• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika Kakao

Kakao adalah tanaman yang berasal dari hutan-hutan tropis di Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara. Pengusahaan kakao sebagai makanan dan minuman dilakukan pertama kali oleh penduduk suku Indian Maya dan suku Aztec. Selanjutnya, bangsa Spanyol dan Belanda yang berperan dalam mengenalkan dan menyebarkan tanaman kakao hingga ke Asia termasuk Indonesia (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Sistematika tanaman kakao sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Malvales Suku : Sterculiaceae Marga : Theobroma

Spesies : Theobroma cacao L.

Kakao terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu Criollo, Forastero, dan Trinitario. Criollo dalam tata niaga kakao termasuk kelompok kakao mulia (fine- flavoured), Forastero termasuk kakao lindak (bulk), dan Trinitario merupakan hibrida Criollo dengan Forastero (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Menurut Susanto (1994) Criollo termasuk kakao yang bermutu tinggi dengan ciri-ciri memiliki tunas muda yang umumnya berbulu, kulit buah tipis dan mudah diiris, terdapat 10 alur yang letaknya berselang-seling (lima alur agak dalam dan lima alur dangkal), ujung buah umumnya tumpul dengan sedikit bengkok tanpa bottle neck, tiap buah berisi 30-40 biji yang bentuknya agak bulat hingga bulat dengan endosperm putih, fermentasi cepat, rasa tidak begitu pahit, warna buah muda umumnya merah dan setelah masak menjadi oranye. Namun

tipe Criollo memiliki pertumbuhan tanaman kurang kuat, produksi rendah, masa berbuah lambat, dan agak peka terhadap serangan hama dan penyakit.

Kakao tipe Forastero termasuk kakao bermutu rendah dengan ciri-ciri pertumbuhan tanaman kuat dengan produksi lebih tinggi, masa berbuah lebih awal, relatif tahan terhadap serangan hama penyakit, kulit buah agak keras dengan alur agak dalam, buah ada yang memiliki bottle neck, endosperm warna ungu tua dan berbentuk gepeng, fermentasi lebih lama, rasa biji lebih pahit, dan kulit buah muda berwarna hijau saat masak menjadi kuning (Susanto, 1994).

Tipe Trinitario yang merupakan hasil persilangan Criollo dan Forastero dapat dibedakan menjadi empat golongan yaitu Angoleta, Cundeamor, Amelonado, dan Calabacillo. Angoleta memiliki ciri bentuk luar buah mendekati Criollo, tanpa bottle neck, beralur dalam, dan berbiji bulat dengan endosperm ungu. Cundeamor dengan bentuk buah seperti Angoleta, memiliki bottle neck, alur tidak dalam, biji gepeng dan mutu superior. Amelonado dengan ciri bentuk buah bulat telur, biji gepeng, endosperm warna ungu. Calabacillo dengan bentuk buah pendek dan bulat, alur buah dangkal, biji gepeng, rasa pahit, endosperm ungu (Susanto, 1994).

Tanaman kakao memiliki tinggi mencapai 1.8-3.0 meter pada umur tiga tahun dan mencapai 4.5-7.0 meter pada umur 12 tahun yang bergantung pada intensitas naungan dan faktor-faktor tumbuh yang tersedia. Tanaman kakao bersifat dimorfisme yaitu mempunyai dua bentuk tunas vegetatif. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa tunas ortotrop memiliki arah pertumbuhan ke atas contohnya tunas air, dan tunas plagiotrop yang pertumbuhannya mengarah ke samping contohnya cabang kipas (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Tanaman kakao asal biji setelah mencapai tinggi 0.9-1.5 meter akan berhenti tumbuh dan membentuk jorket (jorquette) yaitu pergantian percabangan dari pola ortotrop ke plagiotrop. Pembentukan jorket akan membentuk 3-6 cabang primer yang membentuk sudut 0-60° dengan arah horisontal (Gambar 1). Kemudian dari cabang primer tersebut tumbuh cabang-cabang lateral sehingga tanaman membentuk tajuk yang rimbun (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

a) b)

Gambar 1. Pembentukan Tunas dan Sudut Cabang Primer Tanaman Kakao. (a) Tunas Ortotrop dan Tunas Plagiotrop pada Tanaman Kakao. (b) Cabang Primer. Cabang primer ditunjukkan oleh huruf ”a” dan jorket ditunjukkan oleh huruf ”j” (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004)

Kakao Indonesia

Indonesia pada tahun 2009 merupakan produsen biji kakao peringkat kedua di dunia setelah Pantai Gading dengan jumlah produksi dan luas areal panen sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1 dan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Produksi dan Luas Areal Panen Biji Kakao di Negara Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia Tahun 2000-2009

Tahun

Pantai Gading Ghana Indonesia

Produksi (ton) Luas Areal Panen (ha) Produksi (ton) Luas Areal Panen (ha) Produksi (ton) Luas Areal Panen (ha) 2000 1 401 101 2 000 000 436 600 1 500 000 421 142 749 917 2001 1 212 428 1 777 550 389 591 1 350 000 428 263 765 405 2002 1 264 708 1 880 000 340 562 1 195 000 571 155 776 901 2003 1 351 546 2 000 000 497 000 1 500 000 572 640 998 910 2004 1 407 213 2 050 000 737 000 2 000 000 641 700 1 114 200 2005 1 360 000 2 193 548 740 000 1 850 000 642 900 1 235 213 2006 1 372 000 2 281 290 734 000 1 835 000 769 386 905 730 2007 1 384 000 2 372 542 615 000 1 450 000 740 006 923 968 2008 1 382 000 2 300 000 729 000 1 822 500 792 761 990 052 2009 1 221 600 2 000 000 662 400 1 656 000 800 000 1 000 000 Sumber: FAO (2011)

Tabel 2. Produktivitas Biji Kakao di Negara Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia Tahun 2000-2009

Tahun Pantai Gading Ghana Indonesia

Produktivitas (kg/ha) 2000 701 291 562 2001 682 289 560 2002 673 285 735 2003 676 331 573 2004 686 369 576 2005 620 400 520 2006 601 400 849 2007 583 424 801 2008 601 400 801 2009 611 400 800 Sumber: FAO (2011)

Sedangkan, sebagai negara pengekspor biji kakao, pada tahun 2008 Indonesia menempati peringkat ketiga setelah Pantai Gading, dan Ghana dengan jumlah dan nilai ekspor sepuluh tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah dan Nilai Ekspor Biji Kakao di Negara Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia Tahun 1999-2008

Tahun

Pantai Gading Ghana Indonesia

Jumlah (ton) Nilai (1000 $) Jumlah (ton) Nilai (1000 $) Jumlah (ton) Nilai (1000 $) 1999 1 113 180 1 284 820 280 914 410 652 333 695 296 484 2000 1 113 480 844 830 360 250 404 200 333 619 233 052 2001 1 025 950 1 006 450 335 500 396 000 302 670 272 368 2002 1 004 280 1 766 580 310 738 480 964 365 650 520 672 2003 947 858 1 733 080 346 890 676 090 265 838 410 278 2004 1 060 640 1 611 310 640 328 850 000 275 485 369 863 2005 990 956 1 477 260 535 298 792 151 367 426 467 827 2006 925 129 1 419 780 589 172 1 060 000 490 778 619 017 2007 803 886 1 436 920 506 358 895 703 379 829 622 600 2008 782 868 1 767 960 474 706 979 098 380 513 854 585 Sumber : FAO (2010)

Perbandingan Indonesia dengan Pantai Gading terutama terletak pada kondisi pertanaman kakao. Pantai Gading melakukan peremajaan yang cukup cepat dan sebagian besar tanaman kakao masih muda (Prawoto, 1993). Sedangkan, mayoritas kakao yang saat ini masih berproduksi di Indonesia ditanam

pada tahun 1980-an dengan demikian sekarang sudah berumur antara 20-30 tahun, sehingga potensi produksi sudah menurun. Indonesia juga masih menghadapi kendala yaitu rendahnya mutu biji kakao karena serangan hama penggerek buah kakao (Wahyudi dan Abdoellah, 2009).

Permasalahan tersebut dapat dihadapi salah satunya dengan mengintensifkan Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas-Pro-Kakao) yang salah satunya meliputi kegiatan pemangkasan (Wahyudi dan Abdoellah, 2009). Pemangkasan yang dilakukan dikenal dengan Sistem Pangkasan Eradikasi (SPE) yang merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan serangan penggerek buah kakao (PBK). Pemangkasan ini dilaksanakan serentak dan tuntas pada musim hujan dan dilakukan dengan cara memotong cabang tersier atau sekunder (Sulistyowati, 2006), diikuti dengan rampasan buah pada akhir panen, yaitu semua sisa buah kakao dipetik dan dimusnahkan (Widodo, 2010). Cara ini dilakukan untuk memutus siklus makanan hama sehingga pemusnahan terjadi secara alami (Prawoto, 1993).

Pemangkasan pada Kakao

Produk primer semua jenis komoditas tanaman adalah asimilat atau hasil fotosintesis yang selanjutnya akan dikonversi menjadi senyawa-senyawa sekunder berupa hasil yang dipanen. Pemangkasan kakao merupakan salah satu upaya agar laju fotosintesis berlangsung optimal, hasil bersih fotosintesis maksimal, dan distribusinya ke organ-organ yang membutuhkan berlangsung lancar. Proses tersebut dan faktor-faktor yang berpengaruh perlu dipahami sebagai dasar dalam melakukan tindakan pemangkasan yang benar.

Agar memperoleh hasil buah yang banyak, tanaman harus mampu menghasilkan asimilat yang banyak pula. Pada kenyataannya, tidak semua daun di tajuk tanaman mampu melakukan fotosintesis secara optimal. Adanya flush juga mempengaruhi kanopi dan praktek pemangkasan (Winarsih dan Zaenudin, 1996). Daun-daun yang ternaungi juga dapat menjadi pemakai (sink) asimilat. Parameter yang erat kaitannya dengan fotosintesis ini adalah indeks luas daun (ILD), yaitu angka yang menunjukkan nisbah antara total luas seluruh daun yang ada di tajuk tanaman dan luas bidang tanah yang dinaungi tajuk tanaman tersebut. Pada

dasarnya, pemangkasan kakao dimaksudkan untuk memperoleh angka ILD optimal agar hasil bersih fotosintesis maksimal. Nilai ILD optimal pada tanaman kakao adalah 3-5 yang setara dengan hasil fotosintesis 3.5 – 5.0 mg bahan kering/dm2/hari atau 12.8 – 18.2 ton/ha/tahun (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Kegiatan pemangkasan tanaman kakao dimaksudkan agar tunas-tunas liar yang tumbuh dihilangkan, sehingga dapat membantu pembentukan buah. Tujuan lain dari pemangkasan adalah membentuk pohon yang sedang berkembang, memudahkan akses saat penyemprotan atau pemanenan, membantu pengontrolan hama dan penyakit, memastikan pohon memberikan hasil tinggi dan optimum (Wood, 1975), membuang bagian-bagian tanaman yang tidak dikehendaki, memacu tanaman membentuk daun baru yang potensial untuk sumber asimilat (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004), serta mengurangi sebagian daun, ranting, dan cabang yang bersifat parasit atau merugikan tanaman (Winarsih dan Zaenudin, 1996).

Pemangkasan Bentuk

Pemangkasan bentuk dilakukan agar tanaman kakao memiliki bentuk/kerangka yang baik agar pertumbuhan seimbang dan terkena sinar matahari secara merata. Waktu pemangkasan adalah saat tanaman kakao muda telah membentuk jorket dan cabang primer (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004) agar tujuan optimal maka pemangkasan dilakukan saat tanaman berumur 8-12 bulan (tanaman muda) dan 18-24 bulan (tanaman remaja) pada tanaman yang sama (Prawoto, 2008).

Objek pemangkasan bentuk untuk tanaman asal semaian atau okulasi dari tunas ortotrop adalah cabang utama (primer). Cabang utama untuk tanaman kakao di Indonesia umumnya dari 4-6 cabang primer hanya disisakan sebanyak tiga cabang. Sedangkan untuk tanaman asal stek atau okulasi dari cabang plagiotrop, pemangkasan bentuk ditujukan untuk mengarahkan cabang kipas agar pertumbuhan cabang mengarah ke atas (Soedarsono, 1996).

Saat ini, pemangkasan bentuk sering dilakukan pada tanaman kakao yang berasal dari bahan tanam plagiotrop. Tanaman kakao asal cabang plagiotrop

cenderung menghasilkan tajuk yang pendek, tanaman cepat berbuah, dan produksinya tinggi. Habitus yang pendek memudahkan dalam pengelolaannya (Prawoto, 2008).

Pemangkasan bentuk dilakukan dengan cara sebagai berikut cabang primer (lazimnya 4-6 cabang) dipotong hingga tersisa hanya tiga cabang yang tumbuh sehat dan arahnya simetris (Gambar 2), cabang-cabang sekunder yang tumbuh terlalu dekat dengan jorket (berjarak 40-60 cm) dibuang, cabang-cabang sekunder berikutnya diatur agar jaraknya tidak terlalu rapat satu sama lain dengan membuang sebagian cabangnya, dan cabang-cabang yang tumbuh meninggi dipotong untuk membatasi tinggi tajuk kakao, sehingga tinggi tanaman kakao hanya 4-5 m (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Gambar 2. Skema Pemangkasan Bentuk. Cabang primer a, b, d disisakan karena pertumbuhannya sehat dan arahnya simetris sedangkan cabang primer c, e, f dipotong (Soedarsono, 1996)

Pemangkasan Pemeliharaan

Pemangkasan ini bertujuan untuk memelihara tanaman kakao sehingga pertumbuhannya tidak terganggu dan terpacu untuk membentuk organ-organ tanaman seperti daun, bunga, dan buah (Prawoto, 2008). Pemangkasan pemeliharaan berlangsung sampai saatnya tanaman kakao menghasilkan. Objek pemangkasan pemeliharaan adalah cabang sekunder (Soedarsono, 1996).

Kegiatan dalam pemangkasan pemeliharaan yang sering dikenal dengan istilah wiwilan, yaitu kegiatan membuang tunas air. Wiwilan bisa dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan (Prawoto, 2008).

Pemangkasan pemeliharaan dilakukan sebagai berikut sebagian daun yang rimbun di tajuk tanaman dikurangi dengan cara memotong ranting-ranting yang

terlindung dan yang menaungi, cabang yang ujungnya masuk ke dalam tajuk tanaman di dekatnya dan diameter kurang dari 2.5 cm sebaiknya dipotong, mengurangi daun yang menggantung dan menghalangi aliran udara di dalam kebun, pemangkasan dilakukan secara ringan di sela-sela pemangkasan produksi dengan frekuensi 2-3 bulan sekali per pohon menurut kegigasan (kecepatan tumbuh) varietas/klon dan jarak tanam (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Setelah pemangkasan, intensitas cahaya yang diterima sebagian besar daun meningkat dari 50 % menjadi 70–80 % dengan cahaya yang mencapai permukaan tanah meningkat dari 0-1 % menjadi 1-3 %. Pemangkasan juga dilakukan untuk mengurangi tinggi tanaman dari 5 m menjadi 3 - 4 m (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004)

Pemangkasan Produksi

Pemangkasan produksi bertujuan untuk mengatur keseimbangan percabangan muda masing-masing cabang primer hingga distribusi daun tetap merata, aerasi baik dan mendapatkan produksi tinggi. Pemangkasan jenis ini diterapkan pada tanaman kakao produktif yang telah mengalami pemangkasan bentuk dan pemangkasan pemeliharaan (Roesmanto, 1991).

Pemangkasan produksi dilakukan secara periodik pada tanaman menghasilkan untuk memacu pertumbuhan bunga dan buah yang tumbuh sekitar enam bulan setelah pemotongan cabang yang tumbuh meninggi (lebih dari 3-4 m), serta ranting dan daun dipangkas hingga 25 – 50 %. Pemangkasan produksi dilakukan dua kali setahun, yaitu pada akhir musim kemarau-awal musim hujan serta pada akhir musim hujan (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Selain itu, untuk mengurangi bagian tanaman yang rimbun, cabang yang sakit, overlapping, dan menggantung untuk mencapai efisiensi pemanfaatan sinar matahari sebanyak-banyaknya pada pertanaman agar indeks luas daun (ILD) optimum dan produktivitas tinggi (Winarsih dan Zaenudin, 1996) karena tidak semua daun yang tumbuh produktif (Abdoellah dan Soedarsono, 1996).

Alat Pangkas

Penggunaan alat pangkas yang tepat berpengaruh terhadap kondisi tanaman setelah pemangkasan dan keberhasilan pemangkasan. Alat pangkas harus dalam keadaan tajam agar luka merata dan teratur serta tidak merusak kulit cabang atau ranting. Alat pangkas yang digunakan berbeda sesuai dengan besar kecilnya cabang seperti pada cabang yang berukuran kecil (ranting) pemotongan menggunakan gunting pangkas atau pisau pangkas. Cabang lebih besar dapat dipotong dengan gergaji pangkas dan ranting yang tinggi letaknya dapat dipotong dengan sabit bergalah (Soedarsono, 1996).

Penggunaan alat pangkas bergantung pada jenis pemangkasan yang akan dilakukan. Pemangkasan pemeliharaan menggunakan galah pangkas, gunting pangkas bergalah, dan golok sedangkan untuk pemangkasan produksi menggunakan galah pangkas, gergaji pangkas, gunting pangkas, gunting pangkas bergalah dan golok (Arifin, 2007). Berdasarkan hasil pengamatan Ermayasari pada tahun 2010, pemangkasan dengan menggunakan gergaji pangkas dan golok memiliki keberhasilan pemangkasan lebih besar 8.13 % dibandingkan menggunakan cungkring dan golok.

Prinsip Pemangkasan

Prinsip dasar pemangkasan kakao adalah memangkas secara ringan tetapi sering. Selain itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemangkasan antara lain: 1) menghindari pemotongan cabang yang terlalu besar (diameter lebih dari 2.5 cm) karena berisiko cabang menjadi mati, lapuk, dan menjalar ke arah pangkal tanaman (Prawoto, 2008). Jika terpaksa, luka bekas potongan harus ditutup dengan obat penutup luka, 2) pemotongan ranting dan cabang kecil yang letaknya rapat (kira-kira 0.5 cm) dengan cabang induknya, pemotongan cabang besar meninggalkan sisa sekitar 5 cm, 3) menghindari tajuk kakao yang terlalu terbuka, 4) tidak melakukan pemangkasan saat tanaman sedang berbunga banyak atau sebagian besar ukuran buah masih kecil, 5) jangan memotong cabang atau ranting tanpa mempertimbangkannya secara bijaksana (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004).

Kerusakan dan Keberhasilan Pemangkasan

Pemangkasan pada kakao bertujuan untuk membuang bagian tanaman yang tidak dikehendaki, antara lain tunas air, cabang sakit atau patah, dan cabang atau ranting yang kurang kuat pertumbuhannya (cabang cacing). Tunas air sangat banyak menyerap makanan (asimilat), sehingga merupakan parasit bagi tanaman kakao. Cabang sakit juga harus dibuang dengan pemangkasan sanitasi yang teratur dan konsekuen sehingga tidak menjadi sumber penularan ke bagian tanaman yang masih sehat (Soedarsono, 1996).

Pemangkasan yang salah atau penggunaan alat pangkas yang tidak tepat dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman kakao. Kerusakan yang terjadi salah satunya adalah banyaknya cabang-cabang besar (diameter lebih dari 2.5 cm) yang terpotong. Cabang besar yang terpotong mengakibatkan rusaknya kerangka tanaman, dan memerlukan waktu lama serta energi yang banyak untuk pembentukannya kembali. Selain itu, pemotongan cabang besar juga mendorong pertumbuhan tunas air lebih banyak (Soedarsono, 1996).

Oleh karena itu, kriteria keberhasilan pemangkasan dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain, pada siang hari di lantai kebun terdapat bercak- bercak cahaya matahari, tetapi gulma tidak tumbuh lebat. Proporsi cahaya langsung maksimum yang sampai pada lantai kebun 25 % dari luas areal sehingga suasana dalam kebun tidak terlalu gelap dan tidak terlalu terang. Pertumbuhan diameter batang kakao sama antara yang di tengah dan di pinggir kebun. Bunga dan buah merata di batang pokok dan cabang-cabangnya, serta merata di semua penjuru kebun (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, 2004).

Hubungan Pemangkasan dengan Iklim Mikro dan Kesuburan Tanah

Pemangkasan yang optimum dapat dilakukan dengan pendekatan aspek iklim mikro dan kesuburan tanah, karena dua aspek tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Peran yang diharapkan dari pemangkasan terhadap iklim mikro adalah fungsinya untuk mengatur intensitas dan lama penyinaran matahari, suhu, kelembaban udara, dan gerakan udara di sekitar pohon kakao.

Pengaruh pemangkasan terhadap intensitas dan lama penyinaran matahari adalah agar sebagian besar daun menerima sinar matahari sampai titik jenuhnya dan dalam waktu yang sama sehingga produksi asimilat oleh setiap daun mencapai maksimum. Hubungan dengan suhu udara, pemangkasan dapat mengurangi perbedaan suhu udara di dalam dan di luar tajuk pohon kakao. Pemangkasan juga dapat mengurangi kelembaban udara di dalam tajuk tanaman karena kelembaban yang tinggi dapat memacu perkembangan jamur-jamur parasit. Selain itu, gerakan udara di dalam tajuk juga menjadi lebih leluasa akibat pemangkasan.

Pemangkasan juga berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Brangkasan hasil pemangkasan dapat berguna sebagai mulsa atau cadangan hara bagi tanaman. Adanya mulsa melindungi permukaan tanah, menjadikan struktur tanah dan konsistensi tanah menjadi lebih baik, menekan erosi, meningkatkan kemampuan tanah mengikat air, serta menjaga agar perbedaan suhu tanah tidak terlalu besar. Serasah hasil pemangkasan juga merupakan tempat yang disukai serangga penyerbuk bunga kakao Forcipomyia sp. untuk bersarang dan berbiak (Abdoellah dan Soedarsono, 1996).

Iklim Mikro dan Kesuburan Tanah yang Ideal bagi Tanaman Kakao

Menurut Abdoellah dan Soedarsono (1996), iklim mikro dan kesuburan tanah yang ideal untuk pertumbuhan dan produksi tanaman kakao adalah pada intensitas sinar matahari sebesar 30 sampai 60 % sinar matahari penuh. Selain itu, curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dengan jumlah bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm/tahun tidak lebih dari tiga bulan. Suhu maksimum 30-32°C dan suhu minimum 18-21°C. Kecepatan angin kurang dari 4 m/detik dan tidak berlangsung terus menerus.

Sedangkan kondisi tanah yang baik adalah dengan kedalaman solum lebih dari 1.5 m agar tidak menghambat pertumbuhan akar, mengandung pasir 50 %, debu 10 – 20 %, lempung 30 – 40 %, dan bahan organik 3.5 %, pH netral, nisbah C/N > 9, kapasitas tukar kation >12 me/100 g, kejenuhan basa > 35 %, kejenuhan Al kurang dari 30 %, dan tidak mengandung unsur racun.

METODE MAGANG

Tempat dan Waktu

Kegiatan magang dilaksanakan di Kebun Rumpun Sari Antan I, PT Sumber Abadi Tirtasantosa, Cilacap, Jawa Tengah mulai 14 Februari sampai 14 Juni 2011.

Metode Pelaksanaan

Kegiatan magang yang dilakukan penulis meliputi aspek teknis budidaya dan aspek manajerial kebun. Metode magang yang dilaksanakan adalah dengan memposisikan penulis sebagai Karyawan Harian Lepas (KHL) selama satu bulan, pendamping mandor selama satu bulan, dan pendamping asisten afdeling selama dua bulan.

Kegiatan selama menjadi KHL adalah meliputi berbagai kegiatan teknis budidaya tanaman kakao di lapangan yang sudah ditetapkan oleh kebun seperti pengendalian gulma, pemangkasan, pengendalian hama dan penyakit, pemanenan, dan pengolahan hasil. Selama menjadi KHL, pengamatan spesifik dilakukan penulis untuk pengambilan data primer tentang aspek pemangkasan tanaman kakao.

Sebagai pendamping mandor, penulis bertugas merencanakan, mengorganisir, mengendalikan, dan mengawasi kegiatan di lapangan. Kegiatan selama menjadi pendamping asisten afdeling adalah membantu menyusun rencana kerja dan anggaran bulanan, mengelola dan mengawasi tenaga kerja serta mempelajari kegiatan manajerial di tingkat afdeling. Membuat jurnal kegiatan dilakukan penulis selama kegiatan magang.

Pengamatan dan Pengumpulan Data

Data primer yang berkaitan dengan kegiatan pemangkasan selama magang antara lain:

1. Jenis pemangkasan, mengamati jenis pemangkasan yang dilakukan di Kebun Rumpun Sari Antan I selama bulan Februari hingga Juni 2011.

2. Alat pangkas, mengamati alat pangkas yang digunakan oleh pemangkas dan yang paling efisien untuk pemangkasan. Pengambilan sampel 7 orang pemangkas yang menggunakan cungkring dan golok, serta 3 orang pemangkas yang menggunakan gergaji pangkas dan golok.

3. Waktu pemangkasan, berkaitan dengan rotasi pemangkasan dan kesesuaian waktu pemangkasan dengan perencanaan kegiatan.

4. Luas areal pemangkasan, menghitung luas areal pemangkasan yang dikerjakan oleh satu orang pemangkas dalam satu hari.

5. Prestasi kerja pemangkasan dengan menghitung jumlah tanaman yang dapat dipangkas oleh satu orang pemangkas dalam sehari.

6. Keberhasilan pemangkasan dengan mengambil sampel 10 orang pemangkas dengan pengelompokkan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Jumlah pohon sebagai ulangan untuk keberhasilan pemangkasan.

 Berdasarkan usia yaitu 4 orang pemangkas berusia 16-35 tahun dan 6 orang pemangkas berusia > 36 tahun.

 Berdasarkan jenis kelamin yaitu 5 orang pemangkas laki-laki dan 5 orang pemangkas perempuan.

Pembagian kriteria untuk alat pangkas, usia, dan jenis kelamin pemangkas mengikuti kriteria pengamatan Arifin (2007) dan Ermayasari (2010) sehingga dapat diperbandingkan. Pengambilan sampel jumlah orang yang berbeda berdasarkan jumlah tenaga kerja yang sesuai dengan kriteria yang terdapat di lapang.

Pemangkasan pada kakao berkaitan erat dengan produksi yang dihasilkan, maka dilakukan pengambilan data dari perusahaan mengenai rotasi pemangkasan yang dilakukan dan produksi yang dihasilkan pada Blok A6 dan A8 dari tahun 2007 hingga 2010. Selain itu, dilakukan pula pengamatan antara tanaman yang dipangkas dan tanaman yang tidak dipangkas masing-masing sebanyak 15 tanaman untuk diamati jumlah tunas air, bantalan yang berbunga, pentil buah (cherelle), dan perkembangan buah dari ukuran 1 sampai ukuran 4 yang dihasilkan setelah dilakukan pemangkasan. Pengamatan dilakukan satu minggu sekali selama 6 minggu.

Data sekunder lainnya adalah peta lokasi, data curah hujan dan kondisi umum perusahaan, struktur organisasi perusahaan, keadaan tanaman, data produksi serta data lain yang menunjang.

Analisis Data dan Informasi

Analisis data untuk aspek pemangkasan dapat dilihat dari keberhasilan pemangkasan yang meliputi pengamatan jumlah cabang yang dipangkas dan jumlah cabang yang kulitnya rusak karena pemangkasan. Perhitungan keberhasilan pemangkasan menggunakan rumus berikut.

Keberhasilan pemangkasan (%) = 100% d c b a e - d) c b a (       

   

    

Keterangan :

Σa : jumlah cabang berdiameter kurang dari 2.5 cm yang dipangkas Σb : jumlah cabang sakit yang dipangkas

Σc : jumlah cabang kering yang dipangkas

Σd : jumlah cabang berdiameter lebih dari 2.5 cm yang dipangkas

Σe : jumlah cabang yang kulitnya rusak akibat pemangkasan (Arifin, 2007). Selanjutnya data dihitung dengan menggunakan analisis stastistik sederhana yaitu rata-rata dari keberhasilan pemangkasan berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin pemangkas, serta alat pangkas yang digunakan. Kemudian dibandingkan dengan nilai keberhasilan pemangkasan beberapa tahun sebelumnya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya peningkatan atau penurunan dengan menggunakan software statistik SAS untuk uji t-student.

Kemudian dari data rotasi pemangkasan dan curah hujan serta produksi antara tanaman yang dipangkas dan tidak dipangkas akan dianalisis secara deskriptif pengaruh dilakukannya pemangkasan terhadap produksi kakao di Kebun Rumpun Sari Antan I, Cilacap, Jawa Tengah.

Dokumen terkait