• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biokimia dan Fungsi Vitamin B12

Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih dari 1000. Vitamin B12 mempunyai struktur kimia yang besar dan sangat komplek dibandingkan vitamin lainnya. Vitamin B12 ini termasuk unik diantara vitamin lain karena mengandung ion logam yaitu cobalt. Untuk alasan ini cobalamin adalah istilah yang digunakan untuk merujuk senyawa yang mempunyai aktivitas vitamin B12. Nama yang lebih spesifik untuk vitamin B12 adalah cobalamin. Vitamin B12 terdiri dari cincin corrin (corrin ring) yang terbuat dari 4 “pyrroles” dengan atom cobalt pada pusat cincin (Gambar 1). Vitamin B12 merupakan kristal berwarna merah, tahan panas, rusak diatas temperatur 2100 C, dan tidak tahan sinar ultra violet (FAO/WHO2001; Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)

(Coleman http://www.vegan-straight-edge.org.uk/)

Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin (CN-Cbl), keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit dan jumlahnya tidak tentu. Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk lain dari vitamin B12; yaitu hydroxycobalamin dan aquacobalamin, dimana hydroxyl dan air masing-masing terikat pada cobal. Bentuk sintetis (buatan) vitamin B12 yang terdapat dalam suplemen dan pangan fortifikasi adalah cyanocobalamin, dimana sianida terikat pada logam kobal. Ketiga bentuk vitamin B12 ini diaktifkan secara enzimatik menjadi methylcobalamin (MetCbl) dan adenosylcobalamin (AdeCbl) (FAO/WHO 2001; Higdon J 2003). Pada kondisi kekurangan gizi, enzim dalam tubuh akan terganggu bahkan ada yang rusak, yang menyebabkan penurunan kemampuan tubuh untuk mensintesis bentuk aktif vitamin B12 dari cyanocobalamin. Sebagian besar vitamin B12 disimpan dalam hati sebagai 5-deoxydenosylcobalamin (65-70 %), hydroxycobalamin (20-30 %), dan methylcobalamin (1-5%). Bentuk dominan dalam plasma adalah methylcobalamin dengan kadar normal 135 - 425 pmol/L (Sauberlich HE 1999).

Vitamin B12 berperan sebagai koenzim yang dibutuhkan beberapa reaksi biologis penting. Koenzim tersebut ada dua yaitu methylcobalamin yang terdapat dalam plasma, dan 5-deoxyadenosyl-cobalamin yang ditemukan dalam hati, sebagian besar jaringan tubuh, dan makanan (Gibson 2005). Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim

L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Gambar 2). Reaksi biokimia yang

menghasilkan succinyl-CoA ini berperan penting dalam produksi energi dari lemak dan protein. Succinyl CoA juga diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh jaringan tubuh. Bila terjadi defisiensi vitamin B12, L-methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-CoA sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic acid oleh suatu enzim hydrolase. Keberadaan

methylmalonic acid dalam darah atau yang dikeluarkan melalui urin dapat

merupakan indikator terjadinya kekurangan vitamin B12 (Gibson 2005; Carmel R 2006; Herbert V 1996).

Gambar 2 Peran vitamin B12 dalam metabolisme L-methylmalonyl-CoA

menjadi succinyl-CoA (Stabler SP et al 1997)

Peran yang kedua dari vitamin B12 sebagai kofaktor untuk enzim

methyonine synthase. Enzim ini membutuhkan methylcobalamin dan tergantung

pada folat untuk mensintesis asam amino methyonine dari homocysteine.

Methyonin dibutuhkan untuk sintesis S-adenosylmethionine suatu kelompok donor methyl yang berguna dalam reaksi biologi methylation, termasuk methylation

DNA dan RNA (Gambar 3). Bila reaksi ini rusak akan mempengaruhi pembentukan DNA yang akhirnya dapat menyebabkan anemia macrocytic

megaloblastic (Sauberlich HE 1999; Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selain itu methylation DNA diperlukan untuk mencegah kanker. Oleh karena itu bila

fungsi methionine synthase terganggu dapat menyebabkan penumpukan

homocysteine yang dihubungkan dengan peningkatan risiko cardiovasculer.

Vitamin B12 dibutuhkan untuk penyerapan folat, penyimpanan dan aktivasi untuk bentuk koenzim. Jadi vitamin B12 bekerja secara bersama dengan folat untuk mendukung replikasi seluler. Kekurangan salah satu vitamin ini dapat mempengaruhi fungsi keduanya. Peran yang unik juga ditemukan dari vitamin B12 yaitu dalam pembentukan myelin, suatu lapisan yang melindungi serat-serat

syaraf. Kerusakan neurologi berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 yang dapat terjadi tanpa dipengaruhi oleh kecukupan intake asam folat (http//www.northwestern.edu).

Gambar 3 Peran vitamin B12 dalam metabolisme homocysteine menjadi methionine (Stabler SP et al 1997)

Fungsi utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah merah dan pemeliharaan kesehatan sistem syaraf. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan cepat selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah (Sauberlich HE 1999). Vitamin B12 berperan dalam berbagai reaksi seluler, dan mempunyai fungsi penting dalam metabolisme asam folat. Vitamin B12 diperlukan untuk merubah koenzim folat menjadi bentuk aktif yang dibutuhkan dalam reaksi-reaksi metabolisme penting seperti sintesis DNA. Tanpa vitamin B12 reaksi-reaksi yang membutuhkan bentuk aktif folat tidak akan terjadi dalam sel. Jadi, defisiensi vitamin B12 juga

berperan dalam terjadinya defisiensi folat. Jika terjadi defisiensi vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel darah merah tidak normal, disebut dengan kejadian megaloblas yang akhirnya menjadi anemia. Gejalanya meliputi keletihan, sesak nafas, kelesuan, pucat serta penurunan kekebalan tubuh terhadap infeksi. Gejala lain berupa penurunan rasa (untuk makanan), luka pada lidah, dan gangguan menstruasi (Wardlaw et al 1992).

Fungsi vitamin B12 dalam pemeliharaan sistem syaraf dapat dijelaskan melalui perannya yang cukup penting dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin. Syaraf dikelilingi lapisan lemak dibungkus oleh kompleks protein yang disebut myelin. Komposisi myelin terdiri dari sekitar 80 % lipid dan 20 % protein. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan kemungkinan dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf (Dhopeshwarkar 1983; http://www.parhealth.com/druginfo). Penelitian Pfeifer dan Lewis tahun 1979 yang mempelajari pengaruh pemberian diet rendah vitamin B12 pada tikus selama 20 minggu, mengungkapkan bahwa ketiadaan vitamin B12 dapat mengganggu perubahan linoleat menjadi PUFA rantai panjang (20:4ω6 dan 22:5ω6). Penelitian lain menunjukkan bahwa kelainan genetik menyebabkan kerusakan transformasi vitamin B12 menjadi bentuk koenzim yang dilaporkan dari kematian seorang bayi berumur 2 tahun, dan terjadi retardasi mental yang berat pada anak perempuan yang meninggal pada usia 7 tahun (Dhopeshwarkar 1983). Konsentrasi methionin yang rendah dapat terjadi bila vitamin B12 tidak ada. Perubahan konsentrasi ini akan menyebabkan berkurangnya aliran asam amino untuk pembentukan protein di otak. Hipotesis ini didukung oleh Gandy et al pada tahun 1973 melalui penelitiannya dengan memberikan “1-aminocyclopentane carboxyc acid” (yang dapat mengganggu reaksi homocystein menjadi methionin) pada tikus. Penelitian tersebut menunjukkan ketidaknormalan fungsi syaraf yang ditandai dengan kehilangan rasa, lumpuh, dan “demyelination spinal cord” (Dhopeshwarkar 1983). Dari beberapa kasus tersebut Dhopeshwarkar menyimpulkan bahwa defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan sistem syaraf pusat. Kerusakan tersebut meliputi pembentukan myelin yang tidak

sempurna mulai dari sistem syaraf peripheral dan akhirnya pada sistem syaraf pusat.

Absorbsi Vitamin B12

Penyerapan vitamin B12 dalam tubuh manusia termasuk unik diantara vitamin-vitamin lainnya. Penyerapan vitamin B12 berlangsung secara spesifik di ileum dan tergantung pada intrinsic factor (IF) suatu jenis protein yang diproduksi oleh sel-sel asam lambung dan berperan sebagai reseptor vitamin B12 (Wardlaw

et al 1992; Herbert V V 1996; WHO 2001; Robert C & Brown DL 2003; Carmel

R 2006). Setelah makanan masuk melalui mulut sampai ke lambung, vitamin B12 dalam pangan dipisahkan dari bahan-bahan lain oleh pepsin lambung yang aktifitasnya optimal pada pH asam lambung yang normal. Kemudian vitamin B12 berikatan dengan suatu protein yang disebut R-protein yang diproduksi oleh kelenjar saliva dalam mulut (Gambar 4).

Gambar 4 Absorbsi vitamin B12 dalam saluran pencernaan (Carmel R 2006)

Ikatan protein-vitamin B12 masuk ke dalam usus halus dan di usus halus R-protein dipisahkan dengan vitamin B12 oleh enzim tripsin yang dikeluarkan oleh pankreas. Dalam usus halus vitamin B12 bebas kembali, kemudian berikatan dengan intrinsic factor. Hasil ikatan intrinsic factor dengan vitamin B12 masuk ke bagian akhir usus halus yang disebut ileum. Sel-sel ileum menyerap vitamin B12 dan mentransfernya kedalam darah yang selanjutnya berikatan dengan transport protein yang dikenal sebagai transkobalamin.

Proses penyerapan vitamin B12 secara normal melalui ikatan vitamin B12 dengan intrinsic factor diperkirakan 30-70 % dapat diserap tergantung pada kebutuhan tubuh. Kegagalan penyerapan melalui sistem ini vitamin B12 masih dapat diserap secara pasif melalui proses difusi namun hanya sekitar 1-2 % dari vitamin B12 yang ada dalam makanan. Penyerapan vitamin B12 dapat terganggu misalnya karena pembentukan intrinsic factor yang tidak efisien, defisiensi sintesis R-protein secara genetik, atau adanya infestasi cacing (Robert C & Brown DL 2003).

Bila terjadi defisiensi vitamin B12 biasanya diperlukan suplemen melalui oral atau injeksi vitamin B12 yang langsung dapat diserap. Tabel 1 menggambarkan jumlah atau persentase vitamin B12 yang diserap secara aktif (melalui sistem intrinsic factor) dan secara pasif (tanpa intrinsic factor) dari pemberian berbagai dosis. Availabilitas vitamin B12 tergantung pada berapa banyak vitamin B12 yang dipisahkan dari pangan oleh pepsin dan enzim-enzim lambung lainnya, kemampuan sistem penyerapan melalui intrinsic factor, dan jumlah vitamin B12 dalam pangan yang dimakan. Jika sistem penyerapan melalui

intrinsic factor sempurna, lebih dari 50 % vitamin B12 yang ada dalam pangan

atau suplemen dapat diserap secara aktif, namun penyerapan melalui sistem

intrinsic factor ini tidak dapat melebihi 2 μg. Pemberian vitamin B12 dengan

dosis 0.25 μg akan diserap sebesar 0.19 μg (75 %). Vitamin B12 yang diserap secara aktif semakin besar dengan peningkatan dosis mulai dari 0.25 μg sampai 10 μg. Pada pemberian dosis 10 μg penyerapan vitamin B12 secara aktif mencapai batas optimum yaitu 1.6 μg, dan pemberian diatas dosis tersebut misalnya 50 μg hanya 1.5 μg vitamin B12 diserap melalui sistem intrinsic factor. Penyerapan vitamin B12 pada pemberian dosis tinggi seperti dalam suplemen melampaui

kapasitas intrinsic factor, dan penyerapan vitamin B12 akan terjadi secara pasif dengan jumlah penyerapan sekitar 1-2 % (Tabel 1).

Tabel 1 Penyerapan vitamin B12 dari pemberian berbagai dosis secara oral pada kondisi penyerapan normal dan tidak normal (tanpa intrinsic factor)

Jumlah yang diserap melalui IF

dan non-IF/ pasif Jumlah yang diserap secara pasif (non-IF) Dosis oral (μg) μg % μg % 0,25 0,19 75 - 1 0,56 56 0,02 2 2 0,92 46 - 3 - - 0,08 3 5 1,4 28 - 10 1,6 16 0,2 2 50 1,5 3 0,5 1 100 - - 1,8 1,8 500 - - 6 1,2 Sumber: Carmel R (2006)

Transport dan Metabolisme Vitamin B12

Vitamin B12 yang masuk ke dalam darah melalui membran sangat sedikit dan tergantung pada beberapa protein pengikat untuk transport. Segera setelah vitamin B12 diserap masuk ke dalam saluran darah, transport dan penggunaannya tergantung pada protein spesifik pengikat kobalamin

(cobalamin-binding protein) yang disebut transcobalamin II (TC II) atau sering disebut TC.

Sedangkan transcobalamin I (TC I) juga berperan mengikat kobalamin dalam darah namun perannya belum dapat dijelaskan (Carmel R 2006). Kobalamin dari TC I yang masuk ke empedu sekitar 1,4 μg per hari dan diperkirakan 70 % diabsorpsi kembali dalam keadaan normal, sisanya dibuang melalui feses. TC II disintesis oleh beberapa sel termasuk sel-sel khusus endhotelial. Gen pembentuknya sama dengan IF tetapi berada pada kromosom yang berbeda. TC II dengan cepat mengantar kobalamin ke semua sel dalam tubuh. Masa hidup holo-TC II dalam plasma hanya 90 menit. Pertama sekali dan sebagain besar kobalamin diantar ke hati, tetapi reseptor yang spesifik untuk TC II sebenarnya ditemukan pada semua sel dan dalam kompleks holo-TC II oleh pinocytosis (Carmel R 2006).

Enzim yang mengandung vitamin B12 memindahkan kelompok methyl dari methylfolate, sementara regenerasi tetrahydrofolat (THF) dari

5,10-methylene THF diperlukan untuk sistesis thymidilate. Karena methylfolate

merupakan bentuk vitamin yang dominan dalam serum dan hati, dan karena hanya

methylfolate yang mengembalikan folat ke cadangan tubuh melalui proses yang

tergantung vitamin B12, maka bila terjadi defisiensi vitamin B12 akan menyebabkan folat terperangkap sebagai methylfolate sehingga tidak dapat digunakan untuk fungsi metabolik. Folat yang terperangkap akhirnya dapat menyebabkan kerusakan hematologik akibat defisiensi vitamin B12 yang tidak dapat dibedakan dari defisiensi folat. Kedua defisiensi tersebut menyebabkan kerusakan yang sama sebagai akibat dari ketidakcukupan 5,10-methylene THF untuk berpartisipasi dalam pembentukan DNA (Herbert V 1996; Beck 2003; Carmel R 2006).

Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5 bahwa pada kondisi normal penyerapan vitamin B12 dari pangan memerlukan kondisi lambung yang normal; asam lambung dan enzim yang membebaskan vitamin B12 dari ikatan peptide dalam pangan oleh proteolisis, kemudian vitamin B12 terikat pada protein saliva dan sel-sel parietal lambung mengeluarkan intrinsic factor suatu glikoprotein yang penting untuk absorbsi vitamin B12 dari usus halus. Penyerapan yang normal juga membutuhkan kondisi pankreas yang normal sehingga tripsin dan bikarbonat (yang dihasilkan pada pH lebih dari 8) dapat memisahkan vitamin b12 dari protein saliva dan kemudian berikatan dengan intrinsic factor, dan akhirnya pada kondisi ileum yang normal reseptor sel pemukaan dapat menangkap vitamin B12 yang terikat pada intrinsic factor dengan batuan ion kalsium. Bila terjadi gangguan pankreas sehingga ion kalsium tidak tersedia maka penyerapan vitamin B12 akan terganggu (Herbert V 1996). Penyerapan vitamin B12 dapat diperbaiki dengan memberikan kalsium, bikarbonat atau cairan pankreas yang dapat meningkatkan ketersediaan kalsium. Pentingnya kalsium dalam penyerapan vitamin B12 telah dijelaskan pada suatu studi yang menunjukkan bahwa penyerapan vitamin B12 yang terganggu akibat penggunaan obat diabetes (metformin) karena mengikat kalsium akhirnya dapat diperbaiki dengan pemberian susu yang kaya kalsium atau tablet kalsium karbonat (Herbert V 1996).

Gambar 5 Metabolisme vitamin B12 pada manusia (Herbert V 1996) 16 REABSORPTION TRANSPORT ABSORPTIO TISSUE CELL Food B12 *MDR – 0,1 μg daily INGESTION 1. Unch anged 2. Oxidi Acid Enzymes 1F (Food B12 – 1F Complex) (Enterohepatic circulation PH > 6 Ca++ Trypsin Food B12 – 1F - Surface receptor *Releasing Factor B12 - TC II B12 - TC I & B12 - TC III X - B12 - TC II In serum Ca++ X - B12 - TC II - Surface receptor Methil B12 – B12 - binding α in serum Methyl - B12 Other B12 Forms Succinyl – CoA Methylmalonyl – CoA – Mutase L-Methylmalonyl - CoA PPPi Deoxyadenosyl transferase ATP Deoxyadenosyl B12 oxidation B12 B12* (Co +++) B12* (Co ++ B12* (Co +) B12* Reductas e Methionine Methyl transferase Homocysteine Methyl Methyl THF B12* Reductase DPNH THF AMe 7 12 13 14 2 3 ILEAL EPITHELIAL CELL B12 B12 Coenzymes 4 5 6 1 8 9 10 11 15 DELIVERY Bile, saliva, Urine, etc EXCRETION

Setelah proses uptake, kobalamin dipisahkan dalam endosom dan masuk ke sitoplasma terutama berbentuk methylcobalamin, atau diambil oleh mitokondria. Methylcobalamin diikat oleh methionine synthase dan membantu remetilasi homocysteine. Deoxyadenosyl cobalamin dalam mitokondria diikat oleh methylmalonyl-CoA-mutase dan berperan dalam metabolisme propionat. Tidak ada protein pengikat intraseluler lain yang diidentifikasi untuk kobalamin, dan tidak ada juga peran metabolik (Herbert V 1996; Carmel R 2006). Selanjutnya dikatakan bahwa ginjal juga kaya akan reseptor TC II, yang berperan penting dalam meminimalkan kehilangan kobalamin melalui urin.

Vitamin B12 dapat disimpan dalam hati. Total simpanan tubuh pada subyek omnivore dalam keadaan sehat sekitar 2 – 3 mg. kehilangan vitamin B12 dapat terjadi melalui desquamasi epithelium dan sekresi dalam empedu. Sebagian besar vitamin B12 yang disekresi empedu diabsorbsi kembali dan dapat digunakan untuk fungsi metabolik. Kehilangan pada orang dewasa diperkirakan 1–3 μg/hari (sekitar 0.1 % dari cadangan dalam tubuh). Jumlah pengeluaran vitamin B12 melalui stool proporsional dari cadangan tubuh, sehingga perkembangan defisiensi lebih lambat pada orang yang kekurangan vitamin B12 misalnya vegetarian dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai intrinsic

factor atau yang mengalami malabsorbsi (Gibson 2005).

Defisiensi Vitamin B12

Defisiensi vitamin B12 adalah kondisi yang menunjukkan bahwa jumlah vitamin B12 tidak cukup untuk melakukan fungsi biokimia secara normal. Proses defisiensi vitamin B12 terjadi secara bertahap yang diawali dari penurunan cadangan tubuh yang disebut dengan deplesi, namun pada saat ini fungsi biokimia belum terganggu. Tahap awal defisiensi vitamin B12 ketika terjadi keseimbangan negatif yang dapat dideteksi dengan penurunan persentase kejenuhan serum TC II. Keseimbangan negatif merupakan gambaran situasi dimana jumlah vitamin B12 yang diabsorbsi menurun sampai dibawah jumlah yang hilang setiap hari (Herbert V 1996). Keseimbangan negatif dengan cepat menyebabkan deplesi, dan bila tidak dilakukan penambahan akan berlanjut menjadi defisiensi (Tabel 2).

Tabel 2 Tahapan perkembangan status vitamin B12 dari normal sampai defisiensi

Keseimbangan negatif

Deplesi Defisiensi

Stage I Stage II Stage III Stage IV

Normal Early

Negative B12 Balance

B12

Depletion Metabolism Damaged

B12 Deficient Erytropoiesis Clinical Damage B12 Deficiency Anemia

HoloTC II (pg/mL) > 50 Low Low Low Low

TC II % sat. > 5 % < 4 % < 4 % < 4 % < 4 %

Holohap (pg/mL) > 180 > 180 < 150 < 100 < 100

dU suppression Normal Normal Normal Abnormal Abnormal

Hypersegmentation No No No Yes Yes

TBBC % sat. > 15 % > 15 % > 15 % < 15 % < 10 %

Hap % sat. > 20 % > 20 % > 20 % < 20 % < 10 %

RBC folate (ng/mL) > 160 > 160 > 160 < 140 < 100

Erythrocytes Normal Normal Normal Normal Macroovalocytic

MCV Normal Normal Normal Normal Elevated

Hemoglobin Normal Normal Normal Normal Low

TC II Normal Normal Normal Elevated Elevated

Methylmalonate Normal Normal Normal High High

Homocysteine Normal Normal Normal High High

Myelin Damage No No No ? Frequent

Sumber: Herbert V (1996)

Serum holoTCII yang rendah dapat dijadikan sebagai indikator awal terjadinya keseimbangan negative vitamin B12 dan dapat dijadikan sebagai pengganti Schilling test dan suatu ukuran ketidakcukupan vitamin B12 yang dibawa ke seluruh sel-sel pembentuk DNA (Herbert V 1996). Selanjutnya jika keseimbangan negatif terjadi dalam waktu yang lama, akan terjadi deplesi vitamin B12 yang ditandai dengan penurunan konsentrasi holohaptocorin sampai dibawah 150 pg/mL akan tetapi fungsi biokimia masih normal. Keadaan keseimbangan negatif ini ditemukan juga pada kelompok usia lanjut dengan konsentrasi vitamin B12 serum yang rendah yaitu < 221 pmol/L atau < 300 pg/mL, sehingga angka ini juga dapat dijadikan sebagai indikator keseimbangan negatif (Herbert V 1996; Sauberlich HE 1999).

Defisiensi vitamin B12 secara klinis menyebabkan kerusakan sistem hematopoitik sama seperti pada defisiensi asam folat. Macro-ovalocytic erythrocytes sebagai petunjuk sel darah merah tidak normal, dan terjadi penurunan hemoglobin. Pada keadaan ini terjadi juga peningkatan kadar methylmalonic acid (MMA) pada urin namun tidak ditemukan pada anemia akibat defisiensi asam folat (Gibson 2005).

Defisiensi vitamin B12 merupakan akibat dari kerusakan reaksi enzim yang memerlukan vit B12. Kerusakan aktifitas pembentukan methionine synthase dapat meningkatkan level homosistein, sementara kerusakan aktifitas

L-methylmalonyl-CoA mutase menyebabkan peningkatan metabolit dari methylmalonyl-CoA yang disebut methylmalonic acid (MMA). Seseorang yang

mengalami defisiensi vitamin B12 ringan tidak akan terlihat gejalanya walaupun level homosistein dan MMA dalam darah meningkat (Gibson 2005; Herbert V 1996).

Akibat dari defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan perubahan dalam tubuh yang disebut sebagai gejala atau efek klinik. Gejala klinik dari defisiensi vitamin B12 dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu gejala hemotologik, neurologik dan gastrointestinal, sebagaimana diuraikan di bawah ini.

1. Gejala hematologik.

Gejala hematologik akibat defisiensi vitamin B12 tidak dapat dibedakan dari defisiensi folat, yaitu terjadinya anemia megaloblastic disertai gejala anemia klasik seperti berkurangnya energi dan kemampuan fisik, lemah, sesak nafas, dan jantung berdebar (Gibson 2005; http//www.parhealth.com/druginfo). Aktifitas yang berkurang pada methyonine synthase saat defisiensi vitamin B12 menghambat regenerasi tetrahydrofolate (THF) dan menjebak folat dalam bentuk yang tidak dapat digunakan oleh tubuh, menghasilkan gejala defisiensi folat padahal folat sebenarnya cukup. Jadi, dalam keadaan defisiensi keduanya (folat dan vitamin B12) folat tidak tersedia untuk pembentukan DNA. Kerusakan sintesis DNA ini menyebabkan kecepatan pembelahan sel-sel tulang belakang lebih cepat dari sel-sel lain, menyebabkan sel-sel darah merah berukuran besar, tidak matang dan miskin hemoglobin. Keadaan ini disebut anemia megaloblastic dan gejala untuk penyakitnya disebut anemia pernisius. Suplementasi dengan

asam folat akan memberikan folat yang cukup untuk digunakan dalam pembentukan sel-sel darah merah dalam kondisi normal. Namun jika defisiensi vitamin B12 yang merupakan penyebabnya, hasilnya akan tetap anemia. Jadi, anemia megaloblastik tidak selalu harus diperbaiki dengan pemberian asam folat hingga penyebab yang sebenarnya ditetapkan. Karena penurunan (deplesi) cadangan vitamin B12 tubuh lebih lambat dibandingkan folat, menyebabkan gejala klinik defisiensi vitamin B12 juga lebih lama muncul. Pada saat terjadi perubahan biokimia, gejala klinik belum muncul hingga beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah proses yang menyebabkan defisiensi (misalnya malabsorbsi) dimulai. Sedangkan perubahan akibat defisiensi folat sudah muncul dalam beberapa minggu (Carmel R 2006).

2. Gejala Neurologis

Gejala-gejala neurologis defisiensi vitamin B12 meliputi kehilangan rasa, rasa geli pada tangan dan kaki, susah berjalan dan melangkah tidak normal, kejang, lekas marah, depresi, dan perubahan kognitif seperti kehilangan konsentrasi dan ingatan (memory), serta dimensia, disorientasi, namun umumnya

tanpa perubahan kejiwaan (http://www.parhealth.com/druginfo). Walaupun

kemajuan komplikasi neurologik secara umum bertahap, gelaja-gejala tersebut tidak selalu dapat dikembalikan dengan pemberian vitamin B12 apalagi gejala tersebut sudah muncul lama. Komplikasi neurologik tidak selalu berhubungan dengan anemia megaloblastic dan yang mengalami gejala defisiensi vitamin B12 secara klinis hanya sekitar 25 persen kasus. Walaupun defisiensi vitamin B12 diketahui merusak lapisan myelin pada syaraf-syaraf cranial, spinal dan periperal, proses biokimia yang mempengaruhi kerusakan neurologik belum dipahami dengan baik (http:/lpi.oregonstate.edu/infocenter/vitamin/vitaminB12). Efek neurologik defisiensi vitamin B12 dapat terjadi tanpa anemia, terutama pada orang tua diatas 60 tahun. Pada dasarnya defisiensi vitamin B12 mempengaruhi syaraf

peripheral dan berlanjut sampai ke spinal cord (http//www.eatright.org).

3. Gejala Gastrointestinal

Sakit lidah, kehilangan selera makan, dan konstipasi telah dihubungkan dengan defisiensi vitamin B12. Kebenaran dari gejala ini belum jelas, tetapi mungkin dapat dikaitkan dengan peradangan lambung yang ditemukan pada

banyak kasus desisiensi vitamin B12, atau Peningkatan kemampuan menyerang dari kecepatan pembelahan sel-sel gastrointestinal untuk merusak sintesis DNA. Efek defisiensi vitamin B12 terhadap gastrointestinal menyebabkan sering diare dan konstipasi, sakit di bagian perut, kembung, dan luka pada lidah. Anoreksia dan kehilangan berat badan juga merupakan gejala umum kekurangan vitamin B12. Bahkan ada pendapat bahwa kehilangan kemampuan mendengar (tuli) karena pertambahan usia juga berhubungan dengan status vitamin B12 dan folat yang miskin (http://www.parhealth.com/druginfo).

Masih sedikit diketahui tentang prevalensi defisiensi vitamin B12 terutama pada anak-anak. Namun, karena vitamin B12 hanya terdapat pada pangan hewani, diperkirakan angka defisiensi vitamin B12 tinggi pada anak-anak yang jarang atau sedikit makan makanan hewani seperti daging, telur dan susu. Penelitian di Kenya (Siekmann JH et al 2003) terhadap 555 anak sekolah (5-14 th) menunjukkan 80,7 % anak mengalami defisiensi vitamin B12 tingkat berat dan sedang. Pemberian makanan tambahan di sekolah berupa daging (60-85 g/hr) dan susu (200-250 ml/hr) atau energi (kalori dari daging dan susu 240-300 Kal/hr) selama satu tahun ajaran. Sampel darah dan tinja dikumpulkan 2 kali yaitu pada waktu sebelum dan sesudah satu tahun intervensi untuk menilai parasit pada tinja,

Dokumen terkait