• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

Padi merupakan komoditas strategis yang mendapat prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Berbagai usaha telah dilakukan dalam memacu peningkatan produksi sebagai bahan pangan pokok, sejalan dengan : meningkatnya jumlah penduduk, menyempitnya lahan subur akibat pembangunan pemukiman dan industri, maupun berkembangnya budidaya komoditas lainnya (Anonim, 1986). Untuk peningkatan produksi padi tiap satuan luas dan waktu maka ditempuh usaha intensifikasi melalui penggunaan varietas yang berpotensi tinggi, pemupukan yang tepat, dan bercocok tanam yang tepat (Berkelaar, 2002).

Menurut data Biro Pusat Statistik (2003), total luas pertanaman padi di Indonesia mencapai 11.477.400 ha, yang terdiri dari 10.384.700 ha lahan sawah (90,48%) dan 1.092.700 ha lahan kering (9,52%), dengan produksi total 52.078.800 ton dan produksi rata-rata 4,75 ton.ha-1 pada lahan sawah dan 2,52 ton.ha-1 pada lahan kering.

Data produksi padi tersebut di atas menunjukkan jumlah yang masih rendah bila dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan untuk menopang kebutuhan ketahanan pangan nasional. Hal inilah yang menyebabkan negara kita masih harus mempertahankan impor beras dalam jumlah yang tidak sedikit setiap tahunnya (Suganda, 2006). Sementara itu menurut Bakti (2005), untuk sisi produksi padi jika tidak ditangani secara komprehensif dan berkelanjutan akan mengalami pertumbuhan produksi yang melandai

(levelling off), sehingga neraca ketersediaan beras akan mengalami kuantitas surplus

yang menurun. Bahkan pada periode 2010 diperkirakan akan mengalami defisit 1,09 juta ton.

Toha, dkk., (2005), bahwa tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat. Hal ini disebabkan oleh tingginya laju pertambahan penduduk serta tingginya laju konversi (alih fungsi) lahan irigasi subur untuk kepentingan non pertanian. Menurut data Biro Pusat Statistik (2003), sejak tahun 1999 sampai tahun 2003, telah terjadi penurunan luas lahan pertanaman padi sekitar 410.000 ha (3,79%). Di sisi yang lain, laju pertambahan produktivitas lahan sawah juga semakin menurun akibat diterapkannya teknologi yang semakin intensif, dan pemupukan yang tidak seimbang.

Lahan sawah terdiri dari lahan sawah irigasi dan lahan sawah tadah hujan. Lahan sawah tadah hujan merupakan lumbung padi kedua setelah lahan irigasi. Luasan lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara dari tahun 2002-2008 mengalami peningkatan yaitu 84.944 ha menjadi 196.078 ha (BPS, 2008). Permasalahan lahan sawah tadah hujan adalah ketersediaan air terbatas ; kesuburan tanah rendah, pemupukan masih belum sesuai baik dosis, jenis maupun saat pemberian ; pengendalian hama dan penyakit belum sesuai dan belum menerapkan kaidah pengendalian hama terpadu (Marwoto, dkk, 1992 dan Suyamto, dkk, 1992)

Sistem Tanam Intensifikasi Padi

Rendahnya produktivitas padi yang paling dominan disebabkan oleh rendahnya pengisian biji atau masih tingginya persentase bulir steril. Hal ini menyebabkan tingginya persentase gabah hampa pada tiap malainya (Gustian, 2008).

Asumsi bahwa faktor lingkungan memiliki andil yang besar dalam menekan jumlah spikelet steril dibuktikan melalui penerapan metode sistem intensifikasi padi (Sumardi, dkk., 2007). Menurut Uphoff (2003) metode intensifikasi padi memuat dua hal pokok, yakni : memperlakukan tanaman sebagai makhluk hidup yang memiliki fase-fase pertumbuhan yang harus difahami ; melakukan perbaikan teknologi budidaya dengan

menciptakan lingkungan tumbuh yang optimal untuk setiap fase petumbuhan dan perkembangan tanaman. Aplikasi metode intensifikasi padi di Philippina menunjukkan jumlah spikelet fertil mencapai 87%, jumlah spikelet permalai mencapai 345, panjang malai 30,4 cm.

Menurut Uphoff (2003), penerapan sistem intensifikasi padi meliputi kegiatan seperti bibit ditanam satu-satu per lubang tanam dengan tujuan untuk agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakarannya. Sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat dalam memperoleh ruang tumbuh, cahaya, dan nutrisi. Penanaman per lubang tanam yang lebih sedikit, dengan sendirinya akan menghemat penggunaan benih. Apabila dengan cara konvensional penggunaan benih 100 kg.ha-1 (Mutakin, 2005), sedangkan dengan metode

SRI keperluan benih hanya 5 -10 kg.ha-1 (Uphoff , 2003). Umur pindah bibit lebih muda yakni 8-15 hari setelah semai,. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada bibit untuk beradaptasi dan dengan lebih awalnya bibit dipindahkan akan memberikan waktu yang lebih panjang kepada bibit untuk membentuk anakan atau phyllocrons lebih banyak (Berkelaar, 2002; Defeng et al., 2002).

Metode sistem intensifikasi padi berikutnya adalah penggunaan jarak tanam yang lebih renggang sangat dianjurkan. Untuk itu jarak tanam yang umum digunakan adalah (25 cm x 25 cm) atau lebih renggang dari pada itu seperti, (33 cm x 33 cm), (40 cm x 40 cm) atau bahkan (50 cm x 50 cm), dengan jarak tanam yang lebih renggang ini memberikan kesempatan kepada akar untuk tumbuh dan menyebar lebih luas sehingga akan memberikan pertumbuhan yang lebih baik (Mutakin, 2005).

Demikian juga dengan pemberian air pada stadia vegetatif tidak tergenang, air hanya diberikan untuk menjaga agar tanah lembab. Penggenangan yang terus menerus disamping pemborosan dalam penggunaan air juga memberikan dampak kurang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan padi. Menurut Berkelaar (2002), air yang menggenang membuat sawah

menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan. Akar padi akan mengalami penurunan bila sawah digenangi air, hingga mencapai ¾ total akar saat tanaman mencapai masa berbunga. Saat itu akar akan mengalami die back (akar hidup tapi bagian atas mati). Keadaan ini disebut juga senescence, yang merupakan proses alami, tapi menunjukan tanaman sulit bernafas, sehingga menghambat fungsi dan pertumbuhan tanaman. Disamping itu pada sawah tergenang air, di akar akan terbentuk kantung udara (aerenchyma)

yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen, namun kantung udara ini dapat mengurangi penyaluran nutrisi dari akar ke bagian lain tanaman.

Lebih lanjut Berkelaar (2002), tanah cukup dijaga tetap lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Sesekali (mungkin seminggu sekali) tanah harus dikeringkan sampai retak. Ini dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk kedalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air. Sebaliknya, jika sawah terus digenangi, akar akan sulit tumbuh dan menyebar, serta kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh dengan subur. Kondisi tidak tergenang, yang dikombinasi dengan penyiangan mekanis, akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak.

Sementara pada padi sawah konvensional dilakukan dengan sistem : pemindahan bibit dari semaian pada umur 3-4 minggu atau lebih ; jarak tanam rapat (<25 x 25 cm) ; jumlah bibit : 5-10 bibit perumpun ; sawah digenangi terus menerus sepanjang musim dan penggunaan pupuk kimia yang tinggi (Kasim, 2004).

Peranan Pupuk Kandang Sapi

Pemakaian pupuk anorganik secara intensif serta penggunaan bahan organik yang terabaikan untuk mengejar hasil yang tinggi menyebabkan bahan organik tanah menurun.

Keadaan ini menurut Las, dkk. (2006) akan menurunkan produktivitas lahan yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas padi.

Las, dkk. (1999) menyatakan bahwa dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan pelestarian lingkungan produksi, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah dengan memanfaatkan jerami padi. Hal ini sejalan dengan yang dikemukankan oleh Hadiwigeno (1993) dan Zaini dkk. (1996), bahwa arah penelitian ke depan adalah pertanian terlanjutkan dalam jangka panjang (sustainable agriculture) dengan masukan bahan kimia rendah (low chemical input) yang dikenal dengan LISA atau LEISA, yaitu suatu bentuk pertanian yang menggunakan sumberdaya lokal yang tersedia secara optimal dan meminimumkan penggunaan masukan dari luar.

Pengembalian bahan organik ke tanah akan menjaga kelestarian kandungan bahan organik lahan demikian pula hara tanah. Selain itu, pengembalian bahan organik ke tanah akan mempengaruhi populasi mikroba tanah yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan dan kualitas tanah. Aktivitas mikroba akan berperan dalam menjaga stabilitas dan produktivitas ekosistem alami, demikian pula ekosistem pertanian (Barea, et al., 2005). Secara langsung bahan organik tanah merupakan sumber senyawa-senyawa organik yang dapat diserap tanaman meskipun dalam jumlah sedikit, seperti alanin, glisin dan asam-asam amino lainnya, juga hormon/zat pengatur tumbuh dan vitamin (Yoshida, 1981).

Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi. Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam

penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekaligus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba (Las, 2006).

Pada tanah sawah, pemberian bahan organik dapat meningkatkan kandungan bahan organik di dalam tanah, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air (water holding capacity), meningkatkan aktivitas kehidupan biologi tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation tanah, mengurangi fiksasi fosfat oleh Al dan Fe pada tanah masam, dan meningkatkan ketersediaan hara di dalam tanah (Siregar, 1981).

Menurut Soepardi (1983) pupuk kandang merupakan campuran dari kotoran padat, kotoran cair, bahan amparan dan sisa makanan. Pemberian pupuk kandang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan ketersediaan hara. Di antara jenis pupuk kandang, pupuk kandang sapilah yang mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa, pupuk kandang sapi dapat memberikan beberapa manfaat yaitu menyediakan unsur hara makro dan mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki tekstur dan struktur tanah, meningkatkan porositas, aerase dan komposisi mikroorganisme tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, daya serap air yang lebih lama pada tanah.

Pupuk kandang sapi padat dengan kadar air 85% mengandung 0,40% N; 0,20%, P2O5 dan 0,10% K2O dan yang cair dengan kadar air 92% mengandung 1% N; sedikit P2O5 dan 1,35% K2O (Buckman dan Brady, 1982).

Varietas Tanaman Padi

Varietas adalah suatu jenis atau spesies tanaman yang memiliki karakteristik genotipe tertentu seperti bentuk, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, dan biji, yang dapat membedakan dengan jenis atau spesies tanaman lain, dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan (Satoto, dkk., 2008).

Varietas merupakan salah satu komponen teknologi yang sangat penting untuk peningkatan produktivitas, produksi, dan pendapatan usaha tani padi. Pada saat ini tersedia banyak varietas padi dengan keunggulannya yang beragam. Dengan banyaknya varietas yang tersedia, diperlukan suatu cara atau metode yang dapat membantu petani dalam memilih varietas yang sesuai dengan kondisi biotik dan abiotik setempat serta keinginan atau kebutuhan petani dan pasar (Makarim dkk., 2000).

Sebagaimana dikemukakan oleh Khush (1995), perkembangan penelitian padi untuk mendapatkan varietas unggul ditujukan pada perbaikan potensi hasil, umur genjah, tahan hama dan penyakit, mutu beras tinggi serta toleran terhadap berbagai masalah tanah dan lingkungan.

Setiap varietas memiliki potensi hasil yang bebeda. Varietas Ciherang : jumlah anakan produktif 14 – 17 batang, tahan kerebahan sedang, tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3, tahan terhadap bakteri hawar daun sirih Strain III dan IV, cocok ditanam pada musim penghujan maupun kemarau dengan ketinggian tempat di bawah 500 m dpl dan potensi hasil gabah : 5 – 7 t/ha ; varietas Sintanur : jumlah anakan produktif banyak, agak tahan kerebahan, tahan terhadap wereng coklat biotipe 1 dan 2, peka terhadap biotipe 3, tahan terhadap hawar daun bakteri strain III, peka terhadap strain IV dan VIII, sesuai untuk sawah irigasi dengan ketinggian tempat di bawah 500 m dpl dan potensi hasil gabah 6 t/ha dan varietas Bestari : jumlah anakan produktif 15 – 20, wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3, tahan penyakit bakteri hawar daun strain III dan agak tahan strain IV, cocok pada lahan sawah irigasi dengan ketinggian 0-700 m dpl dan potensi hasil gabah 6,56 t/ha (Deptan, 2000 ; 2001; 2008).

Dokumen terkait