• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASAR PRODUK

II. TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Tanaman Anggrek

Anggrek secara taksonomi diklasifikasikan ke dalam Phylum Spermatopytha, yaitu digolongkan ke dalam tumbuhan berbiji, Kelas Angiospermae atau berbiji tertutup, Subkelas Monokotiledonae atau bijinya berkeping satu, Ordo Gynandrae karena alat reproduksi jantan dan betina bersatu sebagai tugu bunga, Famili Orchidaceae atau keluarga anggrek (Puspitaningtyas et al. 2003). Orchidaceae merupakan famili tanaman terbesar, terdiri dari sekitar 900 genera dan hampir 35.000 spesies. Dendrobium, genus terbesar dalam famili Orchidaceae terdiri dari sekitar 1100 spesies (Cordel 1999).

Anggrek dapat diperbanyak secara generatif dari biji atau secara vegetatif (konvensional dan kultur in vitro). Tanaman anggrek hibrida diperoleh dari biji hasil silangan dan perbanyakannya dilakukan secara vegetatif untuk mempertahankan hibrida yang telah diseleksi. Penggunaan teknik pembiakan vegetatif konvensional, potensinya terbatas karena hanya sejumlah kecil tanaman yang dapat dihasilkan dalam satu kurun waktu tertentu (George 1996). Beberapa jenis tanaman anggrek yang populer di masyarakat antara lain: Oncidium, Cattleya, Phalaenopsis, Dendrobium, Vanda dan Aranthera. Anggrek dipasarkan dalam bentuk bunga potong maupun tanaman dalam pot. Anggrek dari genus Dendrobium menghasilkan anakan dari umbi semu yang disebut dengan keiki yang seringkali berakar tapi masih melekat pada tanaman, dan hanya membutuhkan pemisahan untuk ditanam untuk mendapatkan tanaman baru (George 1996).

Dendrobium

Dendrobium adalah salah satu genus dari Famili Orchidaceae. Genus Dendrobium memiliki lebih dari 600 spesies yang menyebar di daerah tropis Asia Selatan dan Tenggara, mulai dari Himalaya, Filipina sampai ke Australia. Dendrobium dibedakan menjadi dua macam yaitu evergreen Dendrobium atau Dendrobium yang selalu berwarna hijau berasal dari Australia dan deciduous Dendrobium atau yang berganti daun berasal dari sebelah utara Equator (Logan & Lloyd 1955). Saat ini sudah banyak jenis Dendrobium spesies yang telah

ditemukan antara lain adalah D. aureum, D. brymerianum, D. chrysotoxum, D. jamesianum, D. phalaenopsis, D. saisar.

Anggrek Dendrobium tumbuh menyebar di Asia Selatan, India, dan Srilanka. Di Asia Timur bunga ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat Jepang, Taiwan dan Korea. Kebanyakan anggrek Dendrobium tumbuh liar di daerah tropis seperti Asia. Di Asia Tenggara, tanaman ini menjadi andalan Negara Thailand, Singapura, Indonesia dan Filipina. Sebarannya pun meluas ke Papua, Selandia Baru dan Tahiti. Dalam jumlah terbatas ditemukan di Selatan Amerika Serikat, dan daerah jajahan Inggris. Di Indonesia, Dendrobium banyak ditemukan di hutan Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Beberapa spesies menyebar secara sangat luas, diantaranya D. anosmum, tersebar dari India sampai Papua (Chan et al. 1994).

Dendrobium termasuk anggrek epifit (menempel pada tanaman lain tetapi tidak merugikan tanaman induk yang ditumpanginya) (Ashari 1997). Dendrobium tergolong anggrek simpodial, yaitu anggrek dengan pertumbuhan ujung batang yang akan terhenti bila telah mencapai maksimum dan pertumbuhan anggrek akan dilanjutkan dengan pertumbuhan anakan baru. Batang anggrek Dendrobium berbentuk menggelembung dan berdaging, karena batang ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan dan air (Arditi 1984). Batang anggrek ini berbentuk gada, pada bagian pangkal kecil dan pada bagian tengah membesar kemudian bagian ujung batang anggrek ini mengecil lagi. Daun berbentuk lanset dengan ujung yang tidak simestris, panjang daun sekitar 12 cm dengan lebar 2 cm. Bunga tersusun dalam satu rangkaian yang berbentuk tandan yang tumbuh pada buku batangnya dan agak menggantung dengan panjang tandan sekitar 60 cm, jumlah bunga dalam tiap tandan sekitar 6- 24 kuntum dengan diameter sekitar 6 cm (Sastrapraja et al. 1976). Akar anggrek umumnya lunak dan mudah patah. Ujung akar meruncing, licin, sedikit lengket dan berwarna putih. Akar anggrek mempunyai lapisan velamen yang mengandung klorofil dan berongga sebagai tempat penyimpanan air. Akar memiliki daya lekat pada bagian yang bentuknya agak pipih mengikuti permukaan batang penyangga dan terdapat rambut-rambut yang pendek untuk menyerap air dan makanan (Arditi 1984; Puspitaningtyas et al. 2003).

Phalaenopsis

Salah satu genus yang ada pada Famili Orchidaceae adalah Phalenopsis. Genus Phalaenopsis terdiri atas 60 spesies yang menyebar dari Himalaya ke berbagai negara seperti Thailand, Indo-Cina, Malaysia, Indonesia, New Guinea, Australia, Taiwan dan Cina Selatan. Di Indonesia, plasma nutfah anggrek Phalaenopsis tumbuh secara alami dalam habitat hutan di berbagai wilayah, misalnya Maluku, Sulawesi, Pulau Seram, Ambon, Buru, Kalimantan, Sumatra dan Jawa (Setiawan 2002).

Pada tahun 1753, Linnaeus memberikan nama Epidendrum amabila pada spesies anggrek bulan di Nusa Kambangan. Pada tahun 1825 spesies ini diberi nama P. amabilis oleh seorang ahli botani Belanda yang bernama Prof.C.L. Blume, karena beliau melihat sekumpulan kupu-kupu yang hinggap di dahan dan tidak mau bergerak dari tempatnya, ketika didekati ternyata sekumpulan anggrek kupu-kupu atau anggrek bulan. Sejak saat itu hingga sekarang, anggrek bulan dikategorikan dalam genus Phalaenopsis (Rukmana 2000).

Phalaenopsis tumbuh monopodial yang berarti hanya mempunyai batang utama yang tumbuh terus ke atas dan tidak terbatas. Batang pendek dan tidak mempunyai pseudobulb. Akar berdaging muncul dari batang atau buku bagian bawah. Tangkai bunga tumbuh menembus upih daun, seringkali bercabang, agak pendek atau panjang, berbunga sedikit atau banyak. Bunga mekar bersamaan atau tidak, ukuran kecil, sedang atau besar, tidak berbau atau berbau harum, warna putih, kuning atau ungu (Nursandi 1997).

Oncidium

Oncidium merupakan genus yang terdiri dari lebih 750 spesies, terbanyak ditemukan di Amerika Selatan, beberapa di Amerika Tengah dan Kepulauan Karibia, dan sedikIt di Florida. Oncidium pada umumnya epifit dan beberapa diantaranya merupakan anggrek tanah. Oncidium memiliki pseudobulb, tetapi beberapa diantaranya tidak memiliki psudobulb (Shuttleworth et al. 1970). Menurut Morrison (2000) genus Oncidium dikarakterisasi oleh adanya pseudobulb unifoliat dan bifoliat dari internode tunggal yang terlindung oleh pelepah daun yang menggelembung. Infloresens dihasilkan dari ujung pelepah tersebut, bagian dasar dari tangkai keluar dari pseudobulb. Spesies dari genus ini dapat tumbuh pada ketinggian 4000 m dpl.

Bunga umumnya berwarna kuning, namun terdapat juga yang berwana merah muda dan coklat. Ukuran bunga bervariasi antara ¼ inchi sampai di atas 4 inchi. Beberapa dari spesies Oncidium disebut sebagai dancing ladies sebab memiliki rangkaian tangkai bunga yang panjang dengan membentuk formasi seperti kelompok penari balet. Beberapa contoh jenis Oncidium diantaranya adalah O. nubigenum dari Kolombia, O. triquetrum dari Jamaika, O. bicallosum dari Meksiko dan Guatemala serta O. cebolleta dari Meksiko dan Paraguay (Shuttleworth et al. 1970).

Kultur Jaringan Tanaman Anggrek

Kultur jaringan secara luas dapat didefinisikan sebagai usaha mengisolasi, menumbuhkan, memperbanyak, dan meregenerasikan protoplast, sel utuh atau bagian tanaman seperti meristem, tunas, daun muda, batang muda, ujung akar, kepala sari, dan bakal buah dalam suatu lingkungan aseptik yang terkendali. Pada awalnya metode ini merupakan penelitian laboratorium sebagai bagian dari penelitian fisiologi tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Gunawan 1992). Kultur jaringan menggunakan teori sel seperti yang dikemukakan oleh Schleiden & Schwann pada tahun 1839. Menurut kedua ahli itu, sel mempunyai kemampuan otonom (mampu tumbuh mandiri), bahkan mempunyai kemampuan totipotensi yaitu kemampuan sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang seperti sel zigot karena memiliki susunan genetik yang sama (Wattimena et al. 1992).

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro ditentukan oleh faktor yang kompleks, meliputi hara anorganik, faktor fisik, dan substansi organik. Faktor bahan tanaman yang turut menentukan keberhasilan kultur jaringan antara lain genotipe tanaman, status fisiologi, ukuran, sumber, dan umur eksplan (Pierik 1987). Keberhasilan pertumbuhan jaringan juga sangat dipengaruhi oleh adanya hubungan timbal balik antara tanaman itu sendiri dengan faktor lingkungan, seperti komposisi media dan pH, cahaya, suhu, kelembaban, dan kadar oksigen. Selain itu, juga diperlukan keahlian dalam memotong bahan tanaman yang akan ditanam dalam media steril dan dalam mendesinfeksi jaringan, dasar pengetahuan Kimia dan Biologi yang memadai, serta ketekunan dan ketelitian kerja yang tinggi. Kelengkapan sarana yang memadai juga dapat meningkatkan persentase jaringan yang tumbuh (Widiastoety 1997).

Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi dan dengan ditemukannya auksin dan sitokinin serta prinsip pengaturan perimbangan kedua zat pengatur tumbuh tersebut, regenerasi dari sel menjadi tanaman lengkap pada banyak spesies sudah berhasil dilakukan (Gunawan 1992). Dewasa ini kultur jaringan telah digunakan untuk tujuan perbanyakan tanaman seperti kentang, jahe, pisang, asparagus, dan beberapa tanaman hias seperti anggrek, krisan, dan Dianthus (Wattimena et al. 1992). Beberapa kebun pembibitan dan pengembangan anggrek kemudian menerapkan metode ini untuk memperoleh klon-klon anggrek yang sangat eksklusif.

Perbanyakan anggrek secara kultur jaringan dapat dilakukan melalui eksplan berupa mata tunas, biji, dan meristem untuk tujuan tertentu. Perbanyakan vegetatif anggrek melalui kultur meristem dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu transformasi meristem menjadi protocorm like body (plb), perbanyakan protocorm dengan memotongnya menjadi potongan yang lebih kecil, dan perkembangan protocorm-protocorm tersebut berakar dan berpucuk (Pierik 1987). Istilah plb merupakan istilah untuk struktur yang mirip protocorm yang terbentuk dari jaringan tanaman dan atau kalus secara in vitro. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Georges Morel (Arditti & Ernst 1992). Sumber lain menyebutkan bahwa istilah protocorm diperkenalkan pertama kali oleh Melchior Trueb, yang pernah menjabat sebagai direktur Botanical Gardens di Bogor (sekarang Kebun Raya Bogor), untuk menggambarkan suatu tahap dalam perkembangan lumut (Arditti & Ernst 1992). Kemudian Noel Bernard menggunakan istilah tersebut untuk anggrek antara tahun 1899 dan 1910. Istilah tersebut sekarang digunakan untuk menggambarkan suatu badan yang mirip bulatan-bulatan umbi kecil yang terbentuk pada biji-biji anggrek yang berkecambah (Arditti & Ernst 1992; Ratnadewi et al. 1991).

Individu Protocorm saat dipisah-pisahkan dan disubkultur sering menghasilkan protocorm adventif (George 1996). Massa protocorm yang dipisah-pisahkan dan ditumbuhkan di media serupa yang baru akan memperbanyak diri menjadi massa protocorm yang baru. Bila pisahan protocorm tersebut ditumbuhkan dalam media lain yang mengarah ke proses pendewasaan dan perakaran, maka protocorm akan tumbuh menjadi tanaman baru yang sempurna dan siap dipindahlapangkan (Gunawan 1992).

Biji-biji anggrek mengandung embrio berdiameter kurang Iebih 0,1 mm, tidak mengandung endosperm atau kotiledon. Saat berkecambah, embrio ini

akan membentuk protocorm, suatu struktur seperti corm yang berwarna hijau dan mampu melakukan fotosintesis. Tunas dan akar akan terbentuk bila kandungan senyawa-senyawa organik dalam protocorm cukup, dan kecambah normal terbentuk (Wattimena et al. 1992).

Kultur Jaringan dan Virus Tumbuhan

Kultur jaringan tanaman sejak lama telah digunakan untuk mengatasi penyebaran penyakit. Penghambatan penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan menghasilkan plantlet yang bebas penyakit dengan perlakuan tertentu pada eksplan. Teknik kultur jaringan menjadi metode yang sering digunakan untuk manipulasi genetik dan eliminasi virus melalui kultur meristem apikal. Pemanfaatan kultur jaringan untuk pengendalian virus dilakukan dalam hal tahapan untuk perlakuan lain yang akan dilakukan. Misalnya untuk menghasilkan tanaman tahan terhadap virus dengan memberikan perlakuan pada kalus yang ditumbuhkan pada kultur menggunakan kemoterapi (actinomycin-D, Ribavirin, 2- thiouracil) (Srivastava et al. 1999). Hal lain yang dilakukan adalah perlakuan seleksi kalus yang diberikan perlakuan penyinaran sinar Gamma seperti dilaporkan Mukerji et al. (1999) untuk ketahanan terhadap TMV. Untuk perlakuan mediasi menggunakan Agrobacterium, DNA transfer langsung, electroporation, microprojectil, juga menggunakan kultur jaringan pada tahapan penumbuhan kalus (Srivastava et al. 1999).

Wattimena et al. (1992) menyatakan bahwa tanaman hasil kultur jaringan dapat dinyatakan bebas penyakit sistemik tertentu jika telah diidentifikasi dan telah dihilangkan dari tanaman. Hal ini dilakukan pada penyakit yang bersifat sistemik yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma. Eliminasi patogen dapat dilakukan melalui termoterapi, kultur meristem, kombinasi keduanya, pembentukan tunas adventif dan teknik penyambungan mikro (Pierik 1987). Eliminasi dengan termoterapi dan kultur meristem paling umum dilakukan. Tanaman hasil perlakuan kemudian diuji telah terbebas dari virus dengan menggunakan tanaman indikator, serologi dan mikroskop elektron. Tanaman kultur jaringan yang bebas virus akan menjadi sumber bahan tanaman baik untuk keperluan penukaran plasma nutfah, pelestarian plasma nutfah, bahan perbanyakan dan bahan untuk pemuliaan.

Purwito & Wattimena (1991) menggunakan kombinasi ribavirin dan kultur meristem untuk eliminasi virus pada tanaman kentang. Hasil yang diperoleh

menunjukkan konsentrasi ribavirin 30 mg/l cukup efektif mengeleminasi Potato virus X (PVX), Potato virus Y (PVY), Potato leaf roll virus, Potato virus S, dan Potato virus M. Lopez-Delgado et al. (2004) mengkombinasikan perlakuan asam salisilat dan termoterapi untuk mengeliminasi PVX pada umbi mikro kentang. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa umbi mikro yang diberi perlakuan asam salisilat dengan konsentrasi 10-5 M dapat meningkatkan toleransi terhadap paparan pemanasan hingga 42 oC selama 30 hari. Toleransi ini menyebabkan dapat mengeliminasi PVX yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Paludan (1985) melaporkan bahwa perlakuan pendinginan (5 oC) pada titik tumbuh kultur meristem tanaman Chrysanthemum morifolium selama satu bulan dapat meningkatkan keberhasilan menghasilkan tanaman bebas dari Chrysanthemum chlorotic mottle viroid. Perlakuan pendinginan juga dilaporkan Lizarraga et al. (1980) pada kultur jaringan awal tanaman kentang dengan perlakuan 5 oC-15 oC dapat mengeliminasi Potato spindle tuber viroid.

Beberapa Virus Tanaman yang Menginfeksi Anggrek Cucumber mosaic virus (CMV)

Cucumber mosaic virus (CMV) pertama kali deskripsi secara rinci pada tahun 1916 pada tanaman mentimun dan Cucurbitaceae lainnya oleh Doolittle dan Jagger. Saat ini diketahui bahwa CMV menginfeksi banyak tanaman pertanian dan hortikultura di seluruh dunia pada iklim sedang maupun tropis. Perkembangan ketahanan genetik untuk CMV pada sayuran telah memberi kontribusi yang berharga bagi manajemen penyakit virus yang penting ini (Zitter & Murphy 2009). CMV dilaporkan mampu menginfeksi lebih dari 40 famili tanaman dikotil maupun monokotil (Gibbs & Harrison 1970 ).

CMV merupakan anggota genus Cucumovirus famili Bromoviridae. Partikel CMV terdiri dari tiga partikel berbentuk bulat, masing-masing berukuran diameter sekitar 28 nm. Genom CMV terdiri dari tiga molekul RNA beruntai tunggal (ssRNA), dengan berbagai ukuran (Tabel 2.3 dan Gambar 2.3). Setiap molekul RNA dienkapsisasi dalam CP dengan masing-masing menjadi satu partikel berbentuk bulat. Jadi CMV terdiri dari tiga partikel, satu partikel mengandung RNA 1, partikel yang lain mengandung RNA 2 dan yang ketiga mengandung RNA 3. Partikel RNA 3 dapat berisi untai RNA keempat, disebut sebagai RNA 4, yang mengkode gen CP. Jenis strategi translasi CMV disebut

sebagai RNA subgenomic, terdiri dari untai RNA yang dihasilkan terpisah selama replikasi (Zitter & Murphy 2009).

Tanaman dapat mengaktivasi mekanisme ketahanan ketika CMV menginfeksi sehingga dapat menghambat pergerakan virus untuk menginvasi jaringan baru. Tipe ketahanan ini disebut sebagai gene silencing, namun protein CMV 2b mampu menghambat inisiasi sinyal gene silencing (silencing suppressor) pada tanaman di bagian jaringan yang jauh dari titik infeksi, sehingga memungkinkan CMV untuk terus menginvasi dan menginfeksi jaringan muda tanaman yang berkembang. Gen CP merupakan protein yang hanya berasosiasi dengan partikel virus dan merupakan satu-satunya penentu untuk transmisi oleh vektor kutu dan. Mutasi pada gen 1a, 2a dan 2b berpengaruh pada pergerakan virus dalam beberapa inang (Zitter & Murphy 2009).

Tabel 2.1 Organisasi genom CMV

Genom (Protein) Ukuran nukleotida (basa) Fungsi

RNA1 (1a) 3.350 Replikasi, methyltransferase, helikase RNA2 (2a, 2b) 3.050 N-proksimal, replikasi, RNA-dependent

RNA polimerase

RNA3 (3a) 2.200 Protein movement berperan dalam

pergerakan virus dari sel ke sel ataupun dalam pembuluh tanaman

RNA4 (CP) 1.030 Protein selubung (CP)

(Sumber: ICTVdB Management 2006b)

Gambar 2.1 Skema representasi organisasi genom CMV (Sumber: Zitter & Murphy 2009).       CP         1a        2a        MP     2b    RNA 1    RNA 2    RNA 3    RNA  4      CP

Beberapa strain CMV memiliki RNA satelit (RNA 5 atau satRNA). satRNA adalah molekul untai tunggal berukuran panjang sekitar 332-342 nukleotida dan benar-benar tergantung pada CMV untuk replikasi. Selain itu, satRNA dienkapsidasi dalam partikel CMV, yang memungkinkan menyebar dari satu tanaman ke tanaman bersama dengan CMV, oleh vektor kutudaun. satRNA, tidak memberikan fungsi yang penting pada CMV (helper virus). Adanya CMV satRNA kemungkinan tidak berpengaruh pada gejala atau dapat memperparah gejala klorosis atau nekrosis sistemik atau sebaliknya mungkin menyamarkan gejala (Zitter & Murphy 2009).

Sejumlah strain CMV di seluruh dunia diklasifikasi ke dalam dua subgrup, I dan II, berdasarkan kriteria berbagai variasi gejala, serologi (Wahyuni et al. 1992; Hu et al. 1995; Ilardi et al. 1995), hibridisasi asam nukleat (Owens & Palukaitis 1988, Palukaitis et al. 1992), sekuen gen (Owens et al. 1990; Szilassy et al. 1999), dan restriction fragment length polymorphism (RFLP) (Rizos et al. 1992; Sialer et al. 1999). Subgrup strain I dibagi lagi menjadi IA dan IB, berdasarkan perbedaan patogenisitas pada kacang tunggak (Vigna unguiculata). Strain IA menginduksi gejala-gejala mosaik sistemik dan strain IB menginduksi lesio lokal nekrotik pada daun yang diinokulasi. Selain berdasarkan gejala, CMV subgrup I sekarang ini dibagi menjadi IA dan IB berdasarkan sekuen gen CP strain CMV dan analisis filogenetik. Strain CMV Asia dikelompokkan dalam subgrup IB (Palukaitis & Zaitlin 1997; Roossinck et al. 1999; Roossinck 2002). Beberapa strain CMV yang spesifik inang, menginfeksi inang tertentu dalam famili yang sama seperti strain CMV legum. CMV secara serologi berhubungan dengan Tomato aspermy virus dan Peanut stunt virus (Zitter & Murphy 2009).

Potyvirus

Potyvirus adalah merupakan grup terbesar dari 34 grup virus tanaman dan famili saat ini diketahui (Ward & Shukla 1991). Genus ini terdiri dari setidaknya 180 anggota definitif (91 spesies resmi dan 89 spesies tentatif). Sebanyak 30% dari semua virus tanaman yang diketahui menyebabkan kerugian signifikan dalam bidang pertanian, tanaman pakan ternak, tanaman hortikultura dan tanaman hias (Ward & Shukla 1991; van Regenmortel et al. 2000).

Partikel Potyvirus berbentuk filamen lentur, tanpa envelop berukuran panjang 680-900 nm dan lebar 11-15 nm. Material genetik Potyvirus berupa poliprotein tunggal, untai tunggal, utas positif dengan panjang 10 kb. Genom

RNA terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang mengekspresikan satu poliprotein prekusor berukuran 350 kDa. Prekursor poliprotein tersebut kemudian ditranslasi menjadi tujuh protein kecil yang memiliki berbagai fungsi, dinotasikan sebagai P1, helper component (HC), P3, cylindrical inclusion (CI), nuclear inclusion A (NIa), nuclear inclusion B (NIb), capsid protein (CP), serta dua protein putatif kecil yang dikenal sebagai 6K1 dan 6K2 (Shukla et al. 1994) (Tabel 2.4 dan Gambar 2.4). Pada bagian terminal 3’ diakhiri dengan motif poly-A tail (Hari et al. 1979; Takahashi et al. 1997).

Untuk menghasilkan protein utama, genom virus mengkode poliprotein dengan diproses oleh tiga proteinase virus. Dua proteinase diantaranya, P1 dan helper HC-Pro (Helper componen-proteinase) yang mengkatalisis reaksi autoproteolitik masing-masing hanya pada Terminal C (Carrington et al. 1989; Verchot et al. 1991). Satu proteinase lainnya reaksinya dikatalisis oleh NIA-Pro (nuclear inclusion protein) melalui mekanisme trans-proteolitik atau autoproteolitik (Carrington & Dougherty 1987).

Tabel 2.2 Organisasi genom Potyvirus

Protein Fungsi P1 Proteinase;pergerakan antar sel.

HC-Pro transmisi oleh kutudaun; Proteinase; pergerakan antar sel.

P3 Belum diketahui

CI Replikasi genom (RNA helikase); membran pengikat; stimulasi asam nukleat aktivitas ATPase ; pergerakan antar sel.

CP Encapsidasi RNA; berperan dalam transmisi oleh vektor; pergerakan antar sel.

NIa-VPg Replikasi genom (Primer untuk inisiasi sintesis RNA). NIa-Pro Proteinase

NIb Replikasi genom (RNA-dependent RNA polimerase [RdRp]).

6K1 & 6K2 Belum diketahui, namun diduga berperan pada: Replikasi RNA, pengatur untuk penghambatan translokasi nuclear NIa, membran pengikat proses replikasi.

(Sumber: Winterhalter 2005).

P1 HC-Pro P3 CI NIa

VPg NIb

Pro NIb CP

Gambar 2.2 Skema representasi organisasi genom Potyvirus (Sumber: Winterhalter 2005)

  33kDA      32kDA      41kDA   6kDA     71kDA      6kDA 22kDA  27kDA        59kDA       31kDA 

Tospovirus

Virus dalam genus Tospovirus menyebabkan kerugian yang signifikan pada pertanian di seluruh dunia. Nama genus ini berasal dari nama anggota pertama yaitu Tomato spotted wilt virus (TSWV). Awal infeksi virus ini terjadi pada penyakit layu tanaman tomat di Australia pada tahun 1915, kemudian dibuktikan dengan identifikasi penyebabnya adalah TSWV. TSWV awalnya dianggap sebagai satu-satunya anggota kelompok TSWV sampai awal 1990-an. Namun saat ini berdasarkan identifikasi dan karakterisasi beberapa virus, ternyata beberapa jenis virus lain mirip TSWV sehingga digolongkan dalam genus Tospovirus bagian dari famili Bunyaviridae. Lebih dari 12 jenis virus yang masuk dalam genus ini seperti Impatiens necrotic spot virus (INSV), Peanut bud necrosis virus (PBNV), Groundnut ringspot virus (GRV), Watermelon silver mottle virus (WSMV), Zucchini lethal chlorosis virus (ZLCV) dan Iris yellow spot virus (IYSV) (Adkins et al. 2005; Baker et al. 2007).

TSWV memiliki kisaran inang yang besar (800 spesies tanaman) dan sebagian besar penyakit yang disebabkan virus ini ditemukan pada tanaman di lapangan. INSV memiliki kisaran inang yang lebih kecil dan sebagian besar virus yang ditemukan menginfeksi tanaman hias di rumah kaca (Baker et al. 2007). Kedua virus telah dilaporkan menginfeksi tanaman anggrek sejak awal 1990-an (Hu et al. 1993, Koike & Mayhew 2001).

Di antara virus tanaman, Tospovirus memiliki morfologi partikel, organisasi genom dan strategi ekspresi yang unik. Partikel virus berbentuk pleomorfik berukuran 80-120 nm dan memiliki envelop pada permukaan yang terdiri dari lipid dan dua glikoprotein. Genom Tospovirus terdiri atas tiga ssRNA negatif sense utas tunggal RNA. Setiap genom RNA dienkapsidasi oleh banyak salinan protein nukleokapsid virus untuk membentuk struktur ribonucleoprotein juga dikenal sebagai nukleokapsid (Adkins et al. 2005; Hull 2002)

Anggrek Phalaenopsis yang bergejala infeksi virus seperti klorosis bercak cincin telah diamati dan berhasil diisolasi di Taiwan pada tahun 1998 (Chen et al. 1998). Virus yang telah diisolasi tersebut, ketika diinokulasi kembali ke jenis anggrek yang sama tidak berhasil menimbulkan gejala dan perunutan gen nukleokapsid untuk taksonomi virus belum dilakukan pada saat itu. Patogen penyebab penyakit pada anggrek ini belum jelas sehingga saat itu dideskripsikan sebagai “virus Taiwan”. Hasil penelitian yang dilakukan Zheng et al. (2008) berdasarkan isolasi, inokulasi kembali, serologi dan karakterisasi molekuler, virus

yang menyebabkan klorosis bercak cincin pada Phalaenopsis anggrek di Taiwan ini berhasil diidentifikasi penyebabnya adalah Tospovirus .

Cymbidium Mosaic Potexirus (CymMV)

CymMV saat ini oleh sebagian ahli dimasukkan dalam Famili Flexyvirideae dan sebagian ahli menyatakan tidak mempunyai famili yang tepat, sehingga langsung tergolong dalam genus Potexvirus (Adams et al. 2004; Fauquet & Mayo 1999). Partikel Potexvirus berbentuk filamen lentur dengan ukuran panjang 470-580 nm dan diameter 13 nm. Partikel virus ini mengandung linear, positive-sense, single stranded (ss)-RNA dengan ukuran 5,9-7,0 kb, dibungkus oleh banyak subunit coat protein (CP) berukuran 18-27 kDa. RNA diakhiri dengan polyadenilasi pada terminal 3’. Genom dari beberapa anggota

Dokumen terkait