• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pupuk Organik dan Pupuk Hayati

Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari sisa-sisa bahan organik yang telah dikomposkan, baik dari sisa-sisa tumbuhan maupun hewan dengan bantuan mikroba esensial untuk proses dekomposisi (Bayer et. al. 2002). Pupuk organik jika diberikan ke dalam tanah dapat berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Soepardi 1982). Bahan organik mempunyai peranan yang penting dalam kesuburan tanah seperti pelapukan dan dekomposisi mineral tanah, sumber hara tanaman, perbaikan struktur tanah, dan berperan langsung dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Brady 1990). Simanungkalit et al. (2006) menyatakan bahwa pupuk organik memiliki fungsi kimia yang penting di antaranya adalah penyediaan unsur hara makro seperti N, P, K, Ca, Mg, dan S dan unsur hara mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe meskipun dalam jumlah yang sedikit. Penggunaan bahan organik dapat mencegah kahat unsur mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah dikelola dengan cara intensif dengan pemupukan yang tidak seimbang. Fungsi kimia yang lain dari pupuk organik adalah dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah dan dapat juga membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang dapat meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn.

Penggunaan pupuk organik memiliki manfaat dalam meningkatkan produksi tanaman baik secara kualitas maupun kuantitas (Chen 2008), dan apabila diaplikasikan dalam waktu yang lama dapat meningkatkan kualitas lahan serta dapat mengurangi pencemaran lingkungan (Tisdale et al. 1985). Selain itu, penggunaan pupuk organik juga berguna sebagai sumber energi mikroorganisme tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tersebut dalam penyediaan unsur hara (Chen 2008).

Pupuk hayati merupakan mikroorganisme hidup yang diberikan ke dalam tanah sebagai inokulan untuk membantu tanaman dalam menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman (Vessey 2003). Pupuk hayati dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman melalui beberapa cara, di antaranya dengan penyediaan unsur hara, baik melalui fiksasi langsung seperti fiksasi nitrogen dari udara oleh Azotobacter sp. dan Azospirillum sp. (Rahmawati 2005; Isminarni

2007) ataupun melalui mekanisme pelarutan unsur hara seperti fosfor dan kalium oleh Bacillus sp dan Pseudomonas sp. (Han & Lee 2005) dan mensintesis zat pengatur tumbuh (ZPT) seperti auksin, sitokinin dan giberelin (Hindersah & Simarmata 2004; Haefele et al. 2008). Aplikasi pupuk hayati telah terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman, seperti pada tanaman kacang tanah dan kedelai (Bertham 2002; Bertham et al. 2005) serta tanaman jagung (Hasanudin 2003).

Bakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth Promoting

Rhizobacteria)

Rhizobacteria merupakan bakteri tanah yang berkoloni di daerah perakaran tanaman. Rhizobacteria dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok, yaitu Rhizobacteria yang menguntungkan (Plant Growth Promoting Rhizobacteria), Rhizobacteria yang merugikan (Deleterius Rhizobacteria), dan Rhizobacteria yang bersifat netral (Kloepper et al. 2004). Sampai saat ini, beberapa bakteri dilaporkan memiliki pengaruh yang menguntungkan bagi tanaman sehingga dapat digolongkan ke dalam kelompok PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria), yaitu kelompok genus Azoarcus sp., Azospirillum sp., Azotobacter sp., Arthrobacter sp., Bacillus sp., Clostridium sp., Enterobacter sp., Gluconoacetobacter sp., Pseudomonas sp., dan Serratia sp. (Somers et al. 2004). Pada penelitian ini hanya empat dari sepuluh kelompok genus PGPR di atas yang akan digunakan dan dipelajari pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman cabai, yaitu : Azotobacter sp., Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan Azospirillum sp.

Dalam peranannya sebagai pemacu pertumbuhan, PGPR dapat berperan secara langsung maupun tidak langsung. Zang et al. (1997) menyatakan bahwa PGPR dapat berperan secara langsung dengan cara meningkatkan penyediaan hara serta menghasilkan hormon pertumbuhan, sedangkan peranannya yang tidak langsung dengan cara memproduksi senyawa-senyawa metabolit seperti antibiotik serta menekan pertumbuhan fitopatogen dan serangan mikroorganisme lain.

Peranan Bakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth Promoting

Rhizobacteria) dalam Menyediakan Unsur Hara bagi Tanaman

Sampai saat ini, sudah banyak laporan tentang peranan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) sebagai penyedia unsur hara bagi tanaman. Hamim et 5

al. (2007) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang baik antara aplikasi pupuk hayati (PGPR) dengan peningkatan serapan hara makro dan mikro pada tanaman sehingga memacu pertumbuhan dan produksi tanaman. Bakteri PGPR memiliki kemampuan sebagai penyedia hara disebabkan oleh kemampuannya dalam melarutkan mineral-mineral dalam bentuk senyawa kompleks menjadi bentuk ion sehingga dapat diserap oleh akar tanaman (Vessey 2003). Sebagai contoh, Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. dapat menghasilkan asam-asam organik seperti asam fomiat, asam asetat, dan asam laktat (Han & Lee 2005), propionat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartrat (Banik & Dey 1982), sitrat, laktat, dan ketoglutarat (lllmer & Schinner 1992) yang dapat melarutkan fosfat dalam bentuk yang sulit larut. Asam-asam organik ini membentuk khelat dengan kation–kation pengikat P di dalam tanah seperti Al3+ dan Fe3+. Khelat tersebut dapat menurunkan reaktivitas ion-ion tersebut sehingga menyebabkan pelarutan fosfat yang efektif (Han & Lee 2005; Saraswati & Sumarno 2008). Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. juga dapat melarutkan fosfat yang terikat dengan unsur lain menjadi tersedia bagi tanaman karena kemampuannya dalam menghasilkan enzim fosfatase dan fitase (Alexander 1977).

Beberapa jenis bakteri PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) juga merupakan penambat N2 dari udara seperti Azotobacter dan Azospirillum yang jika berasosiasi dengan perakaran tanaman dapat membantu tanaman dalam memperoleh nitrogen melalui proses fiksasi nitrogen oleh mikroorganisme-mikroorganisme tersebut (Gardner et al. 1991). Azotobacter adalah rhizobakteria yang telah dikenal sebagai agen biologis pemfiksasi nitrogen, yang mengubah nitrogen menjadi amonium melalui reduksi elektron dan protonasi gas nitrogen (Hindersah & Simarmata, 2004). Nitrogen yang terikat pada struktur tubuh mikroba dilepas dalam bentuk organik sebagai sekresi atau setelah mikroba tersebut mati (Andayaningsih, 2000). Isminarni et. al. (2007) melaporkan bahwa jumlah Azotobacter berbanding lurus dengan jumlah N2 yang dapat diubah oleh sel Azotobacter. Apabila keunggulan bakteri ini dapat dimanfaatkan dengan efisien, maka harapannya dapat digunakan untuk mengurangi penggunaan pupuk N tanpa mengganggu target produksi tinggi. Azotobacter sangat sensitif pada alkalinitas, asiditas (Mishustin & Shilnikova, 1971), dan optimum pada pH 7-8 6

(Sutedjo et al. 1991). Ion Aluminium bersifat toksik untuk Azotobacter. Hal ini merupakan hambatan utama bagi keberadaan Azotobacter yang berasal dari tanah podsolik (Mishustin & Shilnikova, 1971).

Azospirillum juga merupakan rhizobacteria yang mempu memfiksasi N2 dari udara. Sampai saat ini ada tiga spesies Azospirillum yang telah ditemukan mempunyai kemampuan yang sama dalam fiksasi N2 dari udara, yaitu: Azospirillum brasilense, Azospirillum lipoferum, dan Azospirillum amazonese (Rahmawati 2005). Beberapa laporan menyatakan bahwa PGPR yang salah satunya adalah Azospirillum memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan cadangan N untuk tanaman tebu (Urquiaga et al. 1992; Mirza et al. 2001) dan mangrove (Bashan et al. 1998).

Peranan Bakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth Promoting

Rhizobacteria) sebagai Biokontrol

Salah satu peranan bakteri PGPR terhadap peningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman secara tidak langsung adalah sebagai biokontrol terhadap penyakit tanaman. Ji et al. (2005) melaporkan bahwa penggunaan PGPR sebagai biokontrol dapat menekan penyakit bercak daun pada tomat hingga lebih dari 60% pada percobaan di dalam rumah kaca, serta 63,6 – 94,1% pada percobaan di lapang (Guo et al. 2004).

Kloepper dan Schroth (1978) menyatakan bahwa kemampuan PGPR sebagai agen pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraseluler yang bersifat antagonis melawan patogen. Selain itu, bakteri PGPR juga berperan dalam melindungi tanaman dari serangan patogen melalui mekanisme antibiosis, parasitisme, atau melalui peningkatan respon ketahanan tanaman (Whipps 2001). Pseudomonas spp. telah terbukti dapat menstimulir timbulnya ketahanan tanaman terhadap infeksi jamur patogen akar, bakteri dan virus (Wei et al. 1991). Voisard et al. (1989) mendapati bahwa sianida yang dihasilkan P. fluorescens strain CHAO merangsang pembentukan akar rambut pada tumbuhan tembakau dan menekan pertumbuhan Thielaviopsis basicola penyebab penyakit busuk akar yang diduga menjadi penyebab timbulnya ketahanan sistemik (ISR).

Peranan Bakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (Plant Growth Promoting

Rhizobacteria) sebagai Penghasil Hormon Pertumbuhan

Peranan PGPR selain sebagai penyedia hara bagi tanaman dapat juga sebagai penghasil hormon yang dapat memacu pertumbuhan tanaman (Matiru & Dakora 2004). Azotobacter selain dapat mengikat N2 dari udara, juga mampu menghasilkan Asam Indol Asetat (IAA) dalam jumlah yang berbanding lurus dengan kepadatannya (Isminarni et al. 2007). Selain itu, Azotobacter juga dapat menghasilkan sitokinin, giberelin, dan asam absisat (ABA) (Haefele et al. 2008).

Azospirillum dan Pseudomonas juga memiliki kemampuan dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh. Azospirillum dapat menghasilkan IAA yang berguna untuk merangsang pertumbuhan akar, sedangkan Pseudomonas dapat menghasilkan sitokinin untuk pertumbuhan tajuk (Salamone et al. 2001). Wibowo (2007) melaporkan bahwa penggunaan pupuk hayati mampu meningkatkan kandungan hormon IAA sebesar 73-159% pada tanaman caisim, jagung, dan kedelai.

Isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini juga sudah terbukti dapat memproduksi IAA dalam larutan yang mengandung triptofan dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Bacillus subtilis (strain HU48) dapat menghasilkan 67,2 ppm IAA, sedangkan Azospirillum sp. (strain NS01) dapat menghasilkan 7,2 ppm IAA (Ditjen PLA Deptan dan LPPM IPB 2006).

Peranan Auksin, Sitokinin, dan Giberelin dalam Pertumbuhan Tanaman

Auksin disintesis utamanya di meristem apikal tajuk. Pengangkutan auksin di bagian tajuk utamanya secara basipetal, sedangkan di akar secara akropetal. Pengangkutan auksin dari tajuk ke akar berpengaruh terhadap beberapa proses fisiologis, seperti pemanjangan batang, dominansi apikal, penyembuhan luka, penuaan daun (Taiz & Zeiger 2002).

Adapun sitokinin utamanya disintesis di ujung akar dan diangkut ke tajuk. Pengangkutan sitokinin dari akar ke tajuk terjadi melalui xilem bersama-sama dengan air dan mineral yang diserap oleh tanaman. Sitokinin utamanya berperan dalam proses pembelahan sel, namun berperan juga dalam pemecahan dominansi apikal yang menyebabkan inisiasi kuncup lateral (Taiz & Zeiger 2002).

Auksin dan sitokinin di dalam jaringan tumbuhan memiliki sifat yang berlawanan (Bishopp et al. 2011), sehingga perbandingan konsentrasi auksin dan sitokinin di dalam jaringan tumbuhan menentukan arah pertumbuhan tanaman. Perbandingan auksin-sitokinin yang tinggi berpengaruh kepada terjadinya dominansi apikal dan inisiasi akar lateral serta pemanjangan akar (Aloni et al. 2006; Bishopp et al. 2011), sedangkan jika perbandingan auksin-sitokinin rendah akan memacu terjadinya pembentukan cabang lateral (Sato et al. 2009).

Giberelin memiliki peranan dalam proses fisiologis tanaman, salah satunya adalah pembungaan. Peranan tersebut bisa bersifat memacu dan bisa juga menghambat tergantung konsentrasi dan jenis tanaman. Penyemprotan dengan giberelin (GA3) pada konsentrasi 100 µM telah terbukti dapat memacu pembungaan pada tanaman Arabidopsis (Blazquez et al. 1998), apel (Cao et al. 2001), dan cabai (Ouzounidou et al. 2010), namun pada konsentrasi 100 mg/L bersifat menghambat untuk tanaman persik (Li-jun 2008).

Efisiensi Penggunaan Hara

Efisiensi penggunaan hara merupakan konsep yang secara umum mendiskripsikan seberapa baik tanaman menggunakan hara yang ada di dalam tanah untuk menghasilkan produksi (Stewart 2007). Efisiensi penggunaan hara oleh tanaman dapat digambarkan dengan beberapa cara. Lopez dan Lopez (2001) menggunakan beberapa parameter untuk menggambarkan efisiensi penggunaan unsur hara nitrogen, yaitu: Nitrogen use efficiency (NUE) yang merupakan rasio antara produksi dengan N yang diberikan; Nitrogen uptake efficiency (NUpE) yaitu rasio antara serapan N total dengan N yang diberikan; Nitrogen utilization efficiency (NUtE) yang merupakan rasio antara produksi dengan serapan N total; Nitrogen harvest indext (NHI) yang merupakan rasio antara N yang terkandung pada produksi dengan serapan N; Nitrogen physiological efficiency (NPE) yang merupakan rasio antara hasil produksi pada aplikasi Nx dikurangi produksi pada N0 dengan hasil pengurangan antara serapan N pada aplikasi Nx dengan serapan N pada aplikasi N0; Nitrogen Agronomic efficiency (NAE) yang merupakan hasil pengurangan produksi pada aplikasi Nx dengan N0 yang dibagi dengan N yang diaplikasikan pada Nx; Nitrogen apparent recovery fraction (ARF) yang 9

merupakan hasil pengurangan serapan N pada aplikasi Nx dengan serapan N pada aplikasi N0 yang dibagi dengan aplikasi pada Nx.

Mosier et al. (2004) menggunakan 4 indikator agronomi untuk menggambarkan efisiensi penggunaan hara tanaman, yaitu: Partial Factor Productivity (PFP) yang didapatkan dengan cara membagi produksi (kg) dengan jumlah unsur hara yang diberikan (kg); Agronomic Efficiency (AE) yang didapatkan dengan cara membagi peningkatan produksi (kg) dengan jumlah unsur hara yang diberikan (kg); Apparent Recovery Efficiency (ARE) yang didapatkan dengan cara membagi serapan unsur hara (kg) dengan jumlah unsur hara yang diberikan (kg); Physiological Efficiency (PE) yang didapat dengan cara membagi peningkatan produksi (kg) dengan serapan unsur hara tanaman (kg).

11

Dokumen terkait