• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanah Masam

Tanah masam adalah tanah yang memiliki pH ≤ 5,5. Sekitar 25 - 30 % tanah di dunia diklasifikasikan asam dan melambangkan beberapa daerah yang paling penting dalammemproduksi pangan. Kemasaman tanah dalam sistem budidaya tanaman disebabkan oleh: penggunaan pupuk, tanaman melepaskan kation dalam pertukaran untuk H+, pencucian kation diganti oleh H+ dan kemudian Al3+, dan residu dekomposisi bahan organik (Havlin et al., 1999).

Kemasaman tanah ditentukan oleh banyaknya aktifitas ion hidrogen (H+) pada larutan tanah dan disebabkan oleh edafis, iklim, dan faktor biologi. Kemasaman tanah ditingkatkan oleh penghilangan kation melalui pemanenan dan presipitasi asam dari udara yang tercemar. Pendekomposisian bahan organik dari bentuk asam karbonat dan asam lemah lainnya juga berkontribusi pada keasaman (Hede et al., 2001).

Selain itu, pada reaksi hydrolisis, senyawa aluminium (seperti Al(OH)3) bereaksi dengan ion hidrogen untuk melepaskan Al. Dengan kata lain, untuk setiap ion Al, tiga ion hidrogen dapat dipakai, kemudian pH berubah secara perlahan dibandingkan reaksi oksidasi. Al pada fase padat adalah bagian dari setiap tanah dan tidak berbahaya atau bahkan menguntungkan, tapi dilarutan dapat menjadi racun bagi tanaman (Harter, 2007).

Saatnilai pH lebih rendah dari 5,5 kemampuan tanah untukmenyangga perubahan pH tergantung pada banyaknya Ca yangtersedia. Pada pH 5,5 kandungan Ca rendah. Oleh karena itu,dibawah pH 5,5 reaksi tanah yang lain

mengambil alih peran reaksi penyangga. Pada reaksi hydrolisis, senyawa aluminium (seperti Al(OH)3) bereaksi dengan ion hidrogen untuk melepaskan aluminium. Dengan kata lain, untuk setiap ion aluminium, tiga ion hidrogen dapat dipakai, kemudian pH berubah secara perlahan dibandingkan reaksi oksidasi. Aluminium pada fase padat adalah bagian dari setiap tanah dan tidak berbahaya atau bahkan menguntungkan, tapi dilarutan dapat menjadi racun bagi tanaman. Pada jangka pendek hal ini dapat membuat ion ini lebih tersedia bagi tanaman, tapi pada jangka panjang dapat membuat mereka lebih rentan terlepas dari tanah melalui pencucian (Harter, 2007).

Pada tanah masam dengan kandungan mineral yang tinggi, faktor pembatas utama pertumbuhan tanaman adalah keracunan Al. Fitotoksik Al dalam hal penghambatan perpanjangan akar menurun jelas dengan meningkatnya kekuatan ionik pada tanah ataupun dalam larutan hara, dimana terjadi penurunan rasio Aln+/Al kompleks. Al dilepas dari tanah dalam bentuk Al(OH)2+, Al(OH)2+, dan Al(OH)3+, yang terakhir ditulis sebagai Al3+. Terdapat tiga kategori fitotoksik Al, yaitu (1) mononuclear Al seperti Al3+, (2) polinuklear Al seperti triskaideaaluminum [AlO4Al12(OH)24(H2O)127+] yang dikenal sebagai Al13, dan (3) kompleks Al-makro molekul, contohnya kompleks Al-asam organik. Bentuk Al yang sangat toksik bagi tanaman adalah Al(H2O)63+ atau lebih dikenal sebagai Al3+. Ion ini dominan terdapat pada larutan bernilai pH < 4,0; pH < 4,5; pH < 5 (Sopandie, 2014).

Bahan yang paling sering digunakan untuk meningkatkan pH tanah adalah kapur. Bahan-bahan pengapuran yang umum adalah kalsit, dolomit, kapur yang dihanguskan, kapur hidroksida, suspensi batu kapur, dan banyak lagi. Bahan

yang paling cocok tergantung pada kebutuhan magnesium tanah, kecepatan reaksi yang diinginkan, dan biaya dari setiap bahan berdasarkan nilai relatif netralisasinya. Faktor yang dipengaruhi oleh reaksi kapur dalam tanah adalah ukuran partikel, derajat pencampuran, nilai netralisasi batu kapur dan kandungan magnesium (Sopher and Braid, 1982).

Reaksi pengapuran dimulai dengan netralisasi H+ pada larutan tanah oleh OH- atau HCO3- yang berasal dari bahan kapur. Keberlanjutan pelepasan H+ dari larutan tanah akan menghasilkan presipitasi Al3+ dan Fe3+ sebagai Al(OH)3 dan Fe(OH)3 dan menggantikan mereka pada kompleks jerapan tanah dengan Ca2+ atau Mg2+. Keseluruhan reaksi netralisasi kemasaman tanah dapat dituliskan sebagai berikut:

Al3+ K+

Ca2+ Ca2+

Liat Mg2++ 3CaCO3 + 2H2O Liat Ca2+ + 2Al(OH)3 + 3CO2

K+ Mg2+

Al3+ Ca2+

(Havlin et al., 1999)

Kapur dapat diaplikasikan kapan saja, tapi kapur memerlukan waktu untuk larut dan menetralisir keasaman tanah. Pengaplikasian yang lama menguntungkan karena memberikan waktu agar kapur larut sebelum musim tanam berikutnya. Pemberian dan penggabungan kapur sebulan atau lebih sebelum pemberian pupuk, dapat mempengaruhi ketersediaan pupuk, terutama P (Skousen and McDonald, 2005).

Keracunan Al pada Akar

Sistem perakaran yang berkembang dengan baik dibutuhkan untuk menyerap air dan hara yang memadai, terutama ketika tanaman pada keadaan stres. Secara keseluruhan peningkatan pada akar berkontribusi terhadap bobot total tanaman dengan peningkatan P. Morfologi akar dipengaruhi oleh jumlah pupuk N yang diaplikasikan dan faktor lain seperti temperatur. Massa akar kurang dipengaruhi oleh N dibanding panjang akar. Namun pertumbuhan akar meningkat dengan penambahan N. Selain N, peningkatan P juga dapat meningkatkan pertumbuhan akar, namun pertumbuhan akar dapat menurun pada tingkat P yang lebih tinggi, dan tanaman memiliki tingkat kebutuhan P tang berbeda untuk mencapai pertumbuhan maksimum (Fageria dan Moreria, 2011).

Gejala kerusakan oleh Al tidak selalu mudah diidentifikasi. Dalam beberapa tanaman, gejala daun menyerupai defisiensi P (tanaman kerdil; daun berwarna hijau gelap dan kematangan yang terlambat; keunguan pada batang, daun, dan urat daun; menguning dan keringnya ujung daun). Di sisi lain, toksisitas Al muncul sebagai pengindinduksian defisiensi Ca atau mengurangi masalah transportasi Ca (keriting atau penggulungan daun muda dan gugurnya titik tumbuh atau tangkai daun). Akar yang dilukai aluminium memiliki ciri yang khas, pendek dan rapuh. Ujung akar dan akar lateral menjadi menebal dan berwarna coklat. Sistem akar secara keseluruhan koraloid, dengan banyak akar lateral yang pendek serta kurang dalam baik percabangan. Akar tersebut tidak efisien dalam menyerap nutrisi dan (Foy et al., 1978).

Pietraszewska (2001) juga menyatakan bahwa Al dilaporkan mengganggu sel bagian ujung akar dan akar lateral, meningkatkan ketebalan dinding sel dengan menggabungsilangkan pektin, mengurangi replikasi DNA dengan meningkatkan kekakuan rantai ganda. Al mengikat P menjadi tidak tersedia pada tanah dan pada permukaan akar tanaman, menurunkan respirasi akar, mengganggu sejumlah enzim, menurunkan endapan polisakarida dinding sel, menurunkan produksi dan transportasi sitokinin. Modifikasi struktur dan fungsi membran plasma, mengurangi pengambilan air, dan mengganggu pengambilan, transportasi, dan metabolisme sejumlah unsur hara esensial.

Andersson (1988) menulis tingkat kerusakan akar oleh Al sebagai berikut:

Tingkat 0 : Perkembangan normal, tidak ada kerusakan.

Tingkat 1 : Ujung akar primer telah rusak atau mati. Namun, tanaman dapat mengembangkan akar baru dari jaringan utuh, dimana munculnya cabang ditekan oleh dominansi apikal.

Tingkat 2 : Ujung akar menghitam, bengkak dan nekrotik. Rhizodermis hancur dan korteks mudah lepas dari silinder pusat. Sejumlah besar cabang pendek akar kadang-kadang muncul. Akar bergerombol (kerdil, bengkok, rusak).

Tingkat 3 : Akar hampir mati atau mati. Akar sama sekali coklat dan nekrotik tidak ada cabang terulur.

Pada cowpea toleransi keracunan Al dapat dilihat pada 0,1 µ M Al dan menghambat seluruh pertumbuhan pada > 40 µ M. Proses toleransi Al sudah diklasifikasikan secara luas sebagai yang menghalangi penyerapan Al oleh akar

dan yang sudah mengakumulasikan Al pada sel. Spesies tanaman dan genotip mengubah tanaman secara luas dalam toleransi pada stress mineral yang seringkali juga dikombinasikan dengan toleransi stress lain. Misalnya, tanaman tahan Al dapat lebih tahan terhadap kekeringan dan membutuhkan pengapuran dan pupuk P yang lebih rendah dibanding genotip toleran (Pietrazewska, 2001).

Translokasi ion Al3+ ke bagian atas tanaman berlangsung sangat lambat. Kebanyakan tanaman mengandung Al tidak lebih dari 0,2 mg Al/g massa kering. Keracunan terjadi bila kadar Al mencapai 30 mg Al/kg di daun kedelai, dan 20 mg Al/kg di akar padi. Pada tanaman sorghum keracunan Al terjadi pada kadar 640 mg Al/kg di daun bawah dan 1220 mg Al/kg di daun lebih atas (Muklis dkk., 2011).

Selama beberapa dekade terakhir, beberapa laboratorium di dunia sudah memfokuskan kerja mereka dalam mengidentifikasi dan mengkarakterisasi mekanisme yang digunakan tanaman sehingga memungkinkan mereka menoleransi keracunan Al pada tanah masam. Dari penelitian ini jelas bahwa ada dua kelas mekanisme yang berbeda, yaitu dengan mengeluarkan Al dari ujung akar dan yang mengijinkan tanaman untuk mentoleransi akumulasi Al di akar dan symplasm tajuk. Pada tanaman gandum, pengeluaran malat oleh akar dengan cepat diaktifkan oleh pencahayaan Al dan tidak ada peningkatan yang terlihat dari laju penghabisan malat sepanjang waktu. Pola laju peningkatan dari pengeluaran asam organik dengan pencahayaan Al dengan waktu yang lebih panjang selaras dengan induksi gen toleransi Al yang berkontribusi dengan kapatistas peningkatan ini (Kochian et al., 2004).

Mekaninsme toleransi Al oleh tanaman dapat dikelompokkan menjadi (a) mekanisme eksternal, yang merupakan ekslusi Al dari ujung akar dan (b) mekanisme internal, suatu mekanisme yang menyebabkan tanaman memiliki daya toleransi untuk mengakumulasi Al dalam sel. Mekanisme eksternal dapat dicapai melalui imobilisasi Al pada dinding sel, selektivitas plasma membran terhadap Al, induksi pH di rizosfer atau apoplas akar, sekresi senyawa organik pengkelat Al. Beberapa studi menunjukkan fakta yang kuat bahwa toleransi terhadap Al pada kedelai, jagung, gandum, sorgum, talas dan soba dicapai melalui sekresi asam organik yang mengkelat Al pada daerah eksternal. Resistensi internal meliputi pengkelatan Al di sitoplasma oleh asam organik atau polipeptida, kompartementasi Al di vakuola, sintesis protein pengikat Al, penurunan aktivitas beberapa enzim tertentu, dan induksi akumulasi protein spesifik (Sopandie, 2014).

Pada perlakuan kapur terlihat bahwa penambahan dosis kapur menurunkan ketersediaan P dalam tanah. Pengaruh pengapuran selain menaikkan pH tanah juga berpengaruh terhadap ketersediaan P dalam tanah, dimana kenaikan pH tanah akan meningkatkan juga ketersediaan P dalam tanah. Akan tetapi, pengapuran dengan dosis yang terlalu tinggi berpengaruh terhadap ketersediaan P, karena senyawa Ca yang dihasilkan kapur akan memfiksasi P sehingga ketersediaannya dalam tanah menjadi rendah (Ardiyanto, 2009).

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat merangsang, menghambat dan mempengaruhi pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Istilah zat pengatur tumbuh dapat mencakup baik zat-zat endogen maupun zat eksogen (sintetik) yang dapat

mengubah pertumbuhan tanaman. Zat pengatur tumbuh ada yang berasal dari tumbuhan itu sendiri yang disebut fitohormon. Sedangkan zat pengatur tumbuh yang berasal dari luar tumbuhan disebut zat pengatur tumbuh sintetik (Harahap, 2011).

Senyawa-senyawa yang mendorong inisiasi proses-proses biokimia yang akhirnya menyebabkan pembentukan organ dan aspek-aspek tumbuh lainnya, secara keseluruhan disebut fitohormon. Senyawa-senyawa semacam ini digolongkan dalam kelompok-kelompok berikut: auxin, giberelin, sitokinin, dan fenolik. Disamping kelompok-kelompok tersebut ada dua senyawa lain, yaitu: etilen dan asam absisik (Heddy, 1986).

Nama sitokinin disebutkan karena mereka secara khusus mendukung pembelahan sel (sitokinesis). Penelitian-penelitian dilakukan untuk melihat aktivitas sitokinin pada jaringan tanaman.Setelah dilakukan serangkaian penelitian, maka ditemukan struktur formula dari kinetin. Setelah formula kinetin ditemukan maka kelompok Winconsin membuat tiruan sintesis pertama dari kinetin. Senyawa yang mereka sintesis adalah benzilaminopurine (BAP).

NH C N C HC C N (Thimann, 1977).

Selama fase vegetatif dari siklus hidup, sitokinin tampaknya disintesis di akar, khususnya ketika mulai tumbuh dan ditranslokasikan pada bagian atas tanaman. Sitokinin sering terdeteksi pada getah dari xylem yang tercucur dari luka di permukaan atau di batang dan guntingan akar. Kita dapat menyimpulkan bahwa sitokinin berlimpah-limpah di akar, daun muda, dan buah yang berkembang (Devlin and Witham, 1983).

Fungsi utama sitokinin adalah untuk mendukung pembelahan sel. Pertumbuhan normal batang dan akar diperkirakan membutuhkan sitokinin, tapi sejumlah endogen kadang-kadang membatasi. Oleh karena itu, sitokinin eksogen gagal meningkatkan pertumbuhan organ ini. Secara keseluruhan pertumbuhan membutuhkan perkembangan sel dan pertumbuhan didukung oleh sitokinin termasuk mempercepat perkembangan sel dan pembesaran sel (Salisbury and Ross, 2002).

Sifat paling karakteristik yang berkaitan dengan sitokinin adalah perangsangan mereka terhadap pembelahan sel pada kultur jaringan tanaman. Efek-efek biologis tertentu yang diperlihatkan oleh sitokinin juga mempunyai pembelahan sel sebagai motif yang menggarisbawahinya, dan sitokinin secara luas disebut sebagai pengatur pembelahan sel. Selain pembelahan sel sitokinin juga berperan dalam pembesaran sel. Pembesaran sel pada diskus daun yang layu meningkat luar biasa dengan terdapatnya kinetin dan analog-analog tertentunya aktifa didalam pembelahan sel (Wilkins, 1989).

Dalam beberapa kasus sitokinin merangsang pembentukan akar lateral pada konsentrasi sama yang menghambat pertumbuhan sumbu utama. Sitokinin bersama dengan zat-zat lainnya juga dapat merangsang pengeluaran awal akar.

Pada penelitian-penelitian lain juga didapatkan bahwa pada bagian dasar keratan-keratan Acerrubrum menghambat pertumbuhan akar tetapi jika disemprotkan pada daun mempunyai efek meningkatkan. Sedangkat pada penelitan dengan paku air marsilea drummondii dilihat bahwa terjadi pengeluaran akar yang diinduksikan oleh pemberian sitokinin. Kinetin pada 0,01 mg 1-1 menginduksi pembentukan akar yang banyak sekali dari permukaan adaksial daun dari spora-spora kecil yang dikulturkan secara aseptis di dalam medium cair (Fox, 1989).

Dalam penelitian Pan et al. (1986) kultivar sensitif Al, ransom, ditanam pada tanah asam (aeric paleudult) disesuaikan pada 3 level Al yang dapat dipertukarkan. Perkembangan sulur cabang pada cabang utama luas pada tanah berkapur yang mengandung 0,06 cmol (+) kg-1Al. Hambatan ini oleh tingginya Al atau kondisi pH yang rendah dibalikkan dengan pengaplikasian 20 µg/ml benzylaminopurine yang diaplikasikan baik disemprotkan pada daun atau pada daerah cabang meristem. Ketika sitokinin diaplikasikan, pertumbuhan tunas lateral pada perlakuan tanpa kapur sebanding dengan atau lebih baik dari pada yang diamati pada perlakuan dengan kapur tanpa sitokinin. Observasi ini mendukung hipotesis keterlibatan stokinin pada adaptasi pertumbuhan tunas oleh Al yang mengacu pada apeks akar, biosintesis sitokinin dan efek primer keracunan Al.

Sedangkan pada penelitian Kuang et al. (1986) peningkatan lingkar gagang bunga dan perpanjangan tangkai daun dilihat pada pusat tandan tanaman kacang kedelai yang diberi perlakuan sitokinin, 6-benzilaminopurine (BAP). Peningkatan yang berarti jumlah silang setempat area jaringan telah diamati pada bintil yang lebih rendah setelah 11 hari. Pada tangkai daun yang diberi perlakuan

sel procambial dari jaringan pembuluh yang pertama menanggapi perlakuan BAP, hasil dari pembentukan dari penambahan xylem dan floem.

Sofia (2007) menunjukkan bahwa pemberian BAP pada konsentrasi tertentu dapat membantu pembelahan sel-sel tanaman sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, saat konsentrasi BAP terus ditingkatkan pertumbuhan tanaman dapat menurun. Pemberian BAP dalam konsentrasi yang lebih kecil akan berpengaruh positif pada beberapa parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah akar, berat akar, serta berat total tanaman.

Pemberian BAP yang dengan konsentrasi yang tinggi dapat membuat pertumbuhan tanaman terhambat. Hal ini dapat disebabkan karena tanaman juga mensintesis sitokinin sendiri, dan sitokinin tersebut dapat memacu pertumbuhan tanaman, sehingga ketika diberikan sitokinin dari luar sitokinin yang di dapat tanaman menjadi berlebih. Rasio sitokinin dan auksin yang tidak berimbang menghambat pertumbuhan tanaman (Nursetiadi, 2008).

Pemberian sitokinin dari luar mampu mempengaruhi proses-proses seperti diferensiasi dan penuan yang membawa pada spekulasi yang luas diantara fisiologi tanaman bahwa proses ini juga dapat dikontrol oleh kadar sitokinin endogen. Sejumlah besar penelitian tentang sitokinin telah melihat bukti dari peran sitokinin sebagai pengendali endogen dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Perbandingan yang rendah antara sitokinin dan auksin menyebabkan pembentukan panjang akar. Perbandingan auksin dan sitokinin digunakan untuk mempengaruhi pembentukan akar dan tajuk pada beberapa kultur kalur tanaman. (Horgan, 1984).

Stres lingkungan dapat meningkatkan bobot akar dibanding tajuk. Penurunan ketersedian N, P, atau air meningkatkan rasio akar dan tajuk dari

Lolium parenne L. Walaupun defisiensi bebrapa mineral mempengaruhi

pertumbuhan tanaman dan hubungan akar-tajuk, tanpa terkecuali air dan defisiensi N. Ketika tanaman mengalami defisiensi N, hasil fotosintat leibh banyak digunakan oleh akar untuk mengembangkan panjang yang lebih sehingga tanaman mampu mendapatkan N lebih banyak (Fageria dan Moreria, 2011).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemasaman tanah adalah keberadaan ion H+ yang berlebih dalam larutan tanah. Kelebihan ion H+ pada larutan tanah disebabkan oleh aluminium memasuki larutan tanah dan melepaskan ion hidrogen pada air tanah. Ketika koloid liat melapuk atau rusak, aluminium pada lapisan aluminium lepas dan terjerap pada komplek jerapan dengan menggantikan ion H+ atau terlepas pada larutan tanah. Sekali aluminium memasuki larutan tanah, ini akan bereaksi dengan air membentuk senyawa hidroksialuminium dan melepaskan ion hidrogen (Sopher and Baird, 1982).

Kemasaman tanah berasal dari beberapa sumber: bahan organik, liat aluminosilikat, hidroksida dari Fe dan Al, aluminium dapat dipertukarkan, garam-garam terlarut, dan karbon dioksida. Bahan organik tanah mengandung karboksil reaktif, phenolic, dan kelompok-kelompok amino yang mampu berikatan dengan ion H+. Kelompok yang jenuh H+ akan berperan sebagai asam lemah dan kovalen H+ yang terikat akan terpisah. Selain itu, keberadaan Al3+ yang dapat dipertukarkan juga menjadi penyebab kemasaman tanah. Ion Al3+ yang tergantikan dari mineral liat oleh kation-kation hidrogen pada larutan tanah, hasil dari hidrolisis akan diadsorpsi kembali oleh mineral liat yang menyebabkan hidrolisis lebih lanjut (Havlin et al., 1999).

Tanah masam dapat diatasi dengan pengapuran dan penambahan bahan organik. Pengapuran adalah solusi yang sering digunakan, penambahan kapur (CaCO3) yang dihancurkan atau yang lebih efektif CaO atau Ca(OH)2. Namun

pengapuran yang berlebihan menimbulkan masalah pada sifat fisika tanah. Seperti yang diketahui, permeabilitas tanah dapat dipengaruhi oleh pengapuran. Tingkat infiltrasi yang tinggi dan laju pencucian basa dari tanah-tanah tropis sangat tergantung pada kestabilan struktur sebagai hasil dari kecenderungan Fe dan Al oksida untuk mengikat partikel tanah yang disebut agregat. Pengapuran yang berlebihan dapat mengakibatkan ketidakstabilan struktur, menyebabkan agregat tanah pecah karena penurunan permeabilitas dan drainase yang kurang memadai (Harter, 2007).

Penambahan bahan organik juga dapat mengatasi pH tanah yang rendah. Penambahan sampai 15 ton/ha bahan organik jerami, azolla dan eceng gondok menyebabkan penurunan nilai pH tanah. Penambahan eceng gondok kedalaman 0-20 cm pada dasarnya tidak menimbulkan perubahan penurunan nilai pH yang berbeda nyata. Pemberian jerami 10 ton/ha dapat menyebabkan penurunan nilai pH terendah yang berbeda nyata. Penurunan nilai pH tersebut tidak berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman selama penurunannya tidak terus berlanjut (Raharjo, 2000).

Namun, banyak jenis bahan organik yang dapat mengasamkan tanah, tergantung kepada tanaman dari mana bahan organik tersebut berasal. Beberapa tanaman mengandung sejumlah asam organik. Begitu residunya terdekomposisi, asam organik secara alami mempengaruhi kemasaman tanah. Beberapa tanaman mengasamkan secara sederhana, karena rendahnya konsentrasi basa yang dikandungnya. Jika tanaman tidak mengandung cukup basa untuk mencukupi keperluan mikrobia, dekomposisi jaringan tanaman tidak hanya mengeluarkan

karbon dioksida tetapi juga akan mengambil hara basa, seperti kalsium dan magnesium dari dalam tanah (Muklis dkk., 2011).

Gejala keracunan Al yang utama pada tanaman dapat dilihat pada pertumbuhan akar yang terhambat. Akar menunjukkan tanda-tanda kerusakan seluler yang lebih hebat daripada bagian tanaman yang lain. Keracunan Al dapat dilihat pada sistem akar terutama pada ujung akar dan cabang akar, cabang akar menjadi tebal dan berubah menjadi coklat. Secara keseluruhan sistem akar terlihat memiliki cabang akar yang tebal tapi tidak ada cabang yang baik (Rout et al., 2001).

Oleh sebab itu, untuk mengatasi kemasaman tanah dapat dilakukan dengan mengatasi keracunan akar oleh Al. Bahan yang dapat digunakan adalah zat pengatur tumbuh (ZPT). Pemberian ZPT dapat meningkatkan pertumbuhan akar, stump yang direndam dengan campuran Atonik pada bagian pangkal anakan dapat merangsang pertumbuhan akar. Pemberian zat pengatur tumbuh sebenarnya bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan akar, sehingga tanaman menjadi seragam karena tumbuh besamaan dengan kualitas pertumbuhan yang relatif sama (Trisna et al., 2013).

Pan et al. (1986) juga mengatakan bahwa gejala keracunan Al dapat diatasi

dengan pengaplikasian benzylaminopurine (BAP) yang diaplikasikan baik disemprotkan pada daun atau pada daerah cabang meristem. Ketika sitokinin diaplikasikan, pertumbuhan tunas lateral pada perlakuan tanpa kapur sebanding dengan atau lebih baik dari pada yang diamati pada perlakuan dengan kapur tanpa sitokinin. Selain itu Kuang et al. (1986) dalampenelitiannya juga melihat peningkatan lingkar gagang bunga dan perpanjangan tangkai daun dilihat pada

pusat tandan tanaman kacang kedelai yang diberi perlakuan sitokinin, 6-benzilaminopurine (BAP).Peningkatan yang berarti jumlah silang setempat area jaringan telah diamati pada bintil yang lebih rendah setelah 11 hari.

Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengatasi kerusakan akar akibat kemasaman tanah oleh Al dengan pemberian ZPT dan pengaruh pemberian ZPT dalammeningkatkan pertumbuhan akar.

Tujuan Penelitian

Untuk mengkaji pengaruh pemberian ZPT dalammengatasi keracunan Al pada akar tanaman pada tanah Ultisol di rumah kaca.

Hipotesis Penelitian

Pemberian ZPT dapat meningkatkan pertumbuhan akar tanaman kedelai pada kondisi keracunan Al di rumah kaca.

Kegunaan Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi para pembaca untuk mempertimbangkan penggunaan bahan kimia yang tepat dalam mengatasi keracunan Al pada tanaman dan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

ABSTRAK

Penelitian rumah kaca untuk mengatasi gejala keracunan Al pada tanaman kedelai dengan pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Benzylaminopurine (BAP) di tanah Ultisol. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Non Faktorial dengan perlakuan kontrol, pengapuran dengan dosis 1,5 x Aldd (L), dan 4 taraf konsentrasi ZPT BAP yaitu: 0,4 µg/mL (B1),0,8 µg/mL (B2), 1,2 µg/mL (B3), dan 1,6 µg/mL (B4)dengan 4 ulangan. Parameter yang diukur adalah pH, volume akar, panjang akar, bobot kering akar, bobot kering tajuk, serapan N, P,

Dokumen terkait