• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Toksisitas

Jalan masuk pestisida ke dalam tubuh adalah melalui kulit, mata, paru-paru dan saluran pencernaan. Adanya perbedaan proses penyerapan memberikan dampak yang berbeda pula. Racun yang masuk melalui saluran pencernaan akan langsung dibawa ke hati dan racun tersebut akan mengalami biotransformasi oleh enzim yang ada di dalam hati. Racun yang masuk melalui kulit, mata dan paru-paru langsung masuk ke dalam darah dan dibawa ke organ-organ lainnya di dalam tubuh sehingga racun akan sedikit atau hampir mengalami penguraian (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004).

Uji toksisitas pestisida pada tikus putih merupakan salah satu upaya untuk mengetahui daya racun dan efek sampingnya terhadap manusia. Pengujian secara biologi bila dibandingkan dengan pengujian secara kimia dan fisika lebih memberikan gambaran tentang reaksi makhluk hidup terhadap bahan yang diuji tersebut. Gambaran yang diperoleh dapat berupa informasi perilaku, jumlah kematian yang terjadi, abnormalitas fungsi organ tubuh atau gangguan fisiologis lainnya. Informasi ini secara analogi dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh pestisida beracun terhadap manusia (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004). Menurut Harmita & Radji (2005) pengujian toksisitas dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Uji toksisitas akut

Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji toksisitas jangka pendek (subkronik)

Uji ini dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-ulang biasanya setiap hari, atau lima kali seminggu selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan yaitu tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing. Tetapi beberapa peneliti menggunakan jangka waktu yang lebih pendek misalnya selama 14 dan 28 hari.

Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara berulang selama 3-6 bulan atau seumur hewan, misal 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet. Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat kecuali untuk percobaan karsinogenik.

Uji Toksisitas Akut

Sebagian besar penelitian ini dirancang untuk menentukan LD50 obat. LD50

obat didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang secara statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan coba. Penelitian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksis spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Harmita & Radji 2005).

Uji Toksisitas Akut Oral

Pengujian secara oral bertujuan untuk mengetahui daya racun suatu pestisida apabila langsung masuk ke dalam saluran cerna. Pengujian ini dilakukan karena keracunan yang paling umum pada manusia adalah melalui makanan dan minuman. Jumlah yang diberikan tidak lebih dari 2-3% berat tubuh (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004). Secara umum obat harus diberikan melalui jalur yang biasa digunakan pada manusia. Jalur oral paling sering digunakan. Bila akan diberikan peroral, zat/cairan tersebut harus diberikan dengan sonde (Harmita & Radji 2005). Pemberian zat uji dapat berupa makanan, kapsul atau larutan/cairan (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004).

Intoksikasi (Keracunan)

Keracunan menurut Koeman (1987) berarti bahwa suatu zat kimia telah menganggu proses fisiologis, sehingga kondisi organisme tersebut tidak lagi dalam keadaan sehat. Sifat dan intensitas gejala penyakitnya tergantung pada antara lain jenis racunnya, jumlah yang masuk ke dalam tubuh, lamanya keracunan, kondisi tubuh dan kebiasaan organisme tersebut. Hati dan ginjal merupakan organ yang rentan terhadap pengaruh cukup banyak zat kimia.

Kerentanan ini terjadi karena erat fungsinya dalam proses sirkulasi darah. Hati dapat mudah berhubungan dengan zat yang diserap dari saluran pencernaan dan ginjal melalui vena porta.

Pestisida

Pestisida merupakan suatu bahan atau campurannya yang berfungsi sebagai pembunuh, pencegah, pemberantas, repellan atau pengusir beberapa hama (organisme pengganggu) diantaranya serangga, tikus atau hewan lain (Anonimous 2008a; Triharso 1994). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 tahun 1973 dalam Prasojo (1984) dan Triharso (1994) istilah pestisida berarti semua bahan kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk:

1.memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian

2.memberantas rerumputan

3.mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan 4.mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman

5.memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan atau ternak

6.memberantas atau mencegah hama-hama air

7.memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan

8.memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Syarat pestisida yang ideal menurut Triharso (1994) dan Wudianto (2002) adalah mempunyai toksisitas oral dan dermal yang rendah, tidak persisten, tidak meninggalkan residu, tidak berakumulasi, efektif terhadap organisme sasaran, tidak mematikan organisme bukan sasaran, mempunyai spektrum sempit, dan tidak menimbulkan resistensi pada organisme sasaran. Dari banyaknya jenis jasad pengganggu, Wudianto (2002) mengklasifikasikan pestisida menjadi beberapa macam sesuai dengan sasaran yang akan dikendalikan yaitu: insektisida,

fungisida, bakterisida, nematisida, akarisida, rodentisida, moluskisida, herbisida, dan pestisida lain (pisisida, algisida, avisida, larvisida, pedukulisida, silvisida, ovisida, piscisida, termisida, arborisida dan predasida)

Insektisida

Menurut Sigit et al (2006) insektisida berasal dari kata insect, yang berarti serangga dan –cide artinya membunuh. Secara harfiah insektisida diartikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan serangga hama. Menurut Wikipedia (2008a) insektisida merupakan pestisida yang digunakan untuk memberantas insekta dalam semua bentuk perkembangan termasuk telur dan larva. Insektisida digunakan untuk pertanian, obat, industri, dan kebutuhan rumah tangga. Jenis-jenis insektisida yaitu: Hidrokarbon klorin, Organophosphor, Karbamat, Phenotiazine, Pyrethroid dan turunan racun tanaman. Mekanisme kerja insektisida menurut Vittum (2008) adalah memblok sistem saraf dari serangga target. Sel saraf pada semua hewan menerima impuls dari titik stimulus kemudian disampaikan ke sistem saraf pusat (otak) atau dari sistem saraf ke otot untuk mensignal respon.

Pyrethroid

Pyrethroid merupakan golongan insektisida yang besar selain organofosfat dan karbamat (Dadang 2007). Pyrethroid diketahui sebagai insektisida organik tertua, yang diekstrak dari bunga Chrysantemum. Termasuk dalam golongan pyrethroid antara lain allethrin, barthrin, cypermethrin, deltamethrin, dimethrin, fenvalerat, permethrin, phenothrin, pyrethrin, resmethrin, tetramethrin dan derivat pyrethroid lainnya (Peterle 2001). Pyrethroid cepat dimetabolisme dan toksisitasnya rendah terhadap burung dan mamalia (Peterle 2001; Dadang 2007). Zat ini cepat diekskresikan pada burung dan mamalia daripada insekta dan ikan. Dalam Dadang (2007) disebutkan bahwa pyrethroid banyak digunakan untuk mengendalikan hama-hama pada tanaman sayuran, hias, pangan dan perkebunan serta untuk keperluan rumah tangga dan gudang.

Pyrethroid adalah racun axonik, yaitu beracun terhadap serabut saraf (Sigit et al 2006) dan menunjukkan pengaruh knock down (kelumpuhan) yang cepat

pada serangga sehingga menimbulkan kelumpuhan dan berakhir dengan kematian (Dadang 2007). Pyrethroid terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodiumchannel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf. Pyrethroid terikat pada sodium channel (saluran natrium) ini dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan saraf berkelanjutan. Hal ini yang mengakibatkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada organisme yang keracunan (Sigit et al 2006).

Semua senyawa pyrethroid menurut Dadang (2007) adalah lipofilik dengan kelarutan yang teramat sangat rendah dalam air, titik didihnya tinggi, cairannya pekat dengan tekanan uap rendah. Hanya beberapa senyawa yang mempunyai tekanan uap agak tinggi seperti aletrin, protrin, piretrin I, tetapi tidak piretrin II. Sifat-sifat ini kemungkinan yang membuat pyrethroid bekerja cepat pada serangga, namun demikian senyawa ini efektif sebagai racun kontak tetapi kurang efektif sebagai racun perut.

Esbiothrin

Esbiothrin adalah insektisida berspektrum luas (Anonimous 2008g). Esbiothrin merupakan pirethroid sintetik dengan aktivitas yang cepat untuk memberantas hama insekta pada rumah tangga, komersial dan area industri. Zat ini digunakan untuk memberantas nyamuk, lalat dan rayap (Anonimous 2008g; WHO 2007). Nama dagang dan nama lain esbiothrin antara lain allethrin termasuk Alleviate, Pynamin, d-allethrin, d-cisallethrin, Bioallethrin, Pyresin, Pyrexcel, Pyrocide dan trans-allethrin (Anonimous 2008l). Nama kimia: (R,S)-3-allyl-2-methyl-4-oxocyclopent-2-enyl-(1R,3R)-2,2 dimethyl-3- (2-methylprop-1-enyl) cyclopropanecarboxylate. Bentuknya cair dan berwarna kuning/coklat. Esbiothrin larut dalam air tetapi tidak larut pada sebagian besar pelarut organik.

Mekanisme kerja esbiothrin adalah nonsistemik dengan aplikasi melalui racun kontak, racun perut dan pernapasan serta sebagai modulator sodium channel (Anonimous 2008f). Toksisitas akut oral, toxic LD50 378-432 mg/kg pada tikus. Sifat zat ini nonkarsinogenik, nonteratogenik dan nonmutagenik (Anonimous 2008c). Struktur kimia esbiothrin menurut Anonimous (2008d) yaitu:

Gambar 1. Esbiothrin. Sumber: http://www.be-longgroup.com/ Sanitary-and-Disinfection/EsBiothrin.html, 2008.

Imiprothrin

Menurut Anonimous (2008c) imiprothrin merupakan pyrethroid sintetik. Bentuknya cair dan berwarna kuning. Sifat kimia zat ini stabil serta tidak ditemukan sensitisasi pada kulit. Antidota imiprothrin tidak diketahui. Efek yang ditimbulkan apabila keracunan imiprothrin antara lain hipersensitivitas, fibrilasi otot, tremor, ataksia, pernapasan tidak teratur/cepat, excess salivasi, urinasi, nonkarsinogenik dan nonmutagenik. Toksisitas akut oral LD50 pada tikus betina sebesar 2400mg/kg dan jantan 4500mg/kg. Nama kimia: campuran 20% 2,5-dioxo-3-prop-2-ynylimidazolidin-1-ylmethyl (1R)-cis -2,2-dimethyl-3-(2-methylprop-1-enyl) cyclopropanecarboxylate dan 80% 2,5-dioxo-3-prop-2-ynylimidazolidin-1-ylmethyl (1R)-trans -2,2-dimethyl-3-(2-methylprop-1-enyl)cyclopropanecarboxylate. Struktur kimia imiprothrin:

Gambar 2. Imiprothrin. Sumber:

http://www.sumitomo-chem.com.au/msds/esbiothrin+d-phenothrin+imiprothrin.pdf, 2008

D-phenothrin D-phenothrin menurut Anonimous (2008c;2008b) termasuk ke dalam grup

>5000mg/kg pada tikus. Antidota jika keracunan tidak diketahui. Nama kimia: 3-phenoxyl-benzyl-(1RS)-cis, trans chrysanthemate. Struktur kimia zat ini adalah:

Gambar 3. D-phenothrin. Sumber:

http://www.sumitomo-chem.com.au/msds/esbiothrin + d-phenothrin + imiprothrin.pdf, 2008 Phenothrin merupakan insektisida nonsistemik melalui racun kontak dan racun perut. Zat ini cepat didegradasi di lingkungan dan sedikit resiko pada manusia jika digunakan dalam konsentrasi rendah untuk mengontrol nyamuk. Efek umum yang dapat ditimbulkan oleh d-phenothrin adalah gangguan pada sistem saraf. Gejala pada saraf ini merupakan efek dari toksisitas akut. Efek pada rodensia dapat berupa tremor dan salivasi (ATSDR 2005).

Tikus

Tikus mempunyai sifat tenang, mudah ditangani, tidak begitu fotofobik seperti halnya mencit, aktifitas tidak demikian terganggu dengan adanya manusia, bila diperlakukan kasar tikus menjadi galak (Harmita & Radji 2005). Tikus merupakan hewan nokturnal yaitu beraktivitas di malam hari. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain yaitu bahwa tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung, dan tikus tidak mempunyai kantung empedu (Smith 1988). Klasifikasi tikus putih galur Sprague Dawley (Wikipedia 2008b) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodensia Famili : Muridae Genus : Rattus Spesies : Rattus rattus

Gambar 4. Tikus Putih Galur Sprague Dawley. Sumber: http: //www.scanbur.eu/products/Lab_animals_bkl_SD.htm, 2008. Hati

Hati merupakan sebuah organ dalam vertebrata. Organ ini memiliki peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Hati juga memproduksi empedu, yang penting dalam pencernaan (Wikipedia 2008b). Dalam Guyton & Hall (1997) juga disebutkan bahwa fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1) fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, (2) fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh, dan (3) fungsi sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan.

Anatomi, Fisiologi dan Histologi Hati

Dalam Himawan (1979) disebutkan bahwa hati merupakan alat tubuh terbesar. Hati terdiri atas lobus kanan, lobus kiri, lobus caudatus, dan lobus quadratus. Lobus kanan ialah terbesar kira-kira 3/5 bagian, lobus kiri 3/10 bagian dan sisanya 1/10 bagian ditempati lobus caudatus dan quadratus. Hati diliputi oleh simpai yang disebut simpai Glisson. Simpai ini berpadu dengan jaringan intrahepatik. Hati mendapat vaskularisasi darah dari vena porta dan arteri hepatika. Darah disalurkan ke luar hati melalui vena hepatika. Empedu disalurkan dari hati ke duodenum melalui saluran empedu intra dan ekstrahepatik. Vena porta, arteri hepatika dan saluran empedu berkumpul dalam daerah yang disebut porta hepatis.

Gambar 5. Hati. Sumber: http://www.en.Wikipedia.org/wiki/tikus+hati+ginjal

Menurut Guyton & Hall (1997) lobulus merupakan unit fungsional dasar hati. Lobulus hati terbentuk mengelilingi vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara sentifugal dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan.

Di dalam septum juga terdapat venula porta kecil yang menerima darah terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula ini darah mengalir ke sinusoid hepar gepeng dan bercabang yang terletak di antara lempeng-lempeng hepar dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian sel hepar terus-menerus terpapar dengan darah vena porta. Di dalam septum interlobularis juga ditemukan arteriol hepatika. Arteriol ini menyuplai darah arteri ke jaringan septum di antara lobulus yang berdekatan, dan banyak arteriol kecil juga mengalir langsung ke sinusoid hati (Guyton & Hall 1997).

Selain sel-sel hepar, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain yaitu : (1) sel endotel khusus dan (2) sel Kupffer besar, yang merupakan makrofag jaringan (juga disebut sel retikuloendotel), yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Lapisan endotel sinusoid vena mempunyai pori yang sangat besar. Di bawah lapisan ini terletak di antara sel endotel dan sel hepar, terdapat ruang jaringan yang sangat sempit yang disebut ruang Disse. Jutaan ruang Disse menghubungkan pembuluh limfe di dalam septum interlobularis (Guyton&Hall 1997) .

Dalam Himawan (1979) disebutkan terdapat 3 jenis jaringan yang penting dalam organ hati yaitu sel parenkim hati, susunan pembuluh darah dan susunan saluran empedu. Histologi hati terdiri atas lobulus yaitu lobulus anatomik dan lobulus fungsional. Lobulus fungsional terdiri atas segitiga Kiernan sebagai titik tengah dan vena sentralis sebagai batas luar. Lobulus anatomik terdiri atas vena sentralis sebagai titik tengah yang mengalirkan darah ke vena sublobularis dan kemudian ke vena hepática; parenkim hati yang terdiri atas selapis sel hati dan kanal empedu kecil-kecil; sinusoid yang berlapiskan sel Kupffer (susunan retikuloendotel); ruang Disse yang terletak antara sel hati dan sinusoid; dan segitiga Kiernan atau daerah portal sebagai batas luar lobulus. Daerah portal ini terdiri atas jaringan ikat lanjutan simpai Glisson, cabang vena porta, cabang arteri hepatika, saluran empedu intrahepatik (duktus), pembulih limfe, saraf dan lain-lain.

Menurut Bevelander (1979) dua macam sel utama yang perlu diamati pada hati adalah: (1) sel parenkim (hepatosit) yang membentuk plat-plat tipis atau lembaran-lembaran yang terpisah oleh sinusoid-sinusoid, dan (2) sel retikuloendotelial yang fagositosis, yang membentuk selaput-selaput sinusoid. Hepatosit terlibat dalam sintesa komponen-komponen sekresi empedu; dalam penyerapan dan penimbunan zat-zat makanan; pembuangan obat-obatan, zat-zat racun, dan senyawa-senyawa yang terbentuk secara alami seperti hormon; dan dalam sintesa dan pelepasan beberapa protein darah seperti albumin, pengangkutan globulin, dan protein-protein yang membekukan darah. Sel-sel fagosit terlibat dalam penyaringan darah sewaktu ia melalui sinusoid. Sel-sel ini mempunyai peranan penting dalam memelihara respon pertahanan tubuh yang normal terhadap infeksi.

Patologi Hati Kelainan kongenital

Beberapa kelainan kongenital yang terjadi pada hati menurut Himawan (1979) antara lain: aplasi, hipoplasi, lobus Riedel (pertumbuhan berlebihan lobus kanan ke bawah) dan kista.

Trauma

Kondisi trauma dapat terjadi pada waktu lahir, terpukul atau tertabrak mobil. Kelainan trauma ini dapat berupa hematoma subscapularis (bila pecah akan terjadi hemoperitoneum yang dapat menyebabkan kematian) dan robekan (dapat menyebabkan empedu keluar sehingga terjadi peritonitis empedu).

Degenerasi

Degenerasi dalam patologi dapat diartikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel (Spector & Spector 1993). Himawan (1979) menyebutkan bahwa degenerasi dapat terjadi pada sitoplasma atau inti. Degenerasi sitoplasma hati kadang-kadang disertai kelainan inti sekunder, atrofi dan nekrosa sel, sehingga sel menjadi hilang karenanya. Luas degenerasi lebih penting daripada jenisnya bagi gangguan fungsi hati.

Degenerasi pada sitoplasma menurut Himawan (1979) antara lain: 1. degenerasi lemak/ perlemakan (fatty methamorphosis)

Degenerasi lemak/lipidosis merupakan akumulasi lemak netral pada sitoplasma (Cheville 1999). Lemak dalam sel hati menunjukkan adanya ketidakseimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam dan luar jaringan hati akibat metabolisme.

2. degenerasi amiloid

Penimbunan amiloid, suatu kompleks protein-karbohidrat, tampak dalam ruang Disse, yaitu antara sel hati dan sinusoid dan kadang-kadang pada dinding pembuluh darah.

3. degenerasi berbutir (cloudy swelling)

Degenerasi ini sebagai kelainan postmortem akibat kerusakan hati pada saat sebelum mati, misalnya karena infeksi, intoksikasi dan toxaemia gravidarum. Selain itu dapat juga karena mitokondria bengkak, kadar protein atau asam amino dalam sitoplasma yang bertambah, imbibisi sel oleh protein serum dan hidrasi ion natrium akibat permeabilitas dinding sel hati yang terganggu. Sel hati bengkak dengan sitoplasma berbutir keruh mungkin disebabkan oleh pengendapan protein, sehungga dinamakan juga ”albuminous degeneration”.

Sitoplasma tampak lebih gelap dan sedikit bervakuol daripada biasa akibat glikogen yang berkurang.

4. degenerasi hidropik

Beberapa sel menunjukkan rarefaksi sitoplasma, biasanya dengan inti yang terletak di tengah dan batas sel yang jelas. Sitoplasma bervakuol tetapi tidak mengandung lemak atau glikogen. Zat asidofilik sebagai gambaran halus hanya tampak sedikit saja dan kadang-kadang juga tidak. Dinamakan degenerasi hidropik karena zat yang mengisi sitoplasma menyerupai cairan. Degenerasi hidropik mendahului nekrosa dan masih reversibel.

5. degenerasi hialin

Bergumpalnya sitoplasma yang disertai reaksi asidofilik protein ialah tingkat lanjut degenerasi asidofilik. Gumpalan sitoplasma asidofilik dinamakan hialinisasi dan tampak pada beberapa penyakit, bergantung pada cairan fiksasinya.

Hialinisasi dalam Himawan (1979) dapat berupa: a. Benda Mallory (Mallory bodies)

Tampak di sekitar inti sebagai benda merah, bercabang dan mungkin berasal dari butir-butir yang berpadu, misalnya pada perlemakan dan degenerasi hidropik sitoplasma. Kelainan ini ditemukan pada alkoholisme dan penyakit gizi.

b. Benda asidofilik atau eosinofilik

ialah asidofili homogen yang mulai pada suatu bagian sitoplasma dan kemudian mengenai seluruh sitoplasma. Mula-mula inti menjadi piknotik dan kemudian hilang. Bersamaan dengan ini sel dikeluarkan dari lapisan sel hati ke dalam ruang jaringan sebagai benda bundar yang sangat refraktil. Benda asidofilik yang dapat mengandung pigmen tengguli dan vakuol lemak dilukiskan oleh Councillman pada Yellow fever dan dinamakan Councillman bodies. Jisim seperti ini tetapi tidak berlemak atau berpigmen, juga dianggap khas untuk penyakit hepatitis virus, terutama pada tingkat mendadak. Kelainan itu dapat juga ditemukan pada mononucleosis infectiosa. Koagulasi asidofilik yang merata itu, yang dianggap sebagai tempat bersarangnya virus ternyata tidak khas untuk

penyakit virus, karena dapat juga ditemukan setelah luka bakar yang diobati dengan asam tanat dan pada intoksikasi dengan brombenzen.

6. penimbunan glikogen

Dalam keadaan normal glikogen ditemukan dalam sitoplasma sel hati manusia atau hewan yang bergizi baik.

7. atrofi

Atrofi setempat disebabkan desakan dari luar misalnya tumor. Sedangkan atrofi umum pada sel hati terjadi pada penyakit gizi, penyakit menahun dan orang tua. Bila disertai pigmen lipofuscin maka dinamakan Brown atrophy.

Dalam Himawan (1979) disebutkan bahwa degenerasi pada inti antara lain:

1. vakuolisasi

Keadaan ini disebabkan oleh perubahan keseimbangan cairan dalam sel hati akibat bertambahnya cairan. Kelainan ini reversibel dan tidak bergantung kepada banyaknya glikogen intranukleus. Gejala vakuolisasi tidak dapat dihubungkan dengan suatu penyakit tertentu secara statistik.

2. inclusion bodies

Inti sel hati kadang-kadang mengandung inclusion bodies eosinofilik, yang berbatas jelas dari sekitarnya yang basofilik. Dapat ditemukan pada keracunan timah hitam dan pada penyakit virus yang tafsirannya tidak diketahui dengan pasti. Inclusion bodies dapat dibedakan dengan inclusion glikogen karena tidak memberikan reaksi glikogen.

3. piknosis (inti tampak lebih padat, warnanya gelap hitam), karioreksis (inti terbagi atas fragmen-fragmen, robek), karyolisis (inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat, tidak nyata).

Nekrosa

Dalam Himawan (1979) disebutkan ciri-ciri nekrosa ialah tampaknya fragmen sel atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau tidak tampaknya sel disertai reaksi radang, kolaps atau bendungan rangka hati dengan eritrosit. Kelainan itu ialah tingkat lanjut degenerasi dan irreversibel. Sebab nekrosa sel hati ialah rusaknya susunan enzim sel. Tampak atau tidaknya sisa sel hati bergantung pada lamanya dan jenis nekrosa itu, misalnya pada kebanyakan

Dokumen terkait