• Tidak ada hasil yang ditemukan

Limbah minyak bumi dapat berupa tumpahan, ceceran atau buangan dari minyak bumi maupun produk-produknya, minyak bekas pakai, dan limbah minyak yang terkandung dalam limbah alat-alat mesin dari kegiatan industri maupun rumah tangga (Udiharto 1996). Umumnya minyak bumi maupun produknya merupakan campuran kompleks senyawa organik yang terdiri atas senyawa hidrokarbon 50 sampai 95 %, dan sisanya non hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang, oksigen dan logam (Speight 1980). Limbah minyak yang mengandung hidrokarbon apabila masuk ke lingkungan merupakan bahan pencemar yang berbahaya.

Limbah yang dihasilkan pada tempat pemeliharaan dan perbaikan alat-alat transportasi (Workshop) dapat berupa minyak pelumas, minyak diesel dan gasolin. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari rangkaian atom karbon dan hidrogen, dengan jumlah tertentu dan digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik, hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik (Speight 1980). Fraksi hidrokarbon gasolin (C5 – C12), minyak diesel (C15 – C18) dan minyak pelumas (C16– C25) (Woodet al. 1992).

Hidrokarbon alifatik atau disebut juga parafin adalah senyawa yang mempunyai rantai atom karbon terbuka. Hidrokarbon alifatik terdiri dari alkana, alkena dan alkuna. Hidrokarbon alisiklik adalah senyawa yang umumnya berbentuk cincin, bersifat stabil dan tahan terhadap oksidasi. Hidrokarbon alisiklik terdiri atas sikloalkana, sikloalkena dan sikloalkuna. Hidrokarbon aromatik merupakan senyawa yang sangat kompleks, termasuk diantaranya senyawa-senyawa aromatik dengan substitusi mono, di dan poli alkil maupun tanpa substitusi. Pada minyak bumi senyawa ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan parafin atau naftalena. Seperti halnya sikloalkana, hidrokarbon aromatik mempunyai cincin sederhana atau tunggal, sebagai contoh benzen terdiri dari 6 (enam) atom karbon yang berikatan ganda dan tunggal serta cincin ganda seperti naftalen (Speight 1980). Keberadaan senyawa tersebut dalam limbah akan menyebabkan degradasi kualitas lingkungan. Pencemaran hidrokarbon

berpengaruh terhadap manusia, hewan dan tumbuhan (Schlegel 1994; Connel & Miller 1995).

Metode pengolahan limbah minyak dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi. Secara fisik yaitu dengan sistem pembakaran (insinerator), secara kimia dengan penambahan bahan kimia, dan biologi dengan memanfaatkan mikroba yang mendegradasi bahan pencemar. Pada pembakaran mengakibatkan pencemaran udara oleh karena menghasilkan gas hidrokarbon (HC), karbonmonoksida (CO) berpengaruh terhadap lingkungan, sedangkan proses kimia digunakan bahan kimia, juga memberi dampak terhadap lingkungan dan umumnya membutuhkan biaya besar. Pengolahan limbah secara fisik yaitu dengan insinerator membutuhkan biaya $250 – $800 per cubic yard, £ 35 -£100 m-3 tanah (Pedersen 1995; Crawford & Crawford 1996; Udiharto 1996; Fermor et al. 2001). Untuk itu penanganan secara biologi dengan memanfaatkan mikroba sebagai pengolah limbah diharapkan merupakan alternatif yang efektif, biaya rendah ($40 – $100 per cubic yard, dan £ 5 – £ 75 m-3 tanah) dan proses ramah lingkungan (Udiharto 1996; Fermoret al. 2001; Kitts & Kaplan 2004).

Salah satu metode yang digunakan untuk mengolah limbahworkshop pada tanah menggunakan mikroba disebut bioremediasi. Bioremediasi merupakan proses penting untuk pemulihan lingkungan tercemar oleh berbagai bahan pencemar termasuk limbah minyak dari bengkel. Metode ini telah digunakan untuk mendegradasi limbah minyak pelumas, solar pada sedimen (Schinner & Margesin 2001; Obbard & Ran 2003).

Lingkungan secara alamiah mengandung beraneka ragam mikroba. Penanganan limbah dengan bantuan mikroba dapat dilakukan dengan memanfaatkan mikroba yang berada di lingkungan tercemar. Mikroba diharapkan dapat menguraikan atau mendegradasi bahan organik kompleks menjadi bahan lebih sederhana dan aman bagi lingkungan (senyawa hidrokarbon dengan bantuan mikroba akan berubah menjadi karbondioksida, air dan energi).

Pengolahan Limbah dengan Bioremediasi

Bioremediasi menurut Crawford & Crawford (1996) merupakan proses biodegradasi yang produktif menghilangkan bahan berbahaya (B3) yang ada di lingkungan dan dapat mengancam kehidupan manusia, dan biasanya terdapat pada tanah, air dan sedimen. Swannell et al. (1996) mendefinisikan bioremediasi sebagai usaha untuk mengatasi pencemaran lingkungan dengan melakukan penambahan-penambahan materi atau hara pada lingkungan yang terkontaminasi sehingga proses biodegradasi alami dapat ditingkatkan. Menurut Capone & Bauer

(1992), bioremediasi dapat dilakukan dengan menambahkan mikroba

non-indigenous, yang disebut dengan bioaugmentation atau dengan penambahan

nutrien untuk meningkatkan kemampuan mikroba indigenous, yang disebut denganbiostimulasi. Sedangkan Fauzi & Sai'd (1996) menyatakan bioremediasi merupakan proses penyehatan (remediasi) secara biologis terhadap komponen lingkungan, tanah dan air yang telah tercemar oleh senyawa senobiotik (asing di alam) dan bersifat rekalsitran (sulit didegradasi), sehingga senyawa tersebut memiliki ketahanan yang tinggi di alam. Pada saat ini teknologi bioremediasi banyak dimanfaatkan untuk menangani limbah senyawa hidrokarbon seperti oil sludge, poly aromatic hidrocarbon (PAHs), minyak tanah, gasolin, dan minyak diesel.

Upaya bioremediasi dengan penambahan nutrien dan mikroba secara umum sudah banyak dilakukan terutama pada hidrokarbon spesifik. Untuk mempercepat proses degradasi bahan pencemar hidrokarbon di tanah, penambahan kompos dapat dilakukan, selain sebagai sumber inokulan juga sumber nutrien dalam tanah. Penambahan nutrien dan mikroba mempercepat terjadinya degradasi bahan pencemar hidrokarbon. White et al. (1999) menjelaskan bahwa penambahan nutrisi menyebabkan perubahan ekologi mikroba yang dapat mempercepat proses bioremediasi. Lee & Merlin (1999) menyatakan bahwa kelarutan nitrogen dalam sedimen berpengaruh terhadap proses biodegradasi dan keberhasilan bioremediasi. Bioremediasi pada tanah yang tercemar oleh bahan diesel di area parkir rekreasi ski di Pegunungan Alpine yang dilakukan oleh Schinner & Margesin (2001), dilakukan penambahan senyawa nitrogen, pospor dan kalium mampu menurunkan kandungan total petroleum hidrokarbon sebesar 48 % selama

78 hari. Selanjutnya dikatakan bahwa mikroba mempunyai kemampuan menurunkan kadar bahan pencemar organik, dan metode ini telah terbukti efisien, ekonomis, dan ramah lingkungan. Head et al. (2004), melakukan bioremediasi untuk mendegradasi hidrokarbon di daerah Pantai Mudflat secara biostimulasi dengan penambahan pupuk yang mengandung senyawa nitrogen dan phospor menyatakan mampu menurunkan 99.7 % hidrokarbon selama 3 (tiga) bulan. Kitts & Kaplan (2004) melakukan bioremediasi di ladang minyak Guadalupe dengan penambahan nutrien yang mengandung phospat dan ammonia, total petroleum hidrokarbon yang terdegradasi 98 % selama 168 hari. Rosenberget al. (2003) menyatakan bahwa bioremediasi petroleum dapat dilakukan dengan penambahan nutrien (berasal dari kotoran burung) sebagai sumber nitrogen dan dilakukan penambahan mikroba yang diisolasi dari kompos (kotoran burung) mampu mendegradasi 48 %. Secara umum, kebutuhan terpenting untuk pelaksanaan bioremediasi yang dirangkum oleh Wisjnuprapto (1996) adalah:

a. Adanya mikroba yang melaksanakan proses, dan mampu memproduksi enzim yang dapat mendegradasi bahan kimia beracun (senyawa sasaran). b. Sumber energi dan akseptor elektron, karena mikroba memperoleh

energi dari reaksi-reaksi redoks yang berlangsung.

c. Kelembaban yang cukup, pH, dan suhu yang sesuai, serta tersedianya cukup nutrien untuk pertumbuhan sel mikroba.

Keuntungan menggunakan bioremediasi dalam mengeleminasi senyawa hidrokarbon antara lain:

a) Dapat dilakukan secaraex-situ ataupunin-situ

b) Biaya yang dibutuhkan relatif lebih kecil ($40 – $100 per cubic yard, dan £ 5 – £ 75 m-3 tanah), bila dibandingkan dengan penanganan secara fisik dan kimia ($250 – $800 per cubic yard, pencucian £ 35 - £100 m-3 tanah, Pedersen 1995; Crawford & Crawford 1996; Udiharto 1996 & Fermor et al. 2001).

c) Resiko selama proses dapat dieliminasi (metode ramah lingkungan dan tidak menimbulkan kerusakan)

Proses bioremediasi juga memiliki kelemahan, yaitu membutuhkan lokasi area tertentu, perlunya kriteria perlakuan untuk memperoleh proses optimal dan

tidak semua bahan pencemar (bahan kimia) dapat diolah secara bioremediasi. Pengawasan yang intensif selama proses berlangsung juga merupakan kelemahan proses bioremediasi.

Teknologi bioremediasi dapat dilakukan dengan:

a. Bioaugmentation : penambahan kultur bakteri terhadap medium yang terkontaminasi). Bakteri merupakan organisme yang umum digunakan dalam bioaugmentasi untuk merombak bahan pencemar yang terdapat dalam limbah. Contoh: bioremediasi limbah minyak di Cepu dengan menggunakan bakteriBacillus(Komar & Irianto 2000).

b. Biofilter : memisahkan gas organik dengan melewatkan udara melalui suatu carrier yang dapat berupa kompos atau tanah yang mengandung mikroba yang mampu mendegradasi bahan pencemar yang dilewatkan. Contoh : bioremediasi bahan pencemar gasolin BTEX dengan biofilter kompos (Vandergheynstet al. 2003).

c. Biostimulasi (stimulasi populasi mikroba asli dalam tanah dan/ atau air tanah, yang dilakukan secara in situ atau ex situ) dengan penambahan nutrien seperti phospor, nitrogen yang merupakan pemicu pertumbuhan. Keberadaan sejumlah kecil bahan pencemar juga dapat difungsikan sebagai pemicu untuk mengaktifkan enzim. Contoh: bioremediasi minyak mentah di pantai dengan biostimulasi nitrogen dan phospor (Headet al. 2004).

d. Bioslurry : pengolahan tanah yang mengandung bahan pencemar hidrokarbon dengan menggunakan konsorsium bakteri pendegradasi hidrokarbon pada bioreaktor dalam bentukslurry. Proses ini dilakukan pada kolam yang berfungsi sebagai bioreaktor.

e. Bioventing : teknik ini mirip dengan biostimulasi, dilakukan dengan menyemburkan oksigen melalui tanah untuk menstimulasi pertumbuhan mikroba. Cara ini banyak digunakan pada tanah yang tercemar limbah minyak bumi.

f. Pengomposan: Teknik ini dilakukan dengan mencampur bahan yang terkontaminasi dengan kompos yang mengandung mikroba. Contoh :

bioremediasi minyak diesel dengan menggunakan kompos sampah biologis ( Ryckeboeret al. 20003).

g. Landfarming: penggunaan teknik ini untuk mendorong pertumbuhan mikoba dengan cara tanah tercemar disebarkan pada lahan terbuka. Contoh teknik ini digunakan untuk membersihkan sejumlah besar tumpahan minyak dalam tanah (Yani & Fauzi 2005)

Biodegradasi Hidrokarbon

Biodegradasi secara garis besar didefenisikan sebagai pemecahan senyawa organik oleh mikroba membentuk biomassa dan senyawa yang lebih sederhana yang akhirnya menjadi air, karbondioksida atau metana (Alexander 1994). Biodegradasi hidrokarbon didefinisikan sebagai suatu proses yang memanfaatkan aktifitas mikroba untuk mengubah senyawa hidrokarbon yang kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan hasil akhir berupa karbondioksida, air, dan energi. Reaksi sebagai berikut:

mikroorganisme

CnHn+ O2 CO2 + H2O + Energi

Proses degradasi limbah oleh mikroba memerlukan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Secara umum mikroba memerlukan energi untuk membentuk sel baru, untuk mikroba pendegradasi hidrokarbon dibutuhkan oksigen untuk proses degradasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa beberapa kasus pencemaran air tanah dapat disebabkan oleh senyawa organik beracun misalnya hidrokarbon dalam bentuk total petroleum hidrokarbon. Senyawa organik yang beracun dapat juga didegradasi secara biologis dengan memanfaatkan enzim (misalnya enzim metana monooksigenase) yang dihasilkan mikroba seperti disajikan pada Gambar 2.

Proses biodegradasi hidrokarbon alifatik seperti alkana (metana) dalam reaksinya membutuhkan oksigen, sehingga reaksi oksidasi dapat berlangsung lebih cepat. Pada proses, mikroba menghasilkan enzim berfungsi sebagai katalisator, seperti metana monooksigenase, metanol dehidrogenase, formaldehid dehidrogenase dan format dehidrogenase. Dalam biodegradasi ini, metana akan diubah menjadi metanol, formaldehid mejadi asam format dan karbondioksida (Lehninger 1991).

Biodegradasi minyak merupakan suatu proses yang kompleks dan tergantung komunitas mikrobanya, kondisi lingkungan dan kandungan minyak yang akan didegradasi. Dalam proses tersebut akan terjadi penguraian hidrokarbon oleh mikroba yang telah beradaptasi dengan baik di lingkungan tersebut. Menurut Citroreksoko (1996) bahwa kemampuan biodegradasi terhadap beberapa senyawa berbeda-beda. Secara umum bioremediasi limbah hidrokarbon dilakukan pada skala pilot dan laboratorium dan waktu bioremediasi pada kisaran 3 bulan (90 hari) sampai 168 hari, dan minyak yang terdegradasi 48 % sampai dengan 99.7 %. Beberapa hasil penelitian bioremediasi hidrokarbon disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Review metode bioremediasi berbagai hidrokarbon. Hasil

No. Bahan Metode Skala

Waktu Degradasi Referensi 1. Minyak mentah di pantai Biostimulasi N,P

pilot 3 bulan 99.7 % Headet al. 2004. 2. Minyak bumi di hutan tropis Biostimulasi dan bioaugmenatsi

pilot 9 minggu 86 % Dickson

et al.2003. 3. Oli pada nutrien pantai Penambahan nutrien N,P,K Lab. 45 hari 95 % alifatik Obbard & Ran 2003 4. Minyak disel (solar) Biostimulasi N,P,K

pilot 78 hari 48 % TPH Schinner & Margesin. 2001 5. Petroleum (C10 – C32) Biostimulasi dengan N,P

pilot 168 hari 98 % TPH Kitts & Kaplan 2004. 6. minyak pelumas pada tanah Bioremediasi metode biopile, pengomposan, nutrien

pilot 150 hari 73 % Suorttiet al. 2000

Tabel 1 lanjutan 7. Minyak diesel Pengomposan dengan sampah biologis

pilot 12 minggu 85 % Ryckeboer

et al.2003.

8. Gasoline BTEX

Biofilter dengan kompos

Lab. 4 bulan 85 % Vandergheyn

et al. 2003. 9. Toluena, pengeboran minyak Cepu Bioremediasi penambahan mikroba Bacillus dan pupuk urea

Lab. 4 minggu 97.05 % Komar & Irianto 2000 10. Naftalen Penggunaan bakteri Pseodomonas, dari Unit Pengolahan Minyak Pertamina Lab. 28 hari 1362 ppm– 728.6 ppm; 813 ppm – 837.2 ppm Wijayaratih Y 2001. 11. Detoksifika si tanah tercemar lumpur minyak Biostimulasi N,P Uji toxit dengan penanaman jagung Pilot 85 hari 97.8%, jagung tumbuh pada kandungan < 1.3 % Lemigas 2002. http://www. lemigas erdm. go.id/kode/ 536.2002 12. Pyrene Bioaugmentasi (penambahan mikroba)

Lab. 20 hari 61.5 % Laiet al. 2004

Mikroba Pendegradasi Hidrokarbon

Mikroba pendegradasi hidrokarbon dapat ditemukan pada tanah dan air. Pada umumnya hidrokarbon akan digunakan sebagai sumber energi pada aktivitas mikroorganisme. Mikrobaindigenus di lingkungan tercemar hidrokarbon mampu mendegradasi hidrokarbon karena mikroba mampu menghasilkan enzim pendegradasi hidrokarbon. Enzim tersebut berfungsi sebagai biokatalisator pada biodegradasi (Bartha & Atlas 1987).

Dari hasil penelitian yang dikemukakan oleh Bosser & Bartha (1984), telah ditemukan mikroba yang hidup di lingkungan minyak bumi, yaitu antara lain dari genera Alcaligenes, Arthrobacter, Acinetobacter, Nocardia, Achromobacter,

Bacillus, Flavobacterium, dan Pseudomonas. Oetomo (1997) menemukan jenis

mikroba yang mampu mendegradasi minyak bumi yaitu; Pseudomonas sp.,

Bacillussp., Nocardiasp., Mycobacterium. Penelitian lain menemukan beberapa isolat mikroba dari tanah yang terkontaminasi limbah oli teridentifikasi beberapa

jenis yaitu: Bacillus megaterium, Pseudomonas diminuta, Gluconobacter cerenius, Pasteurella caballi (Suortti et al. 2000). (Komar & Irianto 2000) melakukan bioremediasi dengan penambahanBacillus sp., mampu mendegradasi tanah tercemar toluene; Wijayaratih (2001) melakukan bioremediasi dengan mikroba Pseudomonas sp., mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon naftalen; Hardjito (2003) melakukan degradasi minyak bumi dengan mikrobaArthrobacter simplex, danPseudomonas aeruginosa.

Isolat bakteri Flavobacterium sp. mampu mendegradasi 57 % suplemen minyak mentah dalam 12 hari percobaan dan bahan yang terdegradasi yaitu fluorobenzen, diklorinasi hidrokarbon, fenol, biofenil di poliklorinasi. Jenis bakteri Azoarcus sp. mampu mendegradasi benzena, toluen, ethylbenzena dan komponen xylen (Atlas & Bartha 1987). Biodegradasi hidrokarbon aromatik seperti fenol dan naftalen didominasi oleh bakteri Pseudomonas, Bacillus, Mycobacterium, Arthrobacter sp.dan Acinetobacter (Alexander 1994). Crawford & Crawford (1996) mendeteksi jenis mikroba yang mampu mendegradasi hidrokarbon aromatik yaitu Pseudomonas, Bacillus , Nocardia, Mycobacterium, Arthrobacter; Acinotobacter; Flavobacteria. Kitts & Kaplan (2004) melakukan bioremediasi total petroleum hidrokarbon di ladang minyak Guadalupe dan

menemukan jenis bakteri yang dominan terdiri dari Flavobacterium,

Pseudomonasdan Azoarcussp.

Jenis dan jumlah mikroba berpengaruh terhadap degradasi hidrokarbon. Menurut Schinner & Margesin (2001) bahwa pada awal penelitian jumlah mikroba yang ditemukan adalah (6.5 ± 0.4) x 107 CFU ml-1 dan pada akhir penelitian baik pada tanah yang dipupuk maupun tidak dipupuk jumlah mikroba adalah (2.7 ± 1.7) x 106 dan (1.5 ± 0.5) x 106 CFU ml-1. Kitts & Kaplan (2004), jumlah bakteri ditemukan selama 3 (tiga) minggu studi ± 1.7 x 107 sampai dengan 1.3 x 108 CFU g-1, setelah itu menurun dan pada akhir penelitian (minggu ke 24) naik lagi menjadi 1.0 x 108 CFU g-1. Fahruddin (2006) mendegradasi benzene

menggunakan mikroba Pseudomonas dan terdegradasi sebesar 96 % dengan

jumlah mikroba 300 x 104 CFU ml-1. Dari hasil ini terlihat bahwa jumlah mikroba yang ditemukan termasuk cukup dan mampu menpercepat degradasi limbah hidrokarbon.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Biodegradasi

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi biodegradasi hidrokarbon diantaranya adalah, suhu, pH, kadar air, nutrisi yang tersedia dan komposisi minyak serta kemampuan mikroba untuk melakukan biodegradasi.

Suhu

Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan aktifitas dari mikroba. Kemampuan mikroba dalam biodegradasi minyak bumi ditentukan juga oleh kondisi suhu lingkungan. Suhu pertumbuhan optimum mikroba dikelompokkan sebagai psikrofil (0- 30°C), mesofil (25-40°C ) dan termofil (50°C atau lebih )

(Chan & Pelczar 1986). Dalam suatu proses degradasi suhu berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia komponen-komponen bahan pencemar. Suhu rendah memperlambat tingkat penguapan hidrokarbon dan beberapa kasus dapat menimbulkan sifat toksik terhadap mikroba. Mikroba tanah dan air umumnya bersifat mesofil yaitu suhu 25-40°C , dan dari golongan ini kebanyakan digunakan untuk penanggulangan pencemaran minyak bumi (Udiharto 1996).

Oksigen

Gas-gas utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba ialah oksigen dan karbondioksida. Mikroba memperlihatkan keragaman yang luas dalam hal respon terhadap oksigen bebas. Menurut Chan & Pelczar (1986); Wheeler & Volk (1988), mikroba dapat dibagi menjadi beberapa kelompok umum berdasarkan

kebutuhan oksigen yaitu aerobik (mikroba yang membutuhkan oksigen),

anaerobik (tumbuh tanpa oksigen), anaerobik fakultatif (tumbuh pada keadaan aerobik dan anaerobik) dan mikroaerofilik (tumbuh terbaik bila ada sedikit oksigen atmosferik).

pH

pH suatu medium merupakan ukuran keasaman atau kebasaan. pH adalah ukuran aktifitas kadar ion hidrogen (Wheeler & Volk 1988), pH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan mikroba adalah pada kisaran 6.5 – 7.5 (Chan &

Pelczar 1986). Alexander (1994) menyatakan bahwa untuk degradasi hidrokarbon kisaran pH terbaik adalah pada 6.0 – 8.0.

Kadar air

Kadar air sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik dari mikroba. Tanpa air mikroba tidak dapat hidup dalam limbah minyak, mikroba hidup aktif di interfase antara minyak dengan air. Kadar air harus berada pada kondisi optimum yakni 10 – 25 %, agar transfer gas untuk proses oksigenase dapat berjalan dengan baik (Fermiani 2003). Jika kandungan air terlalu tinggi akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah .

Nutrisi

Mikroba dalam hidup dan pertumbuhannya memerlukan nutrisi atau makanan sebagai sumber energi. Hidrokarbon minyak bumi akan dikonsumsi oleh mikroba sebagai sumber karbon dan energi (Oetomo1997). Unsur-unsur karbon beserta nitrogen dan phosfor yang tersedia dalam lingkungan akan digunakan mikroba untuk pertumbuhan. Pada pencemaran minyak yaitu dengan konsentrasi hidrokarbon yang tinggi akan terjadi ketidakseimbangan nutrisi. Unsur karbon yang berlebihan perlu diseimbangkan dengan penambahan unsur yang lain seperti nitrogen dan phosfor.

Nitrogen merupakan unsur pokok protein dan asam nukleat yang berperan dalam pertumbuhan, perbanyakan sel dan pembentukan dinding sel. Beberapa mikroba dapat menggunakan nitrogen dari atmosfer, tetapi kebanyakan memperoleh nitrogen dalam bentuk terlarut di air. Beberapa senyawa kimia sumber nitrogen yang banyak digunakan adalah amonium sulfat, amonium phosfat dan amonium klorida (Nakayama 1982).

Phosfor merupakan komponen utama asam nukleat dan lemak sel membran yang berperan dalam proses pemindahan energi secara biologi. Kebanyakan phosfor yang siap diasimilasi adalah berbentuk fosfat yang terdapat pada pupuk. phosfor selain penting untuk pertumbuhan mikroba, juga untuk pembentukan asam amino, transpor energi dan pembentukan senyawa dalam reaksi metabolisme (Baker&Herson 1994). Pemberian sumber phosfor pada biodegradasi hidrokarbon

mempunyai hubungan dengan penggunaan sumber nitrogen. Alexander (1994) menyatakan perbandingan N dan P yang optimum untuk aktivitas mikroorganisme adalah 5:1. Apabila limbah minyak digunakan sebagai sumber carbon dan energi, nitrogen dan phosfor diperlukan pada perbandingan 5:1 atau 10:1. Obbard and Ran (2003), C:N:P ratio 100:10:1 lebih baik jika dibandingkan dengan ratio C:N:P 100:1.1:0.05.

Bioremediasi dengan Kompos

Kompos adalah bahan-bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri) yang bekerja di dalamnya (Murbandono 2001). Bahan-bahan organik dapat berasal dari dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, kotoran hewan, dan lain-lain.

Bahan organik yang telah mengalami pengomposan mempunyai peranan penting bagi perbaikan mutu dan sifat tanah yaitu: memperbaiki struktur tanah; memperbesar kemampuan tanah untuk menampung air; memperbaiki drainase dan atau tata udara tanah sehingga kandungan air mencukupi dan suhu tanah lebih stabil; meningkatkan pengaruh positif dari pupuk buatan (sebagai penyeimbang bila pupuk buatan membawa efek yang negatif); dan mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara (Murbandono 2001). Kompos selain berfungsi memperbaiki mutu dan sifat tanah juga dapat digunakan untuk memperbaiki tanah yang terkontaminasi dengan berbagai polutan organik (Fermor et al. 2001). Selanjutnya dijelaskan bahwa penimbunan kompos dengan penambahan nutrisi dapat meningkatkan aktifitas penguraian oleh mikroflora asli dari tanah yang terkontaminasi.

Aplikasi bioremediasi menggunakan kompos mempunyai beberapa keunggulan dan lebih ekonomis dibanding dengan teknik bioremediasi lainnya, sehingga teknologi bioremediasi kompos lebih disenangi dan diminati (US-EPA 1997;1998). Beberapa keunggulan menggunakan kompos antara lain:

1. Kompos mempunyai keragaman populasi mikroba yang terlibat dalam proses degradasi yakni sekitar 5 – 10 kali lebih banyak dibandingkan dengan kandungan mikroba dalam tanah yang subur.

2. Tingginya aktifitas mikroba dalam proses yakni sekitar 20 – 40 kali lebih aktif dalam hal aktifitas dehidrogenasi dibanding dengan aktifitas dalam tanah yang subur.

3. Kompos tidak mengandung hama dan penyakit serta tidak membahayakan pertumbuhan atau produk tanaman.

4. Kompos dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit. 5. Kompos tidak mengakibatkan pencemaran dalam tanah, air ataupun udara. 6. Kompos merupakan absorben yang sangat baik untuk senyawa-senyawa

organik maupun anorganik.

Bioremediasi dengan cara pengomposan telah digunakan untuk berbagai jenis polutan seperti pencemar klorofenol di tanah. Bioremediasi kompos menurunkan klorofenol hingga 80 % (44 mg kg-1 turun menjadi 10 mg kg-1) (Laine and Jorgensen 1997). Pada tanah tercemar diazinon, penggunaan kompos limbah media jamur dapat mendegradasi diazinon hingga 97,5 % (Jumbriah 2006). Secara umum bioremediasi limbah hidrokarbon dengan penambahan kompos dilakukan pada skala pilot dan laboratorium membutuhkan waktu bioremediasi antara 3 hingga 5 bulan mampu mendegradasi 25 % sampai dengan 97.5 %. Beberapa penelitian bioremediasi kompos disajikan pada Tabel 2. Tabel 2: Review penelitian bioremediasi kompos untuk limbah hidrokarbon

Hasil

No. Bahan Metode Skala

Waktu Degradasi Referensi 1. Minyak pelumas pada tanah Bioremediasi dengan biopile, pengomposan, penambahan nutrien

Pilot 150 hari 73 % yaitu 2400 mg kg-1 menjadi 700 mg kg-1 Suortti et al. 2000. 2. Minyak disel Pengomposan dengan sampah biologis

pilot 12 minggu 85 % Ryckeboer

et al.2003.

3. Gasolin BTEX

Biofilter dengan kompos

Lab. 4 bulan 85 %

Vanderg-heynst et al. 2003. 4. Klorofenol Bioremediasi kompos Pilot 2 bulan, 80 % (44 mg kg-1 menjadi 10 mg kg-1) Laine & Jorgrnson 1997. dilanjutkan

Tabel 2 lanjutan

5. Diazinon Bioremediasi kompos limbah jamur

Lab. 28 hari 97,5% Jumbriah

2006.Tesis 6. Bahan peledak TNT Bioremediasi pengomposan Pilot 95 hari 92 % direduksi Fermor et al. 2001. 7. Minyak bumi Bioremediasi dengan pengomposan, bioaugmentation Lab. 80 jam 25 % TPH tereduksi, sedangkan penambahan mikroba tereduksi 55 % Fermor et al.2001 8. PAH Bioremediasi dengan pengomposan, bioaugmentation

Pilot 3 bulan 55 % Fermor

et al.2001 9. Pestisida Bioremediasi dengan pengomposan potongan daun dan rumput pilot 50 hari 47 % 2,4 D mengalami mineralisasi Fermor et al.2001 10 Pyrene Bioremediasi kompos

Lab. 20 hari 80 % adanya kompos dan tanpa kompos < 5 %. Mahro & Kasner 1993 Bioremediasi Berkelanjutan

Pada pelaksanaan bioremediasi yaitu penyehatan lingkungan dengan menggunakan mikroba, merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengurangi adanya bahan pencemar di lingkungan. Lingkungan yang tercemar oleh suatu bahan pencemar akan berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya alam.

Dokumen terkait