• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Pisang (Musa spp.)

Taksonomi

Pisang dan plantain (Musa spp) dan pisang ornamental merupakan tanaman yang termasuk famili Musaceae, ordo Zingiberales. Berasal dari Asia Tenggara dan daerah tropis dan sub tropis termasuk Afika dan Papua New Guinea (Ploetz et al. 2007). Menurut Valmayor et al. (2000) klon-klon dari pisang diploid di kultivasi di daerah lembab di Asia Tenggara, dan perkembangan kultivar triploid tanpa biji yang kokoh merupakan hasil dari restitusi kromosom, dan/ atau persilangan dari edible diploid dengan M.acuminata liar (Daniells et al 2001).

Kultivar-kultivar pisang secara alami berkembang dari species Musa acuminata (genom A) dan Musa balbisiana (genom B). Kultivar diploid (grup AA dan AB), triploid (grup AAA, AAB, ABB) dan tetraploid (grup AAAB) berasal dari hibrida di antara subspecies M. acuminata yang memiliki 9 subspecies, dan di antara M. acuminata dan M. balbisiana (Moore et al. 2001; Ploetz et al. 2003). Kedua species alami dan hibrida kompleks ini menghasilkan kombinasi jenis-jenis pisang yang dikonsumsi saat ini. Kondisi ini menyebabkan identifikasi pisang menjadi sulit, sehingga para pemulia sepakat mengadopsi penamaan tanaman melalui tiga kategori sistem penamaan yaitu species, grup genom dan kultivar (Valmayor et al. 2000; Ploetz et al. 2007). Penamaan pisang umumnya digunakan untuk subgrup spesifik jenis pisang meja (dessert banana) dan plantain untuk pisang olahan (cooking banana). Pisang Ampyang merupakan jenis pisang meja yang termasuk grup genom AAA, subgrup non-Cavendish (Valmayor et al. 2000)

Karakteristik dan Manfaat

Pisang dapat berbuah tanpa melalui proses fertilisasi yang dikenal sebagai

partenokarpi dan menghasilkan bonggol di bagian basal (basal suckers) yang dapat digunakan untuk memperbanyak individu tanaman secara vegetatif (Ploetz et al.

2007). Sebagian besar kultivar-kultivar pisang merupakan hibrid alamiah, dan sejak dahulu diseleksi oleh manusia dan diperbanyak secara vegetatif sebagai klon. Menurut Heslop-Harrison & Schwarzhaker (2007) prinsip dasar secara genetik

partenokarpi dari M. acuminata sampai saat ini belum dikarakterisasi. Buah yang merupakan produk utama pisang memiliki komposisi zat gizi/100 gram bahan yang cukup tinggi, yaitu air 75.00 gr; Energi 88.00 K; Karbohidrat 23.00 gr, Protein 1.20 gr; Lemak 0.20 gr; Ca 8.00 mg; P 28.00 mg; Fe 0,60 mg; Vitamin A 439.00 SB, B-1 0.04 mg dan C 78.00 mg.

Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense Penyebab Layu Fusarium

Biologi Fusarium oxysporum

Fusarium spp termasuk dalam subklas Deuteromycetes, penamaan

Fusarium oxysporum Schlecht sebagai yang dikemukakan oleh Snyder and Hansen pada tahun 1940 (Kistler 2001), merupakan cendawan penyebab layu

Fusarium yang tersebar luas menyerang berbagai tanaman. Cendawan ini memproduksi tiga tipe spora aseksual yaitu mikrokonidia, makrokonidia dan chlamidospora yang dorman dan immobil. Chlamidospora terdapat pada jaringan yang membusuk, sampai akhirnya berkecambah melalui nutrisi yang dilepaskan oleh akar tanaman (Agrios 2005), ekskresi dari akar non-inang, atau kontak dengan bagian akar segar tanaman yang tidak terkoloni oleh cendawan

Fusarium oxysporum.

Bentuk patogenik Fusarium oxysporum yang menyerang tanaman dibagi menjadi formae speciales berdasarkan tanaman inang yang diserang, selanjutnya dibagi kembali ke dalam ’ras’ berdasarkan virulensinya terhadap beberapa kultivar inang (Agrios 2005). Penyakit layu Fusarium diketahui menjadi faktor pembatas dalam produktivitas pada beberapa tanaman pangan dan hortikultura di antaranya pada tanaman pisang (Musa spp) (F. oxysporum f.sp. cubense), melon (Cucumis spp) (F. oxysporum f.sp. melonis), bawang merah (Allium spp) (F. oxysporum f.sp. cepae), tomat (Lycopersicon spp) (F. oxysporum f.sp.

lycopersici), krisan (Chrysanthemum spp) (F. oxysporum f.sp. chrysantemi) dan carnation (Dianthus spp) (F. oxysporum f.sp. dianthi) (Agrios 2005).

Perkembangan dan Penyebaran Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense. Penyakit pada tanaman pisang merupakan masalah utama yang menurunkan produksi tanaman ini dimanapun tanaman tersebut tumbuh. Hal ini yang mejadi kunci utama alasan untuk membuat program pemuliaan tanaman pisang. Penyakit

layu Fusarium atau panama disesase, merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyder and Hansen (Foc), berasal dari Asia Tenggara, namun pertama kali dilaporkan pada tahun 1876 di Australia (Ploettz & Pegg 1997). Di Indonesia penyakit ini berkembang pada tahun 1916 di pulau Jawa. Cendawan ini menyerang akar tanaman pisang dan

plantain yang tersebar luas, sangat destruktif dan merupakan penyakit tanaman yang sangat merugikan yang menyerang berbagai perkebunan dan industri pisang di Indonesia (Nasir et al. 2003), walaupun informasi yang akurat dan pengaruhnya secara ekonomi masih sangat terbatas (Hermanto et al. 2011). Besarnya kerusakan dan hilangnya produksi tanaman pisang bervariasi bergantung pada lokasi, kultivar, lama kultivasi, dan ada atau tidaknya ras 4 (Moore el al 2001; Masdek et al 2003)

Cendawan F. oxysporum f.sp. cubense ini dikenal dalam empat ras, yang dibedakan berdasarkan suseptibilitas inang. Ras 1 menyerang pisang varietas ‘Gros Michel’, ‘Lady Finger’ (AAB), dan ‘Silk’ (AAB). Ras 2 menyerang antara lain varietas ‘Bluggoe’ (ABB) dan ras 4 menyerang pisang Cavendish (AAA) dan pisang lain yang diserang ras 1 dan 2. Ras 3 menyerang Heliconia spp yang memiliki kekerabatan dekat dengan pisang, tetapi tidak dianggap sebagai patogen terhadap tanaman pisang. Ras 4 dikelompokkan lagi menjadi ‘sub-tropikal’ dan ‘tropikal’ strains. Di Indonesia dari 261 isolat yang telah dikoleksi di Sumatra dan di Jawa sejak tahun 1990 sampai 2002, 70% adalah ras 4 (Masdek et al. 2003), dan ras 4 ‘tropikal’ ini dilaporkan paling virulen dan tersebar di Halmahera, Irian Jaya, Jawa, Sumatra dan Sulawesi (Ploetz & Churchill 2011).

Penyebaran Foc dan Gejala Kelayuan pada Tanaman Pisang

Mycelia patogen Foc masuk ke dalam tanaman melalui ujung-ujung akar, melakukan penetrasi dan mengkolonisasi akar, selanjutnya cendawan memproduksi mikrokonidia yang akan ditraslokasikan ke sistem jaringan vaskuler akar (xylem) dan batang semu, menutupi jaringan vaskuler dan menghambat pergerakan air. Penyebaran konidia terhambat dalam sel tabung (sieve cells) xylem, sehingga terjadi perkecambahan spora, dan spora tumbuh untuk melanjutkan penyebaran sampai akhirnya memblok seluruh sistem jaringan xylem. Setelah tanaman mati, cendawan tumbuh di jaringan sekitarnya dan membentuk chlamidospora yang akan menyebar dalam tanah ketika tanaman yang terinfeksi membusuk.

Gejala eksternal pertama yang ditimbulkan penyakit ini adalah warna kuning pada daun bagian bawah yang sangat jelas terlihat, sehingga penyakit ini dinamakan pula yellow leaf disease. Pada pisang Cavendish gejala ini umumnya terjadi 5 bulan setelah penanaman (Hwang & Ko, 2004). Daun-daun yang menguning dimulai dari daerah tepi daun dan berkembang ke arah tulang daun, kemudian daun berkembang menjadi titik-titik hitam, petiole akan menjadi coklat dan melengkung, yang diikuti oleh pengeringan daun. Lembaran daun-daun yang telah mati seringkali akan mengelilingi batang-semu pisang. Proses ini dimulai dari daun tua sampai daun-daun muda (Nasir et al. 1999; Daly & Walduck 2006).

Gejala pertama secara internal terlihat jelas di jaringan xylem akar dan rhizoma, berupa titik-titik atau garis-garis berwarna merah kecoklatan sampai berwarna merah maroon. Pada tahapan awal infeksi secara khusus terjadi perubahan warna kuning dengan pola melingkar dibagian tengah pada potongan melintang rhizoma. Gejala berkembang ke dalam batang semu pisang membentuk garis-garis kecoklatan sampai bagian ujung dari batang (Daly & Walduck 2006), selanjutnya daun menjadi layu dan menguning, pucuk-pucuk tanaman menjadi pucuk sukulen, yang pada akhirnya seluruh tanaman akan mengalami kematian (Hwang & Ko 2004; Agrios 2005).

Metabolit dan Toksin pada Cendawan Fusarium

Toksin utama yang diproduksi berbagai species cendawan Fusarium dan

Gibberella adalah asam fusarat (5-n-butylpicolinic acid). Asam fusarat merupakan toksin non-spesisfik inang (Goodman et al. 1986; Huang 2001; Agrios 2005), karena bersifat non-spesifik inang maka asam fusarat dapat berpengaruh baik terhadap inang atau non-inang (Goodman et al. 1986). Asam fusarat merupakan suatu myco-toksin, antibiotik, insektisida dan fitotoksin (Huang, 2001), berperan dalam perubahan permiabilitas membran sel, mengakibatkan terganggunya keseimbangan ion-ion anorganik dalam tanaman yang terinfeksi patogen dan mengakibatkan kebocoran elektrolit dalam sel (Goodman et al. 1986).

Metabolit yang disintesis Fusarium oxysporum selain asam fusarat, antara lain auksin (asam indol-3-acetic acid) yang menyebabkan peningkatan permiabilitas dinding sel tanaman dan enzim pektolitik, beberapa bukti menyebutkan bahwa enzim pektat patogen (pectin methyl esterase, pectin lyase,

polygalacturonase) berperan aktif dalam perkembangan penyakit pada jaringan vaskuler (Agrios 2005). Pembongkaran substansi pektat akan membebaskan fragmen pektat yang masuk melewati aliran vaskuler yang akan meningkatkan viskositas dan mereduksi laju aliran air (Goodman et al. 1986).

Mekanisme Resistensi pada Tanaman

Tanaman tingkat tinggi dan organisme lain akan menggunakan mekanisme pertahanan dengan cakupan yang luas untuk melindungi dirinya menghadapi invasi patogen. Kemampuan setiap tanaman untuk menimbulkan suatu reaksi pertahanan diketahui dimediasi melalui suatu proses inisiasi pengenalan antara tanaman dan patogen, yang melibatkan deteksi beberapa molekul signal tertentu yang unik dari patogen melalui molekul menyerupai reseptor (receptor-like molecules) dalam tanaman, dan mekanisme cascade biokimiawi yang mengawali ekspresi resistensi tanaman (Ryals et al. 1994; Huang 2001; Roncero et al. 2003).

Sel tanaman memiliki kemampuan mempertahankan diri dari patogen melalui mekasime dengan cakupan yang luas, baik secara kimiawi maupun fisik. Induksi resistensi dapat berupa induksi lokal yang merespon molekul signal dengan mobilitas terbatas atau induksi sistemik yang merespon molekul sinyal dengan mobilitas tinggi, konstitutif (fitoantisipin) atau respon yang diiduksi (fitoaleksin) (Mansfield 2000; van Loon 2000). Resistensi pada tanaman terjadi melalui jalur pensinyal yang diinduksi oleh infeksi patogen dan patogen avirulen (systemic acquired resistance), bakteri non-patogen (induced systemic resistance) dan senyawa kimia tertentu. Resistensi melalui jalur SAR (systemic acquired resistance) menyebabkan hipersensitif respon berupa nekrosis jaringan. Ekspresi SAR bergantung pada akumulasi asam salisilat (SA), dan asosiasi induksi protein yang berperan dalam patogenesis (patogenesis-related proteins) dengan aktivitas anti-patogen, sebaliknya rhizobacteria yang memediasi ISR (induced systemic resistance) tidak membutuhkan SA, dapat terjadi tanpa produksi PR protein, dan bergantung pada signal etilen dan asam jasmonat (JA) (van Loon 2000).

Respon Tanaman Pisang terhadapInfeksiFoc.

Mekanisme awal pertahanan inang, umumnya dilakukan melalui lignifikasi (fortifikasi dinding sel), sintesis dan akumulasi senyawa fenolik di jaringan di

sekitar akar pisang yang terinfeksi. Lignifikasi dinding sel akar pisang ini merupakan salah satu barier yang paling efektif melawan invasi patogen. Sintesis enzim-enzim yang terlibat dalam penguatan dinding sel akar pisang juga terjadi, seperti phenylalanine ammonia lyase, cinnamyl alcohol dehydrogenase,

peroxidase, dan pholyphenol oxidase (De Ascensao & Dubery 2000; 2003).

Enzim yang berperan dalam fortifikasi dinding sel ini akan meningkat selama adanya ekspresi hipersensitif respon (Huang 2001), yaitu suatu respon yang terjadi pada setiap tanaman, dan berperan utama dalam pertahanan tanaman terhadap infeksi patogen, karena sifatnya yang sangat resisten terhadap degradasi enzim mikroba. Selanjutnya terjadi deposisi kalose, terbentuk gums, tylose, dan gel pada jaringan xylem akar pisang, yang kemungkinan merupakan hasil fotoasimilat dari tanaman untuk mengisolasi patogen (Agrios 2005), namun apabila terjadi infeksi yang berkelanjutan, akan terjadi akumulasi senyawa tersebut pada pembuluh trachea dan tracheid jaringan xilem, yang berakibat terganggunya transportasi air dan garam mineral dari akar ke daun. Akumulasi gel yang berlebihan juga terjadi dari perubahan enzim kompleks pada lamela tengah-dinding primer sel parenkim xilem, baik pada pit membran atau dibagian lempeng perforasi. Pembentukan gel dan degradasi lamela tengah dari pit membran ini, selanjutnya merangsang pembentukan tylose yang akan mereduksi transport air dan garam mineral di jaringan vaskuler sehingga terjadi kelayuan yang diikuti oleh pencoklatan jaringan karena adanya oksidasi senyawa fenolik (Goodman et al.

1986).

Mekanisme resistensi tanaman pisang juga terjadi melalui pembentukan fitoaleksin, dan pembentukan senyawa protein antimikroba, beberapa fitoaleksin yang telah berhasil diisolasi pada tanaman pisang yang diinfeksi oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense antara lain musalenones C, D, E, F pada rhizoma,

irenolone I pada daun dan buah(Luis et al. 1996), 2-hydroxy-9-phenyl-phenalene- 1-one (hydroxyanigofuron) pada rhizoma (Luis et al. 1996; Binks et al. 1997; Borges et al. 2003) dari Musa acuminata, AAA, kultivar Grande Naine (subgrup Cavendish). Senyawa anti-mikroba yang telah berhasil diisolasi adalah Banana thaumatin-like protein (Ban-TLP) pada buah pisang yang masak (Barre et al.

2000), dan MSI-99 (analog PR-protein, margainin) pada Musa spp kultivar Rastali (Raja Sereh) (Chakrabarti et al. 2003).

Kultur In vitro dan Variasi Somaklonal

Kultur in vitro Tanaman Pisang

Kultur in vitro atau kultur jaringan pada saat ini merupakan suatu metode yang sudah banyak dilakukan untuk tujuan perbanyakan tanaman dan merupakan alat penting bagi studi dasar maupun aplikasi yang berorientasi komersial, termasuk teknik-teknik dan metode yang sesuai untuk penelitian dalam banyak disiplin ilmu botani dan beberapa objek percobaan. Pada tanaman pisang, pertumbuhan jaringan yang terorganisir secara in vitro dibatasi pada kultur embrio dan kultur pucuk, sampai saat ini, lebih dari 1.000 aksesi yang berbeda dari kultur pucuk (shoot-tips culture) telah diinisiasi secara in vitro, dimultiplikasi dan dipelihara pada kondisi temperatur rendah (16 ± 1oC) (Strosse et al. 2004).

Multiplikasi pucuk tanaman pisang secara in vitro pada umumnya menggunakan pucuk meristem pada media Murashige dan Skoog (MS) dengan penambahn BA (6-benzyladenin) 2.25 mg L-1 dan IAA (Indole-3-acetic acid) 0.175 mg L-1 (Strosse et al. 2004), atau BA 4.5 mg L-1 (Mariska et al. 2006). Pemberian asam askorbat atau asam sitrat dengan kisaran 10-150 mg L-1 pada medium dasar dapat mengurangi jaringan menjadi hitam, sedangkan untuk pemeliharaan dan menginduksi perakaran konsentrasi BA diturunkan menjadi 0.225 mg L-1 (Strosse et al. 2004). Konsentrasi BA dapat ditingkatkan 10 kalinya menjadi 22.5 mg L-1 dan 0.175 mg L-1 IAA apabila produksi proliferasi meristem yang tinggi dibutuhkan.

Laju multiplikasi tunas pisang bergantung pada baik pada sitokinin maupun genotip tanaman. Secara umum pucuk-pucuk kultivar yang hanya memiliki genom A akan memproduksi 2-4 pucuk baru, sedangkan kultivar yang memiliki satu atau dua genom B akan memproduksi kluster-kluster pucuk yang banyak dan kuncup pada setiap siklus subkultur. Pucuk aksilar dan adventif baru dapat tumbuh langsung dari eksplan ujung pucuk sekitar 6-12 minggu setelah inisiasi kultur, bergantung ukuran eksplan yang diinisiasi. Kluster pucuk dapat dipisahkan, dan di subkultur kembali dengan interval 4-6 minggu (Strosse et al. 2004).

Selain kultur pucuk dan embrio, pertumbuhan jaringan pisang juga dapat diregenerasikan secara tidak terorganisir, yaitu melalui induksi embriogenesis somatik. Embriogenesis dapat diinduksi melaui inokulasi eksplan embrio zigotik, pelepah rhizoma dan lembaran daun (Novak et al. 1989) dan kultur proliferasi

meristem, pada medium semi padat mengandung 1 mgL-1 2,4-D (2.4- dichlorophenoxyacetic acid) dan 0.22 mgL-1 zeatin. Respon embriogenik bergantung tidak hanya pada genotipe pisang tetapi juga pada galur terseleksi dan percobaan yang dilakukan (Strosse et al. 2004).

Faktor-faktor dalam Induksi Variasi Somaklonal.

Variasi somaklonal merupakan variasi genetik yang muncul di antara individual sel anakan pada tanaman yang diregenerasi melalui kultur jaringan dan sel (Collin & Edwards 1999; Hartman et al. 2002), seringkali didefinisikan sebagai keragaman genetik dari tanaman yang berasal dari sel somatik. Variasi somaklonal yang diperoleh melalui teknik in vitro merupakan pendekatan yang cepat dan dapat dipercaya untuk peningkatan dan perbaikan tanaman. Beberapa klon pisang yang memiliki kualitas superior diproduksikan melalui seleksi terhadap berbagai pendekatan, termasuk resisten terhadap penyakit (Ho 1999; Hwang & Ko 2004).

Laju terbentuknya varian somaklonal dapat ditingkatkan melalui induksi mutasi secara fisik maupun kimiawi. Berbagai varian somaklon dalam kultur in vitro memberi peluang untuk mengidentifikasi varian-varian tertentu yang mempunyai sifat unggul. Berbagai variasi genetik telah digunakan untuk resistensi tanaman terhadap patogen, toleran terhadap stress abiotik dan biotik, resistensi herbisida, dan perolehan banyak variasi lainnya. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi frekuensi munculnya variasi somaklonal dalam kultur in vitro

pisang, adalah genotip tanaman induk, jumlah siklus sub-kultur dan umur jaringan dalam kultur in vitro, konsentrasi berbagai komponen media pertumbuhan, tipe regenerasi, tipe dan konsentrasi zat pangatur tumbuh (Nwauzoma et al. 2002), dan penggunaan kondisi selektif dalam media in vitro. Menurut Hartman et al. (2002), variabilitas somaklonal dapat dihasilkan karena (a) variasi dengan karakter tertentu memang ada di antara populasi sel, (b) sistem perbanyakan tanaman secara in vitro

melalui pembentukan kalus akan menghasilkan variasi atau (c) variasi dapat diinduksi melalui agen mutagenik secara fisik maupun kimiawi.

Induksi variasi somaklonal dengan mutagen

Teknik induksi mutasi dengan berbagai agen mutagenik, secara spesifik juga sangat penting untuk tanaman pisang dan plantain (Musa spp). Tanaman

pisang merupakan tanaman yang diperbanyak secara vegetatif sehingga memiliki keterbatasan dalam perolehan variasi genetik. Meskipun mutasi secara spontan dapat memberi kontribusi terhadap diversitas genetik pada Musa dan secara nyata meningkatkan variasi, namun frekwensinya relatif kecil. Penggunaan kultur in vitro untuk menginduksi mutasi pada Musa spp agar diperoleh variasi somaklon dapat menjadi suatu metode alternatif, bila beberapa tahapan dalam proses induksi mutasi dapat di optimalkan yaitu : (1) penggunaan bahan tanaman sebagai eksplan; (2) determinasi dosis mutagenik yang optimal untuk mutagen fisik dan kimia; (3) proses pemisahan chimera; (4) aplikasi metode skrining awal untuk seleksi mutan- mutan yang berguna untuk peningkatan karakter tanaman (Roux 2004).

Peningkatan variasi somaklonal melalui pemberian mutagen fisik, mutagen kimia dan subkultur berulang telah dilakukan oleh banyak peneliti. Beberapa laporan penelitian mengemukakan bahwa pemberian dosis letal (LD) yang tepat juga merupakan faktor penentu untuk keberhasilan perolehan varian-varian somaklon pada pisang (Musoke et al. 1999; Mak et al. 2004). Penggunaan iradiasi gamma (γ) untuk pengembangan tanaman buah-buahan telah banyak digunakan di antaranya untuk mendapatkan tanaman pisang resisten penyakit layu Fusarium

(Smith et al. 1995; Sutarto et al. 1998; Musoke et al.1999; Roux et al 2004; Mak et al. 2004; Hwang & Ko 2004; Hutami et al. 2006; Smith et al. 2006; ); induksi embriogenesis dan multiplikasi tunas jeruk limau madu dan limau langkat (Citrus suhuiensis) (Noor et al. 2009), untuk mendapatkan tanaman mangga (Mangifera indica L.) resisten Antracnose (Litz 2009), dan tanaman pepaya (Carica papaya L.) resisten penyakit ring spot virus dan menghambat pemasakan buah (Chan 2009).

Hasil penelitian induksi mutasi pada berbagai kultivar pisang memberikan gambaran bahwa, dosis iradiasi yang disarankan untuk tanaman pisang yang termasuk dalam genom diploid AA/BB berkisar 10-20 Gy, triploid AAA dan AAB berkisar 30-40 Gy (Roux. 2004; Mak et al. 2004), triploid ABB berkisar 40-50 Gy (Roux 2004; Hautea et al. 2004). Selain pemberian mutagen fisik dan kimia, peningkatan variasi somaklonal dapat diperoleh melalui subkultur berulang, karena kultur yang ditumbuhkan dalam periode yang lama seringkali memperlihatkan adanya abnormalitas kromosom yang dapat menguntungkan (Predieri 2001). Pada pisang Pacovan (Musa spp., AAB), variasi somaklonal sebesar 5.8% terjadi pada

subkultur ke- lima dan ke sembilan pada media Murashige dan Skoog dengan 2.5 mg L-1 BAP yang disubkultur ke media 4.0 mg L-1 BAP (Rodrigues 2004).

Seleksi in vitro untuk Resistensi Pisang terhadap Layu Fusarium Seleksi in vitro untuk ketahanan terhadap penyakit pada tanaman buah merupakan suatu fenomena yang melibatkan interaksi antara inang-patogen dan pengaruh aditif faktor abiotik yang mendukung perkembangan suatu penyakit (Jayasankar & Gray 2005; Chandra et al. 2010). Pada saat ini pengembangan strategis pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap penyakit dilakukan melalui metode kultur jaringan melalui teknik seleksi varian somaklonal terhadap patogen spesifik atau fitotoksin. Pada jenis pisang meja dan pisang olahan, pengujian adanya varian somaklonal dengan karakteristik resisten terhadap F. oxysporum f.sp.

cubense (Foc) dapat dilakukan melalui seleksi in vitro dengan menggunakan agen penyeleksi berupa elisitor dari Foc (De Ascensao & Dubery 2000, 2003; Aguielar

et al. 2003), filtrat kultur Foc dan toksin asam fusarat (Morpugo et al. 1994; Matsumoto et al. 1995; Damayanti 2004; Jumjunidang et al. 2005; Companioni et al. 2006; Purwati et al. 2007). Pengujian resistensi varian dengan menggunakan media selektif mengandung filtrat kultur sebagai komponen seleksi, lebih umum digunakan untuk menghasilkan varietas baru yang lebih tahan terhadap penyakit pada berbagai kultivar pisang, namun masalah yang sering dihadapi adalah menurunnya kemampuan regenerasi massa sel setelah seleksi.

Kerapatan konidia cendawan Fusarium sebagai agen penyeleksi sangat menentukan keberhasilan induksi resistensi tanaman yang diuji. Hasil penelitian pada bibit abaka (Musa textilis Nee), perendaman dalam suspensi konidia Foc

isolat Banyuwangi dengan kerapatan 105 konidia mL-1 atau 106 konidia mL-1, mampu menimbulkan gejala kelayuan pada 3 klon abaka yang diuji (Purwati et al.

2007). Teknik inokulasi cendawan tular tanah pada umumnya dilakukan dengan merendam akar tanaman yang telah dilukai ke dalam inokulum yang berisi filtrat kultur, namun saat ini penggunaan daun yang dilukai dan diinokulasi dengan konidia merupakan strategi baru untuk pengujian resistensi tanaman terhadap cendawan tular tanah (Companioni et al. 2003).

Dokumen terkait