• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan dan Hutan Rakyat

Hutan menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan rakyat adalah hutan buatan yang terletak di luar kawasan hutan negara, dalam satu hamparan dan sering kali disebut sebagai hutan milik. Hutan milik adalah hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik, jadi hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat.

Hutan rakyat selain diharapkan mampu memberikan kontribusi kayu rakyat, juga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Hutan rakyat adalah hutan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat, ditujukan untuk menghasilkan kayu atau komoditas ikutannya secara ekonomis, untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat. Hutan rakyat selain diharapkan mampu memberikan kontribusi kayu rakyat, juga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitarnya. (Simon 1995, dalam Pribadi 2001).

Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan yang pemilikannya berada pada rakyat. Menurut SK Menteri Kehutanan No.49/Kpts-II/1997 tentang pendanaan dan usaha hutan rakyat, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 Ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.

Pengertian hutan rakyat di luar jawa adalah lahan yang dimiliki rakyat dan dibebani hak milik dan atau hak lainnya termasuk hutan produksi yang dapat dikonversi dan dikelola secara intensif serta didominasi oleh tanaman kayu-kayuan yang dikerjakan secara perorangan, kelompok, atau badan hukum. Potensi hutan rakyat di Indonesia pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Populasi Pohon Tanaman Sengon yang Diusahakan Rumah Tangga Di Indonesia pada Tahun 2003

Uraian

Rumah Tangga Kehutanan RT Usaha BMU Jumlah RTK Jumlah Pohon Jml Phn Siap Tebang Jumlah RT Usaha Jumlah Pohon Jml Phn Siap Tebang JAWA a . Absolut 1.983.192 50.075.525 19.579.689 355.424 28.701.783 14.205.763 b Persentase 85,63 83,69 79,55 87,44 83,97 77,91 LUAR JAWA a . Absolut 332.780 9.758.776 5.033.539 51.051 5.481.076 4.027.273 b Persentase 14,37 16,31 20,45 12,56 16,03 22,09 INDONESIA a . Absolut 2.315.972 59.834.301 24.613.228 406.475 34.182.859 18.233.036 b Persentase 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber : Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik

Keterangan : RTK = Rumah tangga kehutanan RT = Rumah tangga

BMU = Badan milik umum

2.2 Protokol Kyoto dan Mekanisme Perdagangan Karbon

Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gas-gas yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer dan menyebabkan terjadinya pemanasan global (Global Warming) dan perubahan iklim, hal ini yang mendorong dihasilkannya suatu konvensi tentang perubahan iklim dan tata cara penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang kemudian disebut Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan instrumen hukum (Legal Instrument) yang dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi (Murdiyarso 2003).

Salah satu mekanisme khusus yang telah ditetapkan pada konvensi tersebut mengenai perdagangan antara karbon negara maju dengan negara berkembang adalah CDM (Clean Development Mechanism) yang merupakan mekanisme yang

dapat diikuti oleh negara berkembang untuk berpartisipasi didalam pengurangan (mitigasi) GRK. Selain itu masih ada mekanisme lain yang secara prinsip seluruh dana tersebut dapat dipakai untuk melakukan kegiatan penanaman di lahan-lahan bukan hutan (alang-alang, semak belukar, lahan terlantar, lahan kritis/marjinal), kegiatan mencegah terjadinya deforestasi atau kegiatan untuk mengkonservasi ekosistem alami atau ekosistem yang rentan terhadap perubahan iklim global serta konservasi keanekaragaman hayati yang rentan terhadap kepunahan.

Sebagai negara yang memiliki kawasan hutan yang luas, Indonesia dapat berpartisipasi melalui berbagai kegiatan yang terkait dengan penurunan emisi dan peningkatan penyerapannya. Dalam sektor kehutanan, aforestasi dan reforestasi memiliki kesempatan untuk dikembangkan yang dapat menyerap karbon atmosfer dan diikat sebagai biomassa. Aforestasi adalah kegiatan konversi lahan yang sudah tidak berhutan paling sedikit 50 tahun menjadi hutan kembali melalui kegiatan penanaman dan atau permudaan alam yang dikelola manusia dan Reforestasi adalah konversi lahan yang sudah tidak berhutan menjadi hutan yang dikelola melalui penanaman atau permudaan alam terhadap lahan yang dulunya berhutan tetapi telah dikonversi menjadi tidak berhutan. Penurunan emisi GRK melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan (reduced emissions from deforestation and degradation/REDD) disepakati, sebagai komitmen yang akan diusulkan untuk pasca Protokol Kyoto setelah tahun 2012 yang dibicarakan pada Conference of parties 13 (COP 13) di Bali tahun 2007. Dengan mencegah deforestasi, negara-negara maju yang terikat menurunkan emisinya harus mau memberi imbalan kepada negara-negara yang mempunyai hutan melalui proyek-proyek finansial (Salim 2007).

2.3 Sengon (Paraserianthes falcataria L Nielsen)

Paraserianthes falcataria L Nielsen dikenal juga dengan Albizia falcataria

(L) Fosberg, Albizia Moluccana Mig. Albizia falcataria backer, berdasarkan nama lokal sengon dikenal dengan nama albisia, jeunjing (Jawa Barat, sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Tengah dan Jawa Timur), jing laut (Madura) dan tedehu pute (Sulawesi). Sedangkan di Malaysia dan Brunei, sengon dikenal dengan nama puak, batai atau kayu macis (Atmosuseno 1998).

Tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6-7. Ketinggian tempat yang optimal untuk tanaman sengon antara 0 – 800 m dpl. Walapun demikian tanaman sengon ini masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18 °C–27 °C. Tanaman sengon membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering, namun juga tidak terlalu basah, dan memiliki curah hujan tahunan yang berkisar antara 2000–4000 mm. Kelembaban juga mempengaruhi setiap tanaman (Martawijaya et al. 1989).

Martawijaya et al. (1989) mengatakan bahwa pohon sengon dapat mencapai ketinggian 40 m dengan batang bebas cabang 10-30 m, diameter sampai 80 cm, kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak mengelupas, tidak berbanir. Ciri umum yang lain pada kayu sengon adalah kayu teras berwarna hampir putih atau coklat muda, sedangkan warna kayu gubal tidak jauh berbeda dengan wana kayu teras. Tajuk pohon sengon berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau. Tajuk yang jarang ini memungkinkan beberapa jenis tumbuhan bawah untuk dapat hidup di bawahnya. Bentuk daun majemuk, panjang bisa mencapai 40 cm, terdiri dari 8-15 pasang anak tangkai daun, setiap anak tangkai terdiri dari 15-25 daun dan bentuk daun lonjong (Atmosuseno 1998).

Sengon mempunyai berat jenis 0,24-0,29. Berserat panjang dan termasuk kedalam kelas kuat IV-V, penyusutan sampai kering tanur 2,5% pada sisi radial dan 5,2% pada sisi tangensial. Sengon mengandung 49,4% selulosa, 26% lignin,15,6% pentosan, 0,6% abu dan 0,2% silika. Kelarutan dalam alkohol-benzen sebesar 3,4%, air dingin 3,4%, air panas 4,3% serta NaOH sebesar 19,6%. Nilai kalor dari kayu sengon sebesar 4,664 kal/g (Martawijaya et al

1989).

2.4 Kadar Karbon

Kayu adalah bahan komposit alami yang terdiri dari bahan organik dengan susunan unsur 49% karbon, 6% hidrogen, 44% oksigen dan sedikit unsur lain. Kayu dapat pula disebut sebagai polimer alami mengingat 97-99% bobotnya dan 90% untuk kayu tropis berupa polimer (Achmadi 1990).

Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Karbon dioksida (CO2) dan beberapa gas lainnya antara lain sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC) mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca, dengan cara menyerap radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi yang menyebabkan meningkatnya suhu bumi. Mekanisme perubahan CO2 di atmosfer memicu perubahan suhu global yang meliputi pemanasan global atau pendinginan global (Murdiyarso 2003).

2.5 Biomassa

Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Sedangkan menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight).

Biomassa dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biomassa di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass).

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju pengikatan biomasa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produksi primer bersih. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten

2.6 Pendugaan dan Pengukuran Biomassa

Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon, yaitu pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi kerapatan biomassa (Ton/ha), sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan Allometrik. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan berikut : Biomassa di atas tanah (Ton/ha) = VOB x WD x BEF ...(Brown et al 1989) Di mana :

VOB = volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha),

WD = kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume biomassa (m3)),

BEF = perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomassa kering oven volume inventarisasi hutan.

Pendekatan kedua penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter.

Biomassa di atas tanah (Y) = a Db Di mana :

Y = berat kering per pohon (kg), dan

D = diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta.

Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagian-bagian tertentu. Mengukur biomassa vegetasi pohon tidaklah mudah, khususnya pada hutan campuran dan tegakan tidak seumur.

Menurut Chapman (1976), diacu dalam Onrizal (2004) metode pendugaan biomassa di atas tanah dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu (1) metode pemanenan yang terdiri atas (a) metode pemanenan individu tanaman, (b) metode

pemanenan kuadrat dan (c) metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata, dan (2) metode pendugaan tidak langsung yang terdiri dari (a) metode hubungan Allometrik, yakni dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dan biomassanya, dan (b) crop meter, yaitu dengan cara mengunakan seperangkat alat elektroda yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Menurut Hairiah dan Rahayu S (2007), pendugaan biomassa di atas permukaan tanah bisa diukur dengan menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Metode tidak langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi yang berdiameter ≥ 5 cm, sedangkan untuk menduga biomassa vegetasi yang memiliki diameter < 5 cm (vegetasi tumbuhan bawah) menggunakan metode secara langsung.

Brown (1997) menyatakan bahwa pada pendugaan cadangan biomassa atau karbon pada vegetasi, pengukuran diameter bervariasi yaitu untuk daerah kering dengan laju pertumbuhan pohon sangat lambat, biasa digunakan batas minimum 2,5 cm dan untuk daerah yang beriklim basah, batas minimum pengukuran diameter yang digunakan 2,5–10 cm, akan tetapi secara umum biasa digunakan ukuran diameter minimum 5 cm.

2.7 Kadar Abu

Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium, kalsium, magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksidasi tidak sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi 1990).

Menurut Haygreen & Bowyer (1982) kayu mengandung senyawa anorganik yang tetap tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada kondisi oksigen yang melimpah, residu semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silika. Karena mineral-mineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung

terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu.

2.8 Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang menunjukkan kandungan zat-zat yang mudah menguap yang hilang pada pemanasan 950 °C yang terkandung pada arang. Secara kimia zat terbang terbagi menjadi tiga sub golongan, yaitu senyawa alifatik, terpena dan senyawa fenolik. Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen & Bowyer 1982). Zat mudah terbang adalah persentase gas yang dihasilkan dari pemanasan arang yang ditetapkan pada temperatur dan selang waktu standar yaitu pada 950±20 °C selama 2 menit(ASTM 1990b).

Dokumen terkait