• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani

Tanaman manggis (Garcinia mangostana L) merupakan famili Guttiferae. Manggis berperawakan pohon yang mempunyai tinggi 6-25 m, berbatang lurus, bercabang-cabang simetris, membentuk tajuk pyramid beraturan. Daunnya berhadapan, dengan tangkainya yang memeluk pucuk, sehingga pasangan teratas menutupi kuncup terminalnya daun berbentuk lonjong dan tebal berukuran panjang 15-25 cm dan lebar 7-13 cm, tebal dan berwarna hijau-kuning pada lembar sebelah bawah, dengan urat tengah hijau muda, menonjol pada kedua belah daun, dan memiliki banyak urat samping yang menonjol dan berjarak sama. Semua bagian tanaman manggis mengeluarkan getah kuning apabila terluka (Verheij, 1997).

Bunga manggis soliter atau berpasangan di ujung tunas, tangkai bunga pendek dan tebal, jumlah kelopak bunga 4 buah teratur berpasangan, mahkota juga 4 buah tebal dan berdaging. Bunga jantan rudimeter dan bakal buah bersifat sessil 4-8 ruang (Ashari,1995). Bunga-bunga mulai muncul dari ujung pucuk yang tua. Calon bunga muncul dalam bentuk bengkakan besar pada ujung ranting. Kuncup bunga memerlukan waktu sekitar 25 hari sampai bunga mekar dan buah akan matang dalam waktu 100-120 hari. Bakal buah tidak memiliki tangkai, memiliki cuping 4-8 buah (Verheij, 1997).

Buah manggis bertipe buah buni yang berbentuk bulat dan berkulit licin, berdiameter 4-7 cm. Buah manggis akan berubah menjadi berwarna lembayung tua ketika matang. Pada saat matang daun kelopak masih menempel dan tetap dihiasi oleh cuping kepala putik (Verheij, 1997). Kulit dalam berwarna merah-lembayung dengan tebal 0,9 cm, ruang bakal buah berisi 0-3 biji (Ashari,1995). Lim (1984), menyebutkan bahwa buah matang memiliki kulit dengan tebal sekitar 0,5 cm. Dalam kulit buah terdapat 5-8 segmen daging buah yang lunak dengan ukuran yang bervariasi. Tektur daging buah lunak, aromanya lembut, dan rasanya sedikit asam. Menurut Martin (1980) kulit buah manggis tebal namun mudah pecah. Sebagian besar kandungan kulit buah manggis adalah tannin dan xanthones.

Buah ini berwarna coklat, merah. Buah ini bergetah, semakin tua getahnya semakin berkurang.

Biji manggis terbentuk dan berkembang secara apomiksis sehingga bersifat true to type atau identik dengan genetik induknya. Biji apomiksis juga bersifat rekalsitran, sehingga harus segera ditanam sesudah dikeluarkn dari buahnya. Sifat yang rekalsitran ini menyebabkan manggis tidak bisa diperbanyak sepanjang tahun. Masa berbunga pertama dapat terjadi sangat lama yaitu 12 – 20 tahun (Ashari,1995). Keturunan tanaman manggis bersifat seragam dan identik dengan tanaman induknnya (Nakasone dan Paul, 1998). Verheij (1997), menyatakan bahwa manggis tidak memiliki biji sejati, biji terbentuk dari sel-sel bagian dalam dinding daun buah, kadang-kadang mengarah ke poliembrioni. Secara morfologi, biji dideskripsikan sebagai benjolan hipokotil sedangkan embrionya kurang berkembang. Lim (1984) menyebutkan bahwa ukuran biji manggis bervariasi, yaitu dengan panjang 1-1,5 cm, tebal 0,3-0,5 cm, dan diameter antara 0,5-2,0 cm. Biji menempel pada daging buah, berwarna coklat, pipih, tidak mempunyai endosperma, dan pada permukaannya terlihat jaringan pembuluh vaskular.

Kultur Jaringan Manggis

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam lingkungan yang aseptik, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Salah satu penerapan kultur jaringan adalah perbanyakan mikro. Perbanyakan mikro secara umum dapat diartikan sebagai usaha menumbuhkan bagian tanaman dalam media aseptik dan memperbanyaknya hingga menghasilkan tanaman sempurna. Tujuan utama penerapan perbanyakan mikro adalah produksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat terutama untuk varietas-varietas unggulan serta memperoleh tanaman yang terbebas dari serangan patogen. Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat dapat beregenerasi melalui proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis (Gunawan, 1992).

5

Organogenesis artinya proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk/ tunas dan akar. Inisiasi organogenesis berasal dari diferensiasi sel somatik khususnya sel meristem yang berada pada titik tumbuh. Eksplan sel meristem yang berada pada titik tumbuh jika ditanam dalam medium regenerasi yang tepat dapat langsung membentuk tunas, yang kemudian akan disusul oleh pembentukan akar, sehingga terbentuk tanaman secara utuh. Pada proses organogenesis tersebut zat pengatur tumbuh sitokinin bersama-sama dengan auksin berperan aktif dalam pembentukan tunas (Mattjik, 2005).

Embriogenesis adalah proses terbentuknya embrio somatik. Embrio somatik adalah embrio yang bukan berasal dari zigot, tetapi dari sel tubuh tanaman. Embrio somatik biasanya berasal dari sel tunggal yang kompeten dan berkembang membentuk fase globuler, hati, torpedo, dan akhirnya menjadi embrio somatik dewasa yang siap dikecambahkan membentuk planlet / tanaman utuh (Pardal et al., 2001).

Hasil percobaan Roostika et al. (2005) menunjukkan bahwa tunas yang terinduksi dari biji berjumlah sangat banyak, namun sebagian besar merupakan nodul-nodul ataupun tunas-tunas yang berukuran kecil (tanpa pasangan daun yang mengembang) sehingga sulit dihitung. Sulistiana et al (2001) melaporkan bahwa pada eksplan biji manggis, nodul mulai muncul pada umur 1-2 minggu setelah tanam (MST) dengan media MS ½ + BAP (6-benzyl amino purine) 5 mg/l dan 2,5 mg/l. Kalus mulai muncul pada umur 2 MST dengan BAP 2,5 mg/l dengan eksplan biji dibelah 2 melintang dan biji utuh.. Daun mulai terbentuk pada umur 4-5 MST. Tunas mulai muncul pada umur 2 MST. Pada perlakuan BAP 5 mg/l tunas adventif mulai muncul pada umur 3 MST, sedangkan pada perlakuan BAP 2,5 mg/l mulai muncul pada umur 4 MST. Tunas adventif juga dihasilkan lebih banyak pada perlakuan BAP 5 mg/l dibandingkan BAP 2,5 mg/l. Pada BAP 5 mg/l tunas adventif masih bertambah jumlahnya hingga 6 MST, sedangkan pada BAP 2,5 mg/l pertambahan jumlah tunas adventif relatif stabil setelah 5 MST.

Makin tinggi konsentrasi BA makin tinggi persentase biji yang tumbuh, jumlah tunas setiap biji, dan jumlah daun setiap tunas. Penggunaan media MS + BA 5 mg/l memberikan persentase biji yang tumbuh hingga 100% dengan jumlah tunas terbanyak (2,7 tunas setiap biji), dan jumlah daun terbanyak (2,9 tunas

setiap biji). Tidak seluruh tunas in vitro yang muncul dapat disubkultur pada media induksi akar karena ukurannya masih kecil (tinggi kurang dari 1 cm). Secara umum jumlah tunas yang dapat langsung disubkultur ke media perakaran sebanyak 3-5 tunas dari setiap biji yang ditumbuhkan, sedangkan yang lain harus dipindahkan ke media pertumbuhan (Roostika et al, 2005).

Menurut Sulistiana et al (2001) untuk mendapatkan dengan cepat bibit manggis secara in vitro, maka memacu pertumbuhan tunas adventif ini lebih cocok dilakukan dibandingkan dengan memacu pertumbuhan tunas aksilar. Hal ini karena secara in vitro jumlah tunas adventif yang dihasilkan lebih banyak daripada jumlah tunas aksilar, walaupun ukuran dari tunas adventif tersebut lebih kecil.

Pertumbuhan tunas dan akar pada biji manggis terlihat mengalami polaritas. Adanya polaritas terlihat dari munculnya tunas dibagian pangkal ujung akar yang berseberangan, tanpa dipengaruhi posisi peletakkan. Tunas tumbuh dari bagian luar biji pada semua perlakuan, walaupun diletakkan pada berbagai posisi. Terlihat tidak adanya tunas yang muncul dari bagian dalam biji menunjukkan bahwa tunas tersebut muncul dari bagian-bagian yang memang telah bersifat embrionik atau yang digolongkan sebagai tunas predeterminant. Terlihat adanya dominansi apikal pada pertumbuhan biji manggis. Dominansi apikal ini terlihat dari terhambatnya pertumbuhan tunas aksilar jika pada bagian ujung telah muncul tunas apikal (Sulistiana et al, 2001).

Qosim (2006) melaporkan bahwa perlakuan media MS dikombinasikan dengan 2,22 µM BAP dan 2,27µM TDZ untuk induksi kalus nodular memberikan respon paling baik dibandingkan perlakuan lainnya. Pada perlakuan tersebut persentase eksplan membentuk kalus nodular paling tinggi (79,4 %), jumlah kalus nodular paling tinggi (3,6 kalus nodular), dan waktu terbentuk kalus nodular paling cepat (24½ hari). Induksi kalus nodular membutuhkan konsentrasi BAP dan TDZ yang seimbang. Penggunaan BAP dan TDZ saja eksplan tidak dapat menginduksi kalus nodular.

Penelitian Te-chato dan Lim (2004) menunjukkan bahwa tanaman manggis yang berasal dari kultur jaringan daun muda memiliki masa juvenil 5 - 6 tahun. Buah yang dihasilkan memiliki diameter yang yang lebih besar

7

dibandingkan buah dari pohon yang berasal dari perbanyakan biji. Perbandingan karakteristik morfologi antara tanaman yang berasal dari kultur jaringan dan dari biji memperlihatkan bahwa tanaman yang bersal dari kultur jaringan lebih baik dan sehat.

Media Kultur

Pertumbuhan kultur dan laju pembentukan tunas dipengaruhi oleh keadaan fisik dari media tanam. Media yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrisi makro dan mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu serta sumber energi yang pada umumnya menggunakan sukrosa (Wetherel, 1982). Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan (Gunawan, 1992). Media kultur jaringan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam teknik kultur jaringan. Keberhasilan aplikasi metode kultur jaringan berkaitan dengan unsur hara yang mencukupi bagi sel atau jaringan eksplan in vitro. Media kultur jaringan terdiri atas hara esensial dan tambahan. Komponen hara esensial terdiri dari garam-garam anorganik, sumber karbon dan energi, vitamin dan zat pengatur tumbuh (ZPT). Komponen tambahan lain penting adalah senyawa nitrogen organik, asam-asam organik dan senyawa kompleks (Gamborg , 1995).

Media MS merupakan salah satu media yang digunakan secara luas untuk beragam tipe kultur jaringan dan berbagai spesies khusus tanaman herbaceous karena tingginya kandungan nitrogen baik dalam bentuk amonium maupun nitrat (Hartman et al, 1997). Unsur-unsur makro dalam media MS pada awalnya dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi ternyata unsur media MS pada umumnya juga mendukung kultur jaringan tanaman lain (Gunawan, 1992).

Media B5 dikembangkan oleh Gamborg dan grupnya pada tahun 1968 untuk kultur suspensi kedelai. Pada masa ini media B5 digunakan untuk kultur-kulur lain. Media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah. Fosfat yang diberikan adalah 1 mM, Ca2+ antara 1-4 mM, sedangkan Mg+2 antara 0.5-3 mM (Gunawan, 1992).

Media WPM (Woody Plant Medium) dikembangkan oleh Llyod dan Mc Cown pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang

rendah pada jaman sesudah penemuan media MS. Media ini konsisten sebagai media untuk tanaman berkayu yang dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media tanaman berkayu lain (Gunawan, 1992).

Dodds dan Roberts (1985), menyatakan bahwa vitamin berfungsi sebagai katalisator pada sistem enzim dan diperlukan hanya dalam jumlah kecil. Thiamin (Vit. B1) merupakan vitamin esensial pada kultur jaringan, sedangkan asam nikotinat atau niacin (Vit. F) dan Pyridoxine (Vit. B6) dapat menstimulasi pertumbuhan. Thiamin diberikan sebagai Thiamin-HCl pada jumlah yang bervariasi dari 0.1 – 30 mg/l. Beberapa vitamin lainnya yang digunakan dalam kultur jaringan antara lain Biotin (Vit. H), Asam Folat (Vit. Bc), Calcium pantothenat, Riboflavin (Vit. B2), Sianokobalamin (Vit. B12), Asam P-aminobenzoat (PABA ; Vit Bx) dan Kolinklorida.

Sukrosa dalam media dihidrolisa menjadi monosakarida selama masa kultur. Hidrolisa terjadi karena enzim invertase yang terdapat pada dinding sel, dan hidrolisa sukrosa paling efektif dalam media dengan pH rendah (Gunawan, 1992).

Menurut George dan Sherrington (1993), kemungkinan peranan myo-inositol melalui keikutsertaannya dalam lintasan biosintesa asam D-galakturonat yang menghasilkan vitamin C dan pektin. Inkorporasinya dalam fosfoinositida dan fosfatidil inositol yang berperanan dalam pembelahan sel. Myo-Inositol atau meso-inositol umum ditambahkan pada media dan berpengaruh terhadap morfogenesis kultur. Penambahan myo-inositol ke dalam media memperbaiki pertumbuhan dan morfogenesis.

Embriogenesis Somatik

Purnamaningsih (2002), menyatakan bahwa salah satu teknik yang dapat digunakan untuk penggandaan bibit bermutu dalam jumlah banyak adalah embriogenesis somatik. Menurut William dan Maheswara (1986), embriogenesis somatik merupakan suatu proses dimana sel-sel somatik (baik haploid maupun diploid) berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Mariska (1996), menyatakan

9

bahwa regenerasi melalui embriogenesis somatik memberikan banyak keuntungan, antara lain: waktu perbanyakan lebih cepat, pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikan tanaman lebih cepat, dan jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya.

Dalam regenerasi melalui embriogenesis, terdapat beberapa tahapan dari eksplan menjadi tanaman lengkap meliputi yaitu: tahap induksi, proliferasi, diferensiasi jaringan dan maturasi, perkecambahan embrio. Proses pembentukan embrio somatik pada umumnya didahului dengan pembentukan jaringan embrionik, selanjutnya pembentukan struktur embrio globular, hati, torpedo, dan kotiledonari (http://www.cropsoil.uga.edu).

Gambar 1. Perkembangan Struktur Embrio pada Tanaman Kedelai. Dari Kiri ke Kanan Berurutan Struktur Embrio Globular, Hati, Torpedo, dan Kotiledon (http://www.cropsoil.uga.edu)

A B C Gambar 2. Embrio Somatik Secara Langsung pada Tanaman Mangga (Mangifera

indica L.) Melalui Jaringan Nucellar. A. Fase Globular, B. Fase Heart, C. Fase Torpedo (Florez-Ramos et al.,2006)

Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer (Wiendi et al., 1991). Embriogenesis somatik menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam mempelajari dan menganalisis berbagai peristwa biokimia dan molekuler, sehingga memiliki nilai potensial yang besar bagi ilmu biologi dan pertanian (Vajrabhaya, 1988).

Menurut Purnamaningsih (2002), faktor yang mempengaruhi pembentukan embrio somatik adalah:

1. Jenis eksplan. Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil. Eksplan yang digunakan dapat berbeda tergantung jenis tanaman dan tahap perkembangan dari eksplan.

2. Sumber nitrogen. Embriogenesis somatik mengalami proses perkembangan morfologi seperti yang terjadi pada embrio zigotik. Faktor yang penting dalam induksi dan perkembangan embriogenesis somatik adalah komposisi nutrisi pada media kultur. Nitrogen merupakan faktor utama dalam memacu morfogenesis secara in vitro. 3. Gula serta zat pengatur tumbuh. Selain nitrogen, gula merupakan salah

satu komponen organik yang harus diberikan ke dalam media tumbuh. Gula berfungsi di samping sebagai sumber karbon, juga berguna untuk mempertahankan tekanan osmotik media.

4. Zat Pengatur Tumbuh. Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Promotor yang digunakan antara lain auksin (2,4-D, 3,5-T, picloram, dan NAA), sitokinin (BA, kinetin, dan adenine sulfat), GA3, dan

11

inhibitor ABA. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diguna-kan tergantung pada tahap perkem-bangan yang terjadi.

Ammirato (1983), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi regenerasi tanaman melalui jalur embriogenesis diantaranya yaitu:

1. Eksplan, embriogenesis langsung umumnya dari eksplan yang juvenil. 2. Media kultur, mencakup tentang komponen penyusun media.

3. Zat pengatur tumbuh (ZPT), auksin merupakan salah satu ZPT yang paling banyak digunakan untuk induksi embriogenesis.

4. Kondisi lingkungan (cahaya), embriogenesis biasanya pada terjadi intensitas cahaya yang rendah atau dalam kondisi gelap.

5. Jenis kultur, kultur media padat, semi solid atau media cair. 6. Genotipe, sumber bahan tanaman yang digunakan.

Gray (2005) menyatakan bahwa sel/jaringan somatik pada kondisi normal akan berkembang menjadi jaringan parenkhima, tetapi dapat beralih menjadi embriogenik pada kondisi khusus. Embrio mampu diinduksi dari sel somatik diduga karena dikendalikan oleh sekumpulan gen dan adanya kemampuan totipotensi sel untuk tumbuh menjadi tanaman lengkap. Wattimena (1992) menyebutkan bahwa kemampuan jaringan eksplan membentuk kalus dan laju pertumbuhan kalus dapat berbeda-beda pada tiap tanaman. Kemampuan jaringan membentuk kalus dan laju pertumbuhan kalus tergantung pada medium, zat pengatur tumbuh yang digunakan dan faktor lingkungan lainnya.

Menurut Wattimena (1992), pada tahap inisiasi embrio somatik, sel embriogenik akan dihasilkan jika dikulturkan pada media yang mengandung auksin. Pada manggis seperti dilaporkan oleh Te-chato et al. (1995) bahwa embriogenesis somatik terjadi pada kultur daun muda yang masih berwarna ungu pada media MS semisolid dengan penambahan 2,2 µM BA, 2,3 µM thidiazuron (TDZ) dan polyvinylpyrrolidone (PVP). Embriogenesis somatik langsung tanpa melalui fase pembentukan kalus dari biji muda pada Garcinia indica Choiss dilaporkan oleh Thengane et al. (2006). Media yang digunakan adalah WPM + BAP 4,44-22,19 μm dan WPM + BAP 4,44-22,19 μm + NAA 2,69 μm. Induksi embrio somatic terjadi pada 2-3 MST.

Zat Pengatur Tumbuh

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 - 10-5 mM) yang mensintesiskan pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, 1992).

Menurut Gunawan (1987), ada dua golongan ZPT yang sangat penting dalam kultur jaringan yaitu sitokinin dan auksin. ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Perkembangan suatu kultur akan dipengaruhi oleh interaksi ZPT yang diberikan (eksogen) dan ZPT yang diproduksi oleh sel secara endogen. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen mengubah level ZPT endogen sel.

Gray (2005), menyatakan auksin dibutuhkan dalam menginduksi pembentukan sel embrionik dengan menginisiasi aktivitas differential gene dan memanipulasi sekumpulan gen untuk meningkatan populasi sel embrionik melalui pembelahan sel secara berulang-ulang, serta menstimulasi terjadinya diferensiasi sel dan terjadinya embrio. Menurut Wattimena (1992), dalam kultur jaringan, auksin berperan dalam pembentukan kalus, klorofil, morfogenesis akar, tunas serta embriogenesis. Auksin yang banyak dipergunakan untuk induksi kalus adalah 2.4-D, 3.4.5-T, dan picloram. Penggunaan auksin-auksin ini dapat menyebabkan ketidakstabilan genetik. Penyimpanan kalus yang lama pada media yang mengandung auksin-auksin tersebut akan menyebabkan peningkatan keragaman genetik. Pembentukan klorofil pada kalus dan kultur suspensi didorong oleh sitokinin tetapi dihambat oleh auksin. Pembentukan klorofil dapat ditingkatkan dengan pengurangan konsentrasi auksin.

Berdasarkan struktur dan bahan kimia, auksin dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu phenoxyalkanoic (contoh: 2,4-D, MCPA), benzoic acids (contoh: dicamba, chloramben), pyridines (contoh: picloram, clopyralid), dan quinolinecarboxylic acids (contoh: quinclorac, quinmerac) (Sterling and Hall, 1997).

Muchtar (1996) melaporkan bahwa pada tanaman Rotan Manau (Calamus manan M.) pembentukan embrio somatik yang maksimum terjadi pada auksin

13

picloram pada konsentrasi 2 ppm. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata namun meningkatnya konsentrasi picloram, menurunkan embrio somatik yang terbentuk. Kultur yang dikombinasikan dengan 2,4-D 4 ppm tidak terbentuk embrio baik dikombinasikan dengan BAP maupun kinetin. Hasil penelitian Kiran et al. (2005) menunjukkan bahwa media MS dengan kombinasi picloram pada konsentrasi 1, 2, 3, 4, dan 5 mg/L mampu menginduksi embrio somatik pada eksplan hipokotil tanaman buncis (Cicer arientinum L.) sampai 100%. Sedangkan jumlah embrio somatik terbanyak adalah pada konsentrasi picloram 3 mg/L. Hasil penelitian Sumaryono dan Riyadi (2005) pada tanaman kina (Cinchona ledgeriana Moens) menunjukkan inisiasi dan proliferasi kalus terbaik diperoleh pada media Woody Plant (WP) padat dengan picloram 15 μM, BAP 0,5 μM dan floroglusinol 1 μM. Penelitian Kiong et al. (2008) pada biji tanaman yang dikenal sebagai Japanese sago palm (Cycas revolute) menunjukkan bahwa media ½MS + picloram 20 μM/L induksi kalus embriogenik terlihat pada 18 hari setelah tanam (HST). Sedangkan pada perlakuan media MS + picloram 10 μM/L induksi kalus embriogenik mulai terlihat pada 20-24 HST.

Picloram (4-Amino-3,5,6,-Trichloro Picolinic Acid), memiliki berat molekul 241.46 (http://www.alanwood.net/pesticides/picloram.html). Picloram mempunyai struktur molekul sebagai berikut:

Gambar 3. Struktur Molekul Picloram

Dokumen terkait