• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAH PERANAKAN ETAWAH DAN SAANEN DI PETERNAKAN BANGUN KARSO FARM

TINJAUAN PUSTAKA

Indigofera sp.

Indigofera sp. merupakan tanaman dari kelompok kacang-kacangan (family Fabaceae) dengan genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar di Benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara, sekitar tahun 1900 Indigofera sp. dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa, serta terus berkembang secara luas (Tjelele, 2006). Berdasarkan penelitian Hassen et al. (2006) menggunakan beberapa spesies Indigofera sp antara lain I. amorphoides, I. arrecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I. spicata, I. trita, I. vicioides diketahui bahwa tanaman ini berpotensi digunakan sebagai tanaman pakan sekaligus sebagai tanaman pelindung karena mampu memperbaiki kondisi tanah penggembalaan yang mengalami over grazing dan erosi. Beberapa spesies seperti I. arrecata Hochst. Ex A. Rich., I. suffruticosa Mill. dan I. tinctoria L., dimanfaatkan sebagai pewarna, pakan ternak, pelindung tanaman pangan, pelindung tanah dari erosi dan sebagai tanaman hias (Schrire, 2005).

Gambar 1. Legum Indigofera sp.

Produktivitas Indigofera sp. mencapai 2,6 ton bahan kering/ha/panen (Hassen et al., 2008). Hal yang mempengaruhi produktivitas Indigofera sp. antara lain waktu pemanenan dan pemupukan. Produksi Indigofera sp. mencapai 4.096 kg bahan kering/ha saat dipanen pada hari ke-88 (Abdullah dan Suharlina, 2010). Abdullah (2010) menyatakan produksi bahan kering Indigofera sp. dapat mencapai 6,8 ton/ha dengan perlakuan pupuk daun dosis 30 g/10 liter. Hasil penelitian Budhie (2010) menunjukkan bahwa aplikasi pupuk organik cair baik dari sumber urin kambing PE

5 maupun pupuk komersial dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi Indigofera sp.

Tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang kaya akan nitrogen, fosfor dan kalsium. Indigofera sp. sangat baik dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak dan mengandung protein kasar 27,9%, serat kasar 15,25%, kalsium 0,22% dan fosfor 0,18%. Legum Indigofera sp. memiliki kandungan protein yang tinggi, toleran terhadap musim kering, genangan air dan tahan terhadap salinitas (Hassen et al., 2007). Tarigan (2009) menyebutkan bahwa kandungan protein kasar, kalsium, dan fosfor semakin menurun seiring dengan meningkatnya interval pemotongan, sedangkan kandungan bahan organik, NDF, ADF semakin tinggi dengan meningkatnya interval pemotongan.

Kualitas biologi hijauan dapat dilihat dari koefisien cerna bahan kering (KCBK), bahan organik (KCBO), dan protein kasar (KCPK) yang diukur secara in vitro. Koefisien cerna in vitro bahan kering Indigofera sp. berkisar antara 68,21- 73,15%, koefisien cerna bahan organik berkisar antara 65,33-70,64%, sedangkan koefisien cerna protein kasar mencapai 90,64% (Suharlina, 2010). Pemanfaatan serat kasar sebagai sumber energi bagi ruminan dapat dilihat dari kandungan VFA total Indigofera sp. berkisar 135,54-157,06 mM (Jovintry, 2011). Peningkatan konsentrasi VFA mencerminkan tingginya kualitas hijauan Indigofera sp.

Potensi daun Indigofera sp. sebagai pakan kambing telah diteliti oleh Tarigan (2009). Pemberian Indigofera sp. sebanyak 45% dari total ransum kambing Boerka memperlihatkan nilai KCBK sebesar 60,07%, KCBO 62,53%, dan KCPK 69,80% (Tarigan, 2009). Indigofera sp. adalah hijauan dengan kandungan serat kasar rendah dengan nilai kecernaan NDF sebesar 52,13% dan nilai kecernaan ADF sebesar 55,26% (Tarigan, 2009).

Pellet Indigofera sp.

Ransum bentuk pellet merupakan ransum yang terdiri dari bahan-bahan baku yang diolah melalui proses mekanik, yaitu dipadatkan dan ditekan oleh roller dan die, sehingga membentuk silinder atau batangan kecil. Dozier (2001) menyatakan bahwa ransum dalam bentuk pellet dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi dalam pakan, mempermudah penanganan sehingga menurunkan biaya produksi dan

6 mengurangi penyusutan. Pengolahan hijauan menjadi pellet dapat meningkatkan konsumsi pakan karena pellet merupakan pakan yang telah mengalami proses pemotongan dan penggilingan sehingga ukuran partikel berkurang. Semakin panjang ukuran pakan maka waktu retensi pakan dalam rumen akan meningkat sehingga ternak cenderung akan mengurangi konsumsi pakan. Pakan berbentuk pellet mengalami proses pemotongan, penggilingan, dan pemadatan. Hijauan yang digiling akan meningkatkan luas permukaan pakan sehingga menyediakan media bagi mikroba rumen lebih banyak dan degradasi pakan akan meningkat (Rappeti dan Bava, 2008). Pakan dalam bentuk pellet menyediakan komposisi nutrien yang lebih lengkap bagi ternak karena diformulasi dari campuran beberapa bahan pakan. Proses pemanasan memicu timbulnya gelatinisasi pati yang membantu pengikatan partikel dalam pembentukan pellet, hal ini dapat meningkatkan kecernaan pati (Cheeke, 2005).

Berbagai bahan pakan ternak baik biji-bijian maupun hijauan dapat dibentuk menjadi pellet sehingga memiliki komposisi bahan yang lebih padat dan tidak mengubah kandungan bahannya. Salah satu hijauan yang berpotensi diproses menjadi pellet adalah Indigofera sp. yang akan digunakan sebagai pakan sumber protein karena memiliki kandungan protein kasar sebanyak 25,66% (Abdullah, 2010). Pellet dibuat dari daun Indigofera sp. yang dikeringkan setelah panen di bawah sinar matahari hingga kadar air mencapai 14%. Selanjutnya dilakukan penggilingan sampai daun menjadi tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan pellet. Pellet Indigofera sp. memerlukan ruang setengah kali lebih kecil per satuan berat tertentu sehingga lebih efisien dalam hal pengangkutan dan penyimpanan. Nilai rataan Pellet Durability Index sebesar 94,95% menunjukkan bahwa pellet daun Indigofera sp. memiliki kualitas baik sehingga tidak mudah hancur. Pellet Indigofera sp. yang disimpan hingga 60 hari menunjukkan kualitas fisik yang relatif konstan atau tidak berubah sehingga pellet Indigofera sp. dapat disimpan dalam waktu dua bulan (Sholihah, 2011).

7 Gambar 2. Pellet Indigofera sp. Diameter 5 mm

Pembuatan pellet Indigofera sp. juga dapat dicampur dengan bahan pakan lain seperti jerami jagung dan jagung giling. Hasil penelitian Handayany (2010) menunjukkan bahwa pellet campuran 75% jerami jagung + 20% legum Indigofera sp. + 5% jagung giling dengan ukuran die 8 mm memiliki kualitas fisik dan komposisi kimia paling baik. Komposisi nutrien daun Indigofera sp. setelah mengalami proses pelleting tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Asam Amino Pellet Indigofera sp. Ukuran 5 mm

Nutrien Komposisi (% BK) Bahan kering 88,11 Abu 6,41 Protein kasar 25,66 Serat kasar 14 Lemak kasar 2,9 Beta-N 39,14 Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tyrosin Valin Metionin Iso-leusin Leusin 0,150 0,300 0,150 0,055 0,030 0,100 0,045 0,065 0,055 0,080 0,070 0,040 0,065 0,130

8

Lysin 0,035

Sumber: Abdullah, 2010

Kambing Perah di Indonesia

Kambing termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, subfamili Caprinae, genus Capra, dan spesies Carpa hicrus (Ensminger, 2002). Populasi kambing di Indonesia sebanyak 16.821.000 ekor (BPS, 2010). Populasi kambing perah di Indonesia dari tahun 2005 sampai 2007 meningkat sebanyak 3.375.000 ekor dan akan terus meningkat karena kambing perah kini dikembangkan menjadi sektor usaha dwiguna yaitu penghasil daging dan susu. Faktor utama yang menentukan produksi susu kambing adalah pakan, oleh karena itu peternak sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan pakan untuk menunjang kebutuhan nutrien kambing perah yang berbeda pada setiap fase produksi seperti yang ditunjukkan Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Nutrien Kambing Perah Dewasa pada Berbagai Fase Produksi

Fase Produksi Konsumsi bahan kering (% bobot badan)

Kebutuhan nutrien harian Protein kasar (% BK) (% BK) TDN Hidup pokok 1,8 – 2,4 7 53 Awal kebuntingan 2,4 – 3,0 9 – 10 53 Akhir kebuntingan 2,4 – 3,0 13 – 14 53 Laktasi 2,8 – 4,6 12 – 17 53 – 66 Sumber: Rashid, 2008

Bagian tubuh yang membedakan antara kambing perah dan jenis kambing lain adalah ambingnya. Ambing kambing perah memiliki ukuran yang lebih besar untuk menunjang produksi susu. Pertumbuhan ukuran ambing dimulai pada masa pubertas karena pertumbuhan sistem ductus akibat pengaruh hormonal. Ambing akan semakin membesar seiring dengan pertambahan umur kebuntingan akibat pertumbuhan alveolus yang sangat pesat. Jaringan lemak digantikan oleh sel sekresi yang akan memproduksi susu. Pada masa laktasi ukuran ambing sudah tidak mengalami pertambahan tetapi sudah dapat menghasilkan susu.

Kambing perah di dunia dikelompokkan berdasarkan daerah asalnya, sifat- sifat produksinya, dan karakteristiknya sebagai penghasil susu. Beberapa jenis

9 kambing perah yang banyak dikembangkan di dunia antara lain kambing jamnapari dari India, kambing alpin, toggenburg, dan saanen dari Swiss, kambing anglo Nubian dari Afrika. Jenis kambing perah yang telah dibudidayakan di Indonesia adalah kambing saanen dan kambing peranakan etawah (Sarwono, 2008).

Kambing Peranakan Etawah (PE)

Bangsa kambing peranakan etawah merupakan hasil persilangan dari kambing kacang (tipe pedaging) dengan kambing etawah. Kambing peranakan etawah (PE) memiliki bentuk fisik mirip kambing etawah, jika bentuk fisiknya lebih mirip kambing kacang dan ukuran badannya lebih kecil dari kambing PE, maka disebut kambing bligon, gumbolo, atau jawa randu (Sarwono, 2002). Karakteristiknya yaitu telinga panjang menggantung dengan warna bulu hitam atau merah dengan putih. Bobot badan jantan sekitar 40-45 kg sedangkan bobot badan betina sekitar 32 kg (Susilorini et al., 2009). Kambing PE mampu beranak 3 kali per dua tahun. Anaknya bervariasi antara 1-4 ekor per kelahiran atau rata-rata 2 ekor per kelahiran.

Produksi susu kambing PE berkisar antara 0,5-2,5 liter/hari/ekor dengan masa laktasi 7-10 bulan (Sarwono, 2002). Penelitian Asminaya (2007) menunjukkan konsumsi bahan kering dan produksi susu kambing PE laktasi ke-2 adalah 1346 g/ekor/hari dan 1,2 liter/ekor/hari secara berturut-turut, sedangkan komposisi susu kambing PE yaitu : berat jenis 1,0276 kg/m3; protein 3,43%; laktosa 6,42%; lemak 5,56%. Penelitian Astuti et al. (2003) menunjukkan bahwa produksi susu kambing PE yang diberi limbah tempe terfermentasi mencapai 1.544 g/ekor/hari dengan kandungan protein 67,51 g/hari, laktosa 57,76 g/hari, dan lemak 58,50 g/hari.

Kambing Saanen

Kambing saanen berasal dari dataran Eropa, yaitu lembah Saanen, Switzerland. Kambing ini termasuk tipe perah dengan ciri-ciri: warna bulu putih atau krem pucat/muda; pada umumnya warna di daerah hidung, telinga, dan ambing belang (hitam/krem-putih); telinga relatif tegak sehingga dahi terlihat lebar (Mulyono, 2005). Kambing saanen jantan dapat mempunyai berat rata-rata 90 kg dan tinggi 90 cm, sedangkan betina mempunyai berat rata-rata 60 kg dan tinggi 80 cm. Produksi susu kambing saanen betina mencapai 3,8 liter/hari/ekor (Erlangga, 2011).

10 Susu kambing saanen memiliki kandungan protein 3,35%, lemak 3,69%, dan laktosa 3,13% (Ruhimat, 2003).

Susu Kambing

Kambing perah dapat memproduksi susu sebanyak 3000-4500 lb atau 347- 521 galon tiap laktasi. Kambing PE dapat menghasilkan susu 0,8-2,5 liter per hari. (Kusuma dan Irmansah, 2009). Panjang masa laktasi PE rata-rata 156 hari selama setahun (Sodiq dan Abidin, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas susu kambing antara lain: 1) bobot badan induk; 2) umur induk; 3) ukuran ambing; 4) jumlah anak; 5) nutrisi pakan; 6) suhu lingkungan; dan 4) penyakit (Ensminger, 2002). Produksi susu kambing masih dapat ditingkatkan dengan manajemen yang baik, seperti pemberian pakan tambahan dan bibit yang berkualitas (Atabany, 2002). Produksi susu kambing akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya periode laktasi, mulai dari laktasi ke-1 sampai ke-4. Puncak produksi susu terjadi antara minggu ke-2 sampai minggu ke-4 pada setiap periode laktasi (Macciota et al., 2008).

Gambar 3. Model Estimasi Kurva Laktasi Kambing Saanen tanpa Dikawinkan Sumber: Takma et al., 2009

P ro duks i sus u (kg )

Periode laktasi (bulan)

──── WD

- - - CL

11 Susu kambing lebih berwarna putih dibanding susu sapi karena tidak mengandung karoten. Perbedaan utama antara susu sapi dan susu kambing adalah kandungan butiran lemak (fat globule) susu kambing yang lebih kecil dibandingkan dengan susu sapi (Ensminger, 2002). Kandungan lemak susu sangat sensitif terhadap perubahan asupan nutrisi. Kandungan protein susu hanya dapat sedikit dimodifikasi

karena sangat dipengaruhi oleh polimorfisme lokus αS1-casein, sedangkan konsentrasi laktosa, mineral, dan komponen solid lainnya dalam susu dipengaruhi langsung oleh zat makanan yang dikonsumsi ternak (Pulina et al., 2008). Komposisi susu kambing terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Susu Kambing

Komposisi Jumlah Sumber

Bahan kering (%) 15,56-17,76 Hertaviani (2009)

Lemak (%) 5.97-7,12 Hertaviani (2009)

Protein (%) 4,15-5,0 Hertaviani (2009)

BKTL (%) 9,62-10,01 Hertaviani (2009)

Berat jenis (kg/m3) 1.030-1,035 Hertaviani (2009) Laktoferin (mg/l) 42,62-46,10 Hertaviani (2009)

pH 6,64-6,69 Hertaviani (2009)

Laktosa (%) 4,8 Pulina dan Nudda (2004)

Energi (kkal/l) 650 Pulina dan Nudda (2004)

Kalsium (mg/l) 134 Pulina dan Nudda (2004)

Fe(%) 0,07 American Dairy Goat

Association (2002)

Fosfor (%) 0,27 American Dairy Goat

Association (2002)

Vitamin A (iu/gram) 39 American Dairy Goat

Association (2002) Vitamin B (μg/100mg) 68 American Dairy Goat

Association (2002) Riboflavin (μg/100mg) 210 American Dairy Goat

Association (2002) Vitamin C (mg asam askorbat/100ml) 2 American Dairy Goat

Association (2002)

Vitamin D(iu/gram) 0,7 American Dairy Goat

Association (2002) Kolesterol (mg/100ml) 12 American Dairy Goat

12

Kecernaan Nutrien

McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa zat makanan yang tercerna dapat dihitung dengan mengukur selisih zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan zat makanan yang tersisa dalam feses. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan secara langsung pada ternak (in vivo) maupun tidak langsung di laboratorium (in vitro) dan melalui metode kantong nilon (in sacco). Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kecernaan antara lain komposisi pakan, formulasi ransum, teknik pengolahan pakan, suplementasi enzim, jenis ternak, dan tingkat konsumsi ternak.

Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo) dilakukan melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan karena saluran ekskresi feses (rektum) berjauhan dari saluran uretra. Ternak ditempatkan dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang diekskresikan. Tingkat kecernaan pakan dapat dihitung dengan rumus berikut (Cheeke, 2005):

% Kecernaan = Pakan yang dikonsumsi – Jumlah feses x 100% Pakan yang dikonsumsi

Sebelum melakukan koleksi feses, ternak harus beradaptasi terhadap pakan yang diberikan untuk memastikan kestabilan mikroflora dalam saluran pencernaan terhadap perlakuan pakan dan menghilangkan residu pakan yang diberikan sebelumnya. Adaptasi selama 10-14 hari dilakukan untuk memaksimalkan tingkat konsumsi pakan. Metode koleksi feses dibagi menjadi dua yaitu koleksi total feses dan koleksi sampel feses. Koleksi total dilakukan dengan mengumpulkan seluruh feses yang dikeluarkan ternak pada waktu yang sama setiap harinya. Astuti et al. (2000) menyatakan kecernaan bahan kering ransum yang terdiri dari hijauan (Penisetum purpureum) dan konsentrat dengan metode koleksi total pada kambing PE laktasi berkisar antara 65-70%, sedangkan kecernaan protein sebesar 52-56% dan kecernaan energi berkisar antara 57-68%.

Pengukuran kecernaan di tingkat lapang dapat dilakukan dengan metoda Acid Insoluble Ash (AIA). Koleksi sampel feses dilakukan dengan mengambil feses langsung dari rektum untuk menjaga sampel dari kontaminasi. Panjang waktu koleksi feses adalah 4-12 hari (Rymer, 2000). Hasil koleksi sampel feses kemudian dianalisis

13 dengan metode Acid Insoluble Ash (AIA) secara kualitatif untuk menghitung kecernaan bahan kering ransum (Van Keulen dan Young, 1977). Kadar abu sampel feses dan pakan dianalisis dengan tanur (suhu 600oC) yang dilanjutkan dengan perendaman pada asam kuat atau basa kuat dan kemudian diabukan kembali. Selisih kadar abu sebelum dan sesudah pencucian adalah indikator abu yang tak terlarut dalam asam, yang dapat digunakan sebagai bagian yang tak tercerna.

Hasil analisis metode AIA sama dengan pengukuran kecernaan nutrien menggunakan metode koleksi total, akan tetapi metode ini lebih praktis diterapkan. Beberapa keunggulan lain dari metode AIA yaitu lebih nyaman dan murah untuk diaplikasikan dibandingkan dengan metode total koleksi feses pada ternak yang digembalakan (Faichney, 1975; Fahey dan Jung, 1983; Merchen, 1993). Thonney et al. (1985) melaporkan bahwa hasil perhitungan kecernaan bahan kering pakan silase menggunakan metode AIA mirip dengan hasil estimasi kecernaan menggunakan metode total koleksi.

Metabolisme Nutrien

Tyler dan Ensminger (2006) menyatakan bahwa hal utama yang menjadi ciri khas sistem pencernaan ruminansia adalah perutnya. Ruminansia memiliki 4 bagian perut yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Rumen merupakan lambung dengan ukuran terbesar, semakin dewasa seekor ternak maka ukuran rumen akan meningkat dan papillae rumen yang berfungsi untuk membantu penyerapan nutrien yang telah difermentasi oleh mikroba juga bertambah. Omasum memiliki jaringan untuk membantu pencernaan, sedangkan abomasum juga membantu pencernaan yang bekerja hampir mirip dengan kinerja lambung pada hewan monogastrik.

Mikroba rumen akan mencerna karbohidrat menjadi karbondioksida dan Volatile Fatty Acid (VFA) yang produk akhirnya terdiri dari propionat, asetat, dan butirat. VFA tersebut akan diserap di dinding rumen untuk menyuplai kebutuhan energi bagi ruminansia. Lemak akan dicerna oleh mikroba rumen serta di usus menjadi asam lemak dan gliserol. Gliserol akan diubah menjadi propionat, sedangkan asam lemak rantai panjang akan menuju usus halus untuk diserap (Tyler dan Ensminger, 2006).

Sebagian besar protein pakan dimetabolisme oleh mikroba dan menyatu menjadi protein mikroba. Proses degradasi protein menghasilkan ammonia yang

14 akan diserap melalui dinding rumen sebagai prekursor nitrogen untuk sintesis protein mikroba (Tyler dan Ensminger, 2006). Amonia yang dihasilkan dalam rumen akan diserap melalui dinding rumen dan bersama asam amino yang diserap dari usus halus akan memasuki aliran darah untuk selanjutnya dibawa ke hati, ginjal, otot dan kelenjar susu. Ketersediaan karbohidrat dibutuhkan sebagai sumber energi untuk perombakan protein. Karbohidrat yang seimbang di rumen mendorong pembentukan propionat sehingga mengurangi kebutuhan asam amino untuk glukoneogenesis dan meningkatkan ketersediaan asam amino untuk diserap dalam usus yang akan digunakan dalam sinesis susu. Pulina et al. (2008) menyatakan bahwa suplementasi karbohidrat dalam pakan sebagai sumber energi dapat meningkatkan penggunaan nitrogen dan membantu sintesis protein mikroba. Selain itu, konsentrasi anti nutrisi seperti tannin terkondensasi dalam pakan dapat mengurangi aktivitas mikroba rumen dan kecernaan asam amino di usus.

Senyawa yang telah diserap akan diedarkan oleh darah ke organ target yaitu hati, otot, jaringan adipose, dan kelenjar susu. Asam propionat diubah menjadi glukosa untuk cadangan glukosa hati dan untuk keperluan pembentukan glikogen otot, lemak jaringan adiposa serta lemak dan laktosa susu. Asam butirat sebagian kecil akan dimetabolis menjadi keton untuk keperluan otot, jaringan adipose dan kelenjar susu, sedangkan asetat dibutuhkan untuk pembentukan lemak otot, jaringan adipose dan lemak susu. Asam lemak yang telah diserap melalui sel mukosa usus halus akan diubah menjadi trigliserida kemudian dilepas ke sistem portal untuk ditranspor ke seluruh jaringan yang membutuhkan (Drackley, 1999).

Sintesis Susu

Substrat utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa, asam amino, asam lemak, dan mineral. Biosintesis komponen susu berlangsung di tempat yang berbeda dalam sel. Biosintesis laktosa terjadi di membran golgi, protein disintesis dalam sel sekresi kelenjar susu yang mengandung mitokondria mengikuti pengkodean genetik begitu juga biosintesis beberapa prekursor asam lemak terjadi di tempat yang sama. Biosintesis asam lemak, gliserol dan komponen intermediet lainnya terjadi di sitosol, sedangkan biosintesis trigliserol di dekat retikulum endoplasmik. Komponen lain seperti mineral masuk ke dalam sel melalui transport aktif dan pasif (Akers, 2002).

15 Selama proses biosintesis susu, keterlibatan faktor hormon sangat penting. Hormon prolaktin dilepaskan oleh pituitary anterior setelah induk partus mengambil peran dalam memproduksi susu. Selain itu hormon oksitosin juga berperan dalam milk let down yang membantu keluarnya susu dari puting pada saat pemerahan maupun menyusui (Delaval, 2008).

Biosintesis Protein Susu

Protein susu terdiri dari dua fraksi utama yaitu kasein (αS1, αS2, β dan κ) dan whey (α-laktoalbumin dan β–laktoglbulin). Susu kambing mengandung kasein sebanyak 80% dari total protein. Biosintesis kasein terjadi di sel sekresi yang dipengaruhi agen eksternal yaitu hormon (progesteron, glukokortikoid, prolaktin, dan insulin) sebagai pengirim sinyal transduksi ke nukleus sehingga gen kasein mengalami transkripsi menjadi mRNA. Molekul mRNA yang telah matang akan mengalami translasi menjadi molekul tunggal kasein kemudian ditransfer ke retikulum endoplasma untuk modifikasi post-translasi. Kasein lebih banyak mengandung prolin, glutamat, dan glutamin, namun sedikit mengandung glisin dan aspartat. Kalsium dan fofat dalam jumlah banyak diperlukan supaya bentuk kasein stabil (Greppi et al., 2008).

Sejak mekanisme polimorfisme kasein dan whey teridentifikasi, pada dekade terakhir polimorfisme protein diapliaksikan terhadap karakter molekular dan biokimia untuk meningkatkan performa ternak dan kualitas susu melalui mekanisme genetik. Polimorfisme berkaitan dengan varian generik dan modifikasi saat post- translasi tergantung pada lokasi dari rangkaian asam amino (Greppi et al., 2008). Peningkatan protein susu juga dapat dilakukan melalui modifikasi pakan. Beberapa studi melaporkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan terhadap protein susu sapi yang diberi pakan dengan kandungan protein kasar tinggi, hal tersebut disebabkan oleh protein pakan tergolong dalam protein yang tidak dapat didegradasi di rumen sehingga akan lebih baik apabila suplementasi protein diberikan dalam bentuk Non- Protein Nitrogen (NPN) atau pakan sumber protein yang mudah terdegradasi. Selain itu bahan pakan dari limbah mengandung protein yang sulit dicerna sehingga ternak tidak dapat memanfaatkan asam amino yang terkandung dalam bahan tersebut (Schingoethe, 1996).

16

Biosintesis Lemak Susu

Sebagian besar lemak susu terdapat dalam bentuk trigliserida yang disintesis dari bahan-bahan yang diserap dari darah yakni glukosa, asetat, asam β- hidroksibutirat, lipoprotein, asam palmitat, serta asam-asam lemak rantai pendek. Pada ruminansia asetat dan β-hidroksibutirat akan disintesis menjadi asam lemak oleh enzim asetil-CoA karboksilase dan fatty acid synthetase (FAS). Sebagian asam lemak yang lain disintesis dari mobilisasi cadangan lemak tubuh dengan proporsi bervariasi menurut fase laktasi (Chilliard et al., 2000).

Lemak pakan akan dirombak dalam rumen menjadi trigliserida, fosfolipid, dan glikolipid selanjutnya akan mengalami lipolisis dan hidrogenasi. Trigliserida akan mengalami proses lipolisis oleh enzim lipase dari mikroba mejadi asam lemak bebas (FFA) dan gliserol. FFA juga dihasilkan melalui proses hidrolisis dari galaktolipid dan fosfolipid. Gliserol kemudian akan diubah menjadi asam propionat sebagai prekursor dalam sintesis lemak susu (Mele et al., 2008). Proses hidrogenasi mengubah asam oleat, linoleat, dan linolenat menjadi asam steara dan sejumlah kecil asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap trans. Hasil akhir lipolisis dan hidrogenasi berupa asam lemak rantai pendek akan diserap oleh dinding rumen dan asam lemak rantai panjang masuk ke abomasums, kemudian bercampur dengan digesta dan mengalir ke usus halus. Emulsi lemak terjadi di usus halus dengan bantuan garam empedu dan enzim lipase menghasilkan lemak tercerna berupa misel yang stabil. Misel ini berdifusi melalui sel mukosa usus halus untuk diserap kemudian diubah menjadi trigliserida kemudian ditranspor ke seluruh jaringan yang membutuhkan (Drackley, 1999). Konsentrasi lemak susu dipengaruhi oleh beberapa faktor nutrisi antara lain: (i) konsentrasi, konsumsi, dan sumber karbohidrat bukan serat; (ii) ukuran partikel pakan; (iii) penggunaan probiotik; (iv) jumlah, bentuk fisik, dan komposisi asam lemak dalam pakan; (v) ketersediaan prekursor trans-10, cis-12 asam linoleat terkonjugasi yang dapat menurunkan kadar lemak (Pulina et al., 2008).

Biosintesis Laktosa Susu

Sebanyak 80% glukosa dari plasma darah digunakan untuk sintesis laktosa, di

Dokumen terkait