• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Semen Sapi

Menurut Garner dan Hafez (2000), semen merupakan cairan suspensi sel yang di dalamnya mengandung spermatozoa dan sekresi kelenjar assesorius dari organ kelamin jantan. Semen terdiri atas dua bagian yaitu spermatozoa dan plasma semen. Sejumlah parameter digunakan untuk menilai kualitas dari semen, diantaranya volume, konsentrasi spermatozoa, motilitas spermatozoa, jumlah spermatozoa hidup, jumlah spermatozoa abnormal dan komposisi biokimiawinya, serta tes fungsional.

Kepadatan spermatozoa pun ternyata penting untuk menentukan dosis dan/atau kapasitas fertilitas dari semen tersebut. Motilitas progresif penting karena dapat memperkirakan penilaian usia hidup semen. Spermatozoa dikatakan motil apabila spermatozoa tersebut bergerak ke depan (progresive motility), sedangkan spermatozoa yang bergerak melingkar disebut sebagai non-progresive motility

(Arifiantini et al. 2005b).

Semen sapi yang normal berwarna seperti susu atau krem keputih–putihan dan keruh dengan konsentrasi encer. Hal ini disebabkan oleh volume yang kecil tetapi mempunyai konsentrasi spermatozoa yang tinggi. Konsentrasi spermatozoa merupakan salah satu parameter yang sering kali dipakai sebagai salah satu kriteria penentuan kualitas semen. Konsentrasi spermatozoa adalah jumlah spermatozoa yang terkandung dalam setiap mililiter semen. Konsentrasi spermatozoa sapi adalah 0.8-2.0 × 109 spermatozoa/ml (Salisbury & VanDemark 1985), sedangkan menurut Schuh (2001) adalah 3.6-12 × 109 spermatozoa/ejakulasi.

Motilitas adalah daya gerak maju spermatozoa, merupakan ciri spermatozoa hidup dan normal yang menjadi salah satu kriteria untuk menentukan kualitas semen. Pemeriksaan terhadap motilitas sermatozoa dapat dilakukan dengan melihat gerakan massa pada semen segar atau dengan menghitung persentase spermatozoa yang motil progresif pada semen yang telah diencerkan atau setelah pembekuan dan thawing (Evans & Maxwell 1987). Menurut Zesfin et al. (2001), motilitas spermatozoa pada sapi kelompok umur muda 65 ± 13.81 % dan kelompok umur sapi dewasa rata-rata 62.22 ± 14.77 %.

Semen Beku

Semen beku adalah semen yang berasal dari pejantan terpilih yang diencerkan sesuai prosedur, dibekukan dan disimpan pada suhu -196 °C. Tujuan dari pengawetan semen adalah agar semen yang diperoleh masih dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga fertilitas semen tetap terjaga. Semen beku yang dibutuhkan adalah sekurang-kurangnya lima sampai sepuluh juta spermatozoa yang motil progresif tiap inseminasi untuk mendapat rata-rata fertilisasi yang optimal (Yanti 2005).

Terdapat beberapa cara pengawetan semen. Menurut Salisbury dan VanDemark (1985), dua teknik pengawetan semen agar keoptimalan fertilitas spermatozoa dapat dipertahankan. Teknik yang pertama yaitu dengan menyediakan ion-ion esensial, enzim-enzim, zat-zat makanan dan vitamin- vitamin. Teknik lain adalah dengan penghambatan secara fisik dan kimiawi semua aktifitas minimal yang penting dalam spermatozoa. Teknik pertama memerlukan pengetahuan yang lengkap tentang fungsi dan kebutuhan-kebutuhan spermatozoa serta usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Teknik kedua ini relatif lebih mudah dilaksanakan dengan cara menurunkan temperatur sehingga proses metabolisme dapat dihambat.

Sampai saat ini proses pembekuan semen mengalami beberapa masalah seperti terjadinya cold shock, osmotic shock, kerusakan intraseluler akibat terbentuknya kristal es, perubahan permeabilitas membran yang mengakibatkan kematian sel saat pencairan kembali (thawing) (Achmadi 2001). Beberapa upaya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan diatas diantaranya penggunaan gliserol secara perlahan untuk mencegah osmotic shock serta pemberian kesempatan equilibrasi atau adaptasi untuk keseimbangan molekuler antara spermatozoa dengan bahan pengencer (Salisbury & VanDemark 1985).

Menurut Awad (2011), kebanyakan protokol kriopreservasi semen masih menggunakan gliserol sebagai media krioprotektan, seperti yang dicontohkan Polge et al. (1949). Gliserol, bersama metanol dan etilen glikol termasuk kelompok yang dapat menembus ke dalam sel spermatozoa. Gliserol adalah krioprotektan yang paling umum digunakan untuk spermatozoa ternak. Namun, jika gliserol digunakan dalam konsentrasi tinggi memiliki beberapa toksisitas dan

mungkin krioprotektan tersebut yang menyebabkan kerusakan osmotik terbesar untuk spermatozoa karena permeabilitasnya menembus membran plasma spermatozoa lebih rendah daripada air dan krioprotektan lainnya (Guthrie et al.

2002).

Dalam proses kriopreservasi (pembekuan) semen, akibat perlakuan suhu yang sangat rendah (-196 °C) akan terbentuk kristal-kristal es dan peningkatan konsentrasi elektrolit intraseluler yang menyebabkan kerusakan sel spermatozoa. Untuk mengurangi efek ini, di dalam pengencer harus ditambahkan senyawa krioprotektan. Selain gliserol yang berperan sebagai krioprotektan intraseluler, juga dikenal berbagai macam gula seperti laktosa yang dapat berfungsi sebagai krioprotektan ekstraseluler (Rizal & Herdis 2005).

Hypo-osmotic Swelling Test

Hypo-osmotic Swelling (HOS) Test pada awalnya dirancang penggunaannya pada spermatozoa manusia untuk mengevaluasi aktivitas biokimia dari fisik membran plasma secara utuh (Jeyendran et al. 1984). Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa jika spermatozoa dengan membran sel fungsional ditempatkan pada larutan hipoosmotik, air mengalir melalui membran dan masuk ke dalam sel, sehingga membangun kembali keseimbangan antara kompartemen cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Sel tersebut meningkatkan volumenya dan membran yang menutupi ekor spermatozoa mengembang, menyebabkan flagellum menggulung di dalamnya. Ekor melingkar dimulai pada ujung distal ekor dan berlanjut menuju bagian tengah dan kepala saat tekanan osmotik pada media pembekuan menurun (Fonseca et al. 2005).

Spermatozoa pada semen beku mengalami kondisi hipertonik selama pembekuan–pencairan, dan kondisi isotonik selama pembersihan sperma in vitro

atau ketika berada pada saluran reproduksi betina selama IB (Ball & Peters 2004).

Osmotic shock berarti perubahan seluler (melingkarnya ekor spermatozoa) yang terjadi selama paparan kondisi isotonik spermatozoa setelah terpapar kondisi hipertonik.

Saat terekspos larutan hipoosmotik, secara biokimia spermatozoa aktif meningkatkan volume mereka dalam rangka untuk membangun keseimbangan antara kompartemen cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler (Fonseca et al.

2005). Fonseca et al. (2005) juga menyatakan bahwa pembengkakan menyebabkan perubahan baik dalam ukuran maupun bentuk sel yang dapat dievaluasi dengan menggunakan phase contrast microscope.

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan April 2012. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi Reproduksi Unit Rehabilitasi Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Sampel Semen

Sampel semen berasal dari Balai Inseminasi Buatan Lembang, Jawa Barat sebanyak 15 straw dari sapi Limousin dan 15 straw dari sapi Frisien Holstein (FH) yang diambil secara acak. Sampel dimasukkan ke dalam container yang berisi nitrogen cair dengan suhu -196 °C.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 straw sampel semen beku dari BIB Lembang, Na-sitrat, fruktosa, dan nitrogen cair.

Alat–alat yang digunakan pada penelitian ini adalah, mikroskop (Olympus CH 20), water bath, counter, object dan cover glass, tabung Eppendorf, mikropipet dan tip, meja pemanas, container, dan pipet tetes.

Metode Pembuatan Larutan Hipoosmotik

Sebanyak 1.351 g fruktosa dan 0.735 g Na-sitrat ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas piala. Lalu ditambahkan aquabidest ke dalam gelas piala sampai dengan volume 100 ml maka akan terbentuk larutan dengan osmolaritas 150 mOsm Kg-1 (Revell & Mrode 1994).

Pengujian HOS Test

Sebanyak 400µl larutan hipoosmotik disiapkan di dalam tabung Eppendorf. Semen beku di-thawing dalam water bath dengan suhu 37 °C selama 30 detik.

Straw dikeringkan dengan menggunakan tissue. Straw dipotong pada kedua sumbatnya dan isi straw dikeluarkan seluruhnya, lalu 50 µl semen dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf. Larutan yang telah dicampur dihomogenkan dengan cara membentuk angka delapan. Ambil satu tetes dengan pipet, teteskan pada

object glass, lalu tutup dengan cover glass dan lihat di bawah mikroskop (Olympus CH 20) dengan perbesaran 40 × 10, hitung spermatozoa yang normal dan yang telah bereaksi dengan larutan hipoosmotik pada 10 lapang pandang, untuk mendapatkan data HOS test pada menit ke-0.

Campuran semen dalam larutan hipoosmotik disusun dalam rak pada water bath berisi air dengan suhu 37 °C. Pengujian keutuhan membran plasma semen beku dilakukan pada menit ke 0, 15, 30, 45, dan 60. Pengujian dilakukan dengan cara mengambil satu tetes dengan pipet tetes dan diletakkan pada object glass, lalu tutup dengan cover glass dan lihat dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 × 10, hitung spermatozoa yang normal dan yang telah bereaksi pada 10 lapang pandang.

Perhitungan

Perhitungan spermatozoa yang bereaksi dilakukan pada 10 lapang pandang dan persentasenya dihitung dengan rumus:

Gambar 1 Spermatozoa bereaksi dengan membran plasma utuh (ekor melingkar, a), spermatozoa tidak bereaksi dengan membran plasma tidak utuh (ekor lurus, b) (Saili et al. 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Semen merupakan salah satu komponen penting dalam penghantaran spermatozoa baik secara konseptus alami maupun inseminasi buatan (IB). Keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh kualitas semen yang digunakan. Inseminasi di Indonesia sebagian besar menggunakan semen beku. Dalam pembuatannya semen beku mengalami berbagai macam kerusakan mulai dari efek larutan pengencer yang hipertonik, kerusakan akibat pembekuan dan akibat

thawing. Untuk menjamin kualitas semen maka dilakukan serangkaian uji kualitas setelah thawing diantaranya adalah motilitas dan scoring individu.

Spermatozoa diselaputi oleh membran plasma. Membran plasma ini akan mengalami kerusakan akibat pembekuan. Kerusakan membran plasma spermatozoa bisa terjadi di bagian ekor atau bagian kepala. Kerusakan di bagian kepala akan menyebabkan hilangnya enzim-enzim yang terdapat di bagian akrosom sehingga spermatozoa kehilangan kemampuan untuk membuahi ovum, tetapi spermatozoa masih bisa bergerak kerena mitokondria di bagian ekor masih berfungsi. Sebaliknya jika kerusakan terjadi pada bagian ekor maka enzim aspartat aminotransferase yang berfungsi untuk merombak adenosin trifosfat (ATP) menjadi adenosin difosfat (ADP) dan adenosin monofosfat (AMP) hilang akibatnya spermatozoa akan kehilangan daya geraknya.

Pengujian terhadap rasio spermatozoa yang hidup dan mati atau keutuhan membran plasma spermatozoa dengan teknik HOS test perlu dilakukan untuk menjamin bahwa membran plasma spermatozoa dari semen beku masih baik, selain indikator motilitas dan scoring individu yang selama ini sudah dilakukan. Metode HOS test dapat memberikan informasi tentang integritas membran spermatozoa.

Terdapat berbagai pendapat berbeda mengenai konsep penilaian kualitas spermatozoa dan kemungkinan perbedaan spesies pada kepentingan parameter individual, kualitas spermatozoa juga dapat dinilai dari jumlah spermatozoa, motilitas dan normalitas morfologi spermatozoa (Colenbrander et al. 2003). Selain itu terdapat perameter tambahan, yaitu keutuhan membran plasma dan keutuhan kromatin (Graham 2001; Rodriguez-Martinez 2007). Menurut Morrell dan Rodriguez-Martinez (2009), terdapat hubungan yang kuat antara fertilitas dan

motilitas post-thawing, jumlah akrosom normal, keutuhan membran plasma, serta abnormalitas spermatozoa pada sejumlah spesies seperti kerbau (Ahmed et al. 2003), sapi (Al-Makhzoomi et al. 2008), dan antara morfologi, integritas kromatin dan pregnancy rates pada kuda (Morrell et al. 2008).

Gambar 2 Diagram Venn untuk menunjukkan sub-populasi spermatozoa dalam satu ejakulat berdasarkan parameter kualitas spermatozoa (Morrell & Rodriguez-Martinez 2009).

Semen beku berbeda dengan semen segar. Semen beku sudah ditambahkan berbagai macam bahan sehingga melapisi/menyelimuti permukaan membran plasma. Oleh karena itu perlu dicari waktu yang optimal agar hasil pengujian menjadi lebih valid.

Hasil pengujian keutuhan membran plasma utuh (MPU) dengan metode HOS test pada semen beku sapi Limousin dan FH, didapatkan waktu yang paling optimal untuk melakukan pengujian tersebut adalah pada menit ke 30-45 masa inkubasi (Tabel 1 dan 2). Inkubasi ini dilakukan dalam larutan hipoosmotik dengan osmolaritas 150 mOsm Kg-1 pada suhu 37 °C.

Motilitas

Keutuhan Kromatin

Morfologi normal Viabilitas

Tabel 1 Persentase jumlah spermatozoa sapi Limousin yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik selama masa inkubasi

Ulangan Masa Inkubasi (menit)

0 15 30 45 60 1 31.51 37.62 51.22 51.78 49.47 2 19.79 50.00 54.84 62.96 57.14 3 24.00 30.23 38.89 50.38 49.02 4 39.13 45.16 51.51 63.64 61.22 5 23.86 49.81 50.76 45.83 34.16 6 21.43 48.15 45.83 45.83 42.37 7 27.42 65.18 51.09 34.1 31.25 8 53.09 61.97 66.67 45.45 39.58 9 31.82 42.86 52.43 53.12 33.80 10 22.73 37.04 57.89 56.06 38.00 11 44.12 51.85 56.18 63.46 36.58 12 30.43 33.33 64.44 58.06 50.00 13 36.58 50.00 59.42 52.94 47.37 14 50.00 50.00 53.64 48.98 31.34 15 41.46 50.00 53.68 54.54 35.56 Rata-rata 33.16d 46.88b,c 53.90a 52.47a,b 42.46c SD 10.55 9.63 6.81 8.00 9.43

Superskrip dengan notasi yang berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p<0.05).

Pada awal masa inkubasi menit ke-0, sebanyak 33.16 ± 10.55 % spermatozoa sapi Limousin bereaksi terhadap larutan hipoosmotik, sedangkan sapi FH sebanyak 27.19 ± 6.11 % spermatozoa yang bereaksi. Perbedaan yang signifikan (P<0.05) terjadi pada menit ke-0 sampai ke-15, baik pada spermatozoa sapi Limousin maupun FH, yaitu 46.88 ± 9.63 % untuk sapi Limousin dan 35.97 ± 6.14 % untuk sapi FH.

Puncak reaksi dari spermatozoa terhadap larutan hipoosmotik terjadi pada menit ke-30 dan ke-45, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari persentase diantara kedua masa inkubasi tersebut. Spermatozoa sapi Limousin menunjukkan 53.90 ± 6.81 % dan 52.47 ± 8.00 % spermatozoa bereaksi, sedangkan spermatozoa sapi FH menunjukkan 44.52 ± 6.26 % dan 44.46 ± 8.42 %. Penurunan terjadi pada masa inkubasi terakhir (menit ke-60), terjadi penurunan yang signifikan dari menit ke-45 menuju menit ke-60. Semen beku sapi Limousin menurun hingga 42.46 ± 9.43 %, sedangkan semen beku FH menjadi 33.17 ± 9.63 %.

Tabel 2 Persentase jumlah spermatozoa sapi FH yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik selama masa inkubasi

Ulangan Masa Inkubasi (menit)

0 15 30 45 60 1 25.93 40.00 50.00 51.35 37.78 2 34.15 34.88 41.86 41.02 26.78 3 27.50 30.35 36.73 42.00 30.00 4 25.00 29.03 42.11 43.02 36.96 5 20.00 29.27 46.67 56.52 53.53 6 34.02 42.31 41.93 49.27 13.14 7 26.47 32.14 37.93 48.15 36.00 8 23.08 44.44 55.56 57.50 41.03 9 39.65 43.75 52.50 50.00 37.10 10 22.50 30.95 43.33 35.94 29.69 11 20.00 27.03 32.50 45.45 40.28 12 36.96 43.88 45.90 40.91 39.13 13 24.59 41.38 48.93 28.57 23.08 14 23.08 35.05 41.82 46.85 23.08 15 25.00 35.05 50.00 30.43 30.00 Rata-rata 27.19c 35.97b 44.52a 44.46a 33.17b SD 6.11 6.14 6.26 8.42 9.63

Superskrip dengan notasi yang berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Pada awal pengamatan relatif belum banyak spermatozoa yang bereaksi terhadap larutan hipoosmotik. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh dari bahan pengencer yang diberikan sebelum pembekuan semen. Bahan pengencer ini mengurangi sensitivitas membran plasma spermatozoa terhadap larutan hipoosmotik. Pada masa inkubasi yang lebih lama, jumlah spermatozoa yang bereaksi semakin meningkat hingga menit ke-45. Bahan pengencer semen beku lama kelamaan akan habis dan pengaruhnya semakin berkurang sehingga spermatozoa semakin banyak yang bereaksi. Semakin lama masa inkubasi maka membran plasma spermatozoa ini akan rusak hingga tidak bereaksi terhadap larutan hipoosmotik. Hal inilah yang menyebabkan penurunan yang signifikan sampai akhir pengamatan. Reaksi spermatozoa semen beku dari sapi Limousin dan FH tersebut dapat dilihat dalam Gambar 3 dan Gambar 4.

Gambar 3 Grafik laju reaksi spermatozoa sapi Limousin terhadap larutan hipoosmotik selama masa inkubasi.

Gambar 4 Grafik laju reaksi spermatozoa sapi FH terhadap larutan hipoosmotik selama masa inkubasi.

Keutuhan membran plasma spermatozoa dapat ditentukan berdasarkan persentase keutuhan membran plasma spermatozoa yang diuji dengan metode HOS test dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 × 10. Spermatozoa akan bereaksi dengan membengkak atau mengkerut karena masuk atau keluarnya air untuk mencapai kembali keseimbangan osmotik ketika spermatozoa berada dalam lingkungan yang hipotonis maupun hipertonis (Petrunkina et al. 2007). Hal tersebut lebih dahulu dikemukakan oleh Jeyendran et al. (1984) yang menyatakan bahwa, spermatozoa yang mempunyai integritas membran utuh ditandai dengan pembengkakan bagian kepala dan ekor yang berputar ketika dimasukkan ke dalam media hipotonis (Gambar 5).

0 10 20 30 40 50 60 0 15 30 45 60 % HOS te st Waktu (menit) Rata-rata 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 15 30 45 60 % HOS te st Waktu (menit) Rata-rata

Gambar 5 Reaksi spermatozoa dengan ekor membengkok yang berada pada larutan hipoosmotik.

Membran plasma yang meyelubungi sebuah sel berfungsi membatasi keberadaan sebuah sel dan memelihara perbedaan pokok antara bagian intrasel dan bagian ekstrasel. Membran plasma tersebut merupakan sebuah sekat atau sebagai filter yang mempunyai kemampuan memilih bahan yang masuk dan keluar sel sehingga tetap dapat memelihara perbedaan kadar ion di luar dan di dalam sel (Nawang 2005).

Spermatozoa dilindungi oleh membran plasma yang berfungsi sebagai pelindung terhadap berbagai pengaruh lingkungan. Selain itu, membran plasma juga berfungsi sebagai pengatur transport ion-ion dan air dari dalam keluar sel atau pun sebaliknya. Jika membran plasma spermatozoa mengalami kerusakan maka membran tidak dapat menjalankan fungsinya dengan normal sehingga kualitas spermatozoa yang bersangkutan akan menurun (Arifiantin et al. 1999). Metode HOS test mengevaluasi fungsi membran, tetapi variabel lainnya mungkin terlibat dalam potensi fertilitas, terutama di bawah kondisi in vitro (Rota et al.

1999). Menurut Jeyendran et al. (1984) kemampuan spermatozoa membengkak dalam larutan hipoosmotik menunjukkan membran tersebut berfungsi.

Penurunan kualitas spermatozoa selama penyimpanan, baik persentase motilitas progresif maupun keutuhan membran plasma diduga akibat banyaknya spermatozoa yang mati dan menjadi toksik terhadap spermatozoa yang masih

hidup, sehingga secara umum kualitasnya menjadi menurun. Keberadaan zat yang bersifat toksik baik yang berasal dari spermatozoa mati maupun yang berasal dari bahan pengencer yang telah mengalami oksidasi akibat penyimpanan dapat menyebabkan tingginya kadar radikal bebas yang dapat merusak keutuhan membran plasma spermatozoa. Apabila membran plasma spermatozoa sudah mengalami kerusakan, maka metabolisme spermatozoa akan terganggu dan mulai kehilangan motilitasnya sehingga mengakibatkan kematian spermatozoa (Yulnawati & Setiadi 2005).

Sebetulnya teori yang sangat sederhana yang mendasari metode HOS test

ini, teori tersebut adalah hukum osmosis. Seperti yang telah kita ketahui bila sel (spermatozoa) terpapar pada media hipoosmotik, maka air akan mengalir ke dalamnya sampai mencapai keseimbangan osmotik antara intrasel dan ekstrasel, sehingga sel akan membengkak. Kebengkakan ini akan menyebabkan pembengkokan pada ekor yang mudah dilihat.

Seperti halnya membran plasma pada sel lain yang bersifat semipermeabel yang apabila dibatasi oleh larutan yang berbeda tekanan osmotiknya, maka air akan mengalir masuk melintasi membran dari kompartemen hipoosmotik ke kompartemen hiperosmotik. Hal tersebut yang menyebabkan banyaknya air pada larutan yang hiperosmotik dan tekanan osmotiknya mengecil, sedangkan banyaknya air pada larutan hipoosmotik semakin berkurang dan tekanan osmotiknya semakin besar. Keadaan ini akan terus berjalan sampai dengan tekanan osmotik kedua kompartemen seimbang.

Penggunaan metode HOS Test untuk menguji fertilitas spermatozoa telah dilakukan sejak lama. Ekor spermatozoa sapi akan membengkok dan melingkar seperti spiral bila spermatozoa tersebut berada dalam cairan hipoosmotik. Pembengkokan ini adalah akibat gangguan kontraksi dan relaksasi ekor oleh karena adanya aliran ion atau bahan yang berat molekulnya dari ekor ke medium hipoosmotik tersebut. Menurut Fonseca et al. (2005) ekor melingkar dimulai dari ujung distal ekor dan berlanjut menuju bagian tengah dan kepala saat tekanan osmotik pada media pembeku menurun.

Gambar 6 Ilustrasi regulasi pengaturan volume pada spermatozoa.

Seperti sel lainnya, spermatozoa mengontrol volumenya ketika berada dalam keadaan hipotonis dengan pembukaan channel K+ dan Cl- (Gambar 6a). Saat air masuk ke dalam sel untuk mencapai keseimbangan antara tonisitas internal dan eksternal sel, channel terbuka untuk pengeluaran K+ untuk menurunkan gradien konsentrasi (konsentrasi K+ intraselular secara normal lebih tinggi dibandingkan dengan ekstraselular). Untuk mempertahankan netralitas elektris, Cl- keluar bersamaan. Keseluruhan pengeluaran ion menurunkan tonisitas intraselular dan konsekuensinya adalah air masuk ke dalam sel, sehingga pembengkakan menurun atau bakan kembali ke keadaan semula (RVD-regulatory volume decrease) (Petrunkina et al. 2007).

Pada sel somatik, aktivasi dari channel K+ dan Cl- sangat sensitif terhadap pembengkakan sel, seperti pada saluran osmolit. Aktivasi tersebut diketahui melibatkan arus sinyal yang diperantarai oleh protein phosphorylation dan dephosphorylation (Petrunkina et al. 2007). Seperti yang terlihat pada Gambar 6b,

aktivasi dari mekanisme transport untuk mengatur volume sel diperantarai oleh protein kinase C (PKC) dan protein phosphatase (PP). Dengan memelihara serine dan threonin sisa dari tahap phosphorilasi, aktivitas PKC terlihat untuk menjaga

channel ion tertutup, sementara itu penghambatan PKC atau peningkatan aktivitas PP menyebabkan channel terbuka dan mengawali proses RVD (Gambar 7).

Gambar 7 Perubahan volume spermatozoa sebagai respon terhadap kondisi hipoosmotik.

Menurut Hafez (1987), membran plasma merupakan salah satu yang mempengaruhi motilitas spermatozoa dan dapat diuji keutuhannya dengan menggunakan metode HOS test. Proses pembekuan semen dan proses thawing

mengakibatkan kerusakan pada membran plasma, hal ini disebabkan oleh penurunan dan peningkatan suhu semen yang sangat drastis sehingga terjadi perubahan metabolisme yang sangat cepat. Spermatozoa dengan membran plasma utuh dan berfungsi dengan baik akan bertambah besar volumenya jika disimpan dalam suatu media yang hipoosmotik. Media tersebut akan menggunakan tekanan osmotik yang cukup besar untuk mengakibatkan aliran masuk ke dalam spermatozoa sehinga spermatozoa menjadi bengkak (Jeyendran et al. 1984).

Menurut Yeung et al. (1999) kemampuan mengatur volume sangat penting untuk mencapai fertilitas. Seperti yang disebutkan di atas, spermatozoa membengkak ditandai dengan pembengkokan ekor, efek inilah yang merusak motilitas spermatozoa, yang akibatnya transport spermatozoa dan penetrasi sel telur akan terganggu. Pada hewan domestik, kemampuan mengontrol volume ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan spermatozoa membuahi telur in vivo

Dalam proses pembekuan semen, diperlukan larutan pengencer yang dapat menjamin kebutuhan fisik dan kimia spermatozoa. Selama pembekuan ini terjadi pembentukan kristal-kristal es akibat dari penurunan suhu yang sangat rendah (- 196 °C), disamping itu juga terjadi perubahan konsentrasi elektrolit yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada spermatozoa. Pemberian senyawa krioprotektan ke dalam pengencer dapat mengurangi efek yang tidak menguntungkan bagi spermatozoa (Rusiyantono 2008). Krioprotektan dibedakan menjadi dua jenis menurut cara kerjanya, krioprotektan intraseluler dan krioprotektan ekstraseluler. Krioprotektan yang paling berperan penting dalam melindungi sel adalah krioprotektan intraseluler karena dapat menembus membran sel. Salah satu contoh krioprotektan intraseluler yang sering digunakan adalah gliserol dan etilen glikol, keduanya dapat memodifikasi pembentukan kristal es melalui pencegahan peningkatan konsentrasi elektrolit yang dapat membahayakan sel yang dibekukan.

Gliserol merupakan krioprotektan yang lazim digunakan dalam proses pembekuan semen. Selain dapat memodifikasi pembentukan kristal es, gliserol juga dapat mencegah pengumpulan molekul H2O dari kristalisasi es pada daerah

titik beku larutan. Sedangkan etilen glikol merupakan salah satu krioprotektan yang telah dilaporkan keberhasilannya dalam proses pembekuan sel yang lebih besar dari spermatozoa, misalnya ovum (Rusiyantono 2004).

Dari hasi pengamatan terlihat bahwa dari menit ke-0 sampai menit ke-45 persentase spermatozoa yang bereaksi semakin meningkat. Hal ini menandakan bahwa pada awal inkubasi belum semua spermatozoa bereaksi hingga akhirnya mencapai waktu yang optimal yaitu pada menit ke-45. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada semen segar sapi oleh Revell dan Mrode (1994). Pada penelitian tersebut spermatozoa yang bereaksi pada awal inkubasi sangat tinggi dan berangsur-angsur menurun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ketika pemberian larutan hipoosmotik dilakukan, spermatozoa langsung bereaksi dengan larutan tersebut. Peristiwa tersebut terjadi terus menerus hingga akhirnya membran sel rusak dan spermatozoa tidak bereaksi lagi.

Jika dibandingkan dengan penelitian pada semen segar, hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis awal yakni adanya pengaruh bahan pengencer yang

diberikan pada semen beku pada sensitivitas membran plasma spermatozoa terhadap larutan hipoosmotik. Hasil tersebut didukung oleh Rusiyantono (2008)

Dokumen terkait