• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Kopi

Tanaman kopi berasal dari negara Ethiopia, benua Afrika. Tanaman kopi

tergolong dalam family Rubiaceae, sub family Cinchonoides, genus Coffea L.,

sub genus Coffea. Sub genus Coffea lebih banyak dikembangkan karena paling

menguntungkan (Najiyati dan Danarti, 1998). Jenis kopi yang banyak

diperdagangkan adalah kopi arabika (Coffea arabica), dan kopi robusta (Coffea

cannephora). Jenis kopi yang paling banyak di tanam di Indonesia adalah kopi

robusta (Coffea cannephora). Negara tujuan ekspor kopi Indonesia adalah Jepang,

Italia, Jerman, Amerika, dan Taiwan. Kopi arabika tumbuh pada ketinggian tempat lebih dari 600 m dari permukaan laut, sedangkan kopi robusta kurang dari 600 m dari permukaan laut (Ky dkk, 2001). Gambar 2.1. menampilkan susunan buah kopi yang terdiri dari biji kopi, kulit ari, kulit cangkang, daging buah, lapisan kulit buah, dan tangkai buah.

Untuk tumbuh subur kopi diperlukan curah hujan sekitar 2.000-3.000 mm tiap tahun serta memerlukan waktu musim kering sekurang-kurangnya 1-2 bulan pada waktu berbunga dan pada waktu pemetikan buah. Tanaman kopi mulai dapat menghasilkan setelah umur 4-5 tahun bergantung pada pemeliharaan dan iklim setempat. Tanaman kopi dapat memberi hasil tinggi mulai umur 8 tahun dan dapat berbuah baik selama 15 -18 tahun, jika pemeliharaan cuku baik, tanaman kopi akan terus berproduksi sampai umur sekitar 30 tahun (Najiyati, S. dan Danarti. 2001).

Biji kopi yang siap diperdagangkan adalah biji kopi yang sudah dikeringkan, kadar airnya berkisar antara 12 -13 %. Permukaan bijinya sudah bersih dari lapisan kulit tanduk dan kulit ari. Biji kopi demikian sering disebut sebagai biji kopi beras. Buah kopi hasil panen, seperti halnya produk pertanian yang lain, perlu segera diolah menjadi bentuk akhir yang stabil agar aman untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu. Kriteria mutu biji kopi yang meliputi aspek fisik, citarasa dan kebersihan serta aspek keseragaman dan konsistensi sangat ditentukan oleh perlakuan pada setiap tahapan proses produksinya ( Mulato

Gambar 2. 1. Anatomi buah kopi.

Kopi diminum oleh konsumen bukan sebagai sumber nutrisi melainkan sebagai produk yang bersifat menyegarkan atau penyegar. Oleh karena itu, biji kopi dianggap bernilai ekonomis jika dapat memberikan kepada konsumen rasa senang dan kepuasan dari flavour dan aroma yang dihasilkan (Davids, 1996). Konsumsi kopi domestik saat ini masih sangat rendah yaitu hanya 70 000 ton/tahun atau setara dengan 0.5 kg/orang/tahun. Nilai ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi kopi domestik negara-negara seperti Finlandia, Norwegia, Denmark, Austria, Jerman, dan Belgia yang mencapai sekitar 8-11 kg/orang/tahun (USDA, 2000).

Pengklasifikasian mutu biji kopi ditinjau dari beberapa nilai cacat antara lain biji normal, pecah, hitam, tutul, lubang > 1, gosong, kulit ari. Penentuan nilai cacat dilakukan dengan mengambil sample secara acak. Pengambilan contoh untuk pengujian mutu dilakukan secara bertahap, pertama diambil sebesar 10 kg kopi pasar kemudian dibagi empat bagian. Dari keempat bagian tersebut diambil 300 gr untuk dilakukan pengujian mutu. Jumlah nilai cacat dari 300 gr sampel menentukan tingkat mutunya, jika satu biji mempunyai lebih dari satu jenis cacat, maka penentuan nilai cacat biji tersebut berdasarkan pada bobot cacat yang terbesar. Jenis dan nilai cacat serta persyaratan mutu biji kopi disajikan dalam Tabel 2.1 dan 2.2.

1. Lapisan kulit buah 2. Daging buah 3. Biji kopi 4. Kult ari 5. Kulit cangkang 6. Tangkai buah

Tabel 2.1 Klasifikasi mutu berdasar sistem nilai cacat

Mutu Syarat Mutu

1 2 3 4 5 6

Jumlah nilai cacat maksimum 11 Jumlah nilai cacat 12 – 25 Jumlah nilai cacat 26 – 44 Jumlah nilai cacat 45 – 80 Jumlah nilai cacat 81 – 150 Jumlah nilai cacat 151 – 225

(Sumber: SNI 01-2907, 2008)

Setiap biji cacat pada contoh kopi yang diujikan diberi nilai cacat berdasarkan Tabel 2.2

Tabel 2.2 Penentuan besarnya nilai cacat

No. Jenis Cacat Nilai Cacat

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

1 (satu) biji hitam

1 (satu) biji hitam sebagian 1 (satu) biji hitam pecah 1 (satu) biji gelondong 1 (satu) biji coklat

1 (satu) kulit kopi (husk) ukuran besar 1 (satu) kulit kopi (husk) ukuran sedang 1 (satu) kulit kopi (husk) ukuran kecil 1 (satu) biji berkulit tanduk

1 (satu) kulit tanduk ukuran besar 1 (satu) kulit tanduk ukuran sedang 1 (satu) kulit tanduk ukuran kecil 1 (satu) biji pecah

1 (satu) biji muda

1 (satu) biji berlubang satu

1 (satu) biji berlubang lebih dari satu 1 (satu) biji bertutul (untuk proses basah) 1 (satu) ranting, tanah atau batu berukuran besar 1 (satu) ranting, tanah atau batu berukuran sedang 1 (satu) ranting, tanah atau batu berukuran kecil

1 (satu) ½ (setengah) ½ (setengah) 1 (satu) ¼ (seperempat) 1 (satu) ½ (setengah) 1/5 (seperlima) ½ (setengah) ½ (setengah) 1/5 (seperlima) 1/10 (sepersepuluh) 1/5 (seperlima) 1/5 (seperlima) 1/10 (sepersepuluh) 1/5 (seperlima) 1/10 (sepersepuluh) 5 (lima) 2 (dua) 1 (satu) (Sumber: SNI 01-2907, 2008) 2.2. Senyawa Kafein

Secara alamiah biji kopi mengandung lebih dari 500 senyawa kimia, tetapi hanya dua senyawa utama yang membuat kopi memiliki citarasa dan aroma yang disukai masyarakat. Dua senyawa tersebut adalah kafein yang berpengaruh terhadap rangsangan metabolisme tubuh, dan kafeol yang menghasilkan aroma yang khas dari kopi (Sivetz, 1963). Kandungan kafein yang tinggi memiliki beberapa pengaruh negatif, antara lain dapat menyebabkan jantung berdebar, pusing, dan mempertinggi tekanan darah. Selain itu, kafein juga dapat

menyebabkan susah tidur dengan jalan mempergiat kerja otak (Sivetz, 1979). Sedangkan menurut Winarno (1992), senyawa ini dapat meningkatkan sekresi asam lambung, memperbanyak produksi urine dan memperlebar pembuluh darah serta meningkatkan kerja otot. Namun pengaruh negatif pada ibu hamil dapat menyebabkan kelahiran bayi yang cacat. Selain senyawa kafein, kopi mengandung beberapa senyawa kimia lain dengan berbagai macam tingkatan kadarnya, seperti disajikan dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Komposisi kimia biji kopi arabika dan robusta (Clifford, 1985) Komponen Senyawa

Jenis Kopi

Arabika (% bk) Robusta (% bk)

Kahweol 0.70-1.10 Tidak Terdeteksi

Kafein 0.94-1.59 1.50-2.72 Asam Khlorogenat 4.07-7.70 6.20-11.7 Trigonellin 0.97-1.15 0.30-0.90 Fruktosa 0.04 0.19-0.21 Sukrosa 4.60-8.60 2.20-6.60 Glukosa 1.20 0.16-0.50 Galaktosa 0.04 13.1

Total Asam Amino 0.40-2.40 0.80-0.90

Lemak 14-20 11-16

Kadar Air 11-13 11-13

Abu 4 4

Kafein atau 1,3,7 trimetil santin merupakan salah satu senyawa alkaloida yang terdapat di dalam biji kopi dengan sifat fisiologis antara lain sebagai stimulan (Clarke dan Macrae, 1989; Spiller, 1999). Kadar kafein dalam biji kopi tergantung dari jenis tanaman kopi dan tempat tumbuh. Kadar kafein yang terkandung di dalam biji kopi Robusta berkisar antara 1.57-2.68 %, sedangkan kopi arabica berkisar antara 0.94-1.59% (Wilbaux, 1963). Sedangkan menurut Spiller (1999), jumlah presentase kadar kafein biji kopi robusta lebih tinggi dibanding kopi arabika, namun dengan kisaran persentase sedikit berbeda dengan yang dikemukakan oleh Wilbaux, (1963). Persentase kadar kafein kopi robusta dan arabika disajikan dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Kandungan kafein kopi (Spiller, 1999)

Jenis Kopi

Arabika Robusta

Biji kopi kering (bk) 0.58-1.7% 1.16-3.27 %

Biji kopi sangrai (bk) 1% 2%

Kadar kafein yang terdapat dalam secangkir teh sebesar 40–50 mg, sedangkan dalam secangkir kopi kadar kafein yang terkandung dapat mencapai 80-100 mg (Hicks, MB., Hsieh, P dan Bell, L.N., 1996).

Tingginya kadar kafein di dalam biji kopi diduga akan menyebabkan penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kanker, dan keguguran terutama bagi penikmat kopi yang memiliki toleransi rendah terhadap kafein. Rumus bangun kafein dapat dilihat dalam Gambar 2.2.

Gambar 2. 2. Rumus bangun kafein, C8H10N4O2,

(Clarke and Macrae, 1989).

Kafein dalam keadaan murni berupa serbuk putih berbentuk prisma hexagonal (Johnson dan Peterson, 1974), selain itu senyawa ini tidak berbau, pahit dan mempunyai sifat racun (Sivets dan Desrosier, 1979). Menurut Macrae (1985), kafein mudah larut dalam air dan mudah bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air dan alkohol. Kafein dapat larut dalam suasana alkalis dan kelarutannya akan meningkat pada pH di atas 6 (Spiller, 1999). Kelarutan kafein

dalam air maupun dalam pelarut organik pada berbagai tingkatan suhu disajikan dalam Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Kelarutan kafein dalam air (Macrae, 1985)

Suhu (oC) Kelarutan (g/100g H2O)

0 0.60 20 1.46 40 4.64 60 9.70 80 18-19.23 100 66.67 2.3. Proses Dekafeinasi

Dekafeinasi adalah proses pengurangan kadar kafein suatu bahan hasil pertanian dengan mempertahankan rasa dan aroma. Dekafeinasi pada biji kopi biasanya dilakukan sebelum proses penyangraian atau roasting (Anonim, 2000). Standar kisaran kadar kafein pada kopi bubuk hasil dekafeinasi adalah 0.1 – 0.3% (Charley dan Weaver, 1998). Secara umum proses dekafeinasi biji kopi menggunakan 3 jenis pelarut, yaitu air, senyawa organik sintetik (metil khlorida, etil asetat, benzene, alkohol, khloroform) dan anorganik sintetik (asam sulfat, soda dan amonia). Daya larut kafein dalam pelarut sintentik relatif tinggi, namun alasan harga, potensi polusi lingkungan dan pengaruh negatif terhadap kesehatan menyebabkan pelarut sintentik harus digunakan secara cermat (Clarke and Macrae, 1989; Katz, 1997).

Beberapa penelitian tentang proses dekafeinasi kopi telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ratna dan Anisah (2000) menyimpulkan bahwa bahwa perlakuan perebusan dalam larutan NaOH 0.6% selama 20 menit dapat menurunkan kadar kafein kopi bubuk Robusta sebanyak 0.31%. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan semakin lama waktu perebusan maka kadar kafein yang

dihasilkan akan semakin rendah. Sedangkan Mulato et. al. (2001) berhasil

menurunkan kadar kafein pada biji kopi robusta sebesar 0.45 % dalam waktu 6 jam menggunakan pelarut air, namun cita rasa dan aroma kopi menjadi berkurang seiring melarutnya kadar kafein serta beberapa senyawa pembentuk cita rasa seperti asam klorogenat dan trigonellin. Hasil penelitian Lestari (2004) pada

proses dekafeinasi kopi menggunakan pelarut air menghasilkan kadar kafein sebesar 0.31% pada waktu pelarutan selama 6 jam.

Pada penelitian yang dilakukan Mulato et.al. (2001) proses dekafeinasi biji

kopi dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu proses pengukusan (steaming) dan

pelarutan (percolating) secara konsekutif di dalam reaktor kolom tunggal dengan

pelarut air pada suhu 100 oC. Ratio berat biji kopi dan pelarut air di dalam reaktor

adalah 1 : 5. Kadar kafein dalam biji kopi yang semula 2.46 % turun menjadi 0.45 % setelah proses berlangsung 6 jam. Pemanasan lanjut mampu menurunkan kadar kafein sampai 0.30 %, namun citarasa dan aroma seduhan kopinya juga berubah negatif secara signifikan. Menurut penelitian yang telah dilakukan

University of Florida Maples Center for Forensic Medicine menyebutkan bahwa proses dekafeinasi tidak dapat menghilangkan seluruh kandungan kafein yang terdapat di dalam biji kopi. Kopi seduhan rendah kafein sebanyak 5 sampai 10

cangkir sebanding dengan kopi tanpa dekafeinasi (Study: Decaf coffee is not

caffeine-free" ScienceDaily.com, 2008).

Pada dasarnya proses dekafeinasi kopi dapat berlangsung dengan dua metode, yaitu metode secara langsung dan tidak langsung. Metode secara langsung dengan cara memberikan perlakuan pelarut terhadap biji kopi secara langsung, sedangkan metode tidak langsung yaitu air seduhan kopi yang diberi perlakuan pelarut. Pelarut yang biasa digunakan pada proses dekafeinasi kopi

adalah metil kloride dan etil asetat, dimana kedua pelarut tersebut memiliki titik

didih yang rendah. Disamping itu, proses dekafeinasi kopi menggunakan pelarut etil asetat sering disebut proses yang alami karena senyawa etil asetat berasal dari etanol yang telah ditemukan dalam buah-buahan (www.baldmountaincoffee/Coffee_Decaffeination,2007.). Proses dekafeinasi kopi secara umum menggunakan pelarut etil asetat disajikan dalam Gambar 2.3.

Air merupakan pelarut yang paling populer dan memegang posisi sentral untuk proses dekafeinasi. Selain murah, efek samping air terhadap kesehatan dan lingkungan juga rendah. Namun, kemampuan air melarutkan kafein kopi sangat terbatas jika prosesnya dilakukan pada suhu rendah, sehingga paten-paten terdahulu selalu mengkombinasikannya dengan pelarut organik. Khloroform memiliki kemampuan pelarutan kafein paling tinggi, yaitu sebesar 13-18.20 %,

(pada suhu kamar). Namun, khloroform memiliki efek samping yang kurang baik bagi kesehatan di antaranya penyakit kanker. Meskipun alkohol dan etil asetat memiliki kemampuan pelarutan kafein agak rendah, yaitu sebesar 1.20 % dan 2.50 %, keduanya dianggap cukup aman bagi kesehatan (Spiller, 1999).

Gambar 2.3. Bagan alir proses dekafeinasi kopi, (www.baldmountaincoffee/Coffee_Decaffeination, 2007).

Purwadaria, et.al. (2007) telah merancang dan membuat peralatan yang

digunakan dalam proses dekafeinasi kopi antara lain adalah kolom reaktor tunggal dan fermentor. Reaktor dekafeinasi kopi terdiri dari tiga komponen utama, kolom pertama adalah kolom tunggal tegak untuk menempatkan biji kopi kapasitas 100 kg, dan dihubungkan langsung dengan komponen kedua yaitu ketel untuk menampung air atau pelarut tersier dari pulpa kakao. Komponen ketiga adalah tungku yang berfungsi sebagai unit pembangkit panas untuk meningkatkan suhu air pada proses pengukusan, dan meningkatkan suhu pelarut tersier dari pulpa kakao untuk proses pelarutan kafein pada biji kopi. Fermentor dibuat dari aluminum setebal 3 mm dengan ukuran diameter dalam 600 mm, diameter luar 900 mm dan tinggi 1 120 mm, dilapisi oleh jaket pemasan, dan mempunyai kapasitas 250 liter per proses (Gambar 2.4).

Pulpa kakao dapat digunakan untuk memproduksi alkohol, asam asetat dan etil asetat yang dapat digunakan sebagai pelarut dalam proses dekafeinasi kopi

Gambar 2. 4. Reaktor kolom tunggal (kanan) dan fermentor (kiri)

Dokumen terkait