianus, Cervus nippon nippon. Pada pH 7.0, hanya sedikit eritrosit yang mengalami perubahan bentuk, pada pH 7.4, kebanyakan eritrosit memiliki bentuk sabit. Selain itu, perubahan bentuk menjadi sabit mengalami peningkatan karena oksigenasi eritrosit. Penambahan karbon dioksida dapat mengembalikan bentuk

B

sabit menjadi bentuk bulat (bikonkaf). Ilustrasi perubahan gambar eritrosit dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4 Perubahan bentuk eritrosit pada rusa; bar = 10 µm. Eritrosit bentuk sabit (A) dan bentuk bulat (bikonkaf) (B).

Sumber: Weiss dan Wardrop (2010)

Giemsa

Giemsa adalah zat warna yang terdiri dari eosin dan metilen biru yang memberi warna merah muda pada sitoplasma dan metilen biru yang memberi warna biru pada inti. Larutan ini dikemas dalam botol kaca berwarna cokelat.

Giemsa stok harus diencerkan terlebih dahulu dengan mencampurkan 10 mL Giemsa ke dalam 90 mL akuades (Giemsa 10%) sebelum dipakai mewarnai sel darah. Elemen-elemen zat warna Giemsa melarut selama 40-90 menit dengan air atau akuades atau air buffer. Setelah itu semua elemen zat warna akan mengendap dan sebagian kembali ke permukaan membentuk lapisan tipis seperti minyak. Oleh karena itu stok Giemsa tidak boleh tercemar air (Depkes RI 1993).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 11 sampai 22 Juli 2011 dengan menggunakan sampel darah rusa Timor jantan yang ditangkarkan di Usaha Penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis), Kudus, Jawa Tengah. Pemeriksaan sampel darah dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu sampel darah rusa Timor jantan yang telah diberi antikoagulan potassium EDTA (ethyldiamintetraacetic acid), larutan Turk, minyak emersi, methanol, Giemsa 10%, aquades, dan xylol. Alat yang digunakan meliputi blow pipe, disposable syringe¸ kamar hitung Neubauer, gelas obyek, gelas penutup, pipet kapiler, tabung vakum, bak pewarnaan, kertas label, pensil 2B, mikroskop.

Materi Penelitian

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor rusa Timor jantan yang sehat secara klinis, ditentukan berdasarkan status presennya yaitu suhu tubuh, frekuensi napas, dan frekuensi nadi/jantung. Dalam keadaan fisiologis, suhu rektal rusa Timor berkisar antara 38.5-40 oC, frekuensi napas 20- 40 x/menit, dan frekuensi nadi/jantung 60-80 x/menit. Rusa Timor jantan yang digunakan berumur antara 2 tahun 9 bulan sampai 6 tahun, dengan kisaran bobot badan (BB) antara 48-79 kg. Hewan yang digunakan berada dalam tahap ranggah velvet yang mengelupas sampai dengan ranggah keras.

Persiapan Hewan

Hewan diambil sampel darahnya dalam keadaan terbius. Hewan dipuasakan terlebih dahulu ± 9 jam sebelum dilakukan pembiusan. Teknik pembiusan menggunakan blow pipe. Anastesi menggunakan kombinasi xylazine

ketamine dengan dosis masing-masing 1 mg/kg BB yang diaplikasikan secara intra-muskular (Dradjat 2000). Setelah hewan menunjukkan tanda-tanda sedasi, segera diberi premedikasi atropin sebanyak 0.3 mg/kg BB (Adams 2001). Hewan yang telah terbius, segera ditutup matanya dengan kain berwarna hitam dan kaki difiksir, kemudian diposisikan berbaring ke sebelah kanan.

Pengukuran suhu, frekuensi jantung, frekuensi napas, dan pengamatan secara fisik dilakukan setelah hewan teranestesi sebagai data pendukung bahwa hewan tersebut dalam kondisi normal.

Pengambilan Darah

Pengambilan sampel darah sebanyak 20 mL dilakukan pada vena jugularis kiri menggunakan disposable syringe bervolume 10 mL dengan dua kali pengambilan. Sampel darah kemudian dipindahkan ke dalam tabung vakum berantikoagulan potassium EDTA.

Penghitungan Jumlah Leukosit Total

Penghitungan jumlah leukosit total dilakukan menggunakan hemositometer. Sampel darah dihomogenkan, kemudian dihisap dengan menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai tera 0.5. Selanjutnya, larutan Turk dihisap hingga tera 11, aspirator dicabut kemudian dihomogenkan secara manual, yaitu dengan cara memutar membentuk angka 8. Selanjutnya sampel dibuang sekitar 2-3 tetes, setelah itu dimasukkan ke dalam kamar hitung dan ditutup dengan gelas penutup. Pembacaan jumlah leukosit total dilakukan pada kamar hitung untuk leukosit menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10 x 40 kali.

Pembuatan Preparat Ulas Darah

Preparat ulas darah dibuat dengan menggunakan dua buah gelas obyek. Darah diambil sedikit dan diteteskan di atas gelas obyek, selanjutnya dengan gelas obyek yang lain diratakan dengan menempatkan salah satu sisi ujung gelas obyek sehingga membentuk sudut 30-45o. Gelas obyek digeser dengan cepat sehingga didapat ulasan darah tipis (Weiss & Wardrop 2010).

Pewarnaan Sediaan Ulas Darah

Preparat ulas darah difiksasi dengan metanol selama 5 menit. Preparat kemudian diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit, setelah itu dibilas dengan air dan dikeringkan dengan cara dianginkan (Weiss & Wardrop 2010).

Diferensiasi Leukosit

Preparat ulas yang telah diwarnai diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 100 kali menggunakan minyak emersi. Penghitungan diferensial leukosit didasarkan pada hasil pengamatan dengan menghitung neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit dalam 100 butir leukosit. Nilai absolut didapat dengan mengalikan persentase masing-masing jenis leukosit dengan jumlah leukosit total (Weiss & Wardrop 2010). Nilai rataan diferensiasi leukosit disajikan dalam nilai absolut agar dapat dilihat dinamikanya (Wibawan et al. 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Leukosit Total

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 2008). Kondisi tubuh dan lingkungan yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan fisiologis yang akan berakibat juga pada nilai hematologi (Ma’ruf et al. 2005). Hewan yang digunakan pada penelitian ini diasumsikan dalam keadaan sehat. Definisi sehat menurut World Health Organization (WHO) bukan hanya meliputi ketidakadaan penyakit atau kelemahan, tetapi meliputi keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial. Peninjauan kesehatan hewan secara klinis dapat dilakukan antara lain melihat perilaku hewan, nafsu makan, cara bernapas, cara berjalan, konsistensi feses, pemeriksaan suhu tubuh, dan inspeksi beberapa organ tubuh seperti mata, hidung, mulut, kulit dan rambut, limfonodus, serta kebersihan daerah anus. Hewan yang sehat memiliki perilaku yang aktif, nafsu makan yang baik, bernapas secara normal, cara berjalan dengan koordinasi yang baik, konsistensi feses padat (tidak terlalu keras), suhu tubuh normal, bola mata bersih, bening dan cerah, hidung agak lembap, turgor kulit baik, tidak ada luka, rambut bersih, limfonodus tidak bengkak, dan daerah anus bersih (Widyani 2008).

Jumlah leukosit total pada rusa Timor pada penelitian ini berkisar antara 2.95-4.05 x 103/µL (Tabel 2). Jumlah leukosit total pada rusa Timor ini lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah leukosit total pada ruminansia kecil lain,

Dokumen terkait