• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1982), adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Sub Kelas : Acanthoptherigi

Ordo : Percomorphi

Sub Ordo : Percoidea

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Pada genus Oreochromis, induk ikan betina mengerami telur dan larvanya dalam rongga mulut, menjaga dan membesarkan larvanya sendiri, dan secara alami ikan nila dapat memijah sepanjang tahun di daerah tropis. Pada umumnya pemijahan ikan nila terjadi pada setiap musim hujan, yaitu 6 – 7 kali/tahun. Ikan nila mencapai fase dewasa pada umur 4 – 5 bulan, dan masa pemijahan produktif induk adalah pada umur 1,5 – 2,0 tahun dengan bobot di atas 500 g/ekor.

Jenis kelamin ikan nila dapat dibedakan pada saat berumur 3-6 bulan, berdasarkan ciri sekunder induk ikan nila jantan dan induk betina (Tabel 1).

Tabel. 1 Ciri-ciri sekunder induk jantan dan induk betina ikan nila

Faktor Pembeda Induk Jantan Induk Betina

Bentuk badan Lebar dan lebih ramping Pendek dan gemuk

Kelamin sekunder Tubuh berwarna hitam kelam dan

pada bagian dagu berwarna putih serta pada bagian ujung sirip ekor berwarna merah cerah

Tubuh berwarna hitam dan dagunya berwarna putih

Jumlah lubang genital Satu, berfungsi sebagai saluran pengeluaran urin dan sperma

Dua, berfungsi sebagai saluran urin dan saluran pengeluaran telur

Alat kelamin Berbentuk tonjolan memanjang dan

meruncing

Berbentuk membundar

Untuk lebih jelas ciri-ciri morfologi dan bagian genital organ reproduksi induk ikan nila disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Induk ikan nila (Oreochromis nilotica) (a) Induk jantan, (b) Induk betina a

b

JANTAN BETINA

Sirip punggung depan Sirip punggung belakang

Sirip ekor

Sirip dada

Sirip perut Sirip dubur

Proses pemijahan ikan nila berlangsung sangat cepat, yaitu dalam waktu 50 – 60 detik mampu menghasilkan 20 – 40 butir telur yang telah dibuahi. Pemijahan terjadi beberapa kali dengan pasangan yang sama atau berbeda hingga membutuhkan waktu 20 – 60 menit. Telur ikan nila berdiameter 2,8 mm, berwarna abu-abu, kadang-kadang berwarna kuning, tidak lengket, dan tenggelam di dasar perairan. Telur yang telah dibuahi dierami dalam mulut (mouth breeder) induk betina kemudian menetas setelah 4 – 5 hari (Gomez-Marquez et al. 2003).

Dadzie dan Wangila (1980) mengk lasifikasikan tingkat kematangan ovarium ikan nila menjadi 5 tingkat. Pada kematangan gonad tingkat I: ovarium masih kecil, transparan, dan oosit muda hanya terlihat dengan menggunakan mikroskop. Pada kematangan gonad tingkat II, ovarium berwarna kuning terang, dan oosit dapat terlihat dengan mata. Pengamatan secara histologis memperlihatkan bahwa ovarium terdiri atas oosit muda dan oosit yang berisi protoplasma yang belum berkuning telur. Pada kematangan gonad tingkat III, ovarium besar, berwarna kuning gelap, dan ada oosit yang mulai mengandung kuning telur. Pada kematangan gonad tingkat IV, ovarium besar, berwarna cokelat, banyak oosit berukuran maksimal dan mudah dipisahkan. Pada kematangan gonad tingkat V, ovarium berwarna kuning terang, ukurannya berkurang karena telur yang sudah matang telah dilepaskan. Ovarium berisi oogonia, oosit berprotoplasma, dan sedikit oosit mengandung kuning telur, dan banyak dijumpai folikel pecah.

Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembenihan ikan karena berkaitan erat dengan pemilihan calon-calon induk ikan yang akan dipijahkan. Perubahan yang terjadi pada gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan suatu indeks yang dinamakan indeks gonad somatik (Effendie 1997). Nilai indeks gonad somatik akan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan dan akan turun kembali setelah pemijahan. Perubahan gonad secara histologis dan morfologis akan terjadi selama proses perkembangan gonad berlangsung. Selain itu, penyebaran diameter telur yang terdapat dalam suatu gonad dapat pula menentukan interval antara suatu pemijahan dengan pemijahan berikutnya pada ikan yang memijah secara bertahap (partial spawner).

Peranan Hormon dalam Perkembangan Gonad

Hormon adalah zat yang disintesis pada kelenjar tanpa saluran dan disekresikan ke dalam aliran darah untuk dikirim ke bagian organ target (Djojosoebagio 1996). Estradiol-17ß adalah salah satu hormon steroid turunan kolesterol, yang berperan penting dalam proses vitelogenesis (Cerda et al. 1996). Estradiol-17ß diproduksi oleh lapisan granulosa pada folikel yang disekresikan ke aliran darah. Sebagian akan menuju hati dan sebagian akan memberikan rangsang balik ke hipotalamus dan hipofisa. Estradiol-17ß yang menuju hati akan berperan dalam proses pembentukan vitelogenin yang merupakan komponen utama kuning telur. Rangsangan yang diberikan estradiol-17ß kepada hipotalamus adalah memacu pelepasan gonadotropin releasing hormon (GnRH) yang selanjutnya hormon ini merangsang hipofisa untuk melepaskan gonadotropin yang berperan dalam merangsang ovulasi pada oosit.

Selanjutnya sintesis vitelogenin (prekursor kuning telur) dalam hati disebut vitelogenesis. Vitelogenin diangkut dalam darah menuju oosit, dan diserap secara selektif, dan selanjutnya disimpan sebagai kuning telur. Vitelogenin merupakan glikofosfoprotein yang mengandung kira-kira 20% lemak, terutama fosfolipid, trigliserida, dan kolesterol. Pada ikan betina, ovari memberikan respons terhadap peningkatan konsentrasi gonadotropin dengan cara tidak langsung dalam bentuk peningkat produksi estrogen. Androgen dapat merangsang vitelogenesis, setelah androgen dikonversi menjadi estrogen, sehingga terjadi juga vitelogenesis yang menyebabkan indeks gonad somatik ikan meningkat (Schulzt 1984; Cerda et al. 1996).

Pembesaran oosit terutama disebabkan oleh penimbunan kuning telur, seperti pada kebanyakan ikan, kuning telur merupakan komponen penting oosit ikan teleostei. Ada tiga tipe material kuning telur pada ikan teleostei, yaitu butiran kecil minyak, gelembung kuning telur (yolk vesicle) dan butiran kuning telur (yolk globule). Secara umum, butiran kecil minyak pertama kali muncul di daerah perinuklear dan kemudian berpindah ke perifer (tepi sel) pada tahap selanjutnya. Urutan pemunculan materi kuning telur bervariasi antar spesies. Pada rainbow trout, butiran kecil muncul segera setelah dimulainya pembentukan gelembung kuning telur (Nagahama 1983).

Fenomena penimbunan materi kuning telur oleh oosit ikan dibagi menjadi dua fase, yakni sintesis kuning telur dalam oosit (vitelogenesis endogen) dan penimbuman prekursor (bahan perintis) kuning telur yang disintesis di luar oosit (vitelogenesis eksogen) (Matty 1985). Gelembung kuning telur positif-PAS (mukopolisakarida atau glikoprotein) umumnya merupakan struktur yang pertama muncul dalam sitoplasma oosit selama pertumbuhan sekunder oosit, dan pertama kali muncul di zona terluar dan zona midcortical pada oosit. Ketika vitelogenesis berlangsung, sebagian besar sitoplasma telur matang ditempati oleh banyak gelembung kuning telur yang padat dan dikelilingi oleh selapis membran pembatas.

Vitamin E

Vitamin E merupakan vitamin yang tidak larut dalam air namun larut dalam minyak, lemak, aseton, alkohol, kloroform, benzena, ataupun pelarut lemak lainnya. Di alam terdapat 6 jenis vitamin E, yaitu alfa, beta, gama, delta, eta, dan zeta tokoferol (Marthin et al. 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa dari jenis-jenis vitamin E tersebut a-tokoferol (5, 7, 8 trimetil tokol) dengan rumus kimianya C29H50O2 merupakan jenis vitamin E terpenting dengan keaktifan paling tinggi.

Fungsi vitamin E yang paling nyata adalah sebagai antioksidan dan antiradikal bebas, terutama untuk asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid dalam membran sel. Vitamin E sebagai antioksidan dapat melindungi vitamin A, vitamin C, dan asam lemak tak jenuh yang labil dari proses oksidasi oleh oksigen, yaitu mulai dari pencernaan, metabolisme, penimbunan, dan penyimpanan dalam jaringan atau fungsi vitamin E dapat disebut sebagai pembersih radikal bebas. Vitamin E berperan dalam proses kerja enzim amino-levulinic acid synthetase, aktivitas

glutathione peroxidase, mencegah he molisis sel darah merah, mencegah peroksidase lipid racun terhadap membran, melancarkan absorpsi asam amino, dan berperan dalam pemasakan mitosis sel.

Adanya sistem mikrosom dalam hati (yang memerlukan NADPH dan oksigen) dengan aktif mengoksidasi asam lemak tidak jenuh pada posisi ß-fosfolipid-fosfolipid mikrosom (Scott 1978). Dengan meningkatnya pemberian vitamin E melalui pakan, jumlah oksidasi asam lemak jenuh menurun. Dinyatakan

juga bahwa fungsi vitamin E dalam sistem tersebut menjaga kestabilan selaput-selaput mikrosom dari serangan radikal bebas. Seme ntara itu diketahui pula bahwa pada ikan Atlantik salmon, vitamin E diangkut dari jaringan perifer ke gonad melalui hati bersama lipoprotein plasma (Lix et al. 1994).

Lebih jauh lagi, defisiensi vitmain E berpengaruh pada kualitas telur, seperti terliha t dari rendahnya jumlah telur yang terbuahi pada red sea bream (Watanabe et

al. 1991). Ternyata dengan penambahan vitamin E sebanyak 200 mg/kg pakan

induk akan meningkatkan jumlah larva yellowtail yang dihasilkan. Selanjutnya Effendie (1979) menyatakan bahwa pada proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolisme diutamakan untuk perkembangan gonad. Pada masa reproduksi, a-tokoferol akan didistribusikan ke jaringan adiposa oosit. Sebelum sampai ke jaringan tersebut, a-tokoferol bersama asam lemak berantai panjang yang berbentuk misel terlebih dahulu diabsorbsi pada segmen usus (Rastogi 1976 dan Machlin 1990). Selanjutnya a-tokoferol diangkut ke hati dalam bentuk kilomikron, dan ke jaringan tepi dalam lipoprotein. Fosfolipid mitokondria, retikulum endoplasma dan membran plasma mempunyai afinitas spesifik untuk a-tokoferol, dan vitamin berkumpul pada tempat ini (Martin et al. 1990).

Vitamin E memainkan peranan yang sangat penting dalam reproduksi ikan (Takeuchi et al. 1981). Diduga vitamin E banyak mempengaruhi fungsi fisiologis seperti pemijahan, fertilisasi, maupun penetasan telur yang dihasilkan (Watanabe et al. 1984). Verakunpiya et al. (1996) mengemukakan bahwa vitamin E adalah vitamin yang berperan penting dalam perkembanga n gonad. Kandungan vitamin E 24.5 IU/g pakan memberikan hasil terbaik untuk pematangan gonad ikan yellow tail. Pada umumnya konsentrasi vitamin E yang tinggi terdapat pada sel telur dan konsentrasi yang rendah terdapat pada lapisan jaringan gonad sesaat setelah induk memijah.

Verakunpiya et al. (1996) menyatakan bahwa kadar vitamin E telur

yellowtail yang terbaik adalah 186.6 sampai 243.0 µg/g bobot kuning telur. Kadar vitamin E dalam telur tersebut berasal dari induk yang mendapatkan pakan bervitamin E 124.1 – 471.8 µg/g pakan. Vitamin ini juga mempengaruhi komponen kimia lipid telur dan daya apung telur yellowtail. Persentase telur-telur red sea bream yang mengapung 42.7% untuk pakan kontrol tanpa vitamin E, dan bila

ditambah vitamin E dl-a-tokoferol asetat 200 mg/kg pakan maka daya apung telur meningkat menjadi 77.9%. Telur red sea bream disebut normal apabila telur tersebut mengapung di permukaan air dan abnormal bila tenggelam (Watanabe et al. 1984). Selanjutnya Watanabe et al. (1984) mengevaluasi pemberian vitamin E (dl-a-tokoferol asetat) 0.441, 1.473, 0.647, 0.420 dan 0.402 mg/g pakan dalam pakan induk red sea bream. Hasilnya terjadi penyimpanan vitamin E dalam lemak telur berturut -turut sebesar 9.70, 13.40, 15.90, 20.10 dan 12.40%. Tingkat penyimpanan tersebut terlihat berkorelasi dengan vitamin E dalam pakan. Selanjutnya dijelaskan bahwa vitamin E dalam pakan yang terbaik (0.420 mg/g pakan) menghasilkan derajat tetas telur 95% dan larva normal 95.7%.

Sehubungan dengan reproduksi, beberapa hasil penelitian pada beberapa spesies hewan jelas menunjukkan bahwa hewan jantan yang defisien vitamin E mengalami degenerasi epitel tub uh sehingga produksi sperma berhenti. Pada hewan betina, kemungkinan adanya kegagalan fungsi uterus dengan tidak adanya perkembangan pembuluh darah yang memungkinkan koseptus diimplantasikan ke dalam dinding uterus. Kegagalan ini dapat menyebabkan fetus, dan implantasi tersebut tidak terjadi (Linder 1992).

Asam Lemak Linolenat n-3 dan Linoleat n-6

Lemak, selain sebagai sumber energi, juga digunakan sebagai sumber asam lemak esensial. Sumber lemak akan menentukan susunan asam lemak esensialnya. Pada tubuh ikan, asam lemak merupakan salah satu senyawa fosfolipid membran sel, dan sifat fluiditas membran sel pada ikan dipengaruhi oleh komposisi asam lemak penyusunnya (Bell et al. 1986). Fosfolipid disusun oleh gliserol, fosfat dan asam lemak. Asam lemak esens ial, terutama asam lemak dari kelompok highly unsaturated fatty acids (HUFA) dan poly unsaturated fatty acids (PUFA), mempunyai peranan yang penting dalam metabolisme, komponen membran, senyawa awal prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, dan leukotrien (Bhagavan 1992). Asam lemak-asam lemak tidak jenuh yang terikat pada fosfolipid dapat mempengaruhi aktivitas enzim (Na+/K+) ATP-ase yang terdapat pada membran (Hepher 1990).

Martin et al. (1990) menyatakan bahwa asam lemak esensial, terutama arakidonat merupakan prekursor prostaglandin (PGF a yang dapat mempengaruhi replikasi sel. Selain dapat mempengaruhi replikasi sel, beberapa jenis prostaglandin lainnya mempunyai fungsi induksi dan pengaturan transport ion, terutama pada bagian insang yang berhubungan dengan proses pengaturan mineral yang berhubungan dengan osmoregulasi.

Beberapa kelompok asam lemak bersifat hidrofobik, atau tidak larut dalam air pada membran sel (Bell et al. 1986). Namun demikian, beberapa fosfolipid, spingolipid (lipid polar) mengandung gugus asam lemak polar (Martin 1990) yang dapat larut dalam air. Sifat fisik dari membran sel ini ditentukan oleh fosfolipid yang ada pada membran, komposisi asam lemak pada fosfolipid, dan interaksinya dengan kolesterol dan protein. Penelitian yang telah dilakukan oleh Watanabe (1988), menunjukkan bahwa pemberian asam lemak n-3-HUFA pada ikan rainbow trout meningkat retensi protein dan efisiensi pakan dibandingkan dengan yang tidak

diberi asam lemak n-3 HUFA. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa

pemberian asam lemak n-3 HUFA dalam pakan ikan mas efektif menurunkan

lipogenesis, glikolisis, dan degradasi asam amino dalam hati ikan (Shikata dan Simeno 1994).

Untuk lebih lengkap dan jelas penelitian mengenai asam lemak esensial yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan asam lemak esensial pada berbagai jenis ikan Spesies Ikan Kebutuhan asam lemak esensial Referensi Ikan Mas 18:2 n-6 1.0% Watanabe et al. (1974), (Cyprinus carpio) 18:2 n-3 1.0% Takeuchi dan Watanabe.

(1977)

Nila 18:2 n-6 0.5% Takeuchi et al. (1983) (Tilapia nilotica)

Nila 18:2 n-6 1.0% Kanazawa et al. (1980) (Tilapia zilli) 20:4 n-6 1.0%

Lele 18:2 n-6 1.53-1.56% Mokoginta. (1986) dan (Clarias batrachus) 18:2 n-3 0.60-0.73% Mokoginta et al. (1989) Rainbow trout 22:6 n-3 1 % Takeuchi dan Watanabe.

(1976)

Yellowtail 22:6 n-3 1.39%(2.25% n-3 Furuita et al. (1996) (Seriola quinqueradiata) HUFA) atau 20:5 n-3 3.65%

Seabream 20:5 n-3 1.0% Takeuchi et al. (1990) (Pagrus mayor) 22:6 n-3 0.5%

Kebutuhan Vitamin E dan Asam Lemak

Sebagai antioksidan, vitamin E (a-tokoferol) mencegah terjadinya oksidasi pada unit-unit asam lemak, terutama asam lemak tidak jenuh (Machlin 1990) dan fosfolipid membran sel (Linder 1992). Selanjutnya Halver 1985 GDQ Halver 989 juga menyatakan bahwa pada tingkat seluler, vitamin E d-a-tokoferol mempunyai peranan sebagai antioksidan pada asam lemak tidak jenuh (Polyunsaturated fatty acid) yang berada pada membran sel sehingga meningkatkan efisiensi permeabilitas membran tersebut. Sifat vitamin E (a-tokoferol) yang hanya larut dalam lemak menyebabkan transpor vitamin ini dalam tubuh sejalan dengan transpor lemak (Machlin 1990). Pada masa reproduksi a-tokoferol bersama asam lemak berantai panjang yang berbentuk misel terlebih dahulu diabsorbsi pada segmen usus (Rastogi 1976 dan Machlin 1990).

Vitamin E dan asam lemak esensial dibutuhkan secara bersamaan untuk pematangan go nad ikan, dan dosis vitamin E dalam pakan akan bergantung pada kandungan asam lemak esensial yang ada dalam pakan tersebut. Semakin tinggi kandungan asam lemak esensial pakan, kebutuhan vitamin E meningkat pula (Cahu

et al. 1991; Watanabe et al. 1991; Prawirokusumo 1991). Namun demikian, dalam konsentrasi asam lemak yang berbeda, kisaran kebutuhan vitamin E untuk induk

rainbow trout adalah antara 30 GDQ 50 mg/kg pakan (Cho et al. 1985). Hubungan antara konsumsi asam lemak tidak jenuh (PUFA) dan vitamin E didasarkan fakta bahwa asam-asam lemak esensial tersebut adalah yang paling mudah dioksidasi, dan berada pada bagian dinding sel tempat penyimpanannya pada tubuh.

Scott (1978) menyatakan bahwa vitamin E sangat erat kaitannya dengan lipid membran plasma, mitokondria, dan retikulum plasma. Vitamin E bertindak sebagai pencegah pembentukan radikal-radikal bebas. Adanya sistem mikrosom dalam hati (yang memerlukan NADPH dan oksigen) dengan aktif mengoksidasi asam lemak tidak jenuh pada posisi ß- fosfolipid mikrosom. Dengan meningkatnya pemberian vitamin E melalui pakan, jumlah oksidasi asam lemak tidak jenuh menurun. Ikan membutuhkan 15 macam vitamin, dan 4 di antaranya larut dalam lemak (Stickney 1979; Yamada 1986). Vitamin- vitamin tersebut masuk ke dalam tubuh dan bekerja saling berinteraksi, yaitu kerja beberapa vitamin dipengaruhi oleh vitamin yang lain. Walaupun vitamin diberikan dalam jumlah sedikit pada

penyusunan ransum, kekurangan vitamin dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Kebutuhan umum ikan akan vitamin dalam pakan untuk mencegah defisiensi adalah sebagai berikut, vitamin A 1.000-2.000 IU, Vitamin D 1 600-2000 IU, dan vitamin E 30-50 mg (Cho et al. 1985).

Salinitas dan Osmoregulasi

Salinitas dapat didefinisikan sebagai jumlah total bahan padatan dalam gram yang terlarut dalam satu kilogram air laut jika seluruh karbonat telah teroksidasi, bromine, dan iodine digantikan oleh khlorin, dan seluruh bahan organik telah teroksidasi sempurna. Salinitas dinyatakan dalam gram per kilogram air laut, part per thousand (ppt) dan menggunakan tanda (o/oo).

Boyd (1982) mendefinisikan salinitas sebagai konsentrasi total dari semua ion yang terlarut dalam air. Salinitas adalah bobot garam- garam organik halogen yang terlarut dalam satu kilogram air, bila semua bromida dan iodida disetarakan dengan klorida dan semua karbonat disetarakan dengan oksidanya. Salinitas dapat dinyatakan sebagai konsentrasi total semua ion yang terlarut dalam air.

Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik dan tekanan ionik air, sebagai media internal maupun eksternal. Oleh karena itu, gradien salinitas berkaitan erat dengan gradien tekanan osmotik maupun tekanan ionik air dan hal ini sangat mempengaruhi komposisi biota air, terutama di perairan estuaria. Salinitas air laut relatif konstan atau dengan kata lain komposisi dan konsentrasi ionnya relatif konstan serta lebih besar daripada air tawar.

Sifat osmotik air bergantung pada seluruh ion yang terlarut dalam air tersebut. Semakin besar jumlah ion terlarut dalam air, semakin tinggi tingkat salinitas dan kepekatan osmotik larutan sehingga akan menyebabkan makin bertambah besar tekanan osmotik medium. Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut adalah Na+ dan Cl -, dengan kandungan 30.61 % dan 55.04 % dari total seluruh ion- ion yang terlarut dalam air (Harvey 1976).

Secara umum, ada tiga keadaan yang berhubungan dengan tekanan osmotik. Pertama adalah keadaan hipertonik, yaitu keadaan pada saat konsentrasi zat terlarut di lingkungan lebih tinggi daripada konsentrasi zat pelarut dalam sel. Keadaan ini

akan mengakibatkan pelarut dalam sel keluar dari sel dan menyebabkan sel mengkerut. Kedua adalah keadaan hipotonik, yaitu keadaan saat konsentrasi zat terlarut di lingkungan lebih rendah daripada konsentrasi zat terlarut dalam sel. Keadaan ini akan mengakibatkan pelarut di lingkungan masuk ke dalam sel yang menyebabkan sel mengembang. Ketiga adalah keadaan isotonik, yaitu keadaan saat konsentrasi zat terlarut di lingkungan seimbang dengan konsentrasi zat terlarut dalam sel. Keadaan ini merupakan kondisi keseimbangan osmotik.

Selanjutnya, salinitas media menentukan keseimbangan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh, dan mempunyai pengaruh penurunan pada metabolisme, tingkah 1aku, pertumbuhan, dan kemampuan bereproduksi. Ikan-ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik cairan tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan osmotik cairan media sehingga garam-garam dalam tubuh cenderung keluar, sedangkan air cenderung masuk ke da1am tubuh. Hal yang sebaliknya terjadi pada ikan- ikan air laut. Supaya sel-sel organ tubuh dapat berfungsi dengan baik untuk melakukan proses fisiologis, sel-sel tersebut harus berada dalam kondisi yang seimbang antara tekanan osmotik internal dan tekanan eksternalnya.

Untuk itu, diperlukan suatu proses pengaturan tekanan osmotik internal dengan tekanan osmotik eksternal. Pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh agar proses-proses fisiologis tubuh dapat berjalan normal dinamakan osmoregulasi. Tekanan osmotik ikan atau organisme akuatik lainnya ditentukan oleh tingkat salinitas medianya sehingga ikan akan melakukan penyesuaian terhadap salinitas melalui proses osmoregulasi. Tekanan osmotik terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi pelarut dan yang larut pada dua sisi lapisan permeabel.

Osmoregulasi pada organisme akuatik dapat terjadi dalam dua cara yang

berbeda (Gilles dan Jeuniaux 1979). Pertama sebagai usaha untuk menjaga osmokonsentrasi cairan di luar sel agar tetap konstan terhadap apa pun yang terjadi pada salinitas medium di luar selnya. Kedua sebagai usaha untuk memelihara isosmotik cairan dalam sel terhadap cairan luar sel.

Sebagian besar organisme akuatik dapat mempertahankan air dan garam dalam tubuhnya pada proporsi yang konstan. Apabila proporsi tersebut berbeda, organisme akuatik membutuhkan mekanisme untuk mengatur cairan tubuh yang ditambah atau dikeluarkan untuk menjaga keseimbangan dengan air laut. Ditinjau

dari segi ekofisiologis, organisme akuatik dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan mekanisme fisiologisnya terhadap osmoregulasi lingkungan media yang berbeda. (1) Osmokonformer, yaitu organisme yang secara osmotik labil, tidak mempunyai kemampuan mengatur kand ungan garam serta osmolaritas dalam cairan internalnya sehingga osmolaritas cairan tubuhnya berubah dan menyesuaikan kondisi osmolaritas media hidupnya. (2) Osmoregulator, yaitu organisme yang mempunyai mekanisme fisiologis untuk menjaga kemantapan milieu interiornya dengan cara mengatur osmolaritas konsentrasi osmotik antara cairan intrasel dan cairan ekstraselnya.

Pada umumnya organisme akuatik di laut mempunyai osmolaritas darah (tekanan osmotik cairan internal) yang berkisar antara 380 dan 450 mOsm/kg, sedangkan tekanan osmotik di luar berkisar antara 800 dan 1200 mOsm/kg sehingga air dalam tubuh akan senantiasa berdiffusi keluar (Bone and Marshall 1982). Apabila ikan air laut menghadapi perubahan keadaan lingkungan seperti peningkatan tekanan osmotik media hidupnya, ikan tersebut secara konstan akan kehilangan air dan ion- ion lewat membran filamen insang dan melalui pembuangan urine. Sebagai kompensasi terhadap kehilangan air tersebut, ikan air laut meminum air laut dalam jumlah yang banyak. Dengan demikian, sejumlah garam juga akan ikut terambil dan terserap pada saluran pencernaan bersama-sama dengan air.

Osmoregulasi adalah proses pengaturan keseimbangan air dan konsentrasi ion dalam tubuh organisme. Osmoregulasi pada ikan laut berbeda dari ikan air tawar, yaitu ikan laut hidup dalam medium yang memiliki konsentrasi osmotik lebih tinggi dari cairan tubuhnya. Karena konsentrasi osmotik medium lebih tinggi, ikan laut secara konstan kehilangan air, terutama melalui membran insang, sebagian melalui urin (Zairin 2003). Untuk mengatasi kehilangan air, ikan laut meminum banyak air laut, di antara garam tersebut meliputi, ion natrium dan klorida diserap oleh usus dan dibuang melalui insang dengan cara transpor aktif, sementara magnesium dan sulfat dibuang melalui ginjal. Sebaliknya, konsentrasi osmotik

Dokumen terkait