• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedelai

Kedelai merupakan sumber protein nabati yang memiliki peran penting dalam meningkatkan gizi masyarakat. Oleh karena itu kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi bagi kesehatan, yang mendorong berkembangnya industri pangan. Industri yang memerlukan kedelai dalam jumlah besar antara lain adalah industri tahu, tempe, susu dan kecap. Tahun 2002 kebutuhan kedelai untuk tahu dan tempe mencapai 1,78 juta ton atau 88% dari total kebutuhan nasional. Secara keseluruhan, kebutuhan kedelai pada tahun 2004 mencapai 2,02 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru 0,71 juta ton, sehingga diperlukan impor yang jumlahnya cukup besar, yaitu 1,31 juta ton (Departemen Pertanian 2007).

Kedelai (Glycine max Merr.) merupakan tanaman semak yang tumbuh tegak

dan di alam tidak terdapat sebagai tumbuhan liar, kedelai diduga berasal dari

hibridisasi antara Glycine ussuriensis (Regel) yang merupakan kedelai liar yang

terdapat di seluruh Asia bagian timur, dan Glycine tomentosa (Benth) yang

tumbuh liar di Cina bagian selatan (Prihatman 2000). Pada awalnya, kedelai

dikenal dengan beberapa nama botani, yaitu Glycine soja dan Soja max. Namun

pada tahun 1948 telah disepakati bahwa nama botani yang dapat diterima dalam

istilah ilmiah, yaitu Glycinemax (L.) Merill.

Di salah satu negara bagian Amerika Serikat, terdapat areal pertanaman kedelai yang sangat luas sehingga memberikan kontribusi 57 % kedelai dunia. Di Indonesia, saat ini kedelai banyak ditanam di dataran rendah yang tidak banyak mengandung air, seperti di pesisir Utara Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Utara (Gorontalo), Lampung, Sumatera Selatan dan Bali.

Varietas kedelai berbiji kecil, sangat cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 0,5-300 m dari permukaan laut (dpl), sedangkan varietas yang berbiji besar cocok ditanam di lahan dengan ketinggian 300-500 m dpl. Namun demikian kedelai biasanya akan tumbuh baik pada ketinggian tidak lebih dari 500 m dpl (Prihatman 2000).

4

Layu Sclerotium (Sclerotium rolfsii Sacc.)

Salah satu ancaman dalam upaya peningkatan produksi kedelai adalah

gangguan penyakit layu sclerotium yang disebabkan oleh cendawan S. rolfsii.

Patogen inimerupakan penyebab penyakit potensial pada tanaman kedelai, karena

langsung menyerang pada jaringan tanaman dengan memproduksi miselium yang berlimpah dan menghancurkannya dengan mensekresi asam oksalis, pektinolitik, selulolitik, dan enzim lain setelah penetrasi pada jaringan inang (Agrios 2005).

Infeksi S. rolfsii pada kedelai biasanya mulai terjadi di awal pertumbuhan

tanaman dengan gejala busuk kecambah atau rebah semai. Pada tanaman kedelai berumur lebih dari 2-3 minggu, gejalanya berupa busuk pangkal batang dan layu, pada bagian terinfeksi terlihat bercak berwarna coklat pucat dan di bagian tersebut tumbuh miselia cendawan berwarna putih (Punja 1988). Tanda yang paling mudah dikenali dari penyakit ini adalah adanya miselium cendawan berwarna putih seperti bulu pada pangkal batang yang sakit atau pada permukaan tanah (Gambar 1).

Gambar 1 Layu sclerotium pada tanaman kedelai Sumber : http://www.ces.ncsu.edu/depts

S. rolfsii merupakan cendawan patogen tular tanah yang umum terdapat di

daerah tropis dan subtropis (Punja 1988). S. rolfsii memiliki kisaran inang yang

luas yaitu lebih dari 500 spesies tumbuhan termasuk tanaman dikotil dan

beberapa spesies monokotil (Aycock 1966). Isolat S. rolfsii yang berasal dari

daerah geografi berbeda menunjukkan perbedaan morfologi (struktur koloni dan bentuk sklerotia), serta respon pertumbuhan pada suhu dan media berbeda (Naik & Rani 2008).

Cendawan S. rolfsii membentuk miselium tipis, berwarna putih, teratur

5

tanah dengan membentuk struktur bertahan berupa sklerotia. Sklerotia merupakan kumpulan miselia cendawan yang memampat (Gambar 2B), berbentuk butiran keras dengan diameter sekitar 1-2 mm berwarna kecoklatan, dan mampu bertahan lama di dalam tanah dan residu tanaman. Sklerotia mampu bertahan dalam tanah dalam waktu yang cukup lama dari 2 tahun hingga 10 tahun (Messiaen 1994). Sklerotia dapat tersebar oleh aliran air, alat-alat pertanian yang terkontaminasi, dan benih.

Gambar 2 Isolat cendawan S. rolfsii pada media PDA (A) miselium cendawan

S. rolfsii tipis, berwarna putih, teratur seperti bulu (B) Sklerotia

cendawan S. rolfsii merupakan kumpulan miselia cendawan yang

memampat

Seduhan Kompos (Compost Tea)

Seduhan kompos (compost tea) merupakan ekstrak air dari bahan kompos

yang mengandung nutrisi terlarut baik organik maupun anorganik, serta kaya akan berbagai organisme seperti bakteri, cendawan, protozoa dan nematoda (ROU 2003). Seduhan kompos dibuat dengan menambahkan sumber makanan mikroba seperti molase, asam humat, rumput laut dan lainnya baik secara aerob maupun anaerob dan menumbuhkan populasi mikroorganisme bermanfaat (Ingham 2005; Scheuerell 2003).

Seduhan kompos dibuat dengan mencampurkan kompos dan air kemudian diinkubasikan selama waktu tertentu, baik menggunakan metode aerasi maupun tanpa aerasi dan dengan atau tanpa sumber nutrisi mikroba untuk meningkatkan keberagaman populasi mikroba (NOSB 2004; Scheuerell & Mahaffee 2002). Pada

metode seduhan kompos tanpa aerasi (NCT; Non aerated compost tea) tidak

6

terdapat pasokan oksigen untuk mikroba (Scheuerell 2003), sehingga proses produksinya terjadi dalam kondisi anaerob yang menyebabkan terbatasnya pertumbuhan mikroorganisme (Kelley 2004). Seduhan kompos dengan aerasi

(ACT; Aerated compost tea) dilakukan dengan mencampurkan air dengan kompos

yang telah matang kemudian diaerasi selama waktu tertentu, sehingga prosesnya berlangsung dalam kondisi aerob.

Seduhan kompos dengan aerasi (ACT) dapat disiapkan dalam 2 hingga 3 hari. Singkatnya waktu dalam pembuatan seduhan kompos dengan aerasi lebih menguntungkan bagi pengguna karena lebih cepat untuk mengantisipasi penyakit sebelum menyebar lebih luas (Kelley 2004). Selain itu, pembuatan seduhan kompos dengan aerasi tidak menghasilkan bau dan dapat mengurangi risiko kontaminasi patogen manusia. Sementara itu, seduhan kompos tanpa aerasi dapat disiapkan hingga 2 minggu. Lamanya waktu fermentasi dapat meningkatkan antibiotik dalam seduhan kompos yang diduga dapat merespon ketahanan alami tanaman yang dapat membantu dalam menekan penyakit (Scheuerell 2003). Seduhan kompos tanpa aerasi dapat menimbulkan bau yang tidak enak dibandingkan dengan seduhan kompos dengan aerasi.

Tujuan utama produksi dan aplikasi seduhan kompos adalah penekanan kejadian penyakit dan menambah nutrisi tanaman. Ada beberapa mekanisme dalam pengendalian penyakit menggunakan seduhan kompos, yaitu antibiosis, parasitisme serta antagonistik mikroba dan nutrisi untuk tanaman yang terkandung dalam seduhan kompos. Penekanan patogen oleh mikroorganisme bermanfaat antara lain berupa kolonisasi mikroba antagonis pada permukaan daun sehingga menghambat pertumbuhan patogen, bersaing mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan patogen, mensekresi metabolit sekunder (antibiotik) di permukaan daun, memarasiti patogen secara langsung, dan merangsang ketahanan alami tanaman (Scheuerell 2003; Kelley 2004).

Seduhan kompos dapat diaplikasikan pada tanah dengan menyiramkannya di daerah perakaran atau pada daun tanaman. Seduhan kompos telah lama digunakan untuk mengendalikan penyakit daun dengan aplikasi penyemprotan

pada permukaan daun (Yohalem et al. 1994). Beberapa hasil penelitian

7

seperti embun tepung dan embun bulu pada anggur yang disebabkan oleh

Uncinula necator and Plasmopara viticola (Yohalem et al. 1994) dan efektif

menekan penyakit rebah kecambah (damping off) pada timun yang disebabkan

Dokumen terkait