• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Jeruju (Hydrolea spinosa L.) sebagai Obat Anti Malaria

Tanaman Hydrolea spinosa L. merupakan salah satu tanaman yang tumbuh di habitat rawa (Gambar 2). Tanaman ini banyak ditemukan di daerah dengan ketinggian < 50 m di atas permukaan laut (mdpl), yaitu tepian sungai dan rawa di Kalimantan Selatan. Masyarakat setempat menyebut tanaman ini dengan nama lokal yaitu Jeruju (Dharmono 2007).

Gambar 2 Tanaman jeruju pada habitatnya di lahan rawa (a) dan yang ditanam di

polybag dengan media tanah (b).

Tanaman ini merupakan herba tahunan dengan batang tegak berbentuk silinder atau sebagian batang merayap. Tinggi tanaman antara 0.6 – 1.3 meter. Batang berwarna hijau, berbulu halus berwarna putih dan berduri yang terletak aksilar. Setiap sudut antara duri dan batang muncul tunas baru sehingga sering bercabang. Helaian daun memanjang bentuk lanset dan bertepi rata, tulang daun menyirip, berbau tak enak dan berasa pahit. Tangkai bunga tegak ujung mengangguk, bunga berdiri sendiri, kelopak berbagi 5, hijau dan berbulu halus. Tabung mahkota berbentuk corong, mahkota berwarna ungu. Buah buni berbentuk memanjang. Buah duduk pada dasar bunga yang melebar ditambah sisa-sisa dari kelopak (Heryani et al. 2008).

6   

Secara taksonomi, klasifikasi tanaman jeruju adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Superdivision : Spermatophyta Division : Magnoliophyta Class : Dicotyledonae Subclass : Asteridae

Order : Tubiflorae (Solanales) Family : Hydrophyllaceae

Genus : Hydrolea

Spesies : Hydrolea spinosa L.

Tanaman jeruju hidup di daerah lembab atau rawa-rawa. Di daerah seperti ini tanaman jeruju dapat ditemukan berlimpah tetapi secara keseluruhan habitat tanaman ini termasuk jarang. Hal ini menyebabkan tanaman jeruju merupakan salah satu indikator dari lahan basah. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan intensitas cahaya 1000 - 1500 lux, kelembaban tanah 80 – 100 % dan kelembaban udara 74 – 82 %. Ketinggian tempat yang ideal untuk pertumbuhan tanaman ini adalah 50 – 560 mdpl (Dharmono 2007).

Tanaman Jeruju sebagai Obat Tradisional

Informasi tentang pemanfaatan bagian tanaman sebagai obat oleh masyarakat di berbagai daerah di Kalimantan Selatan diperoleh dari beberapa kajian etnobotani. Menurut Dharmono (2007), tanaman ini digunakan masyarakat Dayak Bukit Loksado di Daerah Hulu Sungai Selatan sebagai obat malaria, obat batuk berdarah, obat luka dan bisul serta pengusir nyamuk (repellent). Bagian tanaman yang digunakan adalah daun dan batang. Masyarakat Dayak Bakumpai di daerah Barito Kuala (Dharmono 1998) serta masyarakat setempat di wilayah Hulu Sungai Tengah (Heryani et al 2008) dan Hulu Sungai Selatan (Ramli dan Dharmono 1997) menggunakan tanaman ini sebagai obat penurun panas dan anti malaria. Sementara masyarakat di Kabupaten Tanah Laut memanfaatkan daunnya sebagai obat penyakit darah tinggi selain sebagai anti malaria (Dharmono 1997).

7  

   

Bagian tanaman yang berkhasiat diseduh dan diminum airnya (Heryani et al. 2008).

Penyakit Malaria dan Permasalahannya

Malaria masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting terutama di negara-negara tropik. Indonesia menjadi salah satu daerah endemik untuk penyakit ini karena memiliki iklim yang panas dan lembab yang merupakan tempat ideal bagi perkembangbiakan vektor penyakit ini, yaitu nyamuk Anopheles (Lusiana 2009). Penyakit ini disebabkan oleh parasit bersel tunggal yang tergolong protozoa obligat intraseluler dari Plasmodium.

Plasmodium falciparum merupakan spesies yang paling berbahaya terhadap manusia karena dapat menyebabkan infeksi akut dan berat serta dapat menimbulkan kematian. Parasit ini ditularkan kepada manusia melalui vektor berupa nyamuk Anophelesbetina (Aryanti et al. 2006).

Berbagai upaya pemberantasan malaria telah dilakukan tetapi kasus penderita malaria masih tetap tinggi. Hal ini disebabkan adanya berbagai hambatan dalam pemberantasan malaria, diantaranya resistensi vektor terhadap insektisida dan resistensi parasit terhadap obat anti malaria. Resistensi parasit malaria terhadap klorokuin muncul pertama kali di Thailand pada tahun 1961 dan di Amerika Serikat pada tahun 1962. Dari kedua tempat ini, resistensi menyebar ke seluruh dunia. Di Indonesia resistensi P. falciparum terhadap klorokuin pertama kali dilaporkan di Samarinda pada tahun 1974, kemudian resistensi ini terus menyebar dan pada tahun 1996 kasus-kasus malaria yang resisten klorokuin sudah ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia (Tarigan 2003).

Selama ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi masalah penyakit menular melalui vektor tersebut, baik secara fisik, kimia, maupun pengendalian hayati (Widyastuti et al. 2008). Usaha pemberantasan nyamuk biasanya dilakukan dengan cara penyemprotan, namun hal ini berdampak menimbulkan masalah baru yakni pencemaran lingkungan. Upaya pengobatan penderita malaria juga menemui kendala dimana telah terjadi resistensi Plasmodium terhadap senyawa klorokuin yang digunakan sebagai obat (Aryanti et al. 2006). Resistensi Plasmodium, khususnya P. falciparum telah menjadi

8   

masalah yang serius karena mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam pengobatan dan meningkatnya kematian akibat malaria. Hal ini telah mendorong para peneliti untuk berupaya menemukan antimalaria baru guna menggantikan obat antimalaria, seperti klorokuin yang sudah tidak efektif lagi (Syamsudin 2008).

Pengobatan penyakit malaria di suatu daerah dengan menggunakan tanaman yang tumbuh di daerah tersebut telah dilakukan penduduk secara turun- temurun. Adanya tanaman sebagai obat mengindikasikan adanya kandungan senyawa bioaktif pada tanaman tersebut (Aryanti et al. 2006). Upaya yang dilakukan untuk mengetahui senyawa bioaktif yang terkandung pada suatu tanaman yang berkhasiat obat dilakukan melalui eksplorasi senyawa aktif dari tanaman tersebut, seperti tanaman obat yang secara tradisional digunakan masyarakat untuk mengobati malaria. Tumbuhan obat merupakan salah satu sumber bahan baku antimalaria karena beberapa senyawa aktif yang terkandung di dalam tumbuhan tersebut memiliki efek antimalaria yang kemungkinan memiliki mekanisme kerja yang berlainan serta dapat dikembangkan sebagai antigen dan vaksin antimalaria (Syamsudin 2008).

Penelitian Jeruju sebagai Obat Anti Malaria

Belum banyak dilakukan penelitian pada tanaman jeruju. Berdasarkan hasil dari kajian etnobotani mengenai pemanfaatan tanaman ini, tim peneliti dari Farmasi Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Kalimantan Selatan melakukan pengujian terhadap senyawa fitokimia yang terkandung di dalamnya. Pada karakterisasi golongan senyawa bioaktif dalam tanaman ini diperoleh hasil bahwa tanaman ini mengandung senyawa alkaloid, flavonoid dan tanin. Senyawa alkaloid tersebut diduga memiliki aktivitas sebagai antimalaria (Sutomo et al. 2009). Hasil ekstraksi penelitian tersebut kemudian diuji aktivitas antiplasmodialnya untuk mengetahui seberapa besar potensi tanaman ini sebagai obat antimalaria. Sampai saat ini masih belum dilakukan analisis lanjut untuk mengetahui senyawa alkaloid spesifik yang memiliki aktivitas sebagai antimalaria.

9  

   

Uji aktivitas antiplasmodial terhadap senyawa alkaloid yang berasal dari ekstrak daun tanaman ini dilakukan oleh tim penelitian dari Fakultas Kedokteran Unlam. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstraksi tanaman ini memiliki kemampuan menurunkan jumlah parasitemia Plasmodium. Pada perlakuan 300 mg/kg ekstrak tanaman ini memberikan penurunan parasitemia Plasmodium sebesar 68.40% (Istiana dan Hayatie 2009).

Peran Kultur Jaringan dalam Pengembangan Tanaman Obat Anti Malaria Tumbuhan merupakan sumber utama senyawa-senyawa kimia yang digunakan sebagai bahan pengobatan penyakit malaria yang dapat menggantikan klorokuin. Di beberapa negara telah dilaporkan upaya menemukan tanaman- tanaman yang berkhasiat sebagai obat penyakit malaria. Di Jepang dilakukan pengujian aktivitas antimalaria dari ekstrak tanaman Hydrangea macrophylla

(Kamei et al. 2000). Di Afrika juga melakukan hal yang sama terhadap tanaman

Swartzia madagascariensis, Combretum glutinosum dan Tinosprora bakis

(Ouattara et al. 2006).

Sebagian besar senyawa tersebut diekstrak dari spesies tumbuhan yang tumbuh di alam secara liar atau yang telah dibudidayakan. Cara tersebut memiliki kelemahan, seperti sangat dipengaruhi oleh musim, memerlukan waktu yang lama dan keterbatasan lahan pertanian. Permasalahan juga dapat ditemui dalam budidaya tanaman secara konvensional, seperti sulitnya tanaman dalam beradaptasi dengan lingkungan pembudidayaan. Hal ini terjadi pada tanaman jeruju dimana percabangan tunas aksilar tanaman ini lebih terhambat jika ditanam di media tanah. Tanaman ini memerlukan lingkungan tumbuh yang sesuai dengan habitatnya, yaitu di rawa-rawa untuk dapat tumbuh dengan percabangan tunas aksilar yang banyak. Tunas yang banyak diperlukan sebagai bahan simplisia yang memiliki khasiat obat sehingga diperlukan bibit dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan ekstraksi senyawa aktif.

Biji tanaman ini juga tumbuh lambat sehingga tidak ideal jika digunakan sebagai bahan tanam dalam produksi tanaman yang cepat (Nisa et al. 2009). Kebutuhan akan budidaya alternatif untuk menghasilkan bibit dalam jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat pada tanaman ini menjadi semakin tinggi.

10   

Teknik in vitro merupakan teknik yang potensial untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Metode kultur jaringan juga menjadi alternatif cara untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam budidaya tanaman Artemisia annua L. Tanaman ini mengandung senyawa artemisinin yang diketahui efektif terhadap Plasmodium. Perbanyakan tanaman ini secara konvensional di Indonesia menghasilkan senyawa artemisinin yang rendah sehingga dilakukan upaya peningkatan senyawa ini melalui kultur akar rambut (BB Biogen 2007).

Perbanyakan Tanaman secara In Vitro

Kultur jaringan sebagai teknik budidaya sel, jaringan dan organ tanaman dalam keadaan aseptik mengandung dua konsep dasar, yaitu bahan tanam yang bersifat totipotensi dan budidaya terkendali. Sifat totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenil dan terdapat pada daerah meristem tanaman dibandingkan dengan bagian tanaman yang sudah dewasa. Sifat bahan yang totipotensi saja tidak cukup untuk kesuksesan perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Komposisi hara media tempat tumbuh, lingkungan yang mempengaruhinya (kelembaban, temperatur dan cahaya) serta keharusan sterilitas adalah hal mutlak yang harus dikendalikan (Santoso dan Nursandi 2000).

Perbanyakan melalui teknik kultur jaringan memiliki keunggulan lain dibandingkan teknik perbanyakan konvensional, yaitu pekerjaan yang dilakukan di laboratorium sehingga pelaksanaannya tidak tergantung pada musim dan faktor lingkungan lain serta tidak memerlukan tempat pembibitan yang luas (Lestari 2008). Selain itu, teknik ini dapat mengatasi kendala yang umumnya dialami dalam upaya pemenuhan permintaan bibit berskala besar, yaitu masalah transportasi. Penggunaan bibit yang berasal dari kultur jaringan dapat menghemat waktu dan biaya yang cukup besar dalam hal transportasi (Hendaryono dan Wijayani 1994).

Dalam kultur jaringan diperlukan beberapa komponen utama, yaitu bahan awal (starting materials), media dan lingkungan kultivasi yang sesuai. Bahan awal yang dapat digunakan untuk kultur jaringan (eksplan) dapat berupa buku, daun muda, tunas apikal dan aksilar, tangkai daun, akar, antera, polen, ovul dan

11  

   

sebagainya (Yuwono 2008). Pemilihan penggunaan jenis eksplan tergantung pada tipe kultur yang akan diinisiasi, tujuan kultur dan jenis tanaman yang digunakan (George dan Sherrington 1984).

Pemilihan sumber tanaman sebagai eksplan merupakan tahap 0 dalam protokol perbanyakan tanaman in vitro. Tahap I adalah tahap sterilisasi eksplan untuk mendapatkan eksplan yang bebas dari kontaminan, seperti cendawan dan bakteri. Apabila telah diperoleh eksplan yang steril maka dilanjutkan dengan tahap II, yaitu induksi dan proliferasi tunas. Dalam tahap ini, setelah tunas terbentuk, akan dilanjutkan dengan tahap proliferasi tunas sampai beberapa kali subkultur. Tahapan berikutnya adalah induksi perakaran. Tahap III ini meliputi induksi perakaran dan elongasi tunas hingga tanaman in vitro menjadi lebih kuat ketika dipindah ke media in vivo. Tahap IV yang merupakan tahapan terakhir dalam protokol perbanyakan in vitro adalah aklimatisasi, yaitu pemindahan tanaman dari kondisi in vitro ke lingkungan in vivo (Trigiano dan Gray 2000).

Pada keadaan alamiah pertumbuhan tanaman, selain dipengaruhi oleh faktor tanah, pupuk dan agroklimat pertanaman (faktor luar) juga ditentukan oleh faktor dalam seperti faktor genetik dan kondisi hormonal. Dengan prinsip yang sama, keberhasilan kultur jaringan sebagai teknik perbanyakan tanaman sangat ditentukan oleh eksplan, media tumbuh dan lingkungan. Salah satu unsur penting dalam media adalah zat pengatur tumbuh (ZPT). Penentuan jenis dan konsentrasi ZPT dapat menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan eksplan.

Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada Kultur Jaringan

Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah (< 1 mM) mampu mendorong, menghambat atau mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wattimena et al. 1992). Senyawa ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, inhibitor dan etilen. Setiap golongan memiliki fungsi dan karakteristik masing-masing dalam pengaruhnya terhadap pertumbuhan eksplan (Hendaryono dan Wijayani 1994). Keberadaan hormon dan ZPT dalam kegiatan kultur jaringan umumnya mutlak. Dalam kegiatannya, arah pertumbuhan dan perkembangan eksplan dapat diatur dengan menggunakan macam dan konsentrasi ZPT yang

12   

tepat. Pengaruh setiap golongan ZPT dapat merupakan perannya secara mandiri atau hasil kerjasamanya dengan golongan ZPT yang lain (Santoso dan Nursandi 2001).

Dalam kultur jaringan, dua kelompok zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah auksin dan sitokinin (Chawla 2002). Auksin diproduksi secara alami oleh tanaman dalam bentuk indole acetic acid (IAA) yang disintesis pada primordia daun, daun muda dan benih yang sedang berkembang. Senyawa ini umumnya disintesis dari triptofan dan diangkut dari sel ke sel, terutama pada kambium jaringan pembuluh dan juga sel epidermal. Transpor ke akar juga terjadi pada floem (Davies 2004). Bentuk sintetis dari auksin yang biasa digunakan adalah 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D), α-naphthalene acetic acid

(NAA), 3,6-dichloroanicic acid (dikamba) dan 4-amino-3,5,6-trichloropicolinic acid (pikloram) (Wattimena et al. 1992). Auksin dapat berperan dalam elongasi sel, fototropisme, geotropisme, dominansi apikal, pembentukan akar baru, perkembangan buah, induksi kalus dan embriogenesis (Arteca 1996).

Sitokinin merupakan suatu senyawa adenine (6-aminopurine) yang menstimulasi terjadinya sitokinesis (pembelahan sel). Senyawa ini disintesis pada ujung akar dan biji yang berkembang. Secara alami sitokinin ditemukan dalam bentuk 4-hydroxi-3-methyl-trans-2-butenylaminopurine (zeatin) dan 2-isopentyl adenine (2-IP). Bentuk sintesis sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin (6-furfurylaminopurine) dan BAP (6-benzylaminopurine). Pengaruh sitokinin pada tanaman selain dalam pembelahan sel juga terlihat dalam inisisasi tunas aksilar selama morfogenesis, penundaan senesen daun, pembentukan kloroplas, pembentukan umbi pada kentang, pemecahan dormansi dan pembukaan stomata (Davies 2004).

Interaksi antara auksin dengan sitokinin akan menentukan arah diferensiasi jaringan, tergantung dari kombinasi konsentrasi kedua senyawa. Apabila auksin dalam konsentrasi tinggi sedangkan konsentrasi sitokininnya rendah maka akan meningkatkan pertumbuhan akar. Sebaliknya jika konsentrasi auksin rendah dan sitokinin tinggi konsentrasinya maka akan terbentuk banyak tunas. Namun, bila konsentrasi kedua senyawa dalam keadaan yang setimbang maka kemungkinan hanya akan terbentuk kalus tanpa diferensiasi lanjut (Wattimena et al. 1992).

13  

   

Keseimbangan, tinggi atau rendahnya konsentrasi ZPT didasarkan pada berat molekul masing-masing jenis senyawa. Penggunaan sitokinin terbukti dapat menginduksi pembentukan tunas. Hal ini terlihat pada kultur buku tanaman Vigna unguiculata dimana tunas diperoleh pada pemberian BAP 6.6 µM (Raveendar et al. 2009), konsentrasi yang sama pada kultur tanaman Helianthus annuus

(Charriere dan Hahne 1998) sedangkan pada penelitian Laslo dan Vicas (2008) diperoleh tunas terbaik pada perlakuan BAP 5 ppm.

Dalam perbanyakan in vitro, apabila diperoleh tunas dan telah dilakukan proliferasinya, maka tahapan selanjutnya adalah elongasi tunas dan induksi perakaran. Pada umumnya, tahap elongasi tunas dilakukan dengan penambahan ZPT giberelin (GA3) yang dapat meningkatkan pemanjangan ruas batang. Hal ini

telah dibuktikan pada penelitian Isogai et al. (2008) bahwa pada penambahan GA3

1 ppm dapat memperpanjang ruas batang tanaman Cephaelis ipecacuanha

sedangkan Selvaraj et al. (2007) perpanjangan ruas batang tanaman Cucumis sativus diperoleh pada perlakuan GA3 1.44 µM. Perakaran dapat diinduksi oleh

ZPT auksin, seperti NAA dan IBA. Banyak penelitian yang telah menggunakan kedua jenis auksin ini untuk menstimulasi pertumbuhan akar, seperti pada kultur tanaman Cucurbita pepo (Pal et al. 2007) dan kultur tanaman Gerbera jamesonii

(Duong et al. 2007) yang menggunakan IBA 1 mg l-1, NAA 2.68 µM pada kultur tanaman Pueraria lobata (Thiem 2003) dan NAA 0.1 mg l-1 pada kultur tanaman Lysimachia (Zheng et al. 2009). Tunas in vitro yang mudah berakar maka tidak memerlukan tahap perakaran.

Upaya Peningkatan Kandungan Metabolit Sekunder secara In Vitro

Metabolit sekunder adalah golongan senyawa yang terkandung dalam tubuh mikroorganisme, flora dan fauna yang terbentuk melalui proses metabolisme sekunder yang disintesis dari banyak senyawa metabolisme primer, seperti asam amino, asetil koenzim A, asam mevalonat dan senyawa antara dari jalur shikimat. Beberapa hal penting yang membedakan antara senyawa metabolisme sekunder dengan senyawa metabolisme primer adalah tidak diperlukannya senyawa hasil metabolisme sekunder untuk kelangsungan hidup sel namun diperlukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup tanaman.

14   

Metabolit sekunder diproduksi sebagai hasil interaksi tanaman dengan lingkungannya dan penyebarannya lebih terbatas serta memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda untuk tiap famili, spesies bahkan organ tanaman tertentu (Herbert 1995).

Menurut Vickery dan Vickery (1981), fungsi senyawa metabolit sekunder antara lain sebagai pertahanan tubuh bagi tumbuhan dari serangan hama dan patogen penyebab penyakit, sebagai atraktan hewan polinator dan sebagai hormon pengatur pertumbuhan. Bagi manusia senyawa metabolit sekunder digunakan sebagai bahan obat-obatan, pewangi, fragran pada makanan dan minuman serta senyawa yang digunakan dalam industri kosmetika.

Tanaman memiliki kemampuan memproduksi metabolit sekunder yang kompleks untuk mempertahankan diri dalam lingkungan. Beberapa diantaranya untuk melindungi tanaman dari predator. Manusia telah mengeksploitasi senyawa- senyawa pertahanan diri sebagai sumber bahan obat-obatan. Banyak ditemukan tanaman yang memiliki khasiat farmakologi. Contoh bersejarah seperti ekstrak dari kulit kayu tanaman kina (Chinchona officinalis) yang berkhasiat sebagai antimalaria (Kaufman et al. 1999).

Salah satu golongan senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid. Sebagai salah satu golongan besar dari metabolit sekunder, senyawa-senyawanya banyak yang memiliki khasiat sebagai obat. Senyawa ini merupakan substansi yang mengandung nitrogen dengan berat molekul yang rendah dengan karakteristik toksik dan memiliki aktivitas farmakologis. Sekitar 20% jenis tanaman di dunia mengandung alkaloid (De Luca dan St-pierre 2000; Facchini dan St-Pierre 2005) yang sebagian besar diturunkan dari asam amino, salah satunya adalah triptofan (De Luca dan St-pierre 2000). Alkaloid memainkan peranan sebagai sistem pertahanan tanaman dalam melindungi diri terhadap serangan herbivora dan patogen. Alkaloid dapat terakumulasi dalam sel dan jaringan tempat dimana senyawa ini disintesis. Tetapi lintasan intermediet dan produk akhir dapat juga ditranspor ke lokasi lain (Facchini dan St-Pierre 2005).

Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Lenny 2006). Alkaloid diklasifikasikan

15  

   

berdasarkan sifat dasar dari struktur dasar cincin yang mengandung nitrogen, seperti pirolidin, piperidin, quinolin, isoquinolin, indol dan sebagainya. Atom nitrogen dalam alkaloid berasal dari asam amino sehingga beberapa asam amino terlibat dalam biosintesis alkaloid sebagai prekursornya (Dewick 2003).

Dewasa ini, eksplorasi terhadap potensi bahan alami yang banyak tersimpan dalam sumber daya alam hayati Indonesia yang beraneka ragam semakin digalakkan oleh pemerintah melalui instansi-instansi yang terkait dengan bidang ini. Banyak negara maju yang tertarik dengan bahan alami yang terdiri dari senyawa-senyawa metabolit sekunder karena lebih berkhasiat, aman dan murah dibandingkan dengan bahan sintetis (Harahap 2005). Produksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan, terutama senyawa obat, dianggap merupakan pilihan yang mempunyai harapan dibandingkan dengan produksi tanaman utuh. Kultur jaringan dapat menghasilkan senyawa sepanjang tahun pada kondisi lingkungan yang diatur sehingga memungkinkan pengaturan proses metabolismenya untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya (Wetter dan Constabel 1991).

Teknik kultur jaringan telah dikembangkan dan digunakan untuk beberapa tanaman obat, karena terbukti multiplikasinya lebih cepat dan aman. Regenerasi tanaman dengan teknik kultur jaringan ini terbukti menghasilkan bahan kimia yang sama dengan tanaman induknya. Beberapa diantaranya telah berhasil dilakukan terhadap tanaman obat, seperti tanaman Cryptolepis sanguinolenta yang merupakan herbal anti malaria penghasil alkaloid kriptolepin (Ansah et al. 2005), tanaman Camptotheca acuminate yang menghasilkan kampotesin, senyawa anti tumor (Silvestrini et al. 2002), tanaman Atropa belladonna, penghasil alkaloid hyosiamin dan kalistegin (Rothe dan Drager 2002), tanaman Catharanthus roseus

yang banyak menghasilkan senyawa farmasetik (Gaines 2004), tanaman Scopolia parviflora dengan senyawa skopolamin (Kang et al. 2004) dan lain-lain.

Potensi produksi senyawa alkaloid pada tanaman jeruju secara in vitro

perlu digali. Mengingat sampai saat ini belum dilakukan penelitian mengenai teknik perbanyakan in vitro dan peningkatan kandungan senyawa bioaktif dari tanaman ini bahkan pada tanaman dalam satu familia, seperti dari genus Phacelia, Wigandia dan Nemophila.

16   

Produksi metabolit sekunder dapat dilakukan secara in vitro dalam skala besar (Radji 2005). Namun, ada kalanya kandungan metabolit sekunder pada kultur sel relatif rendah. Hal ini menuntut diperlukannya metode untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder (Mantell dan Smith 1985). Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi alkaloid adalah dengan memanipulasi dalam menginduksi produksi senyawa metabolit sekunder. Cara yang sering digunakan adalah dengan pemberian prekursor (Mulyati 2005) atau dengan pemberian elisitor (Fitriany 2003). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Baldi dan Dixit (2008) bahwa permasalahan rendahnya kandungan metabolit sekunder pada kultur sel tanaman dapat diatasi dengan penambahan prekursor atau dengan elisitasi.

Gambar 3 Struktur kimia asam amino triptofan (a) dan asam salisilat (b).

Gambar 4 Biosintesis alkaloid indol dengan prekursor triptofan (Kutchan 1995).

Penggunaan senyawa yang merupakan bahan pemula dalam reaksi pembentukan suatu metabolit, yang dikenal sebagai prekursor, sering dilakukan

17  

   

dalam upaya peningkatan produk sekunder dalam tanaman. Alkaloid merupakan golongan senyawa metabolit sekunder yang disintesis melalui jalur shikimat dan menggunakan asam amino sebagai prekursornya. Sebagian besar alkaloid dibentuk dari banyak asam amino, salah satunya adalah triptofan (Herbert 1995). Struktur kimia triptofan dapat dilihat pada Gambar 3a. Triptofan merupakan asam amino yang menjadi prekursor dari jenis alkaloid yang disintesis melalui lintasan alkaloid indol (Silvestrini et al. 2002) seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Dalam kultur jaringan untuk memproduksi senyawa yang diinginkan, sejumlah pendekatan dilakukan dalam peningkatan produksi, salah satunya adalah perlakuan dengan prekursor (Biondi et al. 2004). Dalam penelitian Fujita et al. (1990), diperoleh hasil bahwa penambahan 3 mM L-triptofan pada kultur sel

Catharanthus roseus dapat meningkatkan kandungan katarantin.

Beberapa senyawa atau stimulan dapat digunakan untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder dan dikenal sebagai elisitor. Secara umum, elisitor diklasifikasikan berdasarkan asal dan struktur molekulnya. Setiap tipe elisitor menurut karakteristiknya dapat menginduksi respon spesifik yang tergantung pada interaksi antara elisitor dengan tanaman yang dikulturkan (Vasconsuelo dan

Dokumen terkait