• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. 1 Tanah gambut

Istilah tanah gambut berasal dari salah satu kecamatan (Kecamatan Gambut) di Kalimantan Selatan, karena pada awalnya tanah-tanah organik banyak diusahakan dan dikembangkan oleh suku Banjar di daerah ini. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa 2008).

Tanah gambut di Indonesia terbentuk sejak periode Holosen (4200 - 6800 tahun yang lalu) di saat terjadinya transgresi air laut akibat mencairnya es di kutub (Agus dan Subiksa 2008). Karena naiknya permukaan air laut, maka daerah-daerah dataran di sekitar pantai Sumatera, Kalimantan, Papua dan lain-lain tergenang menjadi rawa-rawa atau naik permukaan air tanahnya (Hardjowigeno 1996). Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Agus dan Subiksa (2008) menyatakan bahwa gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0 - 3 mm tahun.

Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff 2003).

Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:

1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.

2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 - 75%.

3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas > 75% seratnya masih tersisa.

Berdasarkan kondisi pembentukannya Polak (1975) membedakan gambut menjadi (1) gambut ombrogen yang terbentuk terutama dalam lingkungan yang dipengaruhi genangan air hujan, bersifat oligotropik dengan kemasaman yang tinggi dan kandungan hara yang rendah. (2) gambut topogen yang terbentuk karena adanya depresi lokal, dipengaruhi air bawah tanah yang dangkal, bersifat eutropik dengan kemasaman sedang hingga netral dan mengandung unsur hara sedang sampai tinggi. Ia juga mengemukakan bahwa bahan asal dari tanah gambut yang ditemukan di kawasan Malaysian Tropics

termasuk yang ada di Sumatera banyak didominasi oleh kayu-kayuan. Oleh sebab itu komposisi bahan organiknya lebih banyak lignin yang mencapai lebih dari 60% bahan kering, sedangkan yang lainnya terdiri dari selulosa, hemiselulosa serta protein masing-masing tidak lebih dari 11%.

Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang disajikan pada Tabel 1 (BB Litbang SDLP 2008). Sumatera Selatan merupakan propinsi kedua di pulau Sumatera yang memiliki luasan areal gambut setelah Riau yang penyebarannya disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka dan mampu menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar.

Tabel 1 Luas lahan gambut di Indonesia

Pulau/Propinsi Luas total (ha)

Sumatera 6 224 101 Riau 4 043 600 Jambi 716 839 Sumatera Selatan 1 483 662 Kalimantan 5 072 249 Kalimantan Tengah 3 010 640 Kalimantan Barat 1 729 980 Kalimantan Selatan 331 629

Papua dan Papua Barat 7 001 239

Total 18 317 589

Catatan: Apabila lahan gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha. Sumber: BB Litbang SDLP 2008

2. 2 Siklus Karbon

Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO2 di atmosfer dan CO2 di lautan kedalam bentuk organik maupun inorganik di daratan dan lautan. Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun, dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil, alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer sebanyak 28% dari konsentrasi CO2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC 2000)

Gambar 3 Siklus karbon global (Sumber: Hairiah 2007)

Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 tera ton = 1012t = 1018g). Sumber terbesar lainnya tedapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomasa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau sekitar 5 % dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4x lebih banyak dari pada yang disimpan dalam biomasa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer

menampung C terendah hanya sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO2 per tahun 3,3 Gt (ICRAF 2001).

Kinderman et al. (1993) menyatakan bahwa tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah, ketersediaan kandungan hara, dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa, nekromassa, tanah dan yang tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak sebagai media perantara di dalam siklus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akar yang mati dan karbon tanah).

Jumlah C yang disimpan di hutan sangat bervariasi antar sistem penggunaan lahan, antar tempat dan antar pengelolaan lahan (Tabel 2). Jumlah C yang tersimpan di daratan khususnya dalam vegetasi dan tanah sekitar 3,5 kali lebih besar dari jumlah C yang ada di atmosfer dan pertukaran C di daratan dikontrol oleh proses fotosintesis dan respirasi. Pada skala global C tersimpan dalam tanah jauh lebih besar dari pada yang tersimpan di vegetasi. Tanah merupakan penyimpan C terbesar pada semua regional ekosistem (biome), sedang vegetasi penyimpan C terbesar adalah pada biome hutan.

Tabel 2 Jumlah C tersimpan di vegetasi dan tanah kedalaman 1 m

Ekosistem Luas 106 km2 Cadangan C , Gt C Total

Vegetasi Tanah

Hutan tropis 17,6 212 216 428

Hutan subtropis 10,4 59 100 159

Hutan daerah dingin 13,7 88 471 559

Savana tropis 22,5 66 264 330

Padang rumput subtropis 12,5 9 295 304

Padang pasir 45,5 8 191 199 Tundra 9,5 6 121 127 Rawa 3,5 15 225 240 Lahan pertanian 16,0 3 128 131 Total 151,2 466 2011 2477 Sumber : IPCC 2000

ICRAF (2001) menyatakan bahwa aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfir dari 285 ppmv (parts per million on a volume basis) sebelum revolusi industri pada abad ke-19 hingga 336 ppmv di tahun 1998. Penyebab utama naiknya gas rumah kaca salah satunya adalah deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, terutama di negara-negara tropis.

Tabel 3 Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dalam berbagai periode waktu

GRK CO2 CH4 N2O

Konsentrasi sebelum revolusi industri 280 ppm 700 ppb 270 ppb

Konsentrasi pada 1998 365 ppm 1745 ppb 314 ppb

Rata-rata kenaikan konsentrasi 1,5 ppm/th 7,0 ppb/th 0,8 ppb/th

Atmospheric lifetime 5-200 th 12 th 114 th

Sumber : IPCC 2007

2. 3 Fotosintesis dan Respirasi

Fotosintesis merupakan satu-satunya proses alam yang dapat memanfaatkan energi dari cahaya matahari menjadi energi kimia dari senyawa sederhana (CO2 dan air) yang tersedia di alam untuk membentuk senyawa karbohidrat dan oksigen. Hairiah (2007) menyatakan proses fotosintesis dan respirasi tanaman merupakan fungsi dari berbagai variabel lingkungan dan tanaman, termasuk diantaranya adalah radiasi matahari, temperatur dan kelembaban udara dan tanah, ketersediaan air dan hara, luas daun, lapisan ozon di udara dan polutan lainnya. Dengan demikian perubahan iklim akan berpengaruh kepada tanaman melalui berbagai jalan. Laju fotosintesis mungkin akan berkurang karena matahari tertutup awan tebal, tetapi ada kemungkinan juga akan meningkat karena konsentrasi CO2 di udara meningkat. Semua proses yang berhubungan dengan respirasi umumnya sensitif terhadap peningkatan suhu, terutama akar-akar halus dan organisme heterotropik dalam tanah. Meningkatnya temperatur tanah maka dalam waktu singkat akan diikuti oleh meningkatnya laju mineralisasi bahan organik tanah dan pelepasan hara ke dalam tanah. Hal tersebut mendorong terjadinya kembali proses fotosintesis, meningkatnya luas permukaan daun, sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun untuk jangka panjang, respirasi tanah akan menyesuaikan dengan kenaikan suhu tanah, dan kembali menjadi normal.

Gadner et al. (1991) menyatakan bahwa fotosintesis merupakan proses penangkapan energi yang berasal dari matahari oleh chlorophyll untuk pembentukan gula dengan bahan baku CO2 dan H2O seperti terlihat pada proses terjadinya fotosintesis berikut ini :

Adapun tiga tahap dalam fotosintesis adalah : 1. Absorbsi cahaya dan retensi energi cahaya 2. Konversi energi cahaya ke energi kimia 3. Stabilisasi dan penyimpanan potensi kimia

Proses fotosintesis terjadi dalam dua fase yakni terang dan gelap. Reaksi terang disebut juga reaksi fotokimia dimana terjadi penangkapan energi cahaya oleh klorofil dan pengubahan ADP menjadi ATP pada proses fotofosforilasi. Pada reaksi ini terjadi pemecahan molekul air menjadi hidrogen dan oksigen. Oksigen dilepaskan sebagai molekul oksigen bentuk bebas dan hidrogen ditangkap oleh NADP. Hasil reaksi terang berupa ATP dan NADPH dimanfaatkan dalam reaksi gelap. Reaksi gelap terjadi penangkapan CO2 dari udara dan mengalami reduksi menjadi CH2O yang berlangsung tanpa ada hubungannya dengan cahaya langsung dan tidak dipengaruhi oleh suhu. Reaksi gelap terjadi di dalam stroma dari kloroplas dimana pada reaksi ini terdapat rangkaian proses yang membentuk Photosynthetic Carbon Reduction Cycle yang biasa disebut dengan siklus Calvin. Siklus Calvin merupakan lintasan pembentukan gula yang utama dalam tumbuhan. Dalam siklus Calvin terdapat 3 tahapan yang penting yaitu karboksilasi, reduksi dan regenerasi (Miftahudin 2008).

Jika fotosintesis menyediakan molekul organik yang dibutuhkan tumbuhan, respirasi melepas energi yang tersimpan di dalam senyawa karbon untuk digunakan oleh sel. Dalam tumbuhan substrat respirasi berasal dari sukrosa, heksosa fosfat dan triosa fosfat yang berasal dari fotosintesis dan perombakan pati. Respirasi merupakan kebalikan dari fotosintesis. Respirasi pada tanaman berupa oksidasi molekul organik (C6H12O6) oleh oksigen sehingga menghasilkan CO2 danH2O. Proses respirasi merupakan proses penggunaan cadangan makanan yang merubah ATP menjadi ADP dan menghasilkan energi. Adapun persamaan reaksi proses respirasi adalah :

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6 H2O + energi

Miftahudin (2008) menyatakan bahwa tahapan reaksi pada proses respirasi meliputi tahapan glikolisis, siklus asam sitrat/siklus Krebs, reaksi dari lintasan pentosa fosfat dan fosforilasi oksidatif. Pada proses glikolisis terjadi pemecahan glukosa melalui oksidasi menjadi asam piruvat dengan menghasilkan sejumlah energi dalam bentuk ATP dan NADH. Pada siklus Krebs, asam piruvat dioksidasi secara sempurna menjadi CO2.

2. 4 Biomassa dan Karbon

Biomasssa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) yang terutama tersusun dari senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman. Biomassa tumbuhan adalah jumlah berat kering dari seluruh bagian yang hidup dari tumbuhan dan untuk memudahkannya dibagi menjadi biomassa di atas permukaan tanah (daun, bunga, buah, ranting, cabang, batang) dan biomassa di bawah permukaan tanah (Chapman (1976); Whitten dan Plaskett (1981); Anwar et al. 1984).

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO2 dari udara dan merubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas daun yang disinari, suhu dan sifat masing-masing jenis tumbuhan. Sisa hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan dinamakan produktivitas primer bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi primer bersih (Whitmore 1985). Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi hutan, oleh karena 50% dari biomassa adalah karbon. Biomassa diukur dari biomassa di atas permukaan tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah, dari bagian tumbuhan yang hidup, semak dan serasah (Brown dan Gaston 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi biomasaa tegakan hutan antara lain adalah: umur tegakan hutan, perkembangan vegetasi, komposisi dan strukur tegakan hutan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor iklim seperti suhu dan curah hujan.

Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO2, dari atmosfer melalui stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO2 ke atmosfer (Campbell et al. 2004).

2. 5 Pemodelan Biomassa dan Karbon

Berdasarkan cara memperoleh data, Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha). Sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa.

Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa di atas tanah ke dalam 2 golongan, yaitu :

1. Metode pemanenan

a. Metode pemanenan individu tanaman

Metode ini diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan pohon cukup rendah dengan komunitas jenis sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh.

b. Metode pemanenan kuadrat

Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen di dalam suatu unit area tertentu

c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. Metode ini cocok diterapkan pada tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan kemudian ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh.

2. Metode pendugaan tidak langsung a. Metode hubungan allometrik

Persamaan alometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dengan biomassanya. Untuk membuat persamaan ini, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter

ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area contoh tertentu.

b. Crop meter

Pendugaan biomssa dengan metode ini dilakukan dengan cara menggunakan seperangkat elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan

electrical capacitance yang dihasilkan.

Pemodelan adalah pengembangan analisis ilmiah yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang berarti bahwa dalam memodelkan suatu ekosistem akan lebih mudah dibandingkan dengan ekosistem sebenarnya (Onrizal 2004). Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan tinggi dan diameter pohon (Jhonsen et al.

2001).

Untuk menduga biomassa atas permukaan, persamaan alometrik yang menghubungkan biomassa dan komponen tegakan yang mudah diukur seperti diameter batang sangat diperlukan. Niklas (1994) menyebutkan alometrik berasal dari bahasa Yunani dari allos (other, lain) dan metron (measure, pengukuran). Persamaan alometrik biasa digunakan dalam ilmu biologi untuk menggambarkan perubahan sistematis dari morfogenesis, fisiologi, adaptasi dan evolusi (Huxley 1993). Persamaan ini biasanya memerlukan pengukuran langsung dengan menebang pohon (destructive sampling).

Persamaan umum yang biasa digunakan untuk menduga biomassa (JICA dan FORDA 2005) adalah :

Y = bxa dimana:

Y = biomassa kering pohon (kg) x = diameter pohon setinggi dada (cm) a = eksponen allometrik

Model Y = bxa merupakan model yang paling banyak digunakan peneliti,

meskipun terdapat variasi bentuk persamaan lainnya. Pada tabel berikut disajikan persamaan alometrik yang telah dipublikasikan pada berbagai tipe hutan di daerah tropis dan subtropis.

Tabel 4 Persamaan alometrik pada berbagai tipe hutan

Klasifikasi umum

Kelompok jenis

Persamaan Peneliti Max

Dbh Daerah Tropis

Kering Campuran W = 0,2035 x Dbh 2,3196 Brown (unpublished) 63 cm Kering Campuran W =10 (-0,535+log10basal area) Brown (1997) 30 cm

Lembab Campuran W =exp(-2,289 + 2,649x lnDbh- 0,021xlnDbh2)

Brown (1997) 148 cm Basah Campuran W =21,297-6,953xDbh+0,740 x

Dbh2

Brown (1997) 112 cm

Cecropia Cecropia W =12,764 +0,25588xDbh 2,0515 Winrock 40 cm

Palma Palma(asai & pataju) W=6,666+12,826xtinggi0,5x ln(tinggi) Winrock Tinggi 33 m

Palma Palma W= 23,487+41,851x[ln(tinggi)]2 Winrock Tinggi

11 m

Liana Liana W=exp(0,12+0,91xlog(BA Dbh) Putz (1983) 12 cm

Daerah Subtropis Hardwood Campuran W = 0,5 + (25000 x Dbh2,5)/ (Dbh 2,5 + 246872) Schroeder et al. (1997) 85 cm Hardwood Campuran W =exp(-2,48 + 2,4835) x lnDbh Jenkins et al. (2003) 70 cm Hardwood Campuran W=exp(-2,9132+0,9232xln

(Dbh2 x tinggi) Winrock 85 cm Softwood Pinus W=0,887+[(10486xDbh2,48)/ (Dbh2,84 + 376907)] Brown dan Schroeder (1999) 56 cm Hardwood Soft maple/birch

W=exp(-1,9123+2,3867x lnDbh) Jenkins et al. (2003) 66 cm Softwood Cedar/larch W=exp(-2,0336+2,2592x lnDbh) Jenkins et al. (2003) 250 cm Softwood Pinus W=exp(-2,5356+2,4349x lnDbh) Jenkins et al. (2003) 180 cm Softwood Spruce W=exp(-2,0773+2,3323 x lnDbh Jenkins et al. (2003) 250 cm Softwood Douglas-fir W=exp(-2,2304+2,4435xln Dbh) Jenkins et al. (2003) 210 cm Sumber : Pearson et al. (2008)

Chave et al. (2005) telah merangkum beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa diatas permukaan tanah, yaitu :

W = F x ρ x (πD2/4) x H W = F x (ρ x (πD2/4) x H)β W = c ρD2+B ln W= α+ β1 ln (D)+ β2 ln (H)+ β3 ln (ρ) ln W= a+ b[ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 ln W = α+ β2 ln (D2H ρ) ln W = α+ ln (D2H ρ) ln W= a+ b[ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 + ln W= a+ b[ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]33 [ln (ρ)] ln W = a + b ln(D) + ln (ρ)

Dokumen terkait