• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Udang

Pakan yang masuk ke dalam tubuh udang akan digunakan sebagai sumber energi (metabolisme) untuk menggerakkan semua fungsi tubuh dan bahan untuk pembangunan biomassa tubuh (anabolisme). Peningkatan biomassa udang bergantung pada energi yang tersedia dalam tubuh udang dan ke mana energi tersebut didistribusikan serta digunakan dalam tubuh. Pendekatan tradisional konsumsi pakan, metabolisme, dan pertumbuhan dalam persamaan keseimbangan termodinamika (Ivlev, 1939, Winberg, 1956 dalam Webb 1978).

p.QR = QM + QG

QR = Konsumsi pakan

QM = Metabolisme (katabolisme) QG = Pertumbuhan (anabolisme)

p = Proporsi pakan yang dikonsumsi untuk diasimilasi

Distribusi energi dalam tubuh organisme (Brett, 1970 dan Warren, 1971 dalam Webb, 1978)

QR – (QF + QN) = QS + QL + QSDA + QG + QP

QF = Energi yang hilang lewat kotoran

QN = Energi yang hilang lewat ekskresi (nitrogen) QS = Metabolisme standar

QL = Energi untuk aktivitas metabolisme QSDA = Aksi dinamik spesifik

Pertumbuhan larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan struktur melalui metamorfosis dan ganti kulit, serta peningkatan biomas sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi masa tubuh udang. Pertumbuhan udang umumnya bersifat diskontinu karena setiap ganti kulit sebagian masa hilang sebagai eksuvia (Allen, et al, 1984). Secara skematik, representasi perubahan berat basah dan berat kering selama siklus molting disajikan pada Gambar 2.

Pertumbuhan udang galah dipengaruhi oleh jenis kelamin dan berbagai variabel lainnya. Laju pertumbuhan udang jantan dan betina adalah sama. Pada saat udang betina membutuhkan energi untuk pembentukan ovari, pertumbuhan udang betina lebih lambat. Sampai ukuran 17 g, pertumbuhan udang jantan dan betina sama, dan perbedaan laju pertumbuhan baru terlihat pada ukuran di atas 25 g. Karena udang galah mempunyai variasi yang tinggi dalam pertumbuhan maka disarankan adanya panen selektif untuk mengurangi kompetisi makanan, oksigen, dan teritorial (Fujimura dan Okamoto, 1972 dalam Sendifer dan Smith, 1985).

Di alam, udang galah tergolong omnivora, makan zooplankton (pada saat larva), cacing, serangga, larva serangga, moluska renik dan krustase renik, bijian, algae, dan tanaman air (Ling, 1969 dalam Sendifer dan Smith, 1985). Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari berkorelasi positif dengan pertumbuhan (Shigueno, 1975). Pakan yang kandungan nutrisinya kurang akan dimakan lebih banyak, sebaliknya ketika pakan mengandung nutrisi yang lebih tinggi, konsumsi pakan akan menurun dan pertumbuhan udang akan lebih cepat. Untuk udang Penaeus, ukuran konsumsi pakan adalah sebesar 2-4% per hari pada kondisi suhu 25oC dan memberikan hasil yang baik.

Lapisan Kulit dan Komponen Pembentuknya

Udang merupakan hewan krustase dari ordo Dekapoda yang permukaan tubuhnya dilapisi oleh kulit yang dibentuk dari protein kompleks berupa khitin. Selain itu, pada kulit krustase tersimpan kalsium karbonat yang berperan sebagai pengeras kulit (Dennel 1960). Khitin sebagai komponen pembentuk kulit tersusun dari polimer anhidro-N-Asetil-glukosamin yang mempunyai berat

B e r a t

Berat kering molt

molt

Waktu

Gambar 2. Skema perubahan bobot basah dan bobot kering selama siklus molting

molekul tinggi dan residunya dihubungkan dengan rantai eter α-glikosida pada atom karbon nomor 1 dan 4. Kulit krustase terdiri atas eksokutikula, endokutikula, dan lapisan membran. Epikutikula pada krustase tidak mengandung khitin dan sedikit mengandung lipid. Konsekuensinya, eksoskeleton tidak kedap air, namun lipoprotein mampu menahan air keluar. Dennel (1960) juga mengungkapkan bahwa ada empat lapisan kulit dekapoda yang terdiri atas, epikutikula, lapisan pigmen, lapisan berkalsium, dan lapisan tidak berkalsium. Lapisan epikutikula tidak mengandung khitin, sedangkan lapisan lainnya mengandung khitin. Lapisan yang mengandung khitin tersebut disebut pula endokutikula (Tabel 1).

Kandungan kalsium karbonat atau kalsit pada kulit udang merupakan faktor penentu keras dan tidaknya eksoskeleton. Namun, menurut Lafon dalam Dannel (1960), di samping dalam bentuk kristal CaCO3, kalsit juga ditemukan dalam bentuk amorf kulit krustase. Magnesium, fosfor, dan sulfat yang terkandung dalam kulit proporsinya juga perlu mendapat perhatian karena menentukan kekerasan kulit.

Berat basah

Model berat basah

Tabel 1. Ciri-Ciri Bagian Kulit Dekapoda (Dennel, 1960) Susunan Komposisi organik Komposisi anorganik Waktu perkembangan - Epikutikula – kutikula - Endokutikula: - Lapisan berpigmen Bukan khitin Khitin Kapur Kapur Premolt Premolt - Lapisan berkalsium - Lapisan tidak berkalsium Khitin Khitin Kapur Kapur Premolt Postmolt

Proses Molting pada Udang

Udang secara alamiah akan mengalami molting atau ganti kulit bila akan tumbuh. Menurut Dennel (1960), proses molting terdiri atas dua tahapan yang penting, yaitu melemahnya atau terputusnya lapisan dalam yang tua dan terlepas dari epidermis. Tahapan kedua adalah tumbuhnya kulit baru yang elastik sehingga memungkinkan udang tumbuh atau bertambah ukurannya.

Dalam kehidupannya, udang mempunyai beberapa fase yang secara sederhana digambarkan oleh Passano (1960) sebagai fase premolt, molt, postmolt, dan intermolt. Fase intermolt merupakan interval antara satu molting dengan molting berikutnya, yang di dalamnya terdapat stadia-stadia yang menggambarkan proses pengerasan kulit udang. Passano (1960) membagi fase ini menjadi stadia A, B, C, D, dan E. Stadia E merupakan stadia molting yang menuju ke stadia A (Tabel 2).

Pada udang, stadia D menempati peran yang penting dibandingkan pada kepiting karena berperan dalam proses pembentukan kulit (eksoskeleton) dan pertumbuhan menjadi lambat. Hepatopankreas berperan membantu organ untuk menumpuk cadangan mineral selama stadia C4 dan menyimpannya untuk kemudian diserap kembali dari eksoskeleton selama stadia D. Mineral yang disimpan sebagian besar berupa kalsium dan magnesium fosfat. Kation digunakan dalam mineralisasi postecdysial kutikula, sedangkan fosfat digunakan untuk sintesis khitin.

Selama intermolt (C3 s/d D1), kandungan mineral pada hepatopankreas mengalami penggandaan, pada kepiting jumlahnya 20-30% dari berat kering hepatopankreas.

Tabel 2. Stadia intermolt golongan kepiting (modifikasi) Drach dalam Passano (1960)

Stadia Nama Ciri-ciri Aktivitas

Makan/ tidak Air (%) Lamanya (%) Stadia A A1 Baru molting

Secara kontinyu menyerap air dan permukaan mineralisasi

Sedikit Tidak - 0,5

A2 Lemah Mineralisasi eksoskeleton (kulit luar)

Sedikit Tidak 86 1,5

Stadia B

B1 Kulit tipis Ekskresi dari endokutikula mulai

Dipertim-bangkan

Tidak 85 3,0

B2 Kulit tipis Pembentukan endokuti kulamulai aktif

Penuh Mulai 83 5,0

Stadia C

C1 Keras Jaringan utama tumbuh Penuh makan 80 8,0 C2 Keras Pertumbuhan jaringan kontinyu Penuh makan 76 13

C3 Keras Perlengkapan eksoskeleton; lapisan membran terbentuk

Penuh makan 68 15

C4 Keras “Intermolt”, penumpukan simpanan bahan organik

Penuh makan 61 30+

Stadia D

Penuh makan

D0 Proecdysis Epidemis dan hepatopankreas aktif

Penuh makan 60 10+?

D1 Proecdysis Epikutikula terbentuk dan mulai terbentuk duri saraf

Penuh makan - 5

D2 Pengelupasan Eksoskeleton mulai mengeluarkan sekresi

Penuh Menurun - 5

D3 Pengelupasan Sebagian besar skeleton diserap kembali

Menurun Tidak Naik 3

D4 Menjelang

molting

Kulit mulai robek Sedikit Tidak Naik 1

Unsur anorganik yang paling penting dalam tubuh udang galah adalah kalsium, dan unsur tersebut sangat banyak terkandung dalam eksoskeleton, yaitu pada bagian kulit, kulit badan, dan proventrikulus. Kalsium dalam tubuh udang berperan sebagai (1) pembentuk eksoskeleton, (2) pengatur pembekuan darah, (3) pengatur denyut jantung, (4) pengatur fungsi tubuli ginjal, (5) pengatur otot saraf untuk bekerja secara normal, (6) pengatur aktivitas beberapa jenis enzim, dan (7) sebagai pengatur permeabilitas sel (Lockwood, 1967).

Sumber kalsium bagi udang dapat berasal dari pakan dan media hidupnya (Deshimaru, et.al, 1978). Penyerapan kalsium dalam rongga usus memerlukan energi yang bergantung pada enzim ATPase. Dalam darah, kalsium terdapat dalam (1) bentuk terikat oleh protein, terutama albumin dan dapat berfusi, (2) bentuk ion, dan (3) bentuk ikatan kompleks, yaitu fosfat, bikarbonat dan ikatan sitrat (Djojosoebagio, 1987). Transport aktif kalsium dalam darah dipengaruhi oleh vitamin D.

Untuk keperluan pengerasan kulit pada endokutikula, udang mempergunakan kalsium dan garam mineral lain dari media eksternalnya, dan diendapkan di eksoskeleton berupa CaCO3 selama fase postmolt. Pada stadia D3 (premolt = proecdysis) terjadi penyerapan kembali (resorption) mineral kalsium yang selanjutnya diekskresikan atau disimpan sementara di hepatopankreas (Passano, 1960). Sejumlah besar kalsium yang dibutuhkan untuk memulai mineralisasi setelah molting berasal dari reabsorpsi eksoskeleton lama, kemudian dimobilisasi dan disimpan di gastrolit. Gantrolit pada Orconectes virilis terbentuk di antara dinding kutikular usus bagian depan dan di bawah epidermis. Ketika molting, gastrolith masuk ke lumen usus bagian depan dan secara bertahap dipecah dan beberapa diserap oleh epitelium usus dan hepatopankreas. Kalsium masuk ke haemolimf dan dibawa ke bawah epitelium eksoskeleton dan digunakan untuk proses pengendapan kapur. Kalsium yang disimpan dalam bentuk gastrolith di usus bagian depan selama intermolt hanya cukup untuk memenuhi 10% dari kebutuhan pengerasan eksoskeleton, sisanya hilang (Greenaway, 1985).

Kulit udang M. Mastersii mengandung 38.7% bahan anorganik, dari bahan anorganik tersebut 98.5% berupa kalsium karbonat. Pada saat premolt, epikutikel dan eksokutikel disintesis dan terpisah dari kulit lama. Selama premol,t khitin dan

protein dari kulit lama diserap kembali (39%) Sesaat setelah molting, kalsium diendapkan di eksokutikel dan dalam tempo 5 jam formasi kutikel baru sudah lengkap (Dall 1965, Pasano 1960 dalam Imai, 1977). Mukopolisakarida asidik adalah prekursor khitin dan dibawa ke sel epidermis oleh amoebosit pada darah.

Pada saat stadia D4, A, dan stadia B, glikogen dalam hepatopankreas mengalami penurunan karena saat tersebut bersamaan dengan pembentukan endokutikula baru yang berupa lapisan khitin (Lockwood, 1967). Bahan dasar khitin adalah glikogen dan protein kompleks .

Pada fase postmolt, udang karang (Crayfish) mengambil kalsium dari lingkungannya untuk pengerasan kulitnya. Pada fase premolt, kalsium tersebut disimpan dalam gastrolith atau diikat oleh darah, tetapi banyak juga yang diekskresikan kembali ke dalam air (McWhinnie dalam Malley, 1980). Sebagian dari kalsium dapat diperoleh dari pakan. Perkiraan rasio optimum antara kalsium dan fospfor dalam pakan sebaiknya adalah 1,2:1, karena pada rasio Ca:P 2:1 akan menghambat pertumbuhan dan mengurangi pigmentasi. (Pascual, 1983). Dall (1964) juga menyatakan bahwa kulit udang penaeid mengandung CaCO3 sebanyak 1/3 dari berat kulitnya pada kondisi yang normal. Kalsium bersama-sama bikarbonat dalam air ditukar ke dalam tubuh udang dengan ion H+ sehingga terpelihara keseimbangan listriknya. Pada Tabel 3 ditunjukkan kandungan natrium, kalium, dan kalsium dalam jaringan metapenaeus pada berbagai organnya. Berdasarkan tabel tersebut tergambar bahwa kalsium terbanyak ditemukan pada kulit, kemudian pada kulit, dan proventrikulus.

Mekanisme penyimpanan kalsium dapat diterangkan berdasarkan perbedaan kelarutan Ca2+ dan CO32- dalam cairan tubuh (Revele dan Faisbridge dalam Dall, 1964). Hasil ionisasi dalam darah meningkat pada akhir molting, kondisi tersebut meningkatkan laju penyimpanan kalsium setelah udang molting (Dall, 1964). Travis dalam Dall (1964) menyatakan bahwa fosfat sangat berperan dalam pengendapan kalsium untuk menunjang pengerasan. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya fosfat pada kulit crayfish setelah pengerasan kulit.

Tabel 3. Natrium, kalium dan kalsium yang terkandung dalam jaringan metapenaeus pada fase intermolt, dengan satuan meq/liter dalam darah dan meq/kg berat kering jaringan (Dall, 1964).

Jaringan tubuh Na K Ca

Darah (tanpa protein) 400,0 10,0 20-30

Protein darah 2,1 0,2 0,4

Kalenjar pencernaan 206,0 70,0 21,6

Epidermis 277,0 92,5 32,6

Daging 47,8 119,2 6,7

Kulit 0 1,0 5000-10.000

Proventrikulus Tak ditemukan tak ditemukan 1250,0

Kulit badan 0 tak ditemukan 2500,0

Pada Metapenaeus, kalsifikasi atau pengerasan terjadi mulai dari stadia B, dan CaCO3 disimpan dalam sistem lembaran-lembaran benang yang sedikit kandungan kristalnya. Pusatnya terletak pada bagian dorsal kulit dan abdomen serta berkurang pada bagian lateral tubuhnya.

Hormon yang bekerja dalam membantu proses penyerapan kembali kalsium dari eksoskeleton belum terungkap secara jelas karena peningkatan kalsium dalam darah atau hepatopankreas bukan disebabkan oleh kerja dari hormon molting dari organY , akan tetapi hormon yang disekresikan oleh organ Y tersebut memacu bekerjanya penyerapan kembali kalsium ke dalam darah atau hepatopankreas sehingga hormon molting hanya sebagai perantara terjadinya resorpsi.

Pengambilan Kalsium dari Air ke dalam Tubuh Udang

Pada crayfish, pengambilan kalsium dari media dipengaruhi oleh pH air. Jika pH air rendah, kemampuan crayfish mengambil kalsium menurun (Malley, 1980). Pengambilan kalsium mulai terhambat pada pH di bawah 5,75. Pada udang penaeid, pengambilan kalsium dari media eksternal dipengaruhi oleh kandungan karbonat di media eksternalnya. Walaupun pH menurun, apabila kandungan bikarbonat di air tidak terlalu tinggi, penyerapan kalsium dalam proses kalsifikasi masih dapat berlangsung (Wickins, 1984). Pertukaran kalsium antara tubuh dan lingkungan terjadi melalui insang. Periode postmolt pada crayfish

bergantung pada seberapa banyak kalsium yang diambil dari lingkungan untuk pengendapan dan pengerasan kulit baru (Adegboye, 1974). Pada lingkungan yang kalsiumnya cukup, proses mineralisasi selesai selama 1-3 hari bergantung pada spesies, ukuran, dan suhu (Huner et al. 1978; Travius 1965 dalam Avault dan Huner, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi pertukaran kalsium terus-menerus antara tubuh krustase dan lingkungan (Greenway, 1974), dengan laju maksimal pengambilan Ca2+ dari lingkungan sebesar 1.3 mmol kg-1 jam-1 (Cameron, 1985a), dan pada kondisi ini konsentrasi Ca2+ dalam darah menurun tajam (Robertson, 1960). Kalsium dalam tubuh udang merupakan indikator yang baik bagi kemajuan mineralisasi (Tabel 4). Kadar kalsium yang diendapkan turun tajam setelah molting, dan terus meningkat dan lajunya cepat setelah 7 hari (Gambar 3), yang mencapai 55% dari nilai intermolt. Pada hari ke 7, rata-rata 20.0 mg/ kg Ca2+ telah diendapkan.

Kalsium yang masuk ke dalam tubuh dapat dirunut melalui 45Ca (Cameron,1985 b). Selama 5 hari diberi 45Ca2+, rata-rata laju pengambilan Ca2+ maksimum 4.07 mmol kg-1 jam-1 (8.14 mequiv k-g-1 jam-1) selama hari pertama dan berkaitan dengan ekskresi H+ sebesar 9.48 m equiv kg-1 jam-1 juga selama hari pertama.

Tabel 4. Komposisi mineral kulit kepiting pada fase intermolt

Jenis G (%) Ca2+ 29.1 Mg2+ 1.7 Sr2+ 0.41 PO43- 3.4 CO32- 48.9 Na+ 1.3 K+ 0.3 Total 85.1

Hasil percobaan Cameron (1985 c) menunjukkan bahwa laju masuk kalsium dan laju keluar H+ pada kepiting sangat terhambat oleh penurunan kadar Ca2+ lingkungan, (HCO3-), atau pH (Gambar 3). Korelasi antara Ca2+ yang masuk ke

dalam tubuh dan H+ yang keluar tubuh kepiting adalah sebesar 0.61. Pembentukan kulit baru bergantung pada kecepatan transport kalsium ke dalam tubuh udang, yang dipengaruhi oleh keseimbangan elektrik.

40 - 30 - 20 - 10 - 0 2 4 6 8 Intermolt postmolt Hari

Gambar 3. Total kandungan kalsium dalam tubuh kepiting pada fase intermolt dan pada fase postmolt

Pengendapan CaCO3 di kulit, diikuti oleh transport ion H+ ke luar tubuh udang, seperti reaksi berikut (Cameron, 1985 c):

Ca2+ + HCO3- CaCO3 + H+

Sejumlah kombinasi transport dicapai dengan keseimbangan elektrik dan asam basa (1) transport 1 Ca2+ yang masuk di kopel dengan transport keluar 2H+ (2) transport masuk 1 Ca2+ di kopel dengan transport masuk 1 HCO3- dan transport keluar 1 H-.

Kalsium merupakan kation terpenting di antara seluruh ion anorganik yang berperan dalam pemeliharaan proses fisiologis krustase (Robertson, 1941 dalam France, 1983) dan kebutuhan akan ion ini cukup tinggi (Greenway, 1974). Oleh karena itu, distribusi crayfish di alam dipengaruhi oleh kadar Ca++ perairan. Proporsi eksoskeleton yang lembek lebih tinggi pada udang yang hidup di kolam yang berair lunak (Bretonne et al dalam France, 1983), dan eksoskeleton juga

lebih tipis (Le Caze, 1970). Pada pH di bawah 5.75, pengambilan Ca++ terhambat dan 15 - 10 - 5 - 0 5 10 15 20 -5 - -10 -

Gambar 4. Hubungan antara Ca2+ yang masuk ke dalam tubuh kepiting dan Ca2+ di lingkungan

siklus molting menjadi lebih lambat. pH rendah dapat memperpanjang periode intermolt, dan siklus molting (Borgstram dan Hendrey, 1876; Malley 1980; Appelberg 1980).

Peningkatan kadar kalsium di jaringan sebesar 3% dapat meningkatkan biomas crayfish sebesar 20% (Adegboye, 1983). Selama periode akhir intermolt, panjang kulit berhubungan langsung dengan konsentrasi kalsium dalam eksoskeleton, namun tidak ada hubungannya dengan kadar kalsium di hemolimf dan hepatopankreas. Pada awal premolt, panjang kulit berhubungan dengan kadar kalsium di hemolimf, eksoskeleton lama, dan hepatopankreas, sedangkan pada premolt hubungan tersebut tidak terlihat. Panjang kulit dan konsentrasi kalsium di kulit yang baru terbentuk mempunyai hubungan yang terlihat nyata.

Kadar kalsium yang disimpan di jaringan crayfish dewasa lebih tinggi dibandingkan crayfish muda (Adegboye, 1983). Namun, pengaruh umur dengan

(Ca2+) (mmol L-1) media

Influks Ca 2+ (meqkg -1 ja m -1 )

kadar kalsium di hemolimf bervariasi dengan tingkat dalam siklus molting. Proses molting berpengaruh pada kadar kalsium dalam hemolimf. Pengaruh proses molting pada kadar kalsium dalam hemolimf meningkat sejalan dengan pertambahan umur crayfish. Hubungan tingkat molting dengan umur dan kadar kalsium dalam hemolimf adalah sebesar 0.653.

Frekuensi molting dipengaruhi oleh ukuran tubuh, udang muda dengan laju pertumbuhan yang tinggi mempunyai frekuensi ganti kulit yang lebih sering dibandingkan udang dewasa. Frekuensi molting juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, kondisi fisiologis, suhu, kimia air, serta kualitas dan kuantitas makanan. Siklus molting udang selain dipengaruhi oleh sistem hormon, biota, dan pakan, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.

Siklus molting krustase dikontrol oleh dua sistem hormon yang berlawanan, yaitu molt inhibiting hormone (MIH), yang disintesis dalam kompleks glandular yang berada di tangkai mata dan juga mendorong sekresi hormon molting (B ekdison yang merupakan turunan dari kolesterol). Ekdison disintesis oleh organ Y yang berada di daerah anterior sefalotoraks. Ekdison tidak dapat disimpan, tetapi dilepaskan ke dalam hemolimf dan dihidroksilasi dalam bentuk 20- hidroksiekdison (B ekdison) Pemotongan tangkai mata dapat meningkatkan frekuensi molting (D Abramo dan Conklin, 1985 ).

Dinamika Kalsium di Lingkungan

Ion kalsium di lingkungan dapat berasal dari CaCO3 (kalsit), CaMg(CO3)2 (dolomit), Ca(OH)2 (kalsium hidroksida) dan CaO (kalsium oksida).

CaCO3 + 2H+ Ca2+ + H2O + CO2 CaMg (CO3)2 + 4H Ca2+ + 2H2O Ca(OH)2 + 2H+ Ca2 + + 2H2O

CaO + 2H+ Ca2+ + H2O

Di antara ketiga bentuk kapur tersebut, CaO lebih efektif menetralisir asam dibanding CaCO3 dan Ca(OH)2 (Boyd, 1982). Pengendapan kalsium berhubungan dengan kenaikan pH, karena hidrolisis karbonat akan menghasilkan ion hidroksil

yang menyebabkan kenaikan pH. Peningkatan kesadahan air juga menyebabkan pengendapan CaCO3.

Pada perairan laut dan perairan tawar yang banyak mengandung kalsium dan magnesium, potensial berpengaruh pada pH perairan (Spotte, 1979). Mineral karbonat dalam perairan ini dapat berfungsi sebagai cadangan bikarbonat yang sangat potensial untuk mengionisasi dan menetralisir peningkatan ion hidrogen dalam air. Kelarutan mineral karbonat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan karbon organik terlarut atau desolve organic carbon (DOC). Magnesium dan DOC bersifat menghambat pengendapatan mineral karbonat dalam air.

Terdapat tiga tipe dasar kolam yang responsif terhadap pengapuran, yaitu (1) kolam yang mengandung bahan humus dan lumpur yang banyak mengandung bahan organik, (2) kolam dengan pH dan alkalinitas air rendah, dan (3) kolam dengan air yang mengandung mineral asam yang berasal dari tanah sulfat masam.

Lingkungan Kesadahan dan Alkalinitas

Udang membutuhkan mineral, khususnya kalsium dan magnesium, untuk pembentukan eksoskleton baru.dan proses biologis lainnya. Namun, hanya sedikit informasi tentang pengaruh kandungan mineral pada udang. Pada awal larva udang galah terjadi kematian pada saat dipelihara di air laut buatan dengan total kesadahan 50-100 mg/l CaCO3 (Sick dan Beaty 1974). Pada studi yang sama, kematian udang dan pertumbuhannya normal pada media yang dibuat dari air suling. Juvenil udang hidup dan tumbuh baik pada kesadahan rendah 5-7 mg//l, tetapi eksoskeleton lembek pada kadar Ca yang rendah. Heinen (1977) dalam FAO (1989), menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan postlarva yang dipelihara pada tingkat kesadahan 10-310 mg/l CaCo3 eq selama 28 hari, namun Cripps dan Nakamura (1979) dalam Sandifer dan Smith (1985) menyatakan bahwa pertumbuhan menurun dengan kesadahan di atas 65-500 mg/l. CaCo3. Udang yang dipelihara di kesadahan terrendah menghasilkan bobot 2 sampai 5 kali dibandingkan bobot udang yang dipeliharan di kesadahan tertinggi. Lama intermolt meningkat pada udang yang dipelihara dalam kesadahan 500 mg/l CaCo3. Kesadahan air untuk udang tidak boleh lebih

dari 300 mg/l. Total alkalinitas tidak lebih dari 180 mg/l CaCo3. Peningkatan pH dapat merangsang blooming plankton dan pengendapan kalsium dapat merusak insang.

Suhu Air

Dalam rentang suhu yang layak, larva tumbuh dan molting lebih cepat pada suhu yang meningkat. Rentang suhu optimum adalah 24-31oC. Pada suhu di bawah 24-26oC, larva tidak dapat tumbuh dengan baik dan waktu untuk metamorfosis menjadi lebih panjang. Perubahan suhu secara bertahap seperti antara siang dan malam, musim hujan, dan musim kemarau tidak banyak berpengaruh pada kehidupan larva, sedangkan perubahan yang mendadak dapat mengakibatkan kematian (FAO, 1989). Pada suhu 27-30oC, fase larva memerlukan waktu 25-40 hari (Sandifer dan Smith, 1985). Pertumbuhan udang, aktivitas dan kelangsungan hidup menurun pada suhu di luar 22-33oC. Hasil penelitian Chen dan Kou (1996) menunjukkan bahwa proporsi eksresi N-amonia lebih tinggi dibanding ekskresi amonia total sejalan dengan peningkatan suhu. Pada suhu 17oC, ekskresi N-urea tidak ditemukan, tapi pada suhu 32oC jumlah N-amonia, N-urea dan N-organik masing-masing sebesar 70.2 %, 4.2 %, dan 25.6%.

Salinitas

Salinitas media larva bukan merupakan faktor kritis pada aktivitas pemeliharaan larva. Salinitas air dipertahankan pada level 10-14 ppt (sekitar 12 ppt) sampai metamorfosis, dan penurunan salinitas secara mendadak perlu dihindarkan (FAO, 1989). Sandifer dan Smith (1985) menyarankan agar salinitas untuk larva udang galah adalah 8–17 ppt, walaupun salinitas di bawah 6 ppt dapat digunakan (Sick and Beaty 1974 dalam Sandifer dan Smith, 1985)

Oksigen Terlarut

Konsentrasi oksigen dipertahankan pada level yang mendekati tingkat kejenuhan. Jika prosedur ganti air, kebersihan wadah, pengendalian sisa pakan dan sistem aerasi dilaksanakan dengan baik, tidak ada peluang kadar oksigen media menjadi rendah (FAO 1989). Konsentrasi oksigen yang rendah merupakan

peringatan untuk segera mengganti air, sebelum udang mengalami stres. Pada juvenil udang dengan bobot 0.2 g, oksigen dengan kosentrasi 2.1 ppm menjadi faktor pembatas pada suhu 23oC, 2.9 ppm pada suhu 28oC, dan 4.7 ppm pada suhu 33oC (Sandifer dan Smith, 1985). Pada periode intermolt, crayfish mampu beradaptasi pada tingkat kejenuhan oksigen sebesar 30% (3.2 ppm), dan afinitas oksigen di hemolimf meningkat menandakan keadaan hipoksia ( Jarvenpaa et al, 1983).

Dokumen terkait