• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. KEJU

Keju merupakan hasil dari penggumpalan susu yang umumnya menggunakan penggumpal (koagulan) berupa rennet anak sapi. Setelah koagulan dan whey dipisahkan, susu yang tergumpal (dadih) lebih lanjut melalui proses pemotongan, pemanasan, dan pengasaman. Dadih yang telah diolah kemudian diberi garam dan diinokulasi dengan kapang atau bakteri yang diinginkan, kemudian dilakukan pencetakan. Pemeraman keju dapat dilakukan selama beberapa hari, beberapa bulan, bahkan hingga beberapa tahun. Terbentuknya flavor yang khas, gelembung-gelembung gas, pertumbuhan kapang atau bakteri dan sebagainya merupakan hal-hal yang membentuk keragaman jenis keju yang ada (Herchdoerfer, 1986).

Menurut Nelson dan Trout (1951), keragaman jenis keju tergantung pada (a) bahan dasar yang digunakan, (b) metode koagulan susu, (c) kadar whey dalam dadih, (d) dilakukannya pemeraman yang digunakan. Daulay (1991) menyatakan bahwa perbedaan jenis bahan baku keju, metoda pengolahan, dan lama pemeraman akan menghasilkan penampakan produk akhir yang berbeda. Galloway dan Grawford (1986) yang dikutip dalam Daulay (1991), mengklasifikasi jenis keju berdasarkan karakteristik pemeraman, dan kadar air yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi keju berdasarkan karakteristik pemeraman, dan kadar air

Tipe keju Kadar air (%)

Karakteristik

pemeraman Contoh keju Sangat keras Keras Semi keras Semi lunak Lunak 26-35 35-45 41-52 45-55 55-80 Bakteri

Bakteri tekstur tertutup Bakteri tekstur terbuka Bakteri Kapang Bakteri Kapang Tanpa pemeraman Parmesan

Cheddar dan Ceshire Swiss dan Emmentales Edam dan Brick Roquefort Limburger Camembert Cottage

Menurut Robinson (1981), ada dua macam tipe keju yaitu keju alami dan keju olahan. Keju alami dibuat langsung dari susu tanpa mengalami proses penuaan atau pematangan oleh bakteri. Berdasarkan cara pengolahan dan kekerasaannya, keju digolongkan menjadi beberapa jenis: (1) Berkelembaban rendah dengan kadar air 30%, misalnya jenis saspago, romano, dan permesan; (2) Berkelembaban rendah moderat dengan kadar air 38% misalnya jenis cheddar, gouda dan edam; (3) Kelembaban tinggi dengan kadar air 45% sampai 80% misalnya cottage, cream dan sebagainya.

Keju olahan adalah keju yang diproduksi dari keju alami dengan tujuan untuk keseragaman cita rasa, tekstur dan kualitas pemasakan. Keju olahan yang pertama dihasilkan oleh kraft, tahun 1904. Prinsip utama pengolahan keju olahan adalah penggumpalan, dimana penggumpalan dapat dibantu oleh enzim, panas dan alkohol. Pertama-tama susu dipanaskan pada temperatur 72oC selama 16 menit. Kemudian didinginkan sampai 33–43oC, lalu ditambahkan kultur, asam dan rennet untuk menggumpalkan. Kultur yang biasa digunakan adalah

stertococus (bakteri asam laktat) sebanyak 1.5–2.5 %. Setelah satu jam, dimasukkan renet sebanyak 16-17 ml per 100 ml susu. Gumpalan yang terbentuk disaring, kemudian dikeringkan. Whey yang dihasilkan masih mengandung asam 0.6–0.7 %. Setelah itu keju disimpan pada temperatur 22oC (Robinson, 1981).

Dalam pembuatan keju, pada mulanya Streptococcus lactis adalah mikroba yang paling dominan dalam mengkontaminasi susu, sehingga dapat menghasilkan asam laktat. Tetapi pertumbuhan selanjutnya dari bakteri ini akan terhambat oleh keasaman yang dihasilkannya sendiri. Oleh karena itu bakteri tersebut akan menjadi inaktif sehingga kemudian akan tumbuh bakteri Lactobacillus yang lebih toleran terhadap asam. Lactobacillus akan menghasilkan asam lebih banyak lagi sampai jumlah tertentu yang dapat menghambat pertumbuhannya. Selama pembentukan asam tersebut pH susu akan turun sehingga terbentuk ”curd” susu. Pada keasaman yang tinggi Lactobacillus akan mati dan kemudian tumbuh ragi dan kapang yang lebih toleran terhadap asam. Kapang akan mengoksidasi asam sedangkan ragi akan menghasilkan hasil-hasil akhir yang bersifat basa dari reaksi proteolisis, sehingga keduanya akan menurunkan asam sampai titik dimana

bakteri pembusuk proteolitik dan lipolitik akan mencerna ”curd” dan menghasilkan gas serta bau busuk (Winarno et al., 1980).

Kekerasan, tekstur dan flavor keju merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks dari unsur-unsur pembentuknya, sedangkan dadih yang terbentuk terjadi karena peranan κ-kasein yang terdapat dalam susu. Di dalam susu, κ-kasein berperan sebagai pelindung koloid dan bertanggung jawab atas keutuhan misel kasein. Adanya gangguan pada κ-kasein akan menyebabkan ketidakstabilan pada keutuhan misel kasein, hal ini merupakan tahap awal dari pembentukan dadih susu (Kilara dan Iya, 1984).

B. KEJU CHEDDAR

Keju Cheddar adalah jenis keju yang pada awalnya dibuat berabad-abad yang lampau di desa kecil Cheddar, di Inggris. Jenis keju ini kemudian menjadi sangat populer dan menyebar ke seluruh dunia serta mengalami banyak modifikasi. Keju ini memiliki karakteristik khas yang disebabkan oleh adanya proses “cheddaring” dalam pembuatannya (Kosikowski, 1982). Keju Cheddar merupakan jenis dari keju keras yang sangat populer dan banyak diproduksi. Proses pembuatannya mirip dengan keju keras lainnya, hanya hal yang perlu diperhatikan adalah perbandingan lemak dan kasein harus berkisar antara 1:0.68-1:0.72, sedangkan jenis kultur yang sering digunakan, yaitu Streptococcus lactis,

Streptococcus cremoris, Lactobacillus casei, dan beberapa kultur lainnya (Sa’id, 1987).

Menurut Nelson dan Trout (1951), keju cheddar dibuat dari susu segar atau susu pasteurisasi dengan penambahan sejumlah kecil kultur bakteri asam laktat. Pembentukan dadih umumnya dilakukan dengan menggunakan koagulan rennet yang diikuti dengan pemanasan dadih. Karakteristik khas dari keju cheddar berupa anyaman dadih terjadi saat dilakukan proses “Cheddaring”. Menurut National Dairy Council (1967), proses “cheddaring” adalah proses dimana dadih yang telah masak dan dibuang sebagian airnya, dipotong-potong, ditimbun dan dibalik-balik berulang-ulang hingga terbentuk suatu ‘anyaman’ dari dadih dan hampir seluruh whey yang tersisa terkuras dari dadih.

Dadih keju yang telah diperas dan dicelupkan dalam parafin panas (untuk mencegah evaporasi) kemudian disimpan pada suhu 15oC dan RH 88% selama 4 hingga 10 bulan. Proses pematangan terjadi karena adanya enzim yang dihasilkan oleh bakteri starter. Keju yang telah matang akan berbentuk padat namun tidak terlalu keras (Sa’id, 1987). Keju cheddar yang baik menurut Kosikowski (1982) adalah yang memiliki kadar air tidak lebih dari 39%, dan kadar lemak kurang dari 50% (%bk). Selain itu bahan baku berupa susu segar telah mengalami proses pasteurisasi dan keju yang siap dikonsumsi minimal telah diperam selama 60 hari.

Tabel 2. Komposisi keju cheddar

Sumber : Buckle et al. (1987)

Keju cheddar merupakan keju keras yang memiliki warna kuning pucat sampai oranye. Seperti jenis keju yang lainnya, keju cheddar kadang dimodifikasi dengan menggunakan pewarna makanan kedalamnya. Jenis pewarna makanan yang biasa digunakan dalam keju cheddar adalah anato yang didapat dari ekstrak tumbuhan achiote yang dapat memberi warna kuning kemerahan (oranye) keju cheddar lebih dalam. Pewarna makanan pada keju cheddar digunakan untuk:

1. Memberi warna keju lebih seragam dan lebih konsisten selama pengolahan.

2. Membantu pembeli dalam mengidentifikasi jenis keju saat keju tidak diberi label.

3. Mengidentifikasi dari mana keju cheddar berasal.

Keju cheddar merupakan sumber vitamin B12. Satu potong keju cheddar (40g) mengandung 0.5 µg vitamin B12 (kebutuhan vitamin B12 orang dewasa per hari adalah 2.4 µg). Keju cheddar olahan menurut SNI 01-2980-1992 adalah produk berupa padatan plastis yang diperoleh melalui pengolahan keju cheddar dengan penambahan pengemulsi dan pemanasan dengan atau penambahan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Jenkins dan Harrington (1991), keju olahan merupakan keju yang memiliki kandungan lemak

Kadar air (%) 37.5

Lemak (%) 32.8

Protein (%) 24.2

Abu (%) 1.9

yang rendah dan memiliki kadar air yang tinggi. Keju olahan merupakan keju yang didapat dari bahan baku keju yang sama tetapi dilelehkan pada usia dua sampai empat minggu dan telah ditambahkan air, anti-mycotic seperti asam sorbat, dan bahan tambahan makanan lainnya.

C. PENGEMASAN

Pengemasan merupakan salah satu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk. Selain itu pengemasan merupakan penunjang bagi kelancaran transportasi dan distribusi yang merupakan bagian terpenting dari suatu usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran produk (Erliza et al., 1987).

Untuk mempertahankan mutu suatu produk perlu dilakukan pengemasan yang sempurna. Pengemasan terhadap produk bertujuan untuk melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya kontaminasi dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan pengemas, termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, perpindahan panas, kontaminasi dan serangan makhluk hayati (Harris dan Karnas, 1989).

Faktor-faktor penyebab kerusakan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan : yaitu yang secara alamiah sudah ada dalam produk dan tidak dapat dicegah hanya dengan pengemasan saja, dan yang tergantung dari lingkungan sekitar dan mungkin dapat dikendalikan hampir semuanya oleh kemasan. Pengemasan memiliki peranan penting dalam mempertahankan mutu suatu bahan dan proses pengemasan telah dianggap sebagai bagian integral dari proses produksi. Fungsi kemasan antara lain sebagai wadah untuk menempatkan produk, memberi perlindungan terhadap produk dan menambah daya tarik produk (Syarief dan Irawati, 1983).

Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang tepat yang tepat bagi pahan pangan, untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al., 1987). Kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan dapat dikontrol dengan pengemasan. Kerusakan ini antara lain absorpsi uap air dan gas, interaksi dengan oksigen dan kehilangan serta

penambahan cita rasa yang tidak diinginkan. Kerusakan yang bersifat alamiah dari produk tidak dapat dicegah dengan pengemasan, kerusakan ini antara lain adalah kerusakan secara kimiawi (Winarno dan Jenie, 1984). Menurut Muchtadi (1989), kerusakan kimiawi antara lain disebabkan karena perubahan yang berkaitan dengan reaksi enzim, rekasi hidrolisis dan reaksi pencoklatan non enzimatis yang menyebabkan perubahan penampakan.

Potensi terbesar bagi mikroba untuk tumbuh terutama kapang pada permukaan kemasan adalah bila permukaan-permukaan kemasan mempunyai kelembaban yang sangat tinggi (Winarno dan Jenie, 1984). Menurut Syarief et al.

(1989), bahan kemas mempunyai kemampuan dalam menahan serangan mikroba, hal ini ditentukan oleh ada tidaknya lubang-lubang yang sangat kecil (pinholes) pada permukaannya. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa berbagai macam film plastik dan lembaran-lembaran logam tidak dapat dimasuki mikroba termasuk kapang, khamir dan bakteri, bila bahan-bahan tersebut tidak mempunyai lubang-lubang kecil. Dalam prakteknya, bahan-bahan kemasan yang tipis termasuk alumunium foil dan plastik mempunyai lubang-lubang kecil tersebut. Ada beberapa faktor pengaman yang menahan masuknya mikroba melalui lubang kecil tersebut, yaitu antara lain:

1) adanya efek tegangan permukaan, sehingga mikroba tidak dapat masuk melalui lubang-lubang kecil, kecuali bila mikroba disuspensikan dalam larutan yang mengandung bahan pembasah (wetting agents) dan tekanan di luar kemasan lebih besar dari tekanan di dalam kemasan.

2) bahan kemasan yang umumnya digunakan mempunyai ketebalan sedemikian rupa sehingga lubang-lubangnya sangat jarang dan sangat kecil.

1. Kemasan alumunium

Fungsi pengemasan berdasarkan susunan lapisannya terdiri dari kemasan primer, kemasan sekunder, dan kemasan tertier (Setyowati et al., 2000). Kemasan primer yang digunakan keju cheddar adalah kemasan plastik laminasi, yaitu kombinasi antara alumunium foil dengan beberapa plastik fleksibel.

Foil adalah bahan kemas dari logam, berupa lembaran alumunium padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0.15 mm dan memiliki kekerasan yang

berbeda. Foil mempunyai sifat thermotis, fleksibel, dan tidak tembus cahaya. Pada umumnya digunakan sebagai bahan pelapis (laminan) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam (lapisan dalam) atau lapisan tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan (Syarief et al., 1989).

Alumunium dengan adanya udara akan membentuk alumunium-oksida yang merupakan lapisan film yang tahan terhadap korosi dari atmosfer. Jika alumunium digunakan untuk wadah maka bagian sebelah dalam akan kurang mendapat oksigen sehingga alumunium-oksida juga berkurang atau lama kelamaan akan habis, sehingga alumunium tidak akan tahan lagi terhadap korosi. Oleh karena itu bagian dalam dari wadah alumunium harus dilapisi enamel. Pelapisan atau ”coating” tidak hanya melapisi metal dari korosi, tetapi juga mencegah kontak antara makanan dengan logam yang dapat menghasilkan warna atau cita rasa yang tidak diinginkan (Winarno et al., 1980).

Ketebalan alumunium foil menentukan sifat protektifnya. Alumunium foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Sifat-sifat alumunium foil yang lebih tipis dapat diperbaharui dengan memberi lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-plastik. Teknik pengemasan dengan cara mengkombinasikan berbagai jenis kemasan bentuk (fleksibel) telah menghasilkan suatu bentuk yang disebut ”retort pouch”. Jenis kemasan ini memiliki keunggulan sebagai berikut : daya simpan tinggi, teknik penutupan mudah, kuat, tidak mudah sobek atau tertusuk, dan tahan terhadap proses sterilisasi. Sebagai contoh kemas bentuk retort pouch terdiri dari poliester-adhesif-alumunium foil-adhesif-polipropilen (Syarief et al., 1989).

Masih menurut Syarief et al. (1989), berbagai makanan yang dibungkus dengan alumunium foil menunjukkan bahwa produk-produk makanan tersebut cukup baik dan tahan terhadap alumunium dengan resiko pengkaratan yang kecil. Reaksi-reaksi yang ditemukan sesungguhnya adalah reaksi kimia yang tidak berakibat fatal, tetapi jika dibungkus dengan alufo yang bersentuhan dengan logam-logam lain (baja, plat timah, perak) maka akan terjadi reaksi elektrokimia atau galvanis dengan alumunium sebagai anoda. Kemasan alumunium untuk produk susu biasanya memerlukan lapisan pelindung. Laminasi alumunium pada

pengemasan keju terutama untuk mencegah pengurangan air, menjaga penampakan, pelindung dari jasad renik dan juga mencegah masuknya oksigen.

2. Kemasan karton gelombang

Kemasan sekunder yang biasa digunakan dalam pengemasan keju cheddar adalah kemasan karton gelombang. Karton adalah lembaran yang terbuat dari serat selulosa alam atau buatan yang telah mengalami pekerjaan penggilingan, ditambah beberapa bahan tambahan yang saling menempel dan menjalin. Karton merupakan kertas tebal (0.5-5mm) dengan gramatur lebih besar dari 224 gram/m2 dan dipakai antara lain sebagai bahan baku untuk membuat kotak pembungkus (dus) (Paine dan Paine, 1983).

Menurut Setyowati et al. (2000) kotak karton gelombang mirip folding carton (karton lipat) hanya saja karton gelombang dibentuk atau dibuat dari karton gelombang (papan gelombang). Umumnya kotak karton gelombang digunakan sebagai kemasan transport. Karton gelombang terdiri atas kertas linier, kertas medium/flute/concora, yaitu kertas yang dibuat sedemikian rupa hingga berbentuk gelombang. Kertas medium berfungsi untuk memberikan sifat kaku dan peredam benturan. Berdasarkan jumlah lapisan, karton gelombang dibedakan sebagai berikut:

1. Single fase, terdiri atas satu lembar datar yang salah satu permukaannya direkatkan pada lembaran lain yang dibuat bentuk gelombang. Karton ini lebih banyak digunakan sebagai bantalan penahan benturan bukan sebagai dinding peti/kotak.

2. Single wall, terdiri atas dua lembar datar dan satu lembar bentuk gelombang yang direkatkan sedemikian rupa sehingga lembar gelombang berada diantara kedua lembaran datar.

3. Double wall, terdiri atas tiga lembar datar dan dua lembar bentuk gelombang, dimana lembar gelombang yang pertama direkatkan diantara lembar datar yang pertama dan kedua, sedangkan lembar gelombang yang kedua direkatkan diantara lembaran datar yang kedua dan ketiga. Penggunaannya untuk peti kekuatan tinggi dan daya tumpuk tinggi.

Sedangkan berdasarkan PT. Bumi Lestari Mikronet dalam www. kotak-online.tripod.com, corrugated board adalah board yang di hasilkan dari satu atau lebih gelombang flute. Penggunaan dan spesifikasi board harus disesuaikan dengan produk yang akan dilindungi karena harga board naik secara proporsional dengan jumlah bahan yang dipakai. Corrugated board dibedakan sebagai berikut: 1. Single face adalah media corrugated di lapis pada satu sisi saja. Tipe ini

banyak di pakai pada industri gelas/kaca sebagai pelapis. Single face board

juga banyak di pesan untuk di laminasi dengan bahan cetak yang lebih halus. 2. Single wall adalah media corrugated yang di lapis pada dua kedua sisi (atas

dan bawah) dari gelombang flute. Board tipe ini mencakup 95% dari seluruh

corrugated yang di produksi di Indonesia.

3. Double wall adalah media corrugated yang mempunyai dua gelombang flute dan dilapis pada sisi atas, tengah dan bawah. Flute pada Double wall biasanya Flute B pada sisi atas dan Flute C pada sisi bawah. Board tipe ini memberi proteksi yang lebih besar dari single wall, Biasanya di pakai untuk kotak televisi, mesin tik dan alat alat yang umumnya berat dan memiliki nilai ekonomis tinggi.

4. Triple wall adalah media corrugated yang mempunyai tiga gelombang flute dan dilapis pada sisi atas, tengah atas, tengah bawah dan sisi bawah. Board

tipe ini adalah board yang paling kuat dan juga paling mahal tetapi sangat jarang di produksi karena keterbatasan aplikasi.

Paine dan Paine (1983) menyatakan bahwa suatu kemasan distribusi bukan terdiri atas produk yang dikemas saja, tetapi terdapat juga bahan lain yang berfungsi sebagai pelindung produk selama pengangkutan. Bahan tersebut misalnya berupa bantalan (cushion), penahan (blocker), penguat (bracing), bahan perintang penguap (water vapour barrier) dan sebagainya.

Menurut Triyanto (1991), karton gelombang merupakan bahan kemasan transpor yang paling umum dan paling banyak digunakan untuk berbagai jenis produk. Hal ini disebabkan oleh harganya yang relatif murah, dan daya tahan yang dapat diatur sesuai dengan jenis produk yang dikemas dan jenis transportasi yang dipergunakan.

Flute adalah gelombang pada media kertas yang di hasilkan melalui proses pembentukan, aplikasi adhesive, pemanasan dan penggabungan dengan kertas lapisan luar. Gelombang atau flute yang terbentuk dalam media kertas memberikan daya tahan dan daya absorbsi pada corrugated board (www.kotak-online.tripod.com). Tabel 3 memperlihatkan 4 standard flutes dalam industri

corrugated board.

Tabel 3. Standar flute dalam industri Corrugated board

FLUTE Flutes/m Ketebalan

A 33 + 3 4.8 mm

B 47 + 3 2.4 mm

C 39 + 3 3.6 mm

E 90 + 4 1.2 mm

Flute A dipakai pada aplikasi dimana crushing atau penyerap benturan (cushioning) adalah tujuan utama. Flute tipe ini jarang sekali di pakai di Indonesia. Flute B memberikan ketahanan terhadap stacking, lebih mudah di lipat dan gelombang flutenya lebih kuat dari A maupun C. Flute C memiliki kualitas antara A dan B, menyerap kelebihan dari kedua jenis sehingga sangat banyak di pakai. Flute E adalah flute khusus yang sangat mudah di lipat dan di gunakan pengganti karton tebal. Biasanya di pakai pada kotak yang bercetakan halus untuk memberi kesan eksklusif (www. kotak-online.tripod.com).

Beberapa sifat kotak gelombang menurut Peleg (1985) adalah permukaannya halus, dapat dicetak, mudah dilipat atau dibentuk dan dapat didaur ulang. Kemudian Friedman dan Kipness (1977) menambahkan bahwa sifat-sifat lainnya adalah tahan terhadap benturan, tahan tumpuk, dan tidak mudah robek. Kekurangan kotak karton gelombang adalah bila konduksi panas rendah maka kemasan susah menjadi dingin serta ada kecenderungan menyerap kelembaban (Triyanto, 1991).

Menurut Baker (1989), beberapa keuntungan karton gelombang adalah : a. Versalitasnya (kemampuan yang beraneka ragam, tergantung pada keinginan) b. Kuat tapi ringan

c. Kemudahan beradaptasi, dengan teknik manual atau otomatis (dari segi pembuatannya)

d. Sifat pelindungnya

e. Sifat penyimpanannya (perlu ruang sedikit) dan mudah memindahkan

Menurut Friedman dan Kipness (1977), sifat kertas dasar yang dipergunakan untuk membuat karton gelombang sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat karton gelombang. Karena itu untuk mendapatkan karton gelombang yang baik, yang harus diperhatikan adalah tidak stabilnya sifat kertas akibat adanya air (sifat hygro-instability).

Menurut Khan dan Rahim (1985), sifat penting dari karton gelombang adalah kombinasi antara ketebalan, kekakuan dan kemampuan bantalan. Kombinasi sifat ini sebagai akibat dari strukturnya yang mirip dengan struktur jembatan gantung. Medium pada karton gelombang mengikut 2 lapisan luar secara bergelombang. Hal ini menambah kuat ketiga lapisan tersebut dibandingkan jika ketiga lapisan tersebut dilem sekaligus.

D. PLASTIK

Plastik merupakan bahan kemasan yang penting di dalam industri pengemasan. Kelebihan plastik dibanding kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif murah, dapat dibentuk dalam berbagai rupa dan mengurangi biaya transportasi (Hanlon, 1971). Plastik biasa digunakan sebagai bahan pengemas karena dapat melindungi produk dari cahaya, udara, perpindahan panas, kontaminasi dan kontak dengan bahan-bahan kimia. Aliran gas dan uap air yang melalui plastik dipengaruhi oleh pori-pori plastik, tebal plastik dan ukuran molekul yang berdifusi produk (Syarief dan Irawati, 1983).

Menurut bentuknya plastik dibedakan atas flexible film dan rigid container

(Syarief dan Irawati, 1983). Wadah-wadah yang cukup kuat untuk ditumpuk memungkinkan penggunaan ruang secara maksimum dalam penyimpanan (Pantastico, 1986). Bahan kemasan plastik dibuat dan disusun melalui proses yang disebut polimerisasi dengan menggunakan bahan mentah monomer, yang tersusun sambung menyambung menjadi satu dalam bentuk polimer. Bahan tambahan komponen non plastik yang berupa senyawa anorganik atau organik yang

memiliki berat molekul rendah dapat berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap sinar ultra violet, antilekat, dan fungsi lainnya (Winarno, 1993).

Beberapa jenis plastik yang sering digunakan pada pengemasan adalah

sellulosa, vinylidene chloride/vinyl chloride copolymer, polyethylene, polyprophylene, polyvinil chloride, polystyrene, dan polyester (Slade, 1971). Menurut Syarief et al. (1989) polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Polipropilen merupakan jenis termoplastik yang memiliki densitas rendah. PP memiliki banyak kegunaan pada aplikasinya, seperti untuk transportasi, alat tekstil, film dan kemasan. PP dibuat melalui proses polimerisasi dengan bantuan katalisator pada monomer propilen dibawah panas dan tekanan. Struktur umum polipropilen dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur umum polipropilen

Beberapa sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al. (1989) antara lain : (i) ringan (densitas 0.9 g/cm3) dan mudah dibentuk; (ii) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari polietilen dan tidak bisa digunakan untuk kemasan beku karena rapuh pada suhu -30oC; (iii) lebih kaku dari pada polietilen dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan distribusi; (iv) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang dan tidak baik untuk mengemas produk yang mudah menguap; (v) tahan terhadap suhu tinggi (150oC), sehingga dapat digunakan untuk produk yang harus disterilisasi; (vi) titik lebur tinggi sehingga tidak bisa dibuat kantong dengan sifat kelim panas yang baik. Pada suhu-suhu tinggi mengeluarkan benang-benang plastik; (vii) tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak; (viii) pada suhu tinggi polipropilen dapat bereaksi dengan benzen,

Dokumen terkait