Eimeria tenella
Klasifikasi
Klasifikasi Eimeria tenella menurut Levine (1985) : Filum : Protozoa Subfilum : Apicomplexa Kelas : Sporozoasida Subkelas : Coccidiasina Ordo : Eucoccidiorida Subordo : Eimeriorina Famili : Eimeriidae Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria tenella
Morfologi
Ookista dari E.tenella berbentuk telur yang lebar, halus dengan ukuran 14-31 x 9-25 µm (rata-rata 25 x 19 µm ) dengan satu dinding berlapis dua. Sporokista-sporokista ovoid, tidak mempunyai suatu residuum. Waktu sporulasi 18 jam sampai 2 hari (Levine 1995). Ookista dikeluarkan bersama tinja ayam, kemudian bersprorulasi pada suhu kamar. Waktu yang diperlukan untuk menjadi ookista bersprorulasi adalah 18 jam pada suhu 29 0C ; 21 jam pada suhu 26-28 0C; 24-48 jam pada suhu kamar dan tidak terjadi sporulasi dibawah suhu 8 0C (Soulsby 1982).
Ketika ookista disimpan dalam suhu kamar dengan ketersediaan oksigen dan kelembaban yang cukup, ookista akan bersprorulasi dalam 48 jam. Ookista yang bersprorulasi mengandung 4 sporokista, setiap sporokista mengandung 2 sporozoit (Morgan dan Hawkins 1955). Terdapat granula kutub di dalam ookista dan juga terdapat residu bahan sisa dari protein. Sporozoit berisi satu atau lebih gelembung jernih dari bahan protein yang belum diketahui fungsinya. Sporokista memiliki dinding yang relatif tipis dan berbentuk seperti tombol pada salah satu
ujungnya, disebut badan stieda. Sporozoit berbentuk lonjong berbentuk dengan salah satu ujungnya lebih lebar dari ujung lain, dan sporozoit tersebut saling menyilang dalam sporokista (Levine 1995).
Gambar 1 Struktur Eimeria tenella yang telah bersporulasi (Sumber : Desser 2000)
Gambar 2 Struktur skematis sporozoit Eimeria tenella
(Sumber : Anonim 2005b)
Siklus Hidup
Genus Eimeria mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam dan di luar tubuh inangnya, dan dibagi menjadi siklus aseksual dan siklus seksual. Siklus hidup ini lebih dikenal dengan tiga stadium, yaitu stadium skizogoni, gametogoni dan sporogoni. Siklus aseksual meliputi stadium skizogoni dan sporogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni (Tampubolon 2004).
Proses skizogoni dalam sel sel induk semang memproduksi sejumlah merozoit. Proses ini dikenal sebagai merogonia atau sering disebut skizogoni.
Skizogoni dan gametogoni terdapat di dalam induk semang, dan sporogoni biasanya terdapat di luar tubuh. Ookista-ookista dikeluarkan lewat tinja, dengan ookista berisi satu sel yaitu sporon. Ookista dalam suatu lingkungan yang lembab, temperatur tinggi, dan jumlah oksigen yang cocok akan mengalami sporulasi. Sporonnya yang diploid mengalami pembagian reaksi, dengan timbulnya badan kutub, dan semua siklus hidup selanjutnya adalah haploid. Sporon ini langsung membagi diri menjadi 4, membentuk 4 sporoblast yang masing-masing kemudian menjadi sporokista. Dua sporozoit berkembang di dalam tiap sporokista. Dua hari diperlukan untuk bersporulasi pada suhu kamar. Ookista itu kemudian menjadi infektif dan siap untuk meneruskan siklus hidupnya (Levine 1985).
Soulsby (1982) menyatakan bahwa siklus hidup coccidia dimulai ketika ookista infektif tertelan oleh inang. Dinding ookista yang bersporulasi akan pecah oleh faktor mekanik dan kimiawi di dalam perut ayam yang kemudian melepaskan sporokista dan sporozoit pada saluran pencernaan. Proses ini disebut sebagai proses ekskistasi.
Ekskistasi dalam tubuh induk semang yang baru memerlukan dua macam rangsangan. Rangsangan yang pertama adalah karbondioksida (CO2). Dengan adanya CO2 tutup mikropil akan terangkat dan terjadilah permeabilitas dinding ookista di tempat tersebut. CO2 mengaktivasi produksi enzim tripsin yang mampu menstimulir kemampuan menembus permeabilitas membran dari mikropil pada ookista. Pemecahan ookista secara mekanis dalam usus merupakan langkah pertama. Pada langkah ke dua ekskitasi melibatkan pengaruh tripsin dan cairan empedu. Setiap sporokista memiliki sebuah lubang yang tersumbat. Sumbat ini disebut benda stieda yang dapat dicernakan oleh tripsin. Cairan empedu masuk lewat lubang tersebut, memprakarsai gerakan sporozoit dan memungkinkan mereka melepaskan diri dari lubang tersebut. Peristiwa ini menyebabkan kenaikan respirasi dalam ookista. Selama proses pelepasan sporokista yang kemudian memasuki sel induk semang, sporozoit menggunakan amilopektin yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan energinya (Noble 1982). Sesuai dengan yang disebutkan oleh Soulsby (1982) bahwa sporozoit menyerang epitel saluran pencernaan pada vili-vili usus dan kemudian ditelan oleh makrofag yang membawa ookista kebagian lamina propria dari vili untuk mencapai epitelium
dalam kelenjar Lieberkhun. Di tempat ini ookista dilepas oleh makrofag dan memasuki epitel sel untuk menjalani proses selanjutnya yaitu proses reproduksi aseksual atau lebih sering disebut sebagai skizogoni.
Proses skizogoni diinisiasi ketika sporozoit memasuki epitel sel dan berkumpul lalu berubah menjadi tropozoit, kemudian diikuti dengan pertumbuhan intraseluler dan multiplikasi aseksual dengan periode pelepasan merozoit kembali ke lumen usus. Selain itu sporoit juga menghasilkan enzim yang menyerang usus. Sporozoit masuk kedalam sel epitel, kemudian membulat dan menjadi meron generasi pertama. Proses pembelahan berganda secara aseksual membentuk kira kira 900 merozoit generasi pertama dengan panjang sekitar 2-4 µm dan masuk ke rongga sekum (Levine 1995). Menurut Soulsby (1982) sel inang tempat tinggal skizon akan mengalami hipertropi untuk beberapa saat dari ukuran normalnya. Skizon matang generasi pertama dapat ditemukan dibawah crypta dan kelenjar caecal. Skizon generasi pertama ruptur pada lumen usus sekitar 60-72 jam setelah infeksi dan merozoit mulai mempenetrasi sel epitel lainnya, berkumpul dan membentuk skizon generasi ke-II.
Levine (1985) mengemukakan bahwa skizon generasi pertama ini membentuk generasi merozoit lain sampai dua atau tiga generasi. Skizogoni merupakan tahapan pembentukan merozoit untuk beberapa generasi. Setiap merozoit generasi pertama memasuki sel hospes baru dan membulat, lalu membentuk meron generasi kedua yang membelah menjadi 200-350 merozoit generasi kedua dengan panjang sekitar 16 mikron. Jika ditotal maka satu ookista
Eimeria tenella berisi 8 sporozoit dapat menghasilkan 2.520.000 merozoit-merozoit (8 x 900 x 350 ). Hal ini ditemukan pada proximal nukleus sel inang. Epitel yang sudah terkena parasit berubah ukuran dan susunan dari epitel yang normal dan bermigrasi menjadi jaringan sub epitel. Koloni dari skizon ini pertama kali ditemukan dalam waktu 72 jam dan matang dalam waktu 26 jam. Merozoit ini keluar dari sel induk semang dan masuk kedalam sel baru dari induk semang tersebut. Proses inilah yang menyebabkan pendarahan pada lumen caecal. Sebagian berkembang menjadi meron generasi ketiga yang memproduksi 4 – 30 merozoit generasi ketiga, sementara itu sebagian besar mulai melaksanakan bagian siklus hidup seksual.
Merozoit yang dihasilkan pada akhir tahap skizogoni masuk kedalam sel inang. Kemudian membulat membentuk gamon dan berkembang menjadi makrogamon dan mikrogamon. Mikrogamon berubah menjadi mikrogamet (jantan) dan makrogamon yang berubah menjadi makrogamet (betina) (Soulsby 1982). Mikrogamet yang berflagella dan motil akan bermigrasi ke makrogamet sehingga terjadi fertilisasi membentuk zigot dan kemudian menjadi ookista. Ookista kemudian keluar dari inangnya, masuk kedalam rongga usus dan keluar bersama tinja. Masa prepaten, yaitu dari saat inokulasi sampai timbulnya ookista pertama didalam tinja adalah 7 hari. Jumlah okista yang dihasilkan didalam hewan untuk setiap ookista yang dimakan tergantung kepada jumlah merozoit yang terbentuk pada setiap generasi (Levine 1985).
Gambar 3 Siklus hidup Eimeria tenella (Sumber : Fanatico 2006)
Patogenesa
Berdasarkan lokasi kerusakan yang ditimbulkan, koksidiosis pada ayam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu koksidiosis sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh E.tenella, E.necatrix, dan koksidiosis usus ( intestinal coccidiosis) disebabkan oleh E.necatrix, E.brunetti, E.maxima, E.acervulina,
E.mitis, E.mivati dan E.praecox. Koksidiosis sekum inilah yang kemudian dikenal sebagai penyakit berak darah. Besarnya kerusakan alat pencernaan tergantung dari jumlah ookista yang tertelan dan kepekaan dari ayam itu sendiri (Murtidjo 1992).
Menurut Barnes et al. (2003), patogenitas koksidiosis disebabkan oleh beberapa faktor yaitu jumlah sel induk yang rusak, agen-agen penyakit lainnya, stress dan faktor imunitas. Tahap yang paling patogen adalah pada saat skizon generasi kedua yang akan dewasa pada 4 hari setelah infeksi. Skizon akan berkembang di bagian dalam lamina propria sehingga menyebabkan kerusakan mukosa ketika skizon dewasa dan mengeluarkan merozoit.
Koksidiosis yang disebabkan oleh E. tenella paling sering terjadi pada ayam muda dan umur 4 minggu adalah umur yang paling peka. Walaupun demikian anak ayam umur sehari dapat terinfeksi. Unggas lebih tua mengembangkan imunitas sebagai hasil keterbukaan terhadap serangan. Pada umumnya gejala klinis koksidiosis hanya terlihat pada waktu yang relatif pendek yaitu tidak melebihi 72 jam. Jumlah ookista yang diperlukan untuk menimbulkan gejala klinis telah diteliti oleh Gardiner dalam Soulsby (1982). Pada umur 1-2 minggu diperlukan 200.000 ookista untuk menimbulkan kematian, sedangkan 50.000 sampai 100.000 ookista dapat menimbulkan kematian pada ayam yang umurnya beberapa minggu lebih tua.
Senada dengan Barnes et al. (2003), Levine (1985) juga menyebutkan bahwa darah muncul pada tinja 4 hari setelah infeksi. Pada waktu ini unggas terlihat lemas, terkulai, tidak aktif, makan sedikit walaupun mereka masih minum. Hemoragi paling banyak terjadi pada hari 5-6 setelah infeksi. Kemudian hemoragi itu berkurang, ookista-ookista muncul di dalam tinja 7 hari sesudah infeksi jika unggas masih hidup. Ookista-ookista bertambah sampai suatu puncak pada hari ke 8 atau ke 9 dan kemudian berkurang jumlahnya cepat sekali. Sangat sedikit yang dikeluarkan pada hari ke 11, beberapa ookista dapat ditemukan setelah beberapa bulan. Koksidiosis memiliki sifat self limiting atau membatasi sendiri, sehingga jika unggas dapat hidup sampai hari ke 8 dan 9 setelah infeksi, mereka umumnya dapat sembuh.
Gambar 4 Sekum ayam yang diinfeksi Eimeria tenella
(Sumber : Grist 2006 dan Anonim 2008)
Eimeria merusak dan berkembang biak dalam sel-sel epitel usus sehingga dapat menyebabkan enteritis akut dan diikuti dengan diare, kadang-kadang disertai dengan darah. Pendarahan ini disebabkan adanya kerusakan sel-sel epitel usus yang mengakibatkan luka sehingga akan merusak pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan. Pendarahan ini mengakibatkan anemia yang dapat berakhir kematian pada ayam.
Gejala Klinis
Gejala klinis pada unggas yang terkena koksidiosis meliputi kelemahan, kehilangan selera makan, jengger dan cuping yang pucat, kusut, bulu yang berantakan, berhimpitan di ujung kandang atau bertingkah seperti kedinginan, adanya darah atau mukus pada feses, diare, dehidrasi dan bahkan mati. Gejala lainnya adalah buruknya pencernaan pakan, berat badan yang rendah dan buruknya efesiensi pakan. Beberapa gejala bisa menjadi rancu akibat adanya gejala yang sama tetapi disebabkan oleh penyakit lain. Misalnya, necrotic enteritis
adalah penyakit saluran pencernaan yang juga menunjukkan gejala berak darah (Fanatico 2006). Pada infeksi subklinis, terdapat bobot badan dan konversi pakan yang jelek (Urquhart et al.1987). Pada pemeriksaan postmortem ditemukan tiga ciri khas pada ayam yang terkena koksidiosis yaitu adanya perdarahan pada
caecum, pada stadium lanjut terjadi penggumpalan darah, mukosa menjadi keputihan dan menebal (FAO 2007).
Kerugian utama pada segi ekonomi adalah penurunan berat badan akibat mal-absorbsi nutrisi pada saluran pencernaan. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan konversi pakan, yaitu peningkatan konsumsi pakan tanpa diimbangi dengan pertambahan bobot badan yang sesuai akibat pakan yang dikonsumsi tidak diserap dengan efisien. Ayam yang terinfeksi koksidia dengan level yang tinggi akan menunjukkan gejala klinis berupa penurunan berat badan sehingga ayam terlihat sangat kurus dan mungkin tidak pernah mencapai berat badan yang sama dengan ayam yang sehat (Anonim 2005b).
Gambar 5 Koksidiosis pada anak ayam (Sumber : Anonim 2007a dan Fanatico 2006)
Gejala koksidiosis mula-mula akan terlihat 72 jam setelah infeksi. Ayam terkulai, anorexia, berkelompok supaya badannya hangat, dan sekitar 4 hari sesudah infeksi terdapat darah dalam tinja. Kematian pada umumnya terjadi pada hari ke-5 dan hari ke-6 setelah terinfeksi, pada kejadian akut gejala klinis pertama kali akan telihat dalam hitungan jam. Penurunan berat badan secara drastis akan terlihat pada hari ke-7 setelah infeksi (Barnes et al. 2003). Darah paling banyak ditemukan pada hari ke-5 dan ke-6 sesudah infeksi, dan menjelang hari ke-8 atau ke-9 ayam sudah mati atau dalam tahap persembuhan. Kematian paling tinggi terjadi dari hari ke-4 sampai hari ke-6 karena kehilangan darah dalam jumlah yang banyak. Kadang-kadang kematian terjadi tanpa diduga. Jika ayam sembuh dari penyakit akut, penyakit menjadi bersifat kronis (Tampubolon 2004).
Pencegahan dan Pengobatan
Usaha pencegahan dan pengobatan kasus koksidiosis dapat dilakukan dengan perbaikan sanitasi, pemberian obat dan pemberian vaksinasi. Pemakaian anticoccidia merupakan usaha pengobatan yang utama yang dilakukan banyak orang, akan tetapi penggunaan anticoccidia secara terus menerus dapat menimbulkan galur coccidia yang resisten terhadap obat tersebut (Levine 1985).
Pencegahan penyakit dilakukan dengan cara menjaga kebersihan lingkungan, menerapkan program sanitasi yang lebih baik, serta keadaan litter yang selalu bersih, kering dan kelembapan yang tidak terlalu tinggi (Fadilah 2002). Penggunaan desinfektan ketika membersihkan kandang sangat penting pada saat persiapan kandang., tujuannya adalah untuk memutus siklus penyakit yang ada salah satunya temasuk koksidiosis. Bahan-bahan desinfektan yang umum digunakan adalah chlorine, iodine, cresol, phenol atau quartenary ammonium (Gillespie 2004). Fadilah (2002) juga menyebutkan bahwa pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan anticoccidia pada pakan. Akibat ditekan oleh anticoccidia, jumlah ookista dapat berkurang sehingga ayam dapat membuat kekebalan tubuhnya namun tidak semua species dapat ditekan oleh anti-koksidia.
Sementara itu penggunaan vaksin baru untuk mencegah koksidiosis juga telah ramai digunakan dibeberapa peternakan. Penelitian di bidang tersebut telah menampakkan hasil yang memuaskan pada akhir-akhir tahun ini. Banyak produk yang berkualitas telah dihasilkan, misalnya Paracox 7® dan Livacox 7® (Barnes et al.2003).
Obat-obatan dapat digunakan untuk dua tujuan yang berbeda yaitu untuk mencegah penyakit dan mengobati penyakit. Sebuah penelitian pada tahun 1930 membuktikan bahwa preparat sulfa dapat mencegah koksidiosis. Preparat sulfa juga memiliki reaksi anti bakterial. Tetapi preparat sulfa rata-rata dibutuhkan dalam jumlah yang besar (10-20% dari ransum) dan hanya bisa ditoleransi oleh unggas dalam waktu yang pendek karena dapat menyebabkan penyakit ricketsia. Preparat sulfonamide seperti sulfaguanidine, sulfaquinoxaline dan sulfachloropyrazine digunakan dalam jumlah yang sedikit dan secara berkala yaitu tiga hari diberikan dan tiga hari dihentikan. (Fanatico 2006). Sulfonamide
mempunyai aktivitas spektrum yang luas untuk melawan emeria spp pada saluran pencernaan bagian bawah maupun atas. Pemberian sulfaguanidine, sulfaquinoxaline dan sulfachloropyrazine dapat mencegah penyakit dan menurunkan produksi ookista dan kemudian diikuti oleh adanya perkembangan sistem kekebalan tubuh ayam (Anonim 2007c).
Amprolium merupakan obat anti koksidiosis. Obat ini telah digunakan selama bertahun-tahun dan tidak diperlukan waktu yang lama untuk mencegah residu dalam daging. Amprolium diberikan melalui air minum dan dimetabolisme dengan bantuan vitamin B1 (thiamin). Dapat digunakan pada seluruh bagian usus dan koksidiosis sekum. Quinolon merupakan koksidiostat yang digunakan untuk pertahanan terhadap koksidiosis pada awal pemeliharaan. Obat ini digunakan untuk pencegahan. Ionophore adalah anti koksidia yang umum digunakan untuk industri skala besar. Dapat mengubah fungsi membran sel dan merupturkan parasit. Ionophore juga memiliki reaksi anti bakterial dan membantu mencegah penyakit sekunder saluran pencernaan. Ionophore bukan obat sintetik, obat ini diproduksi dari hasil fermentasi monensin dan salinomycin. Tetapi beberapa preparat ionophore sekarang sudah tidak efektif melawan koksidia karena adanya resistensi coccidia (Fanatico 2006).
Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees)
Khasiat sambiloto sebagai salah satu bahan obat tradisional sudah dikenal luas sejak zaman dahulu, baik oleh orang Indonesia maupun bangsa-bangsa di dunia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan sambiloto sebagai salah satu tanaman obat unggulan (Prapanza dan Marianto 2003).
Sambiloto merupakan tanaman liar yang banyak ditemukan di Asia tenggara, termasuk di Indonesia. Sambiloto tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia, tumbuh di hutan dan tepi sungai dengan ketinggian 1-700 meter diatas permukaan laut. Tanaman ini dikenal dengan beberapa nama di Indonesia, diantaranya sambiloto, andiloto, sambilata, ki oray, ki peurat, takilo, bidarat, takila (Jawa), ampadu (Sumatera), ampadu tanah (Minang), pepaitan (Maluku) (Kardono et al. 2003 ; Syukur dan Hernani 2002). Sambiloto di luar Indonesia
dikenal dengan Kalmegh, Chuan xin lian, yi jian xi, lan he lian (China), xuyen tam lien, cong cong (Vietnam), kirata, mahatitka (India/Pakistan), Creat dan green chiretta, halviva, kariyat (Inggris) (Kardono et al. 2003)
Klasifikasi
Klasifikasi Andrographis paniculata, Nees menurut Prapanza dan Marianto (2003): Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Gametopalae Ordo : Personales Famili : Acanthaceae Subfamili : Acanthoidae Genus : Androgaphis
Species : Andrographis paniculata, Nees
Morfologi
Sambiloto (Andrographis paniculata, Nees) merupakan tanaman perdu yang tumbuh tegak, tanaman semusim dengan tinggi 50 - 90 cm, batang disertai banyak cabang berbentuk segi empat (kwadrangularis) dengan nodus yang membesar. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang, bentuk lanset, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau muda, panjang 2 - 8 cm, lebar 1 - 3 cm. Bunga majemuk, bentuk malai, ukuran kecil, berwarna putih, terdapat di ketiak dan ujung tangkai. buah kecil memanjang, ukuran lebih kurang 0,30 – 0,40 cm x 1,50 – 1,90 cm, berlekuk, terdiri dari 2 rongga, berwarna hijau dan akan pecah bila buah masak. Biji kerdil, gepeng, berwarna hitam (Syukur dan Hernani 2002).
Gambar 7 Andrographis paniculata, Nees
(Sumber: Anonim 2008b dan Tipakorn 2002)
Budi daya
Sambiloto dapat tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lernbap, di pekarangan, di bawah tegakan pohon jati atau bambu. Ketinggian tumbuh yang dibutuhkan berkisar antara 1- 600 meter diatas permukaan laut. Beberapa jenis tanah yang cocok untuk pertumbuhan sambiloto, yaitu tanah yang subur dan tidak terlalu kering seperti latosol, andosol dan regosol. Curah hujan tahunan antara 2.000 mm - 3.000 mm/tahun. Suhu udara: 250 C - 320 C dengan kelembapan sedang. Penyinaran sebaiknya sedang dengan tekstur tanah berpasir dan sistem drainase yang baik. Kedalaman air tanah yaitu 200 cm - 300 cm dari permukaan tanah. Kedalaman perakaran di atas 25 cm dari permukaan tanah. Kemasaman (pH) : 5,5 - 6,5 dengan kesuburan sedang hingga tinggi (Anonim 2005a). Bunga dan buah bisa dijumpai pada bulan Oktober atau antara Maret sampai Juli di India. Bunga dan buah antara bulan Nopember sampai Juni di Australia, sedang di Indonesia dapat ditemukan sepanjang tahun (Yusron et al. 2005)
Menurut Syukur dan Hernani (2002) perbanyakan tanaman sambiloto dapat dilakukan secara generatif dengan biji maupun secara vegetatif dengan stek. Pembibitan dengan biji membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 2 bulan untuk pertumbuhan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar 2 bulan untuk pertumbuhan tunas. Perbanyakan dengan stek dilakukan dengan memotong
cabang yang pertumbuhannya baik. Stek tersebut ditanam di polibag terlebih dahulu dengan media tanah dan pupuk kandang (perbandingan 1:1). Stek-stek yang sudah berakar dapat dipindahkan kelapang dengan melepas polibag dan menanamnya pada lubang-lubang tanam berukuran 20 cm x 20 cm x 20 cm. Yusron et al. 2005 menambahkan bahwa panen sebaiknya segera dilakukan sebelum tanaman berbunga, yakni sekitar 2 - 3 bulan setelah tanam dan dapat diulang setiap 2-4 minggu sekali.. Panen dilakukan dengan cara memangkas batang utama sekitar 10 cm diatas permukaan tanah. Panen berikutnya dapat dilakukan 2 bulan setelah panen pertama. Produksi sambiloto dapat mencapai 35 ton biomas segar per ha, atau sekitar 3 - 3,5 ton simplisia per ha biomas hasil panen dibersihkan, daun dan batang kemudian dijemur pada suhu 40 - 50°C sampai kadar air 10 %.
Kandungan dan Khasiat
Semua bagian tanaman sambiloto yang terdapat di atas permukaan tanah (herba) bisa dimanfaatkan. Masyarakat umumnya mengolah sambiloto dengan cara dipotong-potong dan dikeringkan. Herba sambiloto umumnya digunakan dalam pengobatan tradisional. Bukan hanya oleh masyarakat Indonesia, namun juga di India, Cina, serta negara-negara lain di Asia Tenggara. Terdapat 14 spesies tumbuhan penghasil obat yang terdapat di hutan Indonesia, salah satunya adalah
Andrographis paniculata, Neesatau lebih dikenal sebagai sambiloto (Zuhud dan Haryanto 1994). Hingga saat ini penelitian mengenai khasiat sambiloto telah banyak dilakukan yang menunjukkan bahwa herba sambiloto efektif untuk pengobatan berbagai jenis penyakit. Mengingat hal ini, sambiloto berpotensi sebagai tanaman obat yang penting di masa depan.
Herba sambiloto mengandung senyawa flavonoid, terutama terdapat dalam akar, dan senyawa lakton. Ada empat jenis senyawa lakton yang utama, yaitu deoksiandrografolid, andrografolid, neoandrografolid, 14-deoksi-11, dan 12-didehidroandrografolid). Daun dan percabangannya mengandung lakton yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrografolid dan homoandrografolid, 14-deoksi-11, 12-didehidroandrografolid dan homoandrodrafolid. Juga terdapat flavonoid, saponin, tanin, alkan, aldehid, dan mineral (kalium, kalsium, natrium). Flavonoid
diisolasi terbanyak dari akar, yaitu polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4-dimetileter (Anonim.2005a).
Gambar 8 Struktur kimia Andrografolid dan Neoandrografolid (Sumber : Tipakorn 2002)
Prapanza dan Marianto (2003) menyebutkan bahwa pada daun kadar senyawa andrographolid sebesar 2,5-4,8% dari berat kering yang diduga senyawa ini merupakan bahan aktif daun sambiloto yang banyak mengandung unsur-unsur mineral, seperti kalium, natrium dan kalsium. Dalam 15,9 gram sambiloto kering terkandung 417 mg kalium, sementara kandungan natriumnya hanya 26 mg. Sambiloto memiliki khasiat utama sebagai antibakteri dalam pengobatan penyakit disentri dan radang lambung (enteritis), yakni dengan cara meminum air rebusan tanaman sambiloto atau serbuknya. Tanaman ini juga berkhasiat untuk pengobatan influenza, bronchitis, TBC, serta hepatitis (Zuhud dan Haryanto 1994).
Semua bagian tanaman sambiloto seperti daun, batang, bunga dan akar, terasa sangat pahit jika dimakan atau direbus untuk diminum. Rasa pahit itu disebabkan karena adanya senyawa androgapholid yang banyak terdapat dalam tanaman sambiloto. Zat aktif ini mampu menghambat pertumbuhan sel kanker hati, payudara dan prostat. Sebagai koleretik, androgapholid dapat meningkatkan aliran empedu, garam empedu dan asam empedu. Selain itu juga mampu
meningkatkan produksi antibodi (immunostimulan). Kalium berfungsi meningkatkan jumlah urine sekaligus berfungsi untuk mengeluarkannya. Laktone berfungsi sebagai anti radang dan anti piretik. Flavanoid berfungsi untuk mencegah dan menghancurkan penggumpalan darah (Anonim.2005a). Kardono,
et al. (2003) menyebutkan bahwa sambiloto juga mempunyai aktivitas biologis lainnya antara lain antispasmodik, antifertilitas, hipotensi, antihipertensi, teratogenik, antitumor, hepatoprotektif, anti HIV, anti alergi, dan stimulan pertumbuhan rambut. Prapanza dan Marianto (2003) menyebutkan konsumsi