• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buah Mangga

Mangga (Mangifera indica L.) merupakan jenis tanaman yang berasal dari sekitar perbatasan India dengan Burma. Tanaman ini kemudian menyebar ke wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pohon mangga termasuk tumbuhan tingkat tinggi yang struktur batangnya (habitus) termasuk ke dalam kelompok arboreus, yaitu tumbuhan berkayu yang mempunyai tinggi batang lebih dari 5 m. Umumnya pohon mangga dapat tumbuh mencapai tinggi 10-40 m. Jenis yang banyak ditanam di Indonesia, diantaranya adalah mangga arumanis, Indramayu, golek, gedong, manalagi dan cengkir serta dari jenis Mangifera foetida yaitu kemang dan kweni. Penampakan tanaman serta berbagai macam bentuk buah mangga ditunjukkan oleh Gambar 1. Klasifikasi botani tanaman mangga adalah sebagai berikut (Prihatman 2000) :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Sapindales Keluarga : Anarcadiaceae Marga : Mangifera

Jenis : Mangifera indica L.

Buah mangga memiliki kulit buah yang agak tebal, berwarna hijau, kekuningan atau kemerahan jika telah masak. Ciri-ciri daging buah yang masak yaitu memiliki warna kuning hingga merah jingga, beberapa varietas berserabut namun ada juga yang tidak, memiliki rasa manis hingga asam dengan kandungan air tinggi, berbau kuat, terjadi penebalan lapisan bedak pada bagian kulit luar, pemunculan bintik cokelat pada 2/3 lebih bagian panjang buah dan menghasilkan nada tinggi jika buah diketuk dengan jari. Mangga yang telah masak merupakan buah meja yang banyak digemari masyarakat. Sedangkan buah mangga yang muda dapat diawetkan dengan kadar gula tinggi menjadi manisan baik dalam bentuk basah atau kering.

(a) (b)

(c)

Gambar 1. (a) Tanaman mangga (b) dan (c) berbagai bentuk dan macam buah mangga (sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:Mangues.JPG).

Tanaman mangga cocok untuk hidup di daerah dengan musim kering selama 3 bulan. Masa kering diperlukan sebelum dan sewaktu berbunga. Jika ditanam di daerah basah, tanaman mengalami banyak serangan hama dan penyakit serta gugur bunga/buah jika bunga muncul pada saat hujan. Mangga yang ditanam di dataran rendah dan menengah dengan ketinggian 0-500 m dpl dapat menghasilkan buah yang lebih bermutu dan jumlahnya lebih banyak dari pada di dataran tinggi (Prihatman 2000).

Buah mangga mengandung banyak vitamin, fitokimia dan nutrisi. Buah ini kaya serat makanan prebiotik, vitamin C, polifenol, dan karotenoid provitamin A. Mangga mengandung vitamin A (25%), C (76%) dan E (9%), vitamin B6 (piridoksin, 11%), vitamin K (9%) berdasarkan referensi asupan diet dalam 165 gram sajian (Olivia 2010). Mangga juga mengandung vitamin B dan nutrisi penting seperti kalium, tembaga dan 17 asam amino. Daging buah mangga umumnya memiliki kandungan air 70%-85% dan kandungan energi sebesar 73 kal per 100 gram. Mangga mengandung karbohidrat berupa gula sebesar 16-18 % yang didominasi oleh sukrosa hingga mencapai mencapai 7-12 % (Federich dan Setiawan 2011).

Selain itu, mangga juga mengandung serat tinggi, kalsium dan fosfor yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Di Indonesia, banyak jenis mangga yang memiliki keunggulan untuk dibuat produk olahan. Sebagai contoh mangga kopyor (kadar sarinya tinggi, baik untuk jus, sirup dan selai), mangga kweni (aromanya kuat, bagus untuk sirup dan selai), mangga gadung (warna dan aromanya menarik, cocok dijadikan buah kering dan jus), mangga lalijiwo (berserat halus, bagus untuk jus, selai, dan buah kering), serta mangga cedang dan cempora (berserat halus, warnanya menarik, beraroma kuat dan baik).

Pangan Semi Basah (Intermediate Moisture Foods)

Produk pangan semi basah atau intermediate moisture foods (IMF) merupakan jenis makanan dengan kadar air antara10-40%, nilai aktivitas air (aw) berkisar antara 0.6-0.9 serta mempunyai tekstur yang plastis (Soekarto 1979). Produk IMF memiliki sifat cukup basah sehingga dapat langsung dimakan tanpa rehidrasi serta cukup kering sehingga stabil selama penyimpanan. Menurut

Christine (2008), IMF adalah produk pangan yang memiliki tekstur lunak, diolah menggunakan satu perlakuan atau lebih, dapat dikonsumsi langsung serta memiliki daya simpan panjang tanpa perlakuan sterilisasi termal, pendinginan ataupun pembekuan.

Pada pengolahan IMF, aktivitas air, kadar air, maupun tekanan uap air dalam berbagai keadaaan sangat berpengaruh terhadap reaksi kimia, tekstur, kandungan gizi serta daya tahan produk terhadap mikroba. Kadar air yang terdapat dalam bahan pangan sangat berperan besar dalam reaksi oksidasi dan pencoklatan non enzimatis. Sedangkan aktivitas air merupakan faktor utama pengendali mikroorganisme pada IMF. Setiap mikroorganisme membutuhkan jumlah air dan aw minimum yang berbeda untuk mendukung pertumbuhannya. Pada umumnya, bakteri hidup pada aw >0.9, kapang hidup pada aw 0.6-0.7 dan khamir hidup pada aw 0.8-0.9 (Fennema 1996). Proses pengolahan IMF sebagai metode pengawetan produk menggunakan energi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan metode pengeringan konvensional, refrigerasi, pembekuan dan pengalengan. Proses pembuatan IMF terbagi menjadi 4 kategori (Christine 2008), antara lain:

1. Pengeringan parsial dengan menggunakan matahari atau dehidrator yang biasanya digunakan pada bahan makanan yang banyak mengandung humektan alami. Contoh IMF kategori ini adalah buah kering seperti kismis, sirup maple dan lain-lain. Humektan adalah bahan yang dapat menurunkan nilai aw tetapi dapat mempertahankan kandungan air yang terdapat pada produk serta dapat berfungsi sebagai plasticizer (Taoukis et. al. 1999). Terdapat beberapa kategori senyawa higroskopik yang dapat digunakan sebagai humektan yaitu garam mineral dan organik, gula dan turunan protein.

2. Pengeringan/ dehidrasi osmosi (osmotic drying), dimana potongan bahan direndam dalam larutan campuran air dan humektan untuk menurunkan aw. Adanya perbedaan tekanan osmolalitas menyebabkan air berdifusi keluar dari bahan dan humektan akan berdifusi ke dalam bahan.

3. Pencelupan kering (dry infution) merupakan metode yang memerlukan energi lebih tinggi, dimana bahan pangan mula-mula didehidrasi kemudian

direndam dalam larutan air-humektan sampai mencapai aw yang diinginkan.

4. Pencampuran (blending), dimana berbagai bahan pangan termasuk humektan dicampur kemudian diikuti dengan perlakuan ekstrusi, pemasakan, dan perlakuan lain untuk mencapai kondisi aw yang diinginkan. Menurut Sudarsono (1981), pangan semi basah dapat digolongkan berdasarkan daya awetnya, yaitu daya awet antara 0-1 minggu (seperti tape ubi kayu), daya awet antara 1 minggu sampai 1 bulan (seperti ikan pindang), dan daya awet lebih dari 1 bulan (seperti dodol garut dan kecap).

Pembuatan IMF terutama didasarkan pada penurunan nilai kadar air diikuti oleh nilai aktifitas air sampai tingkat mikroba patogen dan pembusuk tidak dapat tumbuh, tetapi kandungan air pada bahan masih cukup. Produk IMF dibagi menjadi dua tipe, yaitu tradisional dan modern. Jenis IMF tradisional dibuat menggunakan pengeringan dari panas matahari untuk mengurangi kandungan air yang terdapat di dalam produk. IMF tradisional juga merupakan hasil olahan tanpa penambahan humektan, hasil olahan dengan penambahan gula, hasil olahan dengan penambahan gula dan garam, serta aneka produk roti (bakery product). Jenis IMF modern diolah dengan menggunakan pendekatan teknologi pangan, antara lain (1) menurunkan nilai aw dengan penambahan polihidrat alkohol, gula dan atau garam, (2) pencegahan pertumbuhan mikroorganisme dengan penambahan komponen antimikroba dan komponen antibakteri, seperti propilen glikol dan asam sorbat, dan (3) mempertahankan faktor organoleptik, seperti tekstur dan flavor melalui perlakuan fisika dan kimiawi.

Dehidrasi Osmotik

Pengeringan osmotik atau disebut juga dehidrasi osmotik merupakan salah satu metode pengawetan bahan pangan dengan menggunakan tekanan osmotik untuk mengeluarkan sebagian kandungan air pada bahan. Pada proses dehidrasi osmotik, bahan pangan direndam ke dalam media osmosis yang memiliki tekanan osmotik lebih tinggi dari tekanan osmotik bahan sehingga air dari dalam bahan

akan keluar ke arah media untuk menyeimbangkan tekanan. Proses osmosis juga dapat didefinisikan sebagai perpindahan larutan hipotonik (larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang lebih rendah) ke larutan hipertonik (larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi) melalui sebuah membran semi permeabel. Sebagai akibat pengeluaran air dari dalam bahan tanpa perubahan fase cairan, maka proses dehidrasi osmotik dianggap sebagai metode pengawetan bahan pangan dan hasil pertanian yang menghasilkan mutu tinggi (Rastogi et al. 1997).

Dehidrasi osmotik dilakukan dengan perendaman bahan (sayuran, buah-buahan atau daging) ke dalam larutan hipertonik seperti gula, garam dapur, sorbitol, gliserol dan lain sebagainya. Karena adanya beda tekanan osmotik antara struktur biologis sel yang berfungsi sebagai membran dan larutan hipertonik, serta sifat membran alami yang tidak 100% semi permeabel, maka terjadi suatu transfer massa yang kompleks (Saputra 2001). Pada dehidrasi osmotik terjadi penurunan kadar air bahan yang diikuti dengan peningkatan padatan pada bahan serta pertukaran komponen kimia. Difusifitas padatan (gula, garam dan sebagainnya) pada larutan lebih lambat dari laju difusifitas air keluar dari bahan. Kecepatan laju reaksi proses pengeringan osmotik dipengaruhi oleh beberapa parameter utama, yaitu suhu, konsentrasi dan waktu (Rastogi et al. 1997, Karathanos et al. 1995). Produk akhir dehidrasi osmotik akan memiliki massa yang lebih rendah serta ukuran yang relatif menyusut dibandingkan dengan produk segar sebagai akibat adanya perpindahan air dari produk ke larutan seperti ditunjukkan oleh ilustrasi pada Gambar 2.

Jenis dan konsentrasi media osmotik sangat mempengaruhi pengeringan dan mutu yang dihasilkan. Karathanos et al. (1995) menemukan bahwa larutan glukosa dengan konsentrasi 45% memberikan laju kehilangan yang paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi larutan 30% dan 15%. Sukrosa dianggap sebagai bahan larutan osmotik terbaik, terutama bila pengeringan osmotik merupakan bagian dari pengeringan awal (Saputra 2001). Sukrosa pada permukaan bahan yang dikeringkan membantu menghalangi kontak dengan oksigen, yang berakibat terhadap penurunan laju pencoklatan (enzymatic browning). Sukrosa juga lebih dapat diterima ditinjau dari segi rasa manis yang

diakibatkannya pada produk akhir. Proses dehidrasi osmotik dapat digunakan untuk perlakuan pengeringan awal yang dapat menurunkan kadar air bahan sampai 50% dari kadar air awal bahan (Karathanos et al. 1995).

Gambar 2. Ilustrasi perpindahan air pada sel produk (buah) akibat perendaman dengan larutan hipertonik selama proses dehidrasi osmotik.

 

Dehidrasi osmotik merupakan salah satu metode pengawetan bahan pangan yang saat ini telah menjadi sebuah kebutuhan dalam rantai pengolahan pangan yang terintegrasi (Rastogi et al. 1997). Efisiensi dari proses pengeringan osmotik dapat disebabkan oleh :

• Komposisi dan konsentrasi dari larutan osmotik.

• Karakteristik fisika-kimia dan struktur bahan pangan tersebut ; porositas sel dan permeabilitas membran.

• Parameter operasional seperti waktu, suhu (optimum pada 20-50 oC), tekanan operasi dan lain-lain.

• Hubungan antara volume larutan osmotik dengan bahan yang dikeringkan. • Penanganan pasca panen bahan ; fisik, mekanik dan kimiawi.

Sejauh ini pengeringan osmotik telah secara luas digunakan dalam industri produk pangan, terutama untuk penanganan awal pada proses pengawetan buah-buahan. Umumnya produk buah-buahan mengandung 75% air dan banyak penelitian telah membuktikan bahwa dengan metode pengeringan osmotik dapat mengurangi 50% kandungan air pada bahan (Warczok et al. 2007). Jenis, konsentrasi media osmotik dan lama perendaman dalam larutan berpengaruh nyata terhadap pengurangan air dan peningkatan padatan. Ketebalan sampel berpengaruh terhadap kehilangan air dan peningkatan padatan. Konsentrasi terbaik untuk penggunaan gula adalah 50% dan media yang terbaik adalah sukrosa komersial (Saputra 2006). Beberapa contoh aplikasi pengeringan osmotik dalam produk pangan ditunjukkan oleh Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Aplikasi dehidrasi osmotik dalam produk pangan. Jenis Produk

Pangan

Kondisi Penanganan (konsentrasi dan jenis larutan osmosis, suhu, waktu pencelupan,

rasio larutan dengan produk.

Objek Pengamatan Pustaka Apel, Nanas 50, 60, 70 oBx Sukrosa ; 30, 40, 50 oC ; 1-5

jam; 4:1

Irisan daging buah Sujata dan Das 2005 Pisang (varietas Cavemdish) 40, 50, 60, 70 oBx Sukrosa ; 25-45 oC ; 5 jam; 20:1

Irisan daging buah Rastogi et al. 2005 Tomat chery 10, 25 % (w/w) NaCl, NaCl-sukrosa

suhu ruang ; 0.5–3 h; 10:1

tomat yang telah dilubangi (dibuat berpori)

Azoubel dan Murr 2000 Pir 55 ºBx sukrosa; 40 ºC; 2 jam bentuk dadu 1 cm3 Park et al.

Filtrasi Membran

Membran adalah suatu fase permeabel atau semi permeabel berupa padatan polimer tipis yang dapat menahan pergerakan bahan tertentu. Menurut Scott dan Hughes (1996), kegunaan utama membran dalam industri ialah untuk filtrasi padatan tidak larut berukuran mikron dan submikron dari cairan dan gas yang mengandung padatan terlarut, perpindahan makromolekul dan koloid dari cairan yang mengandung ion, pemisahan campuran terlarut, pemisahan selektif gas dan uap dari aliran gas dan uap, transpor selektif ion, serta pemindahan semua bahan yang larut maupun tidak larut dalam air.

Secara umum, bahan membran dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu polimer sintetik, produk alami-termodifikasi yang berbahan dasar selulosa, serta bahan lainnya seperti bahan anorganik, keramik, logam, dan membran cair. Sifat-sifat yang harus dimiliki membran diantaranya ialah ketahanan kimia, stabilitas mekanik, stabilitas termal, permeabilitas tinggi, selektivitas tinggi, serta mempunyai jumlah pengoperasian yang tinggi. Aplikasi umum membran pada penanganan air, aplikasi proses, dan penanganan limbah membuka peluang aplikasi membran yang potensial pada dunia industri (Scott dan Hughes 1996).

Menurut Toledo (1991), filtrasi adalah suatu proses pemisahan dua atau lebih komponen dalam suatu aliran fluida. Proses ini digunakan untuk memisahkan padatan, komponen tidak larut, dan partikel lain yang tidak dikehendaki dalam suatu cairan. Filtrasi dibagi menjadi 2 bagian, yaitu filtrasi partikel konvensional (dead-end filtration) dan filtrasi membran (crossflow filtration). Pemisahan partikel tersuspensi yang berukuran lebih besar dari 10 µm dapat dilakukan dengan menggunakan filtrasi partikel konvensional, sedangkan partikel yang berukuran lebih kecil dari 10 µm dipisahkan menggunakan filtrasi membran.

Aliran umpan dapat dibagi menjadi 2, yaitu aliran permeat (zat yang dapat dialirkan melalui membran) dan retentat (zat yang ditahan oleh membran). Penggambaran kedua sistem tersebut ditunjukkan pada Gambar 3 (Mulder 1996). Pada sistem dead-end, larutan umpan dialirkan secara tegak lurus terhadap membran sehingga terjadi peningkatan konsentrasi komponen-komponen yang tertahan pada permukaan membran dan terjadi penurunan laju permeat yang

melalui membran. Sementara pada sistem crossflow, aliran umpannya sejajar dengan membran sehingga fouling dapat dikurangi.

Gambar 3. Skema modul operasi dasar dead-end (a), crossflow (b).

Kinerja dan efisiensi membran ditentukan oleh dua parameter utama, yaitu selektivitas dan fluks membran (Mulder 1996). Fluks ialah jumlah volume permeat yang melewati satu satuan luas membran dalam waktu tertentu dengan adanya gaya dorong. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai fluks antara lain tekanan membran, kecepatan crossflow, dan konsentrasi larutan. Permasalahan utama pada filtrasi membran adalah munculnya fouling dan polarisasi konsentrasi yang dapat menurunkan kinerja fluks membran.

Menurut Henry (1988), fouling disebabkan oleh akumulasi partikel pada permukaan membran yang semakin lama semakin menumpuk sehingga mengakibatkan penurunan fluks dan perubahan selektivitas. Menurut Cheryan (1998), fouling sangat dipengaruhi oleh karakteristik membran dan interaksinya dengan material yang akan difiltrasi. Sedangkan polarisasi konsentrasi intensitasnya dipengaruhi oleh parameter operasi proses filtrasi membran seperti tekanan transmembran, laju aliran dan suhu. Perbedaan ukuran molekul umpan juga dapat menurunkan nilai fluks, karena semakin besar ukuran molekul zat yang dialirkan melalui membran, semakin mungkin terbentuk lapisan gel pada permukaan membran yang dapat menghambat laju alir. Menurut Cheng dan Wu (2001), terdapat dua parameter penting yang berpengaruh terhadap kinerja membran, yaitu resistansi (rejeksi) membran dan fluks permeat. Secara umum, fluks akan menentukan jumlah permeat yang dapat dihasilkan, sedangkan

Umpan Umpan Permeat (a) Retentat Permeat (b)

selektivitas membran berkaitan dengan kualitas permeat. Selektivitas membran merupakan suatu ukuran membran dalam menahan atau melewatkan suatu spesi tertentu. Selektivitas membran tergantung kepada interaksi antarmuka dengan spesi yang akan melewatinya, ukuran spesi serta ukuran pori membran.

Filtrasi membran adalah sebuah teknik pemisahan partikel di dalam suatu komponen larutan tertentu dengan memanfaatkan pori-pori selektif membran. Partikel akan terpisah berdasarkan ukuran dan bentuknya dengan bantuan tekanan yang diberikan serta karakteristik pori membran yang digunakan. Ukuran pori membran merupakan salah satu karakteristik membran yang dapat diperoleh dengan meninjau energi bebas ion ketika berada dalam membran. Energi bebas ion dapat diperoleh dari hubungan konduktansi listrik dengan variabel suhu. Dengan bantuan teknik linearisasi dari energi bebas maka diperoleh nilai ukuran pori membran. Terdapat beberapa metode filtrasi membran dilihat dari ukuran pori, diantaranya adalah osmosis balik/reverse osmosis (RO), nanofiltrasi (NF), ultrafiltrasi (UF), dan mikrofiltrasi (MF). Karakteristik masing-masing metode filtrasi ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4. Parameter operasional sistem filtrasi membran yang umumnya digunakan pada industri pengolahan pangan menurut Tetra Pak A/B, Lund,

Reverse Osmosis / Osmosis Balik (RO)

• Dapat digunakan untuk memisahkan molekul garam, glukosa, dan asam amino/protein.

• Ukuran pori membran : < 0.005 µm. • Tekanan operasi : 200-1,000 psig. Nanofiltrasi (NF)

• Dapat digunakan untuk memisahkan molekul mono-, di- dan oligosakarida.

• Ukuran pori membran : < 0.005 µm. • Tekanan operasi : 100-500 psig. Ultrafiltrasi (UF)

• Dapat digunakan untuk memisahkan molekul protein, lemak dan polisakarida.

• Ukuran pori membran : 0.5-0.05 µm. • Tekanan operasi : 20-200 psig. Mikrofiltrasi (MF)

• Dapat digunakan untuk memisahkan berbagai jenis molekul besar. • Ukuran pori membran : 0.05-5 µm.

• Tekanan operasi : 10-50 psig.

Saat ini teknologi filtrasi membran telah banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman untuk memurnikan, membersihkan, menjernihkan, memekatkan, atau memisahkan komponen dalam produk seperti menghilangkan komponen padatan pada jus dan mengkonsentrasikan protein pada susu. Keuntungan dari pengolahan proses menggunakan filtrasi membran adalah proses kerja yang dapat dilakukan pada suhu rendah (ruang) sehingga rasa dan komponen zat fungsional dari bahan akan tetap terjaga mutunya dengan baik karena teknik pemurnian atau pemisahan yang dilakukan tanpa proses termal yang dapat merusak karakteristik atau sifat bahan pangan.

Distilasi Membran

Distilasi membran adalah suatu teknik filtrasi membran untuk memisahkan komponen cairan dengan memanfaatkan prinsip tekanan uap akibat perbedaan suhu antara komponen zat yang dipisahkan dengan media oleh membran. Distilasi membran umumnya digunakan untuk larutan dimana komponen yang akan dipisahkan mengandung sebagian besar air. Larutan pada sisi umpan akan dipanaskan sehingga molekul air yang terdapat di dalamnya berubah fase menjadi uap, selanjutnya berpindah melewati pori membran dan terkondensasi pada sisi membran permeat karena suhu yang lebih rendah.

Proses distilasi membran harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya ; menggunakan membran simetrik atau asimetrik berpori, bahan membran tidak terbasahkan oleh cairan dan bersifat hidrofobik serta prinsip pemisahan menggunakan perbedaan tekanan uap sehingga hanya fase uap yang akan melewati membran selama proses pemisahan berlangsung. Perbedaan tekanan uap memiliki peran yang sangat besar dalam proses perpindahan uap air. Beberapa jenis metode distilasi membran dibedakan berdasarkan kemampuan meningkatkan perbedaan tekanan uap serta bagian sisi permeat yang mengalami kontak dengan membran, diantaranya adalah sebagai berikut (Gambar 5).

Direct contact membrane distillation (DCMD) merupakan sebuah metode distilasi membran dimana larutan permeat yang memiliki suhu lebih rendah dari suhu larutan umpan bersentuhan langsung/kontak dengan permukaaan sisi membran. Larutan umpan dan permeat dialirkan dengan arah berlawanan melewati permukaan membran dengan menggunakan pompa secara sirkulasi. Dalam hal ini perbedaan suhu transmembran akan menyebabkan perbedaan tekanan uap antara kedua sisi membran. Sehingga komponen volatil dari larutan seperti air pada larutan umpan akan menguap dan menyebrang/melewati pori membran dalam bentuk molekul uap air, kemudian terkondensasi menjadi air pada sisi larutan permeat.

Vacuum membran distillation (VMD) adalah satu metode distilasi membran dengan menggunakan pompa vakum untuk menurunkan tekanan pada sisi permeat sehingga menjadi lebih rendah dari tekanan uap larutan umpan. Pada larutan umpan juga digunakan pompa untuk mensirkulasikan aliran. Perbedaan tekanan

transmembran ini menyebabkan molekul uap pada sisi umpan bergerak menyebrang dan melewati membran kemudian terkondensasi pada sisi permeat di luar modul membran. Proses kondendasi terjadi pada bagian luar membran.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5. Berbagai jenis metode distilasi membran : (a) DCMD, (b) VMD, (c) SGMD dan (d) AGMD (Khayet, 2008).

Sweeping gas membrane distillation (SGMD) merupakan salah satu metode distilasi membran dengan menggunakan gas inert tertentu bersuhu rendah yang melewati bagian dalam membran. Gas tersebut dihembuskan berlawanan dengan arah aliran umpan. Molekul uap air dari larutan umpan yang bergerak melewati pori membran ditangkap oleh gas yang bersuhu lebih rendah kemudian dialirkan

ke sisi permeat membran hingga terjadi kondensasi. Pada SGMD proses kondensasi terjadi pada bagian luar membran.

Air gap membrane distillation (AGMD) menggunakan sebuah celah udara pada bagian antara membran dengan sisi permeat. Molekul uap dari larutan feed akan bergerak melewati pori membran kemudian melewati bagian udara dan terkondensasi pada sisi permeat membran. Selama proses AGMD berlangsung, proses kondensasi terjadi pada bagian dalam model membran.

Setiap jenis metode konfigurasi distilasi membran di atas memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada komponen larutan/zat yang akan dipisahkan. Pemilihan metode yang tepat akan menentukan efektivitas dan efisiensi distilasi membran. Dalam kegiatan agro-industri, membran distilasi telah banyak digunakan untuk memurnikan bahan yang mengandung unsur garam tinggi (monovalent ion) karena cukup efektif dalam memisahkan molekul ion yang berukuran kecil dengan laju aliran fluks padatan yang tinggi (Suarez et al 2006).

Berdasarkan pertimbangan karakteristik pemisahannya, membran distilasi dengan nanofiltrasi juga digunakan dalam permurnian dan fraksinasi molekul dengan berat di bawah 1 kDa pada media yang kompleks. Pendekatan tersebut telah digunakan dalam pemurnian oligosakarida pada susu (Martinez et al. 2006). Selain itu aplikasi membran filtrasi juga telah banyak digunakan dalam teknologi pemurnian air dengan paduan reverse osmosis dan penghilangan garam-garaman serta pemisahan karbohidrat, asam amino, peptida dan protein dalam bioproses.

Direct Contact Membrane Distillation (DCMD)

DCMD merupakan salah satu jenis konfigurasi distilasi membran yang paling sederhana, ekonomis dan banyak digunakan secara luas dibandingkan dengan jenis konfigurasi lainnya. Dalam proses DCMD, larutan umpan dan larutan permeat (distilat) dialirkan secara sirkulasi dan bersentuhan/kontak langsung dengan permukaan membran dengan perbedaan suhu tertentu. Perbedaan suhu

Dokumen terkait