• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tanaman

Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi, Jacquin mengklasifikasikan taksonomi dari tanaman kelapa sawit yakni termasuk divisi

Spermatophyte dengan subdivisi Pteropsida. Kelapa sawit tergolong kelas

Angiospermae dengan subkelas Monocotyledoneae. Tanaman kelapa sawit memiliki ordo Cocoideae dengan famili Palmae dan subfamili Cocoideae serta memiliki genus Elaeis dengan spesies Elaeis guineensis Jacq.

Akar kelapa sawit adalah akar serabut. Akar tersebut memiliki sedikit percabangan, membentuk anyaman rapat dan tebal. Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil yang tidak memiliki akar tunggang. Radikula pada bibit terus tumbuh memanjang ke arah bawah selama enam bulan terus-menerus dan panjang akarnya mencapai 15 cm. Akar primer kelapa sawit terus berkembang. Susunan akar kelapa sawit terdiri dari serabut primer yang tumbuh vertikal kedalam tanah dan horizontal ke samping. Serabut primer ini akan bercabang menjadi akar sekunder keatas dan kebawah. Akhirnya cabang cabang ini juga akan bercabang lagi menjadi akar tersier, begitu seterusnya. Kedalaman perakaran tanaman kelapa sawit bisa mencapai 8 m dan16 m secara horizontal. Kedalaman perakaran ini tergantung umur tanaman, sistem pemeliharaan dan aerasi tanah (Adi, 2013).

Pohon kelapa sawit tumbuh tegak lurus tidak bercabang. Diameter batang kelapa sawit adalah 35-60 cm. Setiap tahun batang kelapa sawit bertambah panjang 35-45 cm. Semakin lambat pertambahan panjang batang kelapa sawit

semakin baik. Hal ini akan memudahkan perawatan, terutama untuk memanen buah dan memperpanjang masa produktifnya (Hadi, 2004).

Pelepah daun kelapa sawit berpenampang melintang menyerupai bentuk segi tiga, dengan luas penampang 100-112 cm2, dengan ketebalan dinding (lapisan epidermis: sklereid dan silica) dapat mencapai hingga 4-6 mm. Parenkim pelepah daun memiliki dimensi serat sebagai berikut : panjang antara 70-150 cm, diameter serat 0,08- 0,8 mm (Intara dan Dyah, 2012).

Daun kelapa sawit mirip kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Jumlah anak daun di setiap pelepah berkisar antara 250-400 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Pada tanah yang subur, daun cepat membuka sehingga semakin efektif dalam melakukan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dan sebagai alat

respirasi. Daun kelapa sawit yang sehat dan segar berwarna hijau tua (Fauzi et al., 2002).

Tanaman kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga jantan berbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat (Adi, 2013).

Pada kelapa sawit, letak bunga jantan dan bunga betina terpisah, masing- masing tersusun pada tandan yang berbeda tetapi masih satu pohon. Oleh karena itu kelapa sawit disebut tanaman berumah satu atau monoceous. Namun demikian, terkadang dalam satu tandan terdapat bunga jantan sekaligus bunga betina. Bunga ini disebut hermaprodit. Satu tandan bunga jantan terdiri dari 150-200 spinkelet atau manggar. Dalam satu spinkelet (manggar) terdapat 600-1.500 bunga jantan (Hadi, 2004).

Pada umumnya tanaman kelapa sawit yang tumbuh baik dan subur sudah dapat menghasilkan buah serta siap dipanen pada umur sekitar 3,5 tahun jika dihitung mulai dari penanaman biji berkecambah di pembibitan. Namun, jika dihitung mulai penanaman di lapangan maka tanaman berbuah dan siap panen pada umur 2,5 tahun. Buah terbentuk setelah terjadi penyerbukan dan pembuahan. Waktu yang diperlukan mulai dari penyerbukan sampai buah matang dan siap panen kurang lebih 5-6 bulan. Warna buah tergantung varietas dan umurnya (Fauzi et al., 2002).

Buah kelapa sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung jenis bibit tergantung jenis bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelepah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang kandungan asam lemak bebas akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya. Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80 % perikarp dan 20% buah yang dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40 %. Buah terdiri dari tiga lapisan :Eksoskarp bagian kulit bewarna kemerahan dan licin ;

Mesokarp serabut buah ; Endokarp cangkap pelindung inti (Adi, 2013).

Biji pada kelapa sawit adalah bagian dari buah dan bisa diperoleh dengan membuang daging buah. Biji terdiri cangkang (endocarp), inti (endosperm), dan lembaga (embrio). Embrio kelapa sawit panjangnya 3 mm, berdiameter 1,2 mm, berbentuk silindris dengan 2 bagian utama. Bagian yang tumpul permukaannya berwarna kuning dan bagian lain yang berwarna putih bentuknya agak tajam. Bakal biji terdiri 3 ruang tetapi setelah penyerbukan dan menjadi buah, ruang yang berkembang hanya satu; kadang-kadang dijumpai dua ruang. Jika endosperm

mendapat air yang mengembang dan kemudian lembaganya akan berkecambah (Soehardjo, 1999).

Berdasarkan tebal dan tipisnya cangkang, buah kelapa sawit digolongkan atas dura, psifera, dan tenera. Buah yang paling baik untuk dijadikan bibit kelapa sawit adalah jenis tenera yang merupakan hasil persilangan antara dura dan psifera. Tenera memiliki perbandingan sabut, tempurung, dan inti yang proporsional. Dura memiliki tempurung yang tebal sehingga sabut dan inti sangat kecil, sedangkan untuk psifera memiliki sabut yang besar sehingga inti amat kecil. Padahal bagian buah kelapa sawit yang dimanfaatkan tidak hanya sabutnya untuk menghasilkan crude palm oil (CPO), tetapi juga memanfaatkan bagian inti untuk menghasilkan kernel palm oil (KPO) yang berwarna putih (Widyawati, 2009). Syarat Tumbuh

Iklim

Tanaman kelapa sawit menghendaki curah hujan 1.500-4.000 mm per tahun, tetapi curah hujan optimal adalah 2.000-3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun. Pembagian hujan yang merata dalam satu tahunnya berpengaruh kurang baik karena pertumbuhan vegetatif lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga bunga atau buah yang terbentuk pun relatif sedikit (Hartanto, 2011).

Produksi TBS per tahun juga dipengaruhi oleh jumlah jam efektif penyinaran matahari. Penyinaran efektif didefenisikan sebagai total jumlah penyinaran yang diterima sepanjang periode kelembaban air tanah yang mencukupi ditambah selama periode stres air dan dikurangi dengan lamanya stres air-tanah yang terjadi. Pada kondisi di daerah khatulistiwa yang menerima lebih

dari 2.400 jam penyinaran efektif sepanjang tahun maka rata-rata pohon dapat menghasilkan minimal 125 kg TBS atau 18 ton/ha/tahun. Panjang penyinaran matahari yang diperlukan kelapa sawit yaitu 5-12 jam/hari dengan kondisi kelembaban udara 80 % (Pahan, 2008).

Suhu optimal rata-rata yang diperlukan oleh kelapa sawit adalah 27-320C. Tinggi rendahnya suhu berkaitan erat dengan ketinggian lahan dari permukaan air laut. Oleh karena itu, ketinggian lahan yang baik untuk perkebunan kelapa sawit adalah 0-400 m dpl,karena pada ketinggian tersebut temperatur udara diperkirakan 27-320C (Hadi, 2004).

Daerah pengembangan tanaman kelapa sawit yang sesuai adalah daerah yang berada pada 150 LU-150 LS. Sedangkan bentuk wilayah merupakan faktor penentu produktivitas yang akan mempengaruhi kemudahan panen, pengawetan tanah dan air, pembuatan jaringan jalan, serta efektivitas pemupukan (Hartanto, 2011).

Tanah

Kelapa sawit menghendaki tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas. Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur hara dalam jumlah besar untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif. Karena itu, untuk mendapat produksi yang tinggi dibutuhkan kandungan unsur hara yang tinggi juga. Selain itu pH tanah sebaiknya bereaksi asam dengan kisaran nilai 4,0-6,0 dan ber-pH optimum 5,0-5,5. Secara umum kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik, kelabu, alluvial, atau regosol. Secara umum kelapa sawit berproduksi dengan baik pada jenis tanah ultisol, inceptisol, andisol, dan histosol (Hartanto, 2011).

Sifat fisik tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit ialah memiliki solum yang dalam lebih dari 80 cm, karena baik untuk perkembangan akar sehingga efisiensi penyerapan hara tanaman akan lebih baik. Tekstur tanah yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah lempung atau lempung berpasir dengan komposisi 20-60% pasir, 10-40% lempung dan 20-50% liat. Struktur tanah yang paling ideal untuk kelapa sawit adalah perkembangannya kuat, konsistensi gembur sampai agak teguh dan permeabilitas sedang. Selain itu, ketebalan gambut yang baik adalah 0-0,6 m dan tidak dijumpai laterite (Soehardjo, 1999).

Bentuk wilayah yang cocok untuk kelapa sawit adalah: pertama, wilayah yang datar sampai berombak, yaitu wilayah dengan kemiringan lereng 0-8 %.

Kedua, di wilayah bergelombang sampai berbukit dengan kemiringan lereng 8-30 %, kelapa sawit masih dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik melalui

upaya pengelolaantertentu seperti pembuatan teras (Hartanto, 2011). Curah Hujan dan Hari Hujan

Iklim sangat berpengaruh terhadap variasi pertumbuhan kelapa sawit. Salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap produktifitas kelapa sawit adalah air. Ketersediaan air ini sangat dipengaruhi oleh curah hujan, irigasi yang diberikan ke perkebunan serta kapasitas tanah dalam menahan air. (Lubis, 1992).

Curah hujan adalah air hujan yang jatuh di permukaan tanah selama jangka waktu tertentu, diukur dalam satuan tinggi kolom di atas permukaan horizontal, apabila tidak terjadi penghilangan-penghilangan oleh proses penguapan, pengaliran dan peresapan ke dalam tanah. Curah hujan dinyatakan dalam tinggi

air (mm) diukur dengan penakar hujan dengan luas moncong 100 cm2. Satu hari hujan adalah periode 24 jam terkumpulnya curah hujan setinggi 0,5 mm atau lebih dan curah hujan dengan tinggi kurang dari ketentuan tersebut, hari hujan dianggap nol tetapi curah hujan tetap diperhitungkan (Siregar et al., 2006).

Air hujan merupakan sumber air utama untuk tanaman perkebunan. Menurut Mangoensoekarjo (2007) curah hujan optimal untuk tanaman kelapa sawit adalah 1.250 – 2.500 mm/tahun, sedangkan Hadi (2004) menyatakan bahwa

curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah 2.500 – 3.000 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun serta tidak

terdapat 7 bulan kering berkepanjangan dengan curah hujan di bawah 120 mm dan tidak terdapat bulan basah dengan hujan lebih dari 20 hari.

Curah hujan merupakan faktor iklim yang selalu berubah-ubah dan sulit diramalkan. Setiap daerah memiliki pola curah hujan yang berbeda sehingga baik jumlah curah hujan sepanjang tahun berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ketersediaan air merupakan faktor utama yang membatasi tingkat produksi tanaman. Kekurangan air akan berpengaruh negatif terhadap produksi TBS sampai dengan dua tahun ke depannya. Penurunan produksi tahun pertama berkisar antara 6-10% dari produksi normal per 100 mm defisit air dan tahun kedua berkisar antara 2-5% dari produksi normal per 100 mm defisit air. Besarnya pengaruh defisit air terhadap produksi dipengaruhi banyak faktor, diantaranya umur tanaman, tingkat produksi saat terjadi kekeringan, fisiologis tanaman dan sebagainya. Pengaruh negatif umumnya dimulai 6 bulan setelah terjadi defisit air, misalnya aborsi janjang.Akibat adanya defisit air yang besar, ada kemungkinan akan terjadinya perubahan pola produksi (Prihutami, 2011).

Menurut Mangoensoekarjo dan Semangun (2005) menyatakan bahwa kekurangan air pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan penurunan produksi tandan buah segar (TBS). Hadi (2004) menambahkan kekurangan air pada tanaman kelapa sawit dapat mengakibatkan buah terlambat masak, berat tandan buah berkurang, jumlah tandan buah menurun hingga sembilan bulan kemudian setelah terjadi defisit air, serta meningkatkan jumlah bunga jantan dan menurunkan jumlah bunga betina.

Pengaruh musim kering dan defisit air (water deficit) sangat besar pengaruhnya terhadap produktivitas kelapa sawit. Water deficit merupakan suatu kondisi dimana suplai air tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan air tanaman.

Water deficit pada tanaman kelapa sawit akan mempengaruhi proses kematangan tandan bunga sehingga akan mengurangi jumlah tandan buah segar yang akan dihasilkan (Risza, 2009). Pengaruh curah hujan terhadap produksi TBS akan terlihat pada 6 bulan berikutnya, yaitu pengaruh curah hujan pada semester I akan terlihat pada semester II terkait waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan bunga betina menjadi buah serta berpengaruh kepada berat janjang. Rata-rata jumlah curah hujan tertinggi terdapat pada semester II yaitu saat kondisi buah mengalami peakcrop (kondisi buah melimpah) (Prihutami, 2011).

Defisit air yang tinggi menyebabkan produksi turun drastis karena merusak perkembangan bunga sebelum anthesis dan pada bunga yang telah anthesis menyebabkan kegagalan matang tandan dan baru normal pada tahun ketiga dan keempat. Pengaruh air tersebut terhadap fisiologi pembentukan bunga adalah terjadi inisiasi pembentukan bakal bunga. Curah hujan yang rendah pada bulan tersebut menyebabkan banyak terbentuk bunga jantan. Kemudian diikuti

dengan terjadinya gagal tandan. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan berkuranganya produksi pada saat terjadi hujan dengan curah hujan yang rendah. Pada musim hujan terjadi banyak pembentukan bunga betina sedangkan pada musim kering terjadi banyak pembentukan bunga jantan (Manalu, 2008).

Curah hujan rendah juga menyebabkan cekaman kekeringan sehingga dalam mempertahankan kandungan air, terjadi penutupan stomata pada siang hari yang pada akhirnya berpengaruh pula pada fotosintesis dan transpirasi yang mengakibatkan terjadinya aborsi bunga betina dan menunda pembukaan daun muda (pupus) atau dengan kata lain terjadi pengurangan bunga betina. Penurunan produksi pada musim kering juga disebabkan gugurnya tandan bunga yang telah

mekar dan berpengaruh terhadap pembentukan jenis kelamin bunga (Manalu, 2008).

Curah hujan yang rendah dan tidak merata sering menyebabkan terjadinya kondisi defisit air yang berdampak negatif terhadap tanaman. Menurut Pangaribuan (2001) suplai air yang kurang dalam jangka waktu lama, secara morfologi menyebabkan meningkatnya kerusakan vegetatif tanaman, yaitu terhambatnya daun-daun membuka, terjadinya pengeringan daun muda, rusaknya hijau daun, dan juga dapat berakibat seluruh kanopi mengalami kerusakan bahkan bila kondisi sangat ekstrim dapat menyebabkan kematian. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan generatif tanaman kelapa sawit khususnya dalam menghasilkan TBS.

Defisit air merupakan terjadinya kekurangan cadangan air dalam tanah sehingga menyebabkan tumbuhan kekurangan air. Defisit air berpengaruh pada tidak terjadinya pemunculan bunga dari ketiak daun, bunga yang berdeferensiasi

menjadi bunga jantan akan lebih tinggi dibandingkan bunga betina dan bunga betina yang sudah terbentuk dapat mengalami aborsi akibat kekurangan air dalam metabolisme tubuhnya ataupun buah cepat matang dalam waktunya. Prinsip perhitungan defisit air adalah penyediaan air yang diserap oleh akar diasumsikan berkisar antara 0-200 mm. Apabila melewati ambang batas tersebut dapat diartikan bahwa telah terjadi jenuh air (Siregar et al,, 2006).

Kelebihan air yang dikarenakan tingginya curah hujan dapat meneyebabkan kegagalan matang tandan pada bunga yang telah mengalami anthesis. Curah hujan yang tinggi biasanya diikuti dengan penambahan hari hujan. Hari hujan yang banyak mengakibatkan penurunan intensitas penyinaran matahari sehingga laju fotosintesis turun dan dapat menyebabkan turunnya produktivitas. Curah hujan yang tinggi mendorong peningkatan pembentukan bunga, tetapi di lain pihak dapat menghambat penyerbukan karena sebagian serbuk hilang terbawa aliran air hujan. Sedangkan curah hujan yang rendah akan menghambat pembentukan daun, yang akan menghambat pembentukan bunga di ketiak daun (Nugraheni, 2007).

Umur Tanaman

Umur tanaman berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Tinggi rendahnya produktivitas TBS per hektar suatu kebun kelapa sawit tergantung dari komposisi umur tanaman yang ada dikebun tersebut. Semakin luas komposisi umur tanaman remaja dan renta, semakin rendah pula produktivitas perhektarnya. Semakin banyak tanaman dewasa semakin tinggi pula produktivitas per hektarnya (Risza, 1994).

Semakin luas komposisi umur tanaman remaja dan renta, semakin rendah pula tingkat produktivitasnya. Sedangkan semakin banyak tanaman dewasa dan teruna semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya. Menurut Risza (2009) tanaman kelapa sawit biasanya dibagi atas 6 kelompok, yaitu :

1. 0-3 tahun – muda (belum menghasilkan) 2. 3-4 tahun – remaja (sangat rendah) 3. 5-12 tahun – teruna (mengarah naik) 4. 12-20 tahun – dewasa (posisi puncak) 5. 21-25 tahun – tua (mengarah turun) 6. 26 tahun ke atas – renta (sangat rendah)

Berdasarkan penelitian Efendi et al (2016) umur tanaman berpengaruh nyata positif terhadap produksi kelapa sawit rakyat di Kabupaten Seluma. Hal ini dibuktikan dengan nilai t hitung (4,855) > t tabel (2,642) dengan koefisien regresi sebesar 0,561 pada taraf kepercayaan 99%. Dengan asumsi variabel yang lain ceteris paribus (hal-hal lain yang dianggap sama) maka peningkatan umur tanaman sebesar 1 persen akan meningkatkan total produksi sebesar 56,10 persen. Umur tanaman kelapa sawit petani rata- rata berumur 7,9 tahun hal ini berarti kelapa sawit petani mulai memasuki masa produktivitas maksimal.

Tanaman kelapa sawit dengan umur produktif atau umur ekonomis (<25 tahun) mencapai produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan

banyak dan berat janjang yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula. Tanaman yang melebihi dari umur ekonomisnya mengharuskan untuk segera dilakukan peremajaan, yaitu dengan mengganti tanaman kelapa sawit yang sudah tua dengan

tanaman yang baru agar kestabilan produksi TBS suatu kebun tetap terjaga (Prihutami, 2011).

Umur tanaman berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kelapa sawit. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan vegetatif tanaman kelapa sawit yaitu berpengaruh dalam pembentukan pelepah yakni jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun. Tanaman yang berumur tua jumlah pelepah dan anak daun yang dihasilkan lebih banyak. Pelepah yang terbentuk juga lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda. Ini berkolerasi positif terhadap ketersediaan makanan bagi tanaman karena pelepah berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan generatif yakni berpengaruh terhadap organ reproduksi tanaman yaitu dalam proses pembentukan dan perkembangan buah. Kelapa sawit yang memiliki komposisi umur tanam muda akan memiliki jumlah janjang yang lebih banyak tetapi berat janjang yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang memiliki komposisi umur tanaman yang lebih tua. Kondisi ini berpengaruh pada berat janjang rata-rata (BJR) kebun yang

berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan (Prihutami, 2011).

Drajat (2004) dalam penelitiannya mengatakan bahwa umur tanaman mempengaruhi kualitas rendemen TBS, yang pada akhirnya sangat berpengaruh terhadap harga TBS. Kualitas rendemen TBS dikatakan tinggi ketika tanaman berumur pada selang waktu 7 hingga 22 tahun, sehingga perkiraan harga TBS lebih tinggi. Tetapi kualitas rendemen TBS masih rendah pada selang umur

tanaman 3 sampai 6 tahun dan 23 sampai 25 tahun, sehingga perkiraan harga TBS lebih rendah.

Tanaman kelapa sawit akan menghasilkan tandan buah segar (TBS) yang dapat dipanen pada saat tanaman berumur 3 atau 4 tahun. Produksi TBS yang dihasilkan akan terus bertambah seiring bertambahnya umur dan akan mencapai produksi yang optimal dan maksimal pada saat tanaman berumur 9–14 tahun, dan setelah itu produksi TBS yang dihasilkan akan mulai menurun. Umumnya, tanaman kelapa sawit akan optimal menghasilkan TBS hingga berumur 25–26 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi fluktuasi TBS yang dihasilkan tanaman kelapa sawit adalah umur tanaman (Prihutami, 2011).

Hubungan Curah Hujan, Hari Hujan dan Umur Tanaman Terhadap Produksi Tanaman Kelapa Sawit

Hubungan curah hujan, hari hujan dan produksi ini hanya berlangsung pada saat tanaman kelapa sawit mengalami proses penyerbukan. Apabila pada saat tanaman kelapa sawit mengalami proses penyerbukan, jumlah hari hujan yang tinggi dapat mempengaruhi penyerbukan pada tahun ke depannya karena bunga pada penyerbukan tersebut tidak menjadi buah yang menyebabkan bakal buah gugur (Purba, 2006).

Menurut hasil penelitian Sevitha (2013) di Serawak Damai Estate (SDME), PT Windu Nabatindo Lestari (WNL), Bumitama Guna Jaya Agro, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah dari hasil analisis regresi linear berganda dan diuji asumsi pada 24 bulan sebelum panen (BSP) pada tahun 2010 terdapat lima variabel yang berpengaruh terhadap produktivitas yaitu suhu, kecepatan angin, hari hujan, umur tanaman, dan tenaga kerja. Hasil pendugaan

model diperoleh nilai F-hitung sebesar 124,45, dan nilai signifikansi pada uji ini adalah 0,001 yang berpengaruh signifkan pada alpha 5%. Nilai koefisien determinasi (R2) setelah diregresi didapat sebesar 99,7 %. Hal ini berarti bahwa 99,7% variasi produktivitas dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel yang digunakan dan sisanya sebesar 0,3% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukan ke dalam model.

Berdasarkan penelitian Yunita (2010) yang menyatakan bahwa penurunan produktivitas tanaman kelapa sawit kebun Sei Lala PT Tunggal Perkasa Plantations Indragiri Hulu Riau, dipengaruhi oleh curah hujan. Produktivitas

tanaman kelapa sawit terbesar diperoleh saat curah hujan terbesar pula (curah hujan > 100 mm/bulan). Akan tetapi pada curah hujan 60–100 mm/bulan

produktivitas tanaman kelapa sawit yang dihasilkan lebih kecil daripada produktivitas tanaman pada curah hujan < 60 mm/bulan.

Kekeringan dengan defisit air di atas 250 mm pertahun akan mengakibatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit terganggu yang berlangsung sampai 2–3 tahun ke depan. Sebagai contoh, produksi tandan buah segar di Kebun Bekri (Lampung) menurun akibat kekeringan pada musim kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1982. Penurunan tersebut 5–11 % pada

tahun berjalan, 14–55 % pada tahun 1983, dan 4–30 % pada tahun 1984 (Lubis, 1992).

Berdasarkan penelitian Prihutami (2011) di Sungai Bahaur Estate Kalimantan Tengah, yang menyatakan bahwa umur tanaman memiliki peranan yang sangat penting terhadap produksi TBS kelapa sawit. Hasil analisis menunjukkan umur tanaman 7-11 tahun memberikan pengaruh terbaik terhadap

produksi TBS. Tanaman kelapa sawit pada umur 7-11 tahun dapat mencapai produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan banyak dan berat janjang yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula.

Berdasarkan penelitian Pasaribu et al (2012) di perkebunan kelapa sawit di PPKS sub unit Kaliantan Kebun Riau, besar kecilnya curah hujan sangat mempengaruhi nilai lolosan tajuk dan aliran batang serta intersepsi yang terjadi setiap bulannya. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa lolosan tajuk pada tegakan kelapa sawit cukup tinggi di wilayah ini. Pada bulan Desember 2009 nilai lolosan tajuk mencapai 353,9 mm. Tingginya nilai lolosan tajuk pada bulan ini dikarenakan oleh tingginya curah hujan pada bulan tersebut. Sebaliknya pada

Dokumen terkait