• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanah Ultisol

Tanah Ultisol merupakan jenis tanah mineral yang berada pada daerah temperate sampai tropika, mempunyai horizon argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat tebal (Munir, 1996). Menurut Soil Survey Staff (2014), tanah Ultisol adalah tanah yang memiliki horizon argilik atau kandik, tapi tidak ada fragipan dan kejenuhan basa <35% pada kedalaman jika epipedon mempunyai tekstur pasir kasar, pasir, pasir halus, pasir kasar berlempung, pasir berlempung, atau pasir halus berlempung pada kedalaman 125 cm di bawah batas teratas dari horizon argilik (tapi tidak lebih dari 200 cm di bawah permukaan tanah mineral) atau 180 cm di bawah permukaan tanah mineral atau pada kontak densik, litik, paralitik, atau petroferik jika lebih dangkal. Dalam klasifikasi tanah sebelumnya, Ultisol mencakup tanah-tanah yang disebut Podsolik Merah Kuning, Latosol, Hidromorf Kelabu, dan Planosol (Subagyo, dkk, 2000).

Kandungan liat tanah Ultisol ditandai dengan adanya peningkatan liat di horizon B (disebut horizon Bt), menunjukkan adanya proses podsolisasi dalam pembentukannya. Peningkatan kadar liat di horizon B bukan sepenuhnya disebabkan oleh translokasi mekanik liat dari horizon A ke horizon B. Peningkatan liat bisa saja merupakan hasil dari pembentukan liat dari hidrolisis zat mineral tanah di horizon A, seperti Si larut dan zat Al yang tercuci ke dalam horizon B (Tan, 2008).

Tanah ini memiliki karakteristik pH rendah yaitu kurang dari 5,5, Kejenuhan Basa (KB) rendah <35%, Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah

<24 me/100g, serta kandungan Al yang cukup tinggi. Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8-12 cm) umumnya rendah sampai sedang. Rasio C/N tergolong rendah (5-10). Kandungan unsur hara tanaman seperti N, P, K, Ca, dan Mg umumnya rendah (Subagyo, dkk, 2000; Sarief, 1985).

Tanah Ultisol memiliki permasalahan sifat fisik dan kimia yang buruk. Umumnya tanah ini memiliki tekstur liat berat yang mengakibatkan permeabilitas tanah ini rendah. Selain itu, permasalahan lainnya yaitu pH tanah asam, miskin unsur hara makro, serta kandungan Fe dan Al yang tinggi. Untuk mengelola masalah tersebut, khususnya tanaman pangan memerlukan input yang tinggi, baik dari segi peningkatan produktivitas dan konservasi lahannya. Oleh sebab itu, pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan untuk tanaman perkebunan. Sehingga, tanah ini biasanya banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di Sumatera dan Kalimantan (Subagyo, dkk, 2000; Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Tanah Ultisol tidak hanya ditemukan di daerah tropis, tetapi juga ditemukan di Selandia Baru, Australia, dan terutama di Amerika Serikat. Tanah ini menutupi area yang luas di wilayah selatan Amerika Serikat dari pesisir timur Virginia hingga ke Texas bagian barat (Tan, 2008). Sedangkan di Indonesia, penyebaran yang paling luas terdapat di Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, dan Sulawesi (Subagyo, dkk, 2000).

Tanah Masam

Tanah mineral masam adalah tanah mineral yang memiliki pH kurang dari 5,5. Tanah masam biasanya terletak di daerah lembab, dimana curah hujan cukup

tinggi. Akibatnya basa-basa tercuci habis dan yang tertinggal dalam kompleks adsorpsi liat dan humus sebagian besar adalah ion H+ dan Al3+ (Barchia, 2009; Subagyo, dkk, 2000).

Sumber kemasaman di dalam tanah disebabkan oleh ion H+ dan ion Al3+ yang terdapat di dalam tanah. Menurut Harter (2007), sumber kemasaman dapat berupa air hujan yang jatuh bersifat asam, dimana air hujan murni pada dasarnya air destilasi namun kesetimbangan dengan atmosfer mengakibatkan pH menjadi asam karena reaksi karbon dioksida (CO2) dengan air menghasilkan hidrogen (H+).

H2O + CO2 H2CO3 H+ + HCO3 2H+ + CO3 Selain itu, tanaman memproduksi karbon dioksida karena proses respirasi dan selama periode pertumbuhan aktif akar dapat menyebabkan karbon dioksida dalam tanah menjadi terlarut sehingga pH tanah menjadi semakin asam.

Pemberian pupuk juga dapat menjadi sumber utama ion hidrogen. Pupuk buatan biasanya mengandung amonium (NH4+) sebagai sumber nitrogen, tetapi dikonversi menjadi nitrat (NO3-) disertai dengan pelepasan ion H+.

NH4+ + 2O2 NO3- + 2H+ + H2O

Bahkan pertumbuhan tanaman akan memberikan kontribusi terhadap pengasaman. Proses penyerapan hara utama adalah untuk menukarkan ion H+ pada permukaan akar untuk kation dasar yang dibutuhkan (bermuatan ion positif) seperti kalsium, magnesium, dan kalium (Harter, 2007).

Masalah utama yang dihadapi tanah asam, bila dijadikan untuk lahan budidaya tanaman adalah pengaruh buruk bagi pertumbuhan tanaman. Pengaruh langsung kemasaman tanah terhadap tanaman terjadi melalui adaptasi tanaman itu

sendiri. Umumnya, pH tanah optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan tanah adalah sekitar 5,5 hingga 7,0. Namun, ada juga tanaman yang toleran terhadap tanah asam seperti teh, tanaman hias Azalea dan Camellia. Pengaruh lainnya adalah kelarutan Al yang tinggi, sehingga dapat bersifat meracun bagi tanaman. Toksisitas Al biasanya diawali kerusakan sistem perakaran. Ketika Al diserap oleh perakaran, begitu banyak diserap namun sedikit yang ditranslokasikan ke tajuk. Di daerah perakaran, Al merusak membran dan membatasi kemampuan dinding sel sehingga akar tidak dapat tumbuh dengan baik. Akar yang terdapat Al cenderung pendek dan bengkak, serta memiliki penampilan gemuk. Di beberapa tanaman, daun dapat

menunjukkan bintik-bintik klorosis karena sistem akar yang terbatas, tanaman yang menderita keracunan Al sering menunjukkan gejala stres kekeringan. Sedangkan pengaruh tidak langsung kemasaman tanah yaitu terjadi kekurangan

unsur hara P untuk tanaman akibat terjadinya reaksi fiksasi P. Ion Al dan Fe berikatan dengan P dan menjadikan tidak tersedianya unsur hara tersebut (Brady and Weil, 2008; Uchida and Hue, 2000).

Usaha untuk menetralkan kemasaman tanah adalah dengan pengapuran, pemupukan fosfat kalium serta pemberian bahan organik. Parameter pengapuran adalah kebutuhan Ca2+ per kg tanah yang dibutuhkan untuk menurunkan kemasaman total. Melalui pengapuran diharapkan keracunan Al dan Fe dapat dikurangi (Sposito, 1989).

Kapur CaCO3

Pengapuran merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah kemasaman tanah. Di wilayah-wilayah subtropik pengapuran sering bertujuan

untuk menaikkan pH hingga 6,5-7. Alasannya karena pada kisaran pH tersebut adalah paling cocok untuk ketersediaan unsur hara dan pertumbuhan tanaman umumnya, namun konsep ini tidak cocok untuk wilayah-wilayah tropik. Pemberian kapur untuk mencapai pH tersebut di tropik, sering menurunkan produksi karena terjadi kelebihan kapur (over liming). Berkaitan dengan jumlah Al yang tinggi dan merupakan masalah utama pada tanah masam di tropik, maka pengapuran sebaiknya ditujukan untuk meniadakan pengaruh meracun Al tersebut. Sejalan dengan itu, pengapuran juga bertujuan untuk menyediakan hara Ca bagi tanaman (Nyakpa, dkk, 1998).

Kebutuhan kapur dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu metode kurva Ca(OH)2, Schofield menggunakan larutan penyangga paranitrofenol, Mehlich menggunakan trietanolamin, Brown memakai amonium asetat, Woodruff menggunakan Ca-asetat-paranitrofenol, Schoemaker, Mc Lean dan Pratt (SMP) memodifikasi larutan-larutan buffer tersebut. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata metode SMP pun kurang cocok untuk tanah tropik.

Bahan kapur yang umum digunakan untuk mengatasi tanah masam cukup beragam. Kalsium karbonat (CaCO3) merupakan kapur yang sangat umum digunakan oleh petani karena harganya relatif murah. Kalsium karbonat diperoleh dari batu kapur (kalsit) dengan menggiling batu kapur sampai kehalusan 80 mesh sampai 100 mesh batu kapur sudah dapat dipakai sebagai bahan kapur untuk pengapuran pada tanah-tanah masam. Nilai netralisasi kalsium karbonat adalah 100%. Akan tetapi, secara umum nilai netralisasi kapur pertanian berkisar antara 80% sampai 95% (Havlin, et. al, 1999).

Analisis Aldd

Kamprath (1967) menyebutkan bahwa pengapuran disarankan harus berdasarkan jumlah Al yang dipertukarkan yang diekstrak dengan larutan garam netral. Al dipertukarkan dapat diekstrak menggunakan 10 gram tanah dan 100 ml KCl 1 N. Tanah beserta larutan KCl diguncang selama 15 menit, disaring, kemudian diambil filtratnya. Hasil filtrat tersebut ditetesi larutan indikator Phenophtalin, kemudian dititrasi dengan NaOH dan HCl. Dihitung berdasarkan rumus berikut :

Aldd (me/100g) =

Bobot tanah

(ml HCl x N HCl) x faktor pengencer x 100

Menurut penelitian Garcia-Rodeja, et. al. (2004) dilakukan menggunakan beberapa tanah, hasilnya LaCl3 mampu mengekstrak Al dalam jumlah banyak pada horizon tanah masam dibandingkan ekstraktan KCl dan CuCl2. Al yang diekstrak oleh LaCl3 memiliki korelasi yang baik dengan pemberian kapur. Kemudian dilakukan penelitian lanjutan oleh Auxtero, et. al. (2012), hasilnya seiring dengan peningkatan dosis kapur CaCO3, aktivitas ion Al dapat dinonaktifkan. Pemberian kapur sebanyak 2 ton/ha menunjukkan bahwa terjadi pengurangan konsentrasi dan aktivitas ion Fe3+, Al3+, Mn2+, Zn2+, Cu2+, SO42-, dan PO43- dan tidak lagi adanya aktivitas ion Al3+ bebas dan Al terlarut di dalam larutan tanah.

Menurut penelitian Butar-Butar (2015), pemberian kapur CaCO3 pada tanah Ultisol dengan dosis 0.785 x Aldd menyebabkan penurunan Aldd, namun pada dosis 1.57 x Aldd dan 2.36 x Aldd kembali meningkat. Kemudian didapat hasil persamaan regresi yang menyatakan bahwa dosis maksimum pemberian kapur CaCO3 yang dapat menurunkan Aldd adalah 1.05 x Aldd.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah dengan sebaran yang cukup luas di Indonesia. Luas seluruhnya adalah sekitar 45.794.000 ha atau 24,3 % wilayah daratan Indonesia. Penyebarannya dari yang paling luas yaitu Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, dan Sulawesi. Propinsi yang memiliki penyebaran Ultisol terluas adalah Kalimantan Timur 10.040.000 ha, Kalimantan Barat 5.710.000 ha, Kalimantan Tengah 4.810.000 ha dan Riau 2.270.000 ha. Tanah ini menyebar seluas 1.549.000 ha di Provinsi Sumatera Utara (Subagyo, dkk, 2000).

Umumnya tanah Ultisol bereaksi masam. pH tanah rendah yaitu <5,5 (Munir, 1996). Sumber kemasaman tanah disebabkan oleh ion H+ dan ion Al3+. Keberadaan H+ di dalam tanah bersumber dari bahan mineral liat dan mineral oksida akibat dissosiasi H+ dari patahan pinggiran mineral Al dan Fe oksida, sedangkan Al bersumber dari hidrolisis Al3+ yang kemudian melepaskan H+ (Havlin, et. al, 1999).

Salah satu cara untuk mengatasi tanah Ultisol masam adalah dengan pengapuran. Kamprath (1967) merekomendasi cara penetapan kebutuhan kapur

untuk tanah tropik berdasarkan Al yang dapat dipertukarkan (Aldd) dengan menggunakan ekstraktan garam netral berupa KCl 1 N, namun Garcia-Rodeja, et. al. (2004) menyatakan bahwa kadar Aldd dengan ekstraktan KCl 1 N masih dipertanyakan untuk tanah bermuatan variabel, tanah yang kaya bahan organik dan tanah di mana kompleks Al humus berlimpah. Selanjutnya,

dilakukan pengukuran Al tukar dengan ekstraksi klorida K, La dan Cu di beberapa tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa Al yang diekstraksi dengan LaCl3 berkorelasi baik dengan keasaman titrasi dan dengan kebutuhan kapur. Hal tersebut terjadi karena upaya ekstraktan LaCl3 lebih mampu mengusir Al yang terasosiasi dengan kompleks bahan organik tanah dibandingkan ekstraktan KCl.

Atas dasar uraian tersebut, maka perlu dilakukan pengujian metode pengukuran Aldd ekstraktan KCl dan LaCl3 dalam menetapkan kebutuhan kapur di tanah Ultisol masam.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji metode pengukuran Aldd ekstraktan KCl dan LaCl3 dalam menetapkan kebutuhan kapur di tanah Ultisol masam. Hipotesis Penelitian

Metode pengukuran Aldd ekstraktan LaCl3 lebih tepat untuk menetapkan kebutuhan kapur di tanah Ultisol masam.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai bahan informasi bagi kepentingan ilmu pengetahuan.

- Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

ABSTRAK

Penelitian yang menguji dua metode pengukuran Aldd, yaitu dengan ekstraktan KCl dan LaCl3 untuk menetapkan kebutuhan kapur di tanah Ultisol masam. Hasil pengukuran diterapkan pada tanah di rumah kasa dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) non faktorial dengan 7 perlakuan dosis kapur CaCO3 yaitu 0.0 xAldd; 1.0xAldd-KCl; 1.5xAldd-KCl; 2.0xAldd-KCl; 1.0xAldd-LaCl3; 1.5xAldd-LaCl3; 2.0xAldd-LaCl3 sebanyak 4 ulangan. Kapur diinkubasi selama 14 hari dan senantiasa dalam keadaan kapasitas lapang. Tanaman indikator dipelihara hingga fase pertumbuhan vegetatif. Parameter yang diamati adalah pH H2O, pH KCl, tinggi tanaman, volume akar, berat kering tajuk, berat kering akar, serapan P, dan serapan N tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kapur tanah Ultisol meningkatkan pH H2O, pH KCl, kadar P-tersedia tanah, tinggi tanaman, volume akar, berat kering tajuk, berat kering akar, serapan N, serapan P tanaman pada dosis 1.5 x Aldd. Kebutuhan kapur tanah Ultisol ditentukan dengan metode Aldd dan lebih tepat menggunakan ekstrak KCl 1 N.

ABSTRACT

This research compared two of exchangable Al methods extraction using KCl and LaCl3 to determine lime treatment in acid Ultisol. The result applied in green house using non factorial blocky randomized design with 7 dosages CaCO3 0; 1xAlexc-KCl; 1.5xAlexc-KCl; 2xAlexc-KCl; 1xAlexc-LaCl3; 1.5xAlexc-LaCl3; 2xAlexc-LaCl3 with 4 replication. Lime incubated for 14 days and always in field capacity. Indicator plants maintained until vegetative growth phase. Parameter measured were soil pH H2O and pH KCl after lime incubation, plant height, root volume, root dry weight, shoot dry weight, N, P, and K absorption of the plant.

The result of research showed that liming to Ultisol can increased pH H2O, pH KCl, available P, plant height, root volume, shoot dry weight ,root dry weight, P absorbtion and N absorbtion at 1.5xAlexc dosage. Lime requirement of Ultisol determined using exchangable Al method and exactly using KCl 1 N extract.

UJI METODE PENGUKURAN AlddEKSTRAKTAN KCl DAN LaCl3DALAM MENETAPKAN KEBUTUHAN KAPUR

Dokumen terkait