• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permasalahan Hama Sitophilus zeamais

Arti Penting Hama

Sitophilus zeamais termasuk ordo Coleoptera dan famili Curculionidae. Serangga ini merupakan hama gudang yang banyak ditemukan di tempat penyimpanan bahan pangan terutama serealia seperti gabah, beras, jagung, dan gandum. Serangga ini merupakan hama primer yang mampu menyerang biji- bijian yang masih utuh (Anonim 2007).

Populasi S. zeamais di tempat penyimpanan perlu dikendalikan karena selain mengakibatkan kerusakan biji dan susut bobot juga menyebabkan peningkatan kadar air biji sebagai hasil respirasi. Kondisi ini akan memacu pertumbuhan cendawan Aspergillus sp. dan terjadinya kontaminasi aflatoksin (Payne 1992; Lubuwa dan Davis 1994; Brown et al. 1999 dalam Surtikanti 2004).

Biologi dan Morfologi

Pada jagung dan beras, S. zeamais lebih sering ditemukan sedangkan S. oryzae lebih sering ditemukan pada gandum, barley dan serealia (Subramanyam & Hagstrum 1996). Serangga hama ini mengalami metamorfosis sempurna dari fase telur sampai menjadi imago. Telur diletakkan pada biji yang telah dilubangi dan tiap lubang diisi satu butir telur (Subramanyam & Hagstrum 1996). Masing- masing lubang ditutup dengan menggunakan sekresi dari mulutnya yang biasa disebut “egg plug” (Anonim 2007). Fase telur berlangsung sekitar 6 hari. Imago betina meletakkan telur hingga 150 butir selama hidup mereka (Subramanyam & Hagstrum 1996).

Larva yang terdapat dalam biji akan terus menggerek biji. Larva tetap berada di dalam biji sampai terbentuk pupa. Larva tidak bertungkai dan berwarna putih. Ketika bergerak, larva agak mengkerut lalu memanjang kembali dan seterusnya. Larva berkembang di dalam rongga dalam biji pada suhu optimum 25oC (Subramanyam & Hagstrum 1996).

Pupa berada di dalam liang gerek yang dibuat oleh larva. Imago baru akan tetap berada di dalam liang gerek selama beberapa hari. Serangga dewasa akan keluar dari biji dengan melubangi biji tersebut. Imago mempunyai kepala yang memanjang membentuk moncong. Sayap mempunyai dua bercak yang berwarna kuning. Sayap depan berkembang sempurna, sayap belakang berfungsi untuk terbang. Panjang tubuhnya 3,5-5 mm. Lama hidup imago berlangsung selama 3-6 bulan (Ress 2004). Telur yang dihasilkan dapat mencapai 575 butir (Kalshoven 1981).

Gambar 1 Imago S. zeamais (Munro 1966)

Siklus hidup hama ini berlangsung selama 28-90 hari, tetapi umumnya sekitar 31 hari. Siklus hidup hama ini tergantung pada temperatur ruang penyimpanan, kelembaban atau kandungan air produk yang disimpan dan jenis produk yang diserang. Pada kelembaban udara 70% dan temperatur 18oC siklus hidup S. zeamais dari telur menjadi dewasa mencapai 91 hari, namun pada RH 80% dengan temperatur yang sama siklus hidup S. zeamais hanya 79 hari. Hama ini bersifat polifag. Selain merusak butiran-butiran beras, hama juga merusak jagung, padi dan lainnya (Surtikanti 2004).

Pengendalian

Pada umumnya hama gudang cenderung bersembunyi pada saat gudang kosong. Oleh karena itu, pengendalian hama di dalam gudang difokuskan pada kebersihan gudang. Sanitasi adalah aspek penting dalam strategi pengendalian

terpadu, yang bertujuan untuk mengeliminasi populasi serangga yang dapat terbawa pada penyimpanan berikutnya. Cara yang digunakan termasuk membersihkan semua bagian gudang dan membakar semua biji yang terkontaminasi dan membuangnya dari gudang. Selain itu, cara lain yang dapat dilakukan adalah memberi perlakuan insektisida pada dinding maupun plafon gudang. Sortasi dengan memisahkan biji rusak yang terinfeksi oleh serangga dengan biji sehat (utuh) termasuk cara untuk menekan perkembangan serangga. Fumigasi dapat pula dilakukan pada penyimpanan sistem kedap udara, seperti penyimpanan dalam silo (Tandiabang, Tenrirawe, & Surtikanti 2004)

Permasalahan Hama Tribolium castaneum

Arti Penting Hama

Tribolium castaneum termasuk ordo Coleoptera dan famili Tenebrionidae. Serangga ini merupakan hama gudang yang paling merusak tepung dan produk serealia lainnya. Menurut Munro (1966) dan Ress (2004), Tribolium spp. merupakan serangga yang paling banyak terdapat pada penyimpanan serealia.

Kumbang ini dikenal sebagai hama sekunder yaitu menyerang biji-bijian yang telah rusak. Keduanya menyerang hampir semua bahan kering yang berasal dari tumbuhan atau hewan tetapi hama ini merupakan hama penting pada serealia dan produk serealia dan produk olahannya (Ress 2004). Infestasi bahan pangan oleh serangga hama ini dapat menyebabkan bau yang tidak sedap pada komoditas akibat sekresi benzoquinon dari kelenjar abdomen (Ress 2004).

Biologi dan Morfologi

Kumbang ini hidup pada bahan tepung, sehingga larva kumbang tersebut dikenal dengan kumbang tepung atau red flour beetle. Kumbang betina meletakkan telur di antara butiran tepung, secara acak. Telur menempel pada tepung dan dilindungi oleh partikel-partikel tepung. Kumbang betina dapat meletakkan telur sampai dengan 1000 telur selama masa hidupnya (Ress 2004).

Larva serangga ini bertipe elateriform dan aktif bergerak mencari makanan. Larva bersifat predator fakultatif, selain memakan komoditas, larva

juga memakan serangga lain yang berukuran kecil. Panjang larva T. castaneum sekitar 10 mm (Ress 2004). Larva bergerak aktif dengan ketiga pasang tungkainya. Selama masa pertumbuhannya larva mengalami pergantian kulit sebanyak 6-11 kali. Menjelang masa berkepompong larva akan naik ke permukaan bahan pangan yang diserang (Mangoendihardjo 1984). Pupa dapat ditemukan di antara komoditas yang diserang tanpa dilindungi oleh kokon. Fase telur dan pupa relatif singkat, lebih dari 60% dari siklus hidupnya dihabiskan sebagai larva (Ress 2004). Siklus hidup sekitar 5-6 minggu (Mangoendihardjo 1984). Menurut Ress (2004), imago bisa bertahan sampai dua atau tiga tahun pada suhu tertentu.

Dalam kondisi yang optimal, pertumbuhan populasi T. castaneum paling cepat dibandingkan serangga lain pada produk yang disimpan. T. confusum mampu berkembang biak dalam kondisi sedikit lebih dingin dari T. castaneum. Namun kedua spesies ini sangat toleran terhadap kelembaban rendah (Ress 2004).

Gambar 2. Imago T. castaneum (Munro 1966)

Pengendalian

Pengendalian T. castaneum yang sering dilakukan di gudang penyimpanan beras yaitu dengan sanitasi gudang, mengatur sirkulasi udara dan kelembaban gudang. Selain itu, pengendalian dengan menggunakan insektisida kimia juga dilakukan secara berkala dengan fumigasi dan penyemprotan permukaan stapel dan dinding gudang.

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Annona squamosa

Tanaman srikaya (Annona squamosa) termasuk ke dalam genus Annona, famili Annonaceae, Ordo Ranunculales, subdivisi Angiospermae dan divisi Spermatophyta (Syamsuhidayat & Hutapea 2001). Srikaya termasuk pohon buah- buahan kecil yang tumbuh di tanah berbatu, kering, dan terkena cahaya matahari langsung. Tumbuhan yang asalnya dari Hindia Barat ini akan berbuah setelah berumur 3-5 tahun. Srikaya sering ditanam di pekarangan, dibudidayakan, atau tumbuh liar, dan bisa ditemukan sampai ketinggian 800 m dpl (Dalimartha 2003).

Perdu atau pohon kecil ini mempunyai tinggi 2-5 m, kulit batang tipis berwarna keabu-abuan, getah kulitnya beracun. Daun bertangkai, kaku, letaknya berseling. Helaian daun bentuk lonjong sampai jorong menyempit, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, panjang 6-17 cm, lebar 2,5-7,5 cm, permukaan daun warnanya hijau, bagian bawah hijau kebiruan, sedikit berambut atau gundul (Wijayakusuma et al. 1995). Bunga 2-4 kuntum (berhadapan), keluar dari ujung tangkai atau ketiak daun, warnanya hijau kuning. Buahnya adalah buah semu, berbentuk bola atau kerucut, permukaannya berbenjol-benjol, warnanya hijau berserbuk putih, penampang 5-10 cm, jika masak, anak buah akan memisahkan diri satu dengan lainnya. Warnanya hijau kebiru-biruan. Daging buah berwarna putih, rasanya manis. Biji masak berwarna hitam mengkilap (Dalimartha 2003).

Famili Annonaceae menarik banyak perhatian sejak tahun 1980-an, karena mengandung senyawa asetogenin yang bersifat racun terhadap serangga (Ocampo dan Ocampo 2006). Akar dan kulit batangnya mengandung flavonoida, borneol, kamphor, terpene, dan alkaloid anonain. Di samping itu, akarnya juga mengandung saponin, tanin, dan polifenol. Biji mengandung minyak, resin, dan bahan beracun yang bersifat iritan. Buah mengandung asam amino, gula buah, dan mucilago. Buah muda mengandung tanin (Dalimartha 2003). Menurut Rukmana & Yuyun (2002) biji srikaya mengandung zat annonain yang berperan sebagai biopestisida racun kontak terhadap serangga hama, misalnya Aphis fabae,

Macrosiphoniella zanborry, M. satonifolli, S. zeamais, S. oryzae, dan T. castaneum.

Gambar 3 Buah A. squamosa

Basana & Prijono (1994) melaporkan bahwa ekstrak biji srikaya mampu membunuh larva Crocidolomia binotalis dengan mortalitas sampai 90% pada konsentrasi 0,25%. Bubuk biji srikaya mampu melindungi biji gandum dari serangga S. oryzae dan T. castaneum (Quadri 1973 dalam Prakash & Rao 1997).

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Annona muricata

Annona muricata atau sering disebut sirsak termasuk ke dalam genus Annona, famili Annonaceae, Ordo Ranunculales, subdivisi Angiospermae dan divisi Spermatophyta. Sirsak (A. muricata) berupa tumbuhan yang berbatang utama berukuran kecil dan rendah. Daunnya berbentuk bulat telur agak tebal dan pada permukaan bagian atas yang halus berwarna hijau tua sedang pada bagian bawahnya mempunyai warna lebih muda (Syamsuhidayat & Hutapea 2001).

Untuk memperoleh hasil buah yang banyak dan besar-besar, sirsak paling baik ditanam di daerah yang tanahnya cukup mengandung air. Di Indonesia, sirsak tumbuh dengan baik pada daerah yang mempuyai ketinggian kurang dari 1000 m dpl (Syamsuhidayat & Hutapea 2001).

Nama sirsak itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Belanda yaitu Zuurzak yang kurang lebih berarti kantung yang asam. Buah sirsak yang sudah masak lebih berasa asam daripada manis. Pengembangbiakan sirsak yang paling baik adalah melalui okulasi. Pohon sirsak akan menghasilkan buah pada usia 4 tahun setelah ditanam.

Biji sirsak bersifat racun yang dapat digunakan sebagai insektisida alami, sebagaimana biji srikaya. Senyawa aktif utama biji sirsak adalah annonain dan squamosin yang termasuk golongan senyawa asetogenin. Asetogenin yang terdapat dalam A. muricata antara lain: annocatalin, annohexosin, annomonisin,

annomontasin, annomuricatin, annomurisin, annonasin, coronin, corossolin, corossolon, gigantetrosin, gigantetronenin, montanansin, murasin, muricatalisin, muricin, robustosin, solamin, squamosin dan uvariamisin (Raintree Nutrition 2004).

Gambar 4 Buah A. muricata (Syamsuhidayat & Hutapea 2001)

Selain itu biji sirsak juga mengandung senyawa yang bernama asimisin, dan desasetiluvarisin yang merupakan senyawa aktif bersifat toksik. Pemanfaatan bahan ini amat potensial sebagai insektisida karena dapat membuat gerakan serangga menjadi lambat, aktifitas menurun, tubuh mengkerut, dan akhirnya mati. Londershausen et al. (1991) melaporkan bahwa squamosin dapat menghambat respirasi pada mitokondria serangga dan secara spesifik menghambat transfer elektron pada situs I (antara NADH dan ubiquinon), sehingga menghambat pembentukan ATP dan mengakibatkan kematian serangga. Ekstrak biji sirsak apada konsentrasi 0,25% dapat menyebabkan kematian larva Crocidolomia pavonana sebesar 20%, tetapi membutuhkan waktu hingga enam hari (Prijono et al. 1995).

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, mulai bulan Maret hingga Desember 2010.

Tumbuhan Sumber Ekstrak

Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak adalah biji srikaya (A. squamosa) dan biji sirsak (A. muricata) yang keduanya termasuk famili Annonaceae.

Pengembangbiakan Serangga Uji

Serangga T. castaneum dan S. zeamais yang digunakan sebagai serangga uji merupakan keturunan dari koloni serangga yang diperoleh dari BIOTROP- Bogor dan diperbanyak di Ruang Pemeliharaan Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Serangga T. castaneum dipelihara dalam toples plastik (diameter 12 cm dan tinggi 12 cm) yang berisi dedak dan serangga S. zeamais dipelihara dalam toples dengan ukuran yang sama yang berisi jagung. Toples dilengkapi dengan tutup yang dilubangi dan diberi kain kasa untuk aerasi. Dedak dan jagung yang digunakan untuk pakan dioven terlebih dahulu pada suhu 50°C selama 2 jam. Imago yang digunakan untuk pengujian adalah imago yang berumur 1-14 hari.

Ekstraksi Tanaman

Biji srikaya dan sirsak dikeringanginkan kemudian kulitnya dikupas. Biji tanpa kulit dihancurkan lalu diayak sehingga masing-masing diperoleh serbuk biji srikaya dan sirsak. Ekstraksi biji srikaya dan sirsak dilakukan dengan metode maserasi yaitu dengan merendam masing-masing serbuk biji tersebut dalam pelarut metanol dengan perbandingan 1:10 (w/v). Setelah 24 jam, dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring yang diletakkan dalam corong Buchner sampai dihasilkan filtrat dan ampasnya direndam kembali secara berulang-ulang

sampai tidak berwarna. Masing-masing filtrat diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 50oC dan tekanan 580-750 mmHg sehingga dihasilkan ekstrak kasar. Ekstrak kasar kemudian disimpan dalam lemari es hingga saat digunakan untuk pengujian.

Uji Kematian

Uji kematian dilakukan dengan tiga cara yaitu metode perlakuan setempat (topical application), metode residu (residual effect), dan metode penyemprotan permukaan (surface spraying). Untuk metode perlakuan setempat, serangga uji ditetesi formulasi insektisida nabati pada dosis 200, 100, 50, 25, 10 µg/serangga dan kontrol (pelarut metanol dan aseton dengan perbandingan 3:1). Aplikasi ekstrak dilakukan pada serangga uji menggunakan mikroaplikator. Serangga uji yang telah diberi perlakuan kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang telah berisi pakan sebanyak 0,25 g. Untuk tiap perlakuan digunakan 10 ekor serangga dengan 5 kali ulangan.

Pada metode residu, sediaan ekstrak biji srikaya dan sirsak masing-masing ditimbang lalu dimasukkan ke dalam labu takar, kemudian ditambahkan pelarut metanol dan aseton (3: 1; v/v) sambil dikocok hingga ekstrak terlarut dengan sempurna untuk mendapatkan ekstrak pada konsentrasi tertentu. Sediaan ekstrak sebanyak 2 ml dituangkan secara merata pada seluruh bagian dalam cawan petri pada konsentrasi 1%; 1,5%; 2%; 2,5%; 3%; dan kontrol. Cawan petri yang berisi sediaan ekstrak kemudian dikeringanginkan. Setelah kering, pakan masing-masing serangga dan 10 ekor serangga uji dimasukkan ke dalam cawan petri. Tiap perlakuan diulang 5 kali.

Pada metode penyemprotan permukaan, penyiapan sediaan ekstrak biji srikaya dilakukan sama dengan cara penyiapan pada pengujian dengan metode residu. Kain karung (karung beras dan karung terigu) dibentuk lingkaran dengan diameter 9 cm dan tebal 1 cm, lalu karung yang berisi beras diisi dengan 50 g beras dan karung yang berisi terigu diisi dengan 20 g terigu. Sebanyak 90 ml sediaan ekstrak dengan konsentrasi untuk S. zeamais dan T. castaneum berturut- turut 5,15% dan 8,23% disiapkan dan dimasukkan ke dalam alat penyemprot (sprayer), lalu disemprotkan pada permukaan karung yang berisi beras atau

tepung terigu secara merata pada seluruh bagian dengan dosis yang berbeda yaitu 4, 6, 8 ml/karung, insektisida pembanding (bahan aktif teta sipermetrin dengan dosis formulasi 0,375 ml/30 ml air/m2) dan kontrol. Setelah karung tersebut disemprot, karung dimasukkan ke dalam cawan petri (diameter 9 cm). Selanjutnya, serangga uji sebanyak 15 ekor/spesies dimasukkan ke dalam cawan petri. Tiap perlakuan diulang 5 kali.

Pengamatan kematian serangga baik pada uji perlakuan setempat uji, residu maupun uji penyemprotan permukaan dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP). Persen kematian untuk setiap spesies serangga dianalisis probit untuk menentukan hubungan dosis dengan kematian serangga uji.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri dari tiga pengujian, yaitu uji perlakuan setempat, uji pengaruh residu dan uji penyemprotan permukaan dengan dua spesies serangga uji dan dua spesies tanaman sumber ekstrak. Setiap pengujian dilakukan sebanyak lima kali ulangan dan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Parameter yang diamati adalah kematian serangga uji.

Analisis Data

Data persentase kematian serangga uji kemudian dianalisis dengan uji ANOVA dan perbandingan nilai tengah dengan selang berganda DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata 5% menggunakan program Statistical Analisis System (SAS) dan untuk melihat tingkat toksisitas ekstrak A. squamosa dan A. muricata terhadap masing-masing serangga uji, data dianalisis menggunakan análisis probit untuk mendapatkan nilai LD/LC50 dan LD/LC95.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Pengujian Ekstrak A. squamosa terhadap S. zeamais

Pada pengujian ekstrak A. squamosa dengan metode perlakuan setempat, mortalitas S. zeamais mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya dosis

dan waktu pengamatan. Perlakuan ekstrak A. squamosa pada dosis 200 µg/serangga menunjukkan kematian tertinggi yaitu sebesar 98% dan berbeda

nyata dengan perlakuan lainnya pada 72 JSP (Tabel 1).

Tabel 1 Rata-rata persen kematian S. zeamais yang diberi perlakuan ekstrak A. squamosa dengan metode perlakuan setempat

Dosis (µg/serangga)

Rata-rata persen kematian(%)±SB*

24 JSP 48 JSP 72 JSP** 200 60,50 ± 27,18 a 75,50 ± 24,01 a 98,00 ± 4,47 a*** 100 26,00 ± 20,74 bc 48,00 ± 19,24 b 70,00 ± 14,14 b 50 46,44 ± 29,19 ab 56,89 ± 19,96 ab 64,89 ± 21,92 b 25 14,00 ± 13,42 c 24,00 ± 16,73 c 50,67 ± 21,92 bc 10 8,00 ± 8,37 c 16,00 ± 15,17 c 40,67 ± 22,04 c Kontrol 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 c 2,00 ± 4,47 d * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Perlakuan dengan metode residu pada konsentrasi 3% menyebabkan kematian sebesar 50% pada 48 JSP dan 78% pada 72 JSP. Sementara itu perlakuan pada konsentrasi 1% tidak memberikan efek kematian pada serangga uji hingga 24 JSP dan hanya memberikan efek kematian 8% pada 72 JSP. Persen kematian tertinggi yaitu sebesar 78% hanya terjadi pada perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 3% pada pengamatan 72 JSP (Tabel 2). Perlakuan konsentrasi 3% menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada semua waktu pengamatan. Perlakuan 2,5% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata

dengan perlakuan 2%. Sementara itu perlakuan 2,5% menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan 1% dan 1,5% pada 72 JSP.

Tabel 2 Rata-rata persen kematian S. zeamais yang diberi perlakuan ekstrak A. squamosa dengan metode residu

Konsentrasi (%) Rata-rata persen kematian (%)±SB * 24 JSP 48 JSP 72 JSP** 3 8,00 ± 8,37 a 50,00 ± 21,21 a 78,00 ± 22,80 a*** 2,5 0,00 ± 0,00 b 18,00 ± 16,43 b 54,00 ± 24,08 b 2 2,00 ± 4,47 b 18,00 ± 13,04 b 36,00 ± 16,73 bc 1,5 2,00 ± 4,47 b 8,00 ± 8,37 b 18,00 ± 16,73 cd 1 0,00 ± 0,00 b 6,00 ± 8,94 b 8,00 ± 8,37 d Kontrol 0,00 ± 0,00 b 0,00 ± 0,00 b 0,00 ± 0,00 d * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Perlakuan dengan metode surface spraying menunjukkan peningkatan persen kematian apabila dilihat dari lama pengamatan dan peningkatan dosis. Pada perlakuan dengan dosis 4 ml/karung menyebabkan rata-rata kematian 14,67% pada 72 JSP. Kematian tertinggi sebesar 78,67% terjadi pada perlakuan dengan dosis 8 ml/karung. Pada perlakuan 8 ml/karung menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada 72 JSP (Tabel 3).

Kematian S. zeamais pada dosis 8 ml/karung cukup tinggi pada 24 JSP bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kematian S. zeamais terus meningkat hingga 72 JSP dan tingkat kematiannya berbanding lurus dengan dosis yang diuji (Tabel 3).

Tabel 3 Rata-rata persen kematian S. zeamais yang diberi perlakuan ekstrak A. squamosa dengan metode surface spraying

Dosis (ml/karung) Rata-rata persen kematian (%)±SB * 24 JSP 48 JSP 72 JSP** 8 46,67 ± 44,22 a 60,00 ± 41,10 a 78,67 ± 26,42 a*** 6 1,33 ± 2,98 b 13,43 ± 15,59 bc 26,95 ± 14,76 bc 4 1,33 ± 0,00 b 2,67 ± 3,65 c 14,67 ± 9,89 cd Pembanding 14,67 ± 2,98 b 34,67 ± 10,95 ab 36,00 ± 8,94 b Kontrol 1,33 ± 2,98 b 1,33 ± 2,98 c 1,33 ± 2,98 d * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Pengujian Ekstrak A. squamosa terhadap T. castaneum

Pengujian ekstrak A. squamosa dengan metode perlakuan setempat, perlakuan pada dosis 10 µg/serangga menyebabkan mortalitas T. castaneum

sebesar 32,67% pada 72 JSP, sementara itu pada perlakuan dengan dosis 25 µg/serangga mengakibatkan kematian yang tinggi yaitu 82,22% pada 48 JSP

dan meningkat sampai 90,22% pada 72 JSP. Perlakuan ekstrak A. squamosa dengan dosis 200 µg/serangga menyebabkan kematian tertinggi yaitu sebesar 96% pada 24 JSP. Perlakuan ekstrak A. squamosa dengan dosis 25 µg/serangga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50; 100 dan 200 (µg/serangga) pada 72 JSP (Tabel 4).

Perlakuan dengan metode residu menyebabkan kematian T. castaneum yang cukup tinggi pada konsentrasi 3%, yaitu berturut-turut sebesar 60% dan 62% pada 48 dan 72 JSP. Perlakuan ekstrak A. squamosa dengan konsentrasi 3% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 1,5; 2; dan 2,5% (Tabel 5). Ekstrak biji srikaya pada konsentrasi 5% efektif terhadap T. castaneum

dan memiliki daya bunuh yang lebih tinggi daripada ekstrak daun (Suryatini 1987).

Tabel 4 Rata-rata persen kematian T. castaneum yang diberi perlakuan ekstrak A. squamosa dengan metode perlakuan setempat

Dosis (µg/serangga)

Rata-rata persen kematian (%)±SB*

24 JSP 48 JSP 72 JSP* 200 96,00 ± 5,48 a 96,00 ± 5,48 a 96,00 ± 5,48 a*** 100 88,00 ± 5,48 a 92,00 ± 13,04 a 94,00 ± 8,94 a 50 92,00 ± 13,04 ab 92,00 ± 13,04 a 92,00 ± 13,04 a 25 78,00 ± 21,68 b 82,22 ± 22,04 a 90,22 ± 8,94 a 10 22,67 ± 9,25 c 22,67 ± 9,25 b 32,67 ± 13,00 b Kontrol 2,00 ± 4,47 d 2,00 ± 4,47 c 4,00 ± 5,48 c * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Tabel 5 Rata-rata persen kematian T. castaneum yang diberi perlakuan ekstrak A. squamosa dengan metode residu

Konsentrasi (%) Rata-rata persen kematian (%)±SB * 24 JSP 48 JSP 72 JSP** 3 52,00 ± 19,24 a 60,00 ± 18,71 a 62,00 ± 17,89 a*** 2,5 46,00 ± 5,48 ab 54,00 ± 8,94 a 62,00 ± 10,95 a 2 48,00 ± 23,87 ab 54,00 ± 20,74 a 60,00 ± 25,50 a 1,5 28,89 ± 18,72 bc 46,89 ± 22,82 a 57,33 ± 25,50 a 1 10,00 ± 12,25 cd 14,00 ± 11,40 b 14,00 ± 11,40 b Kontrol 0,00 ± 0,00 d 0,00 ± 0,00 b 0,00 ± 0,00 b * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Pengujian ekstrak A. squamosa dengan metode surface spraying terhadap T. castaneum menyebabkan kematian serangga uji yang meningkat sejalan dengan meningkatnya dosis dan waktu pengamatan. Rata-rata persen kematian pada dosis 6 ml/karung mencapai 92,00% pada 24 JSP dan meningkat sampai 97,33% pada 72 JSP. Perlakuan ekstrak A. squamosa pada dosis 8 ml/karung menunjukkan kematian tertinggi yaitu sebesar 100,00% pada 48 JSP. Perlakuan ekstrak

A. squamosa dengan dosis 6 ml/karung menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 8 ml/karung pada semua waktu pengamatan (Tabel 6). Tabel 6 Rata-rata persen kematian T. castaneum yang diberi perlakuan ekstrak

A. squamosa dengan metode surface spraying

Dosis (ml/karung) Rata-rata persen kematian (%)±SB * 24 JSP 48 JSP 72 JSP** 8 97,33 ± 5,96 a 100,00 ± 0,00 a 100,00 ± 0,00 a*** 6 92,00 ± 8,69 a 94,67 ± 8,69 a 97,33 ± 3,65 a 4 2,67 ± 8,20 b 49,33 ± 2,79 b 57,62 ± 9,75 b Pembanding 2,67 ± 5,96 c 2,67 ± 5,96 c 9,33 ± 8,94 c Kontrol 0,00 ± 0,00 c 2,67 ± 3,65 c 2,67 ± 3,65 c * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Pengujian Ekstrak A. muricata terhadap S. zeamais

Pada pengujian ekstrak A. muricata dengan metode perlakuan setempat, mortalitas S. zeamais menunjukkan peningkatan sejalan dengan meningkatnya dosis dan waktu pengamatan. Perlakuan pada dosis 10 µg/serangga tidak menyebabkan kematian serangga uji hingga 72 JSP, sementara itu perlakuan pada dosis 25 µg/serangga menunjukkan kematian serangga sebesar 12,44% pada 72 JSP. Persen kematian lebih besar lagi terjadi pada perlakuan dengan dosis 50 µg/serangga yaitu sebesar 32% pada 72 JSP dan rata-rata persen kematian pada dosis 100 µg/serangga sebesar 32% pada 72 JSP. Persen kematian 72% pada perlakuan ekstrak A.muricata pada dosis 200 µg/serangga merupakan persen kematian tertinggi. Hasil tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan lainnya pada semua waktu pengamatan (Tabel 7).

Perlakuan konsentrasi 1% pada pengujian residu menunjukkan rata-rata kematian S. zeamais sebesar 0% pada 24 JSP dan meningkat hingga 16,22% pada 72 JSP. Sementara itu persen kematian tertinggi hanya mencapai 58% pada konsentrasi 3% dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2,5% pada pengamatan 72 JSP (Tabel 8).

Tabel 7 Rata-rata persen kematian S. zeamais yang diberi perlakuan ekstrak A. muricata dengan metode perlakuan setempat

Dosis (µg/serangga)

Rata-rata persen kematian (%)±SB*

24 JSP 48 JSP 72 JSP** 200 54,00 ± 11,40 a 66,00 ± 16,73 a 72,00 ± 14,83 a*** 100 20,00 ± 7,07 b 22,00 ± 8,37 b 32,00 ± 13,04 b 50 14,00 ± 11,40 b 22,00 ± 13,04 b 32,00 ± 14,83 b 25 8,44 ± 11,59 bc 10,44 ± 10,59 bc 12,44 ± 14,83 c 10 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 c Kontrol 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 c * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Tabel 8 Rata-rata persen kematian S. zeamais yang diberi perlakuan ekstrak A. muricata dengan metode residu

Konsentrasi (%) Rata-rata persen kematian (%)±SB * 24 JSP 48 JSP 72 JSP* 3 30,00 ± 18,71 a 50,00 ± 21,21 a 58,00 ± 19,24 a*** 2,5 14,00 ± 15,17 b 26,00 ± 13,42 b 50,00 ± 20,00 a 2 2,00 ± 4,47 b 10,00 ± 12,25 c 22,00 ± 22,80 b 1,5 2,00 ± 4,47 b 8,22 ± 8,45 c 20,44 ± 22,80 bc 1 0,00 ± 0,00 b 6,22 ± 5,70 c 16,22 ± 8,77 bc Kontrol 0,00 ± 0,00 b 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 c * SB : Simpangan baku **

JSP: Jam setelah perlakuan ***

Angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

Pengujian Ekstrak A. muricata terhadap T. castaneum

Pada pengujian ekstrak A. muricata dengan metode perlakuan setempat, perlakuan pada dosis 10 µg/serangga menyebabkan mortalitas T. castaneum

Dokumen terkait