• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani, Asal Usul dan Manfaat Pamelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.

Jeruk (Citrus) terdiri atas tiga spesies asal, yaitu Citrus medica L. (citron),

Citrus maxima (Burm.) Merr. (pamelo) dan Citrus reticulata Blanco (mandarin). Pamelo memiliki sinonim C. grandis (L.) Osbeck, C. decumana L., C. aurantium

var. grandis L. dan C. aurantium var. decumana L. (Manner et al. 2006). Pamelo memiliki jumlah kromosom 2n = 18 (Niyomdham 1997). Hasil persilangan antara pamelo dan mandarin (Citrus × aurantium) menghasilkan tiga hibrid pamelo yaitu: 1. Citrus × aurantium (pomelo × mandarin) sering disebut sebagai jeruk asam (sour orange) yang lebih banyak membawa sifat pamelo daripada mandarin. 2. Citrus × sinensis (pomelo × mandarin) yang sering disebut jeruk manis (sweet orange) yang lebih banyak membawa sifat mandarin daripada pamelo. Kelompok ini termasuk semua silangan dari orange, mandarin dan grapefruit seperti tangor, ortanique, tangelo dan hasil persilangan baliknya (Page dan Nova). 3. Citrus ×

paradisi (pomelo × orange) sering disebut sebagai grapefruit (Mabberley 1997). Tanaman pamelo berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 15 meter (Manner et al. 2006). Daun pamelo berbentuk bulat telur sampai jorong; dengan ukuran 5-20 cm x 2-12 cm; pangkal membundar sampai menjantung; tepi daun rata sampai beringgit dangkal; ujung daun lancip sampai tumpul. Terdapat bintik- bintik kelenjar minyak. Panjang tangkai daun dapat mencapai 5 cm, bersayap yang lebarnya dapat mencapai 2 cm. Daun muda berwarna hijau muda, daun tua berwarna hijau agak suram (Niyomdham 1997). Bunga pamelo tunggal atau dalam tandan bunga; kuncup berwarna putih, kelopak bunga 3-5. Stamen 25-35, beberapa tidak berkembang sempurna. Tangkai putik panjang (Dianxiang dan Mabberley 2008).

Buah pamelo termasuk buah buni, berbentuk agak bulat seperti bola sampai berbentuk seperti buah pir (pyriform). Diameter buah 10-30 cm. Kulit buah berwarna hijau dan menjadi kuning ketika masak. Bintik-bintik kelenjar minyak banyak terdapat pada permukaan kulit. Tebal kulit buah 1-4 cm. Buah terdiri atas 8-16 bagian (septa/juring). Septa-septa buah mudah dilepas satu sama lain. Septa berisi daging buah. Kotiledon berwarna putih, embrio tunggal. Biji bersifat rekalsitran (Niyomdham 1997).

Pamelo berasal dari Malesia yang meliputi Semenanjung Malaysia, Filipina, Thailand bagian selatan, Sarawak, Brunai, Indonesia, Papua Nugini dan pulau-pulau kecil di sekitar Papua Nugini. Pamelo kemudian tersebar sampai ke Indochina; Cina bagian selatan dan bagian selatan Jepang dan dan menyebar ke arah barat ke India, wilayah Mediteran dan Amerika Tropik. Pamelo telah dibudidayakan dengan baik di China, Jepang, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Thailand (Niyomdham 1997).

Menurut Ara et al. (2008) buah pamelo mengandung 90,3 g air, 0,3 g mineral, energi 38 k.cal, 0,5 g protein, 0,3 g lemak, 8,5 g karbohidrat, 37 mg kalsium, 0,2 mg zat besi, 120 μg karoten, 0,06 mg vitamin-B1, 0,04 mg vitamin- B2 dan 105 mg vitamin C per 100g bagian yang dapat dimakan. Buah pamelo biasanya dimakan segar atau dibuat jus, kadang dibuat selai dan sirop. Kulit buah mengandung beberapa senyawa volatil dan secara tradisional digunakan untuk mengobati batuk, memar dan epilepsi. Lapisan kulit luar dapat dimanfaatkan untuk membuat manisan. Lapisan kulit bagian tengah (albedo) dapat diekstrak untuk diambil pektinnya yang digunakan sebagai serat diet untuk mengurangi berat badan (Morton 1987).

Perbanyakan dan Budidaya Pamelo

Pamelo dapat diperbanyak dengan biji, stek, cangkok, dan penyambungan. Perbanyakan dengan biji menghasilkan tanaman yang memerlukan waktu sekitar 5-6 tahun untuk berbuah (Niyomdham 1997). Tanaman juga peka terhadap penyakit, dan sulit memperoleh tanaman yang sama dengan induknya (true to type) serta cenderung berduri lebih banyak dibanding dari hasil penyambungan (Manner et al. 2006). Secara komersial, pamelo biasanya diperbanyak dengan menempel/okulasi mata tunas (Anonim 2007).

Pamelo tumbuh baik pada ketinggian kurang dari 400 m di atas permukaan laut, pada tanah dalam dengan tekstur medium. Suhu harian 25–30 oC, curah hujan 1.500-1.800 mm dengan 3-5 bulan kemarau. Pamelo biasanya ditanam dengan jarak tanam 8-10 m x 6-8 m (Niyomdham 1997).

Bunga pamelo tumbuh pada awal musim hujan. Buah matang 7-10 bulan setelah muncul bunga. Hasil buahnya dapat mencapai 200 buah per pohon. Panen

raya biasanya terjadi pada bulan April-Juli dan panen kecil dilakukan pada bulan Desember-Januari. Perawatan tanaman pamelo meliputi pemupukan, pengendalian hama penyakit, pemangkasan dan pembungkusan buah (Deptan 2007). Dosis pupuk N, P dan K yang direkomendasikan berdasarkan hasil panen untuk tanaman pamelo Nambangan di tanah Entisol Sukomoro, Kabupaten Magetan adalah 150% dari total NPK yang terangkut buah atau setara dengan 2,775% (N : P : K = 2 : 1 : 4) dari bobot buah yang dipanen per tahun. Dosis tersebut 50% diaplikasikan pada awal musim hujan dan sisanya diaplikasikan empat bulan dari pemupukan pertama (Sutopo et al. 2006).

Penyakit yang dapat menyerang tanaman pamelo antara lain CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) yang disebabkan oleh Liberobacter asiaticus (bakteri gram negatif) melalui perantaraan vektor kutu loncat Diaphorina citri. Penyakit lainya adalah tristeza (CTV), puru berkayu (CVEV), exocortis (CEV), psorosis (CPsV), cachexia xyloporosis (CcaV), dan tatter leaf (CTLV) (Anonim 2007).

Konservasi Plasma Nutfah

Keanekaragaman hayati adalah variasi yang ada pada spesies tumbuhan dan hewan, material genetiknya dan ekosistem tempat spesies tersebut berada (Indrawan et al. 2007). Pamelo Indonesia juga memiliki keragaman yang khas pada masing-masing sentra produksi. Kultivar pamelo yang terdapat di Indonesia

antara lain „Giri Matang‟ (Putih Manis), „Putih Asam‟, „Merah Manis‟ dan „Merah Asam‟ (Aceh), „Bageng Taji‟ (Pati), „Muria Putih‟ dan „Muria Merah‟ (Kudus),

„Nambangan‟, „Bali Merah‟, „Bali Putih‟, „Adas Duku‟, „Jawa‟, „Magetan‟, „Sri Nyonya‟ (Magetan) (Susanto 2010). Beberapa kultivar pamelo telah dibudidayakan secara luas di sentra produksi seperti Giri Matang, Bageng Taji, Nambangan dan Bali Merah yang juga merupakan varietas unggulan yang telah dilepas pemerintah. Keberadaan pamelo yang bersifat khas dan budidayanya di lahan pekarangan ini rentan terhadap kerusakan habitat dan serangan hama penyakit, sehingga upaya konservasi diperlukan untuk menjaga kelestariannya.

Tujuan utama dari kegiatan konservasi adalah untuk mengoleksi dan mengelola keragaman genetik agar terjamin keberadaannya di masa yang akan datang (Rao 2004). Konservasi perlu dilakukan sesuai prinsip etika biologi

konservasi yang meliputi: 1. Keanekaragaman spesies dan komunitas biologi harus dilindungi, 2. Kepunahan spesies yang terlalu cepat harus dihindari, 3. Kompleksitas ekologi harus dipelihara, 4. Evolusi harus berlanjut, dan 5. Keanekaragaman hayati memiliki nilai intrinsik (Indrawan et al. 2007).

Konservasi dapat dilakukan secara in-situ dan eks-situ. Konservasi secara

in-situ meliputi pengelolaan sumber daya genetik di habitat alaminya, baik sebagai komunitas tumbuhan liar dan tidak dibudidayakan atau kultivar-kultivar tanaman di lahan petani sebagai komponen pada sistem budidaya tradisional. Konservasi eks-situ meliputi konservasi di luar habitat alami melalui bank biji, kebun-kebun koleksi dan kebun raya. Penyimpanan DNA dan polen secara tidak langsung juga berkontribusi pada konservasi eks-situ sumber daya genetik tanaman (Towill 2005).

Konservasi eks-situ pamelo antara lain telah dilakukan oleh kebun koleksi Balai Penelitian Jeruk dan Tanaman Tropika di Batu Malang. Konservasi eks-situ

dengan menanam koleksi hidup pada tanaman jeruk dilakukan di dalam rumah kassa yang bebas serangga (insect-proof screenhouse) dan di kebun koleksi. Di dalam rumah kassa, koleksi diharapkan akan terlindungi dari patogen yang ada di tanah dan udara. Untuk keperluan tersebut, maka rumah kassa biasanya memiliki dua lapis dinding kassa dan dua lapis pintu masuk serta jadwal pengendalian hama penyakit pada interval waktu tertentu. Selain itu, koleksi ditanam di dalam wadah supaya terhindar dari aliran permukaan. Jumlah koleksi yang ditanam minimum dua tanaman/genotipe, yang diperbarui setiap 10 tahun (Carimi et al. 2012).

Koleksi pamelo dapat ditanam pada kebun koleksi jeruk, yang sebaiknya memenuhi syarat: 1. berlokasi sekurang-kurangnya 100 m dari kebun komersial, bebas patogen dan inokulum jamur perusak (Phoma traecheiphila), 2. tanahnya subur dan tidak ditanami jeruk selama lima tahun, bebas dari tunggul-tunggul jeruk, bebas nematoda dan jamur penting dalam pertanian, 3. terhindar dari aliran permukaan, 4. tidak ada tanaman selain jeruk. Jumlah koleksi yang ditanam 4–8 tanaman/genotipe, koleksi dipetakan dan dilabel dengan baik. Penanaman dilakukan pada plot yang homogen untuk satu spesies tunggal. Pengendalian hama penyakit dilakukan secara rutin. Plot diperbarui setiap 40 tahun (Carimi et al. 2012).

Keuntungan dari koleksi hidup adalah bersifat sama dengan induknya (true to type). Namun demikian, konservasi eks-situ pada kebun koleksi rawan terhadap kerusakan akibat hama penyakit dan bencana alam, perlu lahan luas, tenaga dan biaya untuk perawatan koleksi (Rao 2004). Untuk itu diperlukan metode lainnya yang dapat mengatasi kelemahan metode konservasi ini yaitu dengan konservasi

eks-situ secara in vitro.

Konservasi In Vitro

Teknik kultur in vitro merupakan teknologi alternatif yang dapat diterapkan untuk menghindari kepunahan tanaman. Tujuan utama dari konservasi plasma nutfah secara in vitro adalah mengurangi jumlah subkultur dan memelihara keragaman genetik pada suatu spesies dalam kondisi steril tanpa mengubah stabilitas genetik (Moges et al. 2003). Teknik konservasi in vitro

mempunyai beberapa kelebihan, seperti penghematan area, tenaga kerja, biaya dan waktu, juga kemudahan dalam pertukaran plasma nutfah. Selain itu, dapat mencegah hilangnya genotipe akibat cekaman biotik dan abiotik yang banyak terjadi di kebun-kebun koleksi (Rao 2004, Towill 2005).

Teknik konservasi in vitro dapat dilakukan untuk jangka pendek dengan cara sub kultur secara rutin setiap dua bulan sekali ke dalam media yang sama. Teknik konservasi jangka menengah dengan pertumbuhan lambat dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau kombinasi beberapa faktor dengan periode konservasi sampai 15 tahun. Konservasi jangka panjang dilakukan melalui kriopreservasi di dalam nitrogen cair pada suhu -192 oC (Rao 2004). Teknik penyimpanan in vitro jangka pendek dan jangka menengah dengan tindakan subkultur yang berulang-ulang kurang efisien, karena memerlukan waktu, tenaga, ruangan, dan biaya. Subkultur juga dapat menyebabkan kultur mengalami kontaminasi dan kehilangan vigoritas karena kehabisan unsur hara yang terdapat dalam media dan berpeluang terjadinya perubahan genetik akibat penggunaan zat penghambat tumbuh dalam jangka waktu yang relatif lama (Kartha 1985).

Konservasi dengan induksi pertumbuhan lambat dapat dilakukan melalui berbagai cara antara lain berupa pengurangan komposisi hara media, penyimpanan pada suhu rendah, induksi stres osmotik, penggunaan zat

penghambat pertumbuhan dan penggunaan tempat kultur yang lebih besar dan volume media yang lebih banyak (Withers 1985; Hu dan Wang 1983).

Penggunaan suhu rendah merupakan teknik utama yang dilakukan untuk konservasi in vitro. Teknik ini dapat mengurangi masalah penyakit, frekuensi subkultur, hemat tenaga, dan ruang, tetapi memerlukan energi listrik untuk menjaga kestabilan suhu. Penghambatan pertumbuhan dapat terjadi pada suhu rendah karena dinding sel planlet menjadi tebal akibat akumulasi lemak tidak jenuh, sehingga pembelahan dan pemanjangan sel terhambat (Shibli et al. 2006). Suhu yang diperlukan untuk konservasi tergantung ekologi dan asal geografi masing-masing spesies yang dikoleksi, umumnya berkisar 0–5oC. Beberapa tanaman telah berhasil dikonservasi pada suhu rendah seperti kopi (Debrunais et al. 1992) dan minth (Reed 1999).

Penurunan konsentrasi media untuk konservasi in vitro

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan komponen media. Media kultur dapat dengan mudah dimanipulasi sesuai tujuan. Media kultur in vitro terdiri dari 95% air, hara makro dan mikro, zat pengatur tumbuh, vitamin, gula dan kadang ditambahkan material organik sederhana sampai komplek (Beyl 2005).

Media MS (Murashige dan Skoog 1962) merupakan media yang paling sesuai dan paling sering digunakan dalam kultur in vitro. Media ini dikembangkan dari hasil analisis mineral jaringan tembakau. Media MS merupakan media dengan kandungan „garam tinggi‟ karena kandungan garam K dan N tinggi (Beyl 2005). Dalam konservasi in vitro, untuk menghambat pertumbuhan kultur dapat dilakukan dengan penurunan konsentrasi media MS. Besarnya penghambatan pertumbuhan akan berpengaruh pada periode konservasi (Catana et al. 2010)

Gula merupakan bagian penting dari media yang akan mensuplai nutrisi bagi kultur, sumber energi dan sumber karbon yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur (Javed dan Ikram 2008). Gula diperlukan dalam media karena sebagian besar kultur tanaman tidak dapat berfotosintesis secara efisien disebabkan pembentukan jaringan dan organisasi seluler yang belum sempurna, kurangnya klorofil, pertukaran gas terbatas, dan kondisi lingkungan yang tidak optimum seperti intensitas cahaya yang rendah (Beyl

2005). Penyerapan molekul gula ke jaringan tanaman terjadi melalui osmosis dan transpor aktif dengan pompa proton (H+) (Thorpe et al. 2008). Jenis dan konsentrasi gula tergantung pada jenis dan tahap perkembangan tanaman yang dikultur (Beyl 2005). Gula dalam media juga berfungsi sebagai regulator osmotik atau osmotikum (Hilae dan Te-chato 2005).

Gula yang yang digunakan dalam kultur antara lain glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Sukrosa merupakan sumber karbon yang biasa digunakan dalam kultur jaringan karena dapat dimanfaatkan semua tanaman. Sukrosa bersama auksin dan sitokinin juga berperan dalam menginduksi terjadinya siklus sel (Gambar 2.1), sehingga kekurangan sukrosa pada tanaman akan berpengaruh terhadap siklus sel (Gahan 2007). Konsentrasi sukrosa dalam kultur jaringan tanaman yang menghasilkan pertumbuhan optimal berkisar antara 20–60 gL-1 (Beyl 2005).

Gambar 2.1 Model pengendalian dalam siklus sel pada transisi dari G1 ke S oleh sukrosa, auksin dan sitokinin (Gahan 2007). G1 = fase istirahat, S = periode pembentukan DNA.

Pengaturan potensial osmotik pada media untuk konservasi in vitro

Osmotikum adalah substansi yang dapat menurunkan potensial osmotik pada media kultur (Shibli et al. 2006). Potensial osmotik total pada media disebabkan oleh substansi yang terlarut, yang dapat digambarkan dengan

persamaan: Ψs media = Ψs makronutrien + Ψs gula. Pada suhu 25 °C penambahan 3% w/v sukrosa pada media MS (Murashige dan Skoog 1962), menyebabkan osmolaritas naik dari 0,096 menjadi 0,186 Osm/kg dan potensial osmotik pada media turun dari -0,237 menjadi -0,460 MPa (Thorpe et al. 2008). Dengan

Sucrose induced START Auxin induced S G1 Inactive Rb-E2F Cytokinin induced CycD 3-cdk-phophosphorylated CycD 3-cdk complex Cdk CycD3 CycD2 Rb- phophosphorylated+ active E2F G1-> S 11

adanya osmotikum maka potensial osmotik media menjadi lebih rendah, menyebabkan penyerapan hara oleh sel tanaman menjadi lambat (Bessembinder et al. 1993).

Osmotikum yang sering digunakan dalam kultur jaringan antara lain gula, biasanya berupa sukrosa, sorbitol dan manitol pada konsentrasi tertentu. Sorbitol (C6H14O6) digunakan sebagai osmotikum pada kultur karena tidak semua tanaman dapat mengkonversi sorbitol dan memanfaatkannya sebagai sumber karbon (Montalvo-Peniche et al. 2007). Namun, padapada jagung, apel dan kerabatnya, sorbitol dapat ditranslokasi secara efektif karena dapat dikonversi dengan baik menjadi glukosa oleh enzim sorbitol oksidase, atau menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehidrogenase (Traore dan Guiltinan 2006). Sorbitol juga dapat dimetabolisme oleh tembakau, padi, jeruk dan chichory (Thorpe et al. 2008).

Penggunaan retardan dalam konservasi in vitro

Retardan adalah regulator pertumbuhan tanaman yang digunakan untuk menekan pertumbuhan tanaman tanpa mengubah pola perkembangannya (Wang

et al.1986). Retardan berperan dalam menghambat pembentukan giberelin, sehingga sering dikenal sebagai anti giberelin. Retardan dengan sifat translokasi yang baik dapat digunakan dalam konservasi in vitro (Wattimena et al. 1992). Retardan yang digunakan dalam konservasi in vitro antara lain ancymidol, cyclocel dan paklobutrasol (Whiters 1985).

Gambar 2.2 Struktur kimia paklobutrasol (Milfont et al. 2008).

Paklobutrasol (Gambar 2.2) bekerja sebagai penghambat hormon giberelin. Bila diaplikasikan melalui media tanam akan diserap akar dan ditranspor melalui xilem dan diakumulasi dalam daun (Wang et al. 1986). Paklobutrasol dapat menekan pertumbuhan tanaman melalui penghambatan pada

tiga tahap lintasan terpenoid yang menghasilkan giberelin. Paklobutrasol mengikat enzim sehingga menghambat kerja enzim yang mengkatalisis reaksi pembentukan giberelin (Gambar 2.3). Salah satu peran utama giberelin bagi tanaman adalah merangsang pemanjangan sel. Jika produksi giberelin dihambat, pembelahan sel masih terjadi, tetapi sel yang baru tidak memanjang. Kondisi ini akan menghasilkan tunas dengan ruas yang memendek. Penghambatan tersebut juga menyebabkan akumulasi senyawa antara yang terbentuk sebelum daerah yang dihambat, sehingga menyebabkan peningkatan produksi asam absisik dan phytol yang merupakan komponen klorofil, yang berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Chaney 2004).

chlorophyll phytol Phaseic acid Abscisic acid Squalene Lanosterol Campesterol Cholesterol (in fungi) Deoxy-D-xylulose phospate Isopentyl pyrophosphate Farnesyl pyrophosphate Geranylgeranyl pyrophosphate ent-kaurene ent-kaurenol ent-kaurenal

ent-kaurenoic acid

GA12-aldehyde

Gibberellin

Paklobutrazol

Gambar 2.3 Penghambatan oleh paklobutrasol (----) pada tiga tahap pembentukan gibberelin yang dapat menyebabkan akumulasi phytol (klorofil), asam absisik dan squalene (dimodifikasi dari Chaney 2004 dan Hazarika 2003).

Struktur paklobutrasol yang unik memudahkan untuk mengikat atom besi dari enzim yang terlibat dalam pembentukan giberelin sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut. Paklobutrasol juga mempunyai kemampuan mengikat enzim yang berperan dalam produksi steroid pada jamur dan enzim yang mendegradasi asam absisik. Tanaman yang diberi perlakuan paklobutrasol mempunyai toleransi lebih tinggi terhadap stres lingkungan dan resisten terhadap

penyakit yang disebabkan oleh fungi karena pembentukan campesterol yang menghasilkan steroid pada fungi tersebut dihambat oleh keberadaan paklobutrasol dalam tanaman (Chaney 2004).

Organogenesis langsung

Sumber eksplan untuk konservasi in vitro dapat berupa potongan ruas, tunas dan planlet. Tunas memberikan hasil yang lebih baik karena persentase hidup, regenerasi dan stabilitas genetiknya tinggi (Shibli et al. 2006), dan mudah diaklimatisasi setelah konservasi (Botau et al. 2005). Dengan demikian diperlukan penyediaan sumber eksplan yang berupa tunas untuk konservasi pamelo dengan menginduksi pembentukan tunas secara langsung pada eksplan pamelo melalui organogenesis.

Organogenesis adalah proses terbentuknya organ pada jaringan meristematik atau non meristematik, baik secara langsung atau tidak langsung melalui pembentukan kalus terlebih dahulu (Kane 2005). Dasar dari organogenesis adalah sifat totipotensi. Totipotensi merupakan kemampuan suatu sel tumbuhan yang belum terdiferensiasi untuk menjadi tumbuhan lengkap. Secara teori, sel mengandung informasi genetik untuk membentuk suatu individu, sehingga sel diploid yang mempunyai inti sel dapat mengalami diferensiasi menjadi tumbuhan (Gahan 2007). Faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan sel untuk mengekpresikan sifat totipotensi adalah tingkat diferensiasi dan spesialisasi pada sel. Selain itu, ekspresi gen juga dipengaruhi jaringan yang ada di dekatnya (Dewitte dan Murray 2002). Kemampuan sel tunggal membentuk tunas sebelum menjadi tumbuhan seutuhnya tergantung pada keadaaan sel tersebut, kompeten atau rekalsitran. Sel yang kompeten didefinisikan sebagai sel yang mampu merespon sinyal epigenetik misalnya zat pengatur tumbuh (Gahan 2007, Gahan dan George 2008).

Organogenesis meristem tunas secara in vitro berasal dari diferensiasi sel- sel somatik. Pada organogenesis langsung, eksplan akan mengalami beberapa tahapan sebelum membentuk suatu organ (Gambar 2.4), yaitu sel-selnya mengalami dediferensiasi untuk menjadi sel yang kompeten, kemudian tahapan induksi agar sel dapat dideterminasi arah perkembangannya dan tahap terakhir

adalah diferensiasi membentuk suatu organ (Schwarz et al. 2005, Zhang et al.

2005).

Gambar 2.4 Tahapan yang dilalui sel-sel eksplan dalam organogenesis langsung (Schwarz et al. 2005). Keterangan: + = berespon.

Tunas terbentuk dari pembelahan beberapa sel (multiseluler) yang terjadi secara serentak (Schwarz et al. 2005). Pembentukan meristem tunas melibatkan gen-gen dalam lintasan sinyal transduksi sitokinin. Gen tersebut antara lain CRE1 (reseptor sitokinin), AHPs, APRS, ERS1 (menginduksi pembentukan tunas adventif, bahkan dalam keadaan tanpa zat pengatur tumbuh), KN1, STM, WUS, CLV 1-3, p34cdc2 yang berperan meregulasi siklus sel, pembelahan sel, perkembangan dan pemeliharaan meristem tunas. Dengan demikian, pembentukan primordia tunas memerlukan interaksi secara molekuler antara sitokinin, siklus sel dan lintasan pembentukan meristem tunas (Zhang et al. 2005).

Berbeda dengan pembentukan tunas, proses pembentukan akar adventif meliputi empat tahap. Tahap awal yaitu pembentukan lokus meristematis melalui dediferensiasi satu atau beberapa sel. Tahap kedua, terjadi multiplikasi sel-sel menjadi kumpulan sel (spherical cluster). Tahap ketiga meliputi multiplikasi sel lebih lanjut dengan inisiasi pembelahan sel sebidang (planar) untuk membentuk meristem akar. Tahap keempat adalah pemanjangan sel pada bagian pangkal meristem akar yang sedang berkembang sehingga akar yang terbentuk mulai muncul (Schwarz et al. 2005).

Beberapa penelitian tentang organogenesis pada jeruk untuk mendapatkan eksplan dan media yang sesuai antara lain dilakukan menggunakan eksplan hipokotil C. halimii dengan media BA 2,2 - 11,1 uM dan NAA 2,7 uM (Normah

et al. 1997); ruas C. sinensis (L.) Osbeck dengan media BAP (1, 2, 3 ppm) dan NAA 0,5 ppm (Silva et al. 2006); ruas batang C. reticulata (L.) Blanco, C. limmetoides L. C. sinensis Osbeck dengan media BA 1 ppm dan NAA 10 ppm (Usman et al. 2005), batang C. jambhiri Lush umur 3 minggu denganmedia BA 3 ppm NAA 0,5 ppm (Ali dan Mirza 2006). Selain itu, Khan et al. (2009) juga

Organ Eksplan Determinasi + Kompeten + Tahap 3 Diferensiasi Tahap 2 Induksi Tahap 1 Dediferensiasi 15

berhasil menginduksi tunas secara langsung dari daun jeruk manis (C. sinensis

(L.) Osbeck) kultivar Bingtangcheng dan Valencia. Pada penelitian jeruk manis tersebut, media yang paling efektif untuk menginduksi tunas dari daun adalah media MT (Murashige and Tucker) + BA 0,5 ppm + kinetin 0,5 ppm + NAA 0,1 ppm + sukrosa 3% + agar 0,8%, dengan pH 5,8. Kultur yang berasal dari eksplan daun yang telah berkembang penuh menunjukkan regenerasi tunas yang lebih baik daripada yang berasal dari daun yang belum berkembang. Analisis RAPD menunjukkan bahwa semua tanaman yang dihasilkan secara genetik identik dengan tanaman donor, tidak terdeteksi adanya variasi genetik. Lebih lanjut Almeida (2002) berhasil menginduksi tunas adventif dari mata tunas tiga kultivar jeruk manis dengan hasil terbaik diperoleh pada media MS + BAP 1 ppm, sedangkan untuk lemon „Rangpur‟ yang terbaik adalah MS + 2,5 ppm BAP.

Proses organogenesis juga dipengaruhi cahaya. Pembentukan kloroplas dan klorofil yang berpengaruh terhadap warna hijau pada kultur dipengaruhi oleh cahaya. Enzim NADPH:Prothochlorophyllide (photo) oxidoreductase tidak aktif dalam keadaan tanpa cahaya sehingga tahap awal pembentukan korofil yaitu perubahan prothochlorophyllide menjadi chlorophyllide tidak dapat berlangsung (Sandmann dan Scherr 1998). Hal ini menyebabkan kultur yang terbentuk di ruang gelap menjadi berwarna putih. Aktivitas hormon tanaman juga dipengaruhi oleh cahaya (Taiz dan Zeiger 2002). Etiolasi terjadi karena pengaruh auksin (Srivastava 2002), yang menyebabkan kultur yang ditempatkan di ruang gelap lebih panjang dibandingkan kultur di ruang terang.

Posisi eksplan berpengaruh pada translokasi hara, hormon dan air. Posisi eksplan vertikal lebih efisien dalam penyerapan hara, air dan translokasi auksin pada planlet yang berpengaruh terhadap pembentukan tunas pada eksplan (Peer et al. 2011). Auksin ditranslokasi secara basipetal, sedangkan sitokinin secara akropetal (Davies 2004), yang akan berpengaruh pada konsentrasi hormon pada eksplan. Disamping itu, translokasi auksin juga dipengaruhi oleh gravitasi dan polaritas (Srivastava 2002).

Zat Pengatur Tumbuh yang Mempengaruhi Organogenesis

Pola perkembangan dalam organogenesis dipengaruhi oleh jenis, jumlah dan perbandingan zat-zat pengatur tumbuh yang digunakan (Gaba 2005). Zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman atau fitohormon adalah senyawa organik yang bukan hara yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan mengubah proses fisiologi tumbuhan. ZPT diperlukan untuk proses tertentu, pada

Dokumen terkait