• Tidak ada hasil yang ditemukan

et al. 2006) dan brotowali (Tinospora crispa) (Tinospora crispa) (Noor et al. 1989). Herba sambiloto dan brotowali telah dimanfaatkan sejak lama oleh penduduk Indonesia karena khasiatnya sebagai obat bagi berbagai penyakit. Herba sambiloto dikenal memiliki aktivitas antipiretik, diuretika, dan antidiabetik (Yulinah et al. 2001). Sedangkan herba brotowali dikenal memiliki aktivitas antidiabetik, antihepatitis, dan dipercaya dapat menyembuhkan gatal-gatal pada kulit (Kresnady 2003).

DM tipe II adalah DM yang tidak bergantung insulin yang awalnya disebabkan oleh peningkatan kadar gula darah pascamakan (Postprandial hyperglycemia).

Postprandial hyperglycemia terjadi akibat penyerapan hasil pemecahan karbohidrat. Pemecahan ini dibantu oleh enzim, seperti

enzim α-glukosidase dan α-amilase. Jika enzim tersebut dihambat kerjanya oleh bahan tertentu, maka dapat mengurangi pemecahan karbohidrat dan disakarida sehingga penyerapan gula oleh tubuh menjadi terhambat (Sunil 2009).

Sriyapai et al (2009) menemukan adanya aktivitas hipoglikemia serbuk batang brotowali terhadap pasien yang memiliki gangguan metabolisme. Di sisi lain, Ahmad

et al. (2006) menemukan bahwa ekstrak

etanol herba sambiloto memiliki aktivitas hipoglikemia yang cukup baik.

Kombinasi dari kedua ekstrak herba tersebut, dengan formula tertentu, diduga dapat menghasilkan aktivitas inhibisi enzim α- glukosidase yang lebih baik. Potensi kombinasi ekstrak herba sambiloto dan brotowali sebagai antidiabetes melalui mekanisme inhibisi α-glukosidase akan diteliti dan menjadi fokus pada penelitian ini. Penelitian ini bertujuan memperoleh formula gabungan ekstrak sambiloto-brotowali dengan aktivitas inhibisi α-glukosidase terbaik dan mendapatkan sidik jari formula serta ekstrak tunggal sambiloto dan brotowali.

TINJAUAN PUSTAKA

Sambiloto (Andrographis paniculata)

Herba sambiloto (Andrographis paniculata) (Gambar 1) merupakan salah satu bahan obat tradisional yang banyak digunakan dan telah dikenal sejak abad ke-18. Sambiloto banyak dijumpai hampir di seluruh kepulauan nusantara. Secara taksonomi, sambiloto diklasifikasikan ke dalam divisi

Spermathophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dycotyledonae, subkelas Gamopetalae, ordo Personales, famili Acanthaceae, subfamily Acanthoidae, genus Andrographis, dan spesies Andrographis paniculata

(Dalimunthe 2009).

Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka seperti kebun, tepi sungai tanah kosong yang agak lembab atau di pekarangan. Herba sambiloto merupakan tanaman tahunan bercabang, dapat mencapai tinggi 60-70 cm dengan daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang, pangkal dan ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau muda, panjang 2-8 cm, dan lebar 1-3 cm (Subramanian et al. 2008). Bunga berbibir bentuk tabung kecil, warnanya putih bernoda ungu. Sambiloto dikenal dengan beberapa nama lain, seperti ki

oray atau ki peurat (Jawa barat), bidara, takilo, sambiloto (Jawa Tengah), pepaitan, ampadu (Sumatera), Kirayat (India), dan the creat

(inggris) (Dalimunthe 2009).

Daun dan bagian lainnya dari herba sambiloto telah banyak digunakan sebagai bahan obat untuk berbagai penyakit. Sambiloto mengandung andrografolida, suatu diterpena lakton kristalin, tak berwarna, dan memiliki rasa pahit (Ahmad et al. 2006). Andrografolida merupakan bahan aktif utama di samping komponen lainnya seperti 14- deoksi-11,12-didehidroandrografolida, dan 14-deoksiandrogrofolida. Menurut penelitian yang telah dilakukan, dilaporkan bahwa sambiloto memiliki aktivitas hipotensif yang aktivitasnya berkorelasi kuat terhadap keberadaan senyawa andrografolida (14- deoksi-11,12-didehidroandrografolida dan 14- deoksiandrogrofolida). Aktivitas antitrombotik, antikanker, dan antioksidan dari sambiloto juga telah dilaporkan (Subramanian et al. 2008).

Gambar 1 Herba Sambiloto (Sumber :

(www.herbal.medicalonlinemedia.com)

Brotowali (Tinospora crispa)

Herba brotowali (Tinospora crispa) (Gambar 2) telah lama digunakan sebagai tumbuhan obat oleh warga Asean karena dipercaya memiliki khasiat dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik penyakit dalam maupun luar. Secara taksonomi, brotowali diklasifikasikan ke dalam divisi Magnoliophyta, kelas

Magnoliopsida, ordo Ranunculales, famili

Menispermaceae, genus Tinospora, dan

spesies Tinospora Crispa.

Tumbuhan ini menyukai tempat yang panas untuk tumbuh, dapat tumbuh mencapai ketinggian 2.5 m, ukuran batang sebesar jari kelingking, daun tunggal agak bundar, ujung meruncing dengan panjang 7-12 cm, lebar 5- 10 cm dan memiliki rasa pahit. Bagian

tumbuhan ini yang banyak dimanfaatkan adalah bagian batangnya. Batang herba brotowali secara tradisional digunakan sebagai obat antidiabetes, tekanan darah tinggi, antimalaria, dan penambah nafsu makan (Amom et al. 2008).

Gambar 2 Herba Brotowali

(Sumber : www.herbstohealth.blogspot.com) Brotowali mengandung zat pahit tinokriposid, damar lunak, pati, glikosida, pikroretosid, harsa, kolumbin, kaokulin atau pikrotoksin, dan beberapa alkaloid seperti aporfin, beberin, dan palmatin. Senyawa yang paling penting yang terdapat pada batang brotowali diduga merupakan senyawa tinokrisposid yang memiliki aktivitas sebagai antimalaria, antiinflamasi, dan antidiabetes (Marthianti 2006).

Diabetes Mellitus (DM)

Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan kandungan gula darah di atas normal. DM Secara klasik dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu DM tipe I dan tipe II berdasarkan sebab timbulnya penyakit. Namun, menurut Poretsky (2009), terdapat dua pengelompokan DM lain di samping tipe I dan II. Kedua tipe DM tersebut adalah

Gestational DM (GDM) dan DM yang

disebabkan oleh sebab spesifik seperti penyakit exocrine pancreas, kelainan genetik pada sel-β, dan keberadaan zat kimia & obat- obatan serta kelainan genetika.

DM Tipe I bergantung terhadap hormon insulin. DM tipe I disebabkan oleh kurangnya produksi insulin oleh pankreas akibat rusaknya sel-β pankreas yang bertanggung jawab dalam produksi insulin sel, sehingga insulin yang dihasilkan tidak cukup untuk mengubah gula yang berada dalam darah

3

menjadi gula interseluler, akibatnya terjadi penumpukan gula di dalam darah. Sedangkan DM tipe II tidak bergantung terhadap hormon insulin. DM tipe II dapat disebabkan oleh abnormal atau rusaknya permukaan sel yang berfungsi sebagai reseptor, kerusakan di bagian dalam sel (post-receptor defects), atau kombinasi keduanya. DM dapat menyebabkan komplikasi penyakit lain bagi penderitanya, seperti aterosklerosis, tekanan darah tinggi, gagal ginjal, dan infeksi (Ahmad et al. 2006).

Postprandial hyperglycemia atau

peningkatan kadar gula kadar setelah makan merupakan salah satu gangguan awal sebelum berkembangnya penyakit DM tipe II lebih jauh di dalam tubuh. Menghambat kenaikan gula darah setelah makan merupakan pengobatan awal bagi penderita DM tipe II (Sunil 2009). Pencegahan terjadinya Peningkatan kadar gula darah pascamakan

dapat dilakukan dengan menghambat laju hidrolisis karbohidrat melalui penghambatan enzim α-glukosidase. Hanya monosakarida, seperti glukosa dan fruktosa yang langsung dapat terserap masuk ke dalam aliran darah, sedangkan karbohidrat kompleks, oligosakarida, dan disakarida harus dipecah sebelum dapat masuk ke aliran darah (Sunil 2009).

α-Glukosidase

α-Glukosidase merupakan enzim yang bekerja pada usus halus manusia dan berperan dalam produksi glukosa. Enzim ini menghidrolisis karbohidrat dari makanan menjadi glukosa dan monosakarida lain (Sugiwati et al.2006). Cara kerja enzim ini adalah dengan mengkatalisis hidrolisis ikatan α-Glikosidik α-1,4 pada oligosakarida dan α- D-Glikosida (Sou et al. 2000). Sejak awal tahun 1990, kelas baru dalam golongan obat antidiabetik, yaitu inhibitor α-Glukosidase, dianggap merupakan pendekatan yang baik dalam pengobatan DM.

Produk awal inhibitor α-Glukosidase yang dijual bebas adalah Akarbosayang diproduksi oleh Bayer Jerman AG dengan nama dagang Glucobay®. Inhibitor α-Glukosidase menunda pemecahan oligosakarida dan disakarida menjadi monosakarida dengan menginhibisi α-Glukosidase pada small intestinal brush border (Ye et al. 2002).

Aktivitas inhibisi α-Glukosidase dapat diuji baik secara in vitro maupun in vivo. Uji

in vivo biasanya menggunakan mencit sebagai hewan uji. Uji in vitro menurut Li et al. (2010), dapat dilakukan dengan menggunakan

pseudo substrate (substrat semu) p-nitrofenil glukopiranosida (p-NPG) di dalam buffer fosfat yang ditambahkan ekstrak uji. Reaksi tersebut akan menghasilkan glukosa dan p- nitrofenol yang berwarna kuning dan dapat dideteksi pada panjang gelombang sekitar 400 nm (Gambar 3) yang diukur intensitasnya dengan metode spektrofotometri (Sugiwati et al. 2009). Kontrol positif dapat menggunakan akarbosa. N+ O -O OH O OH OH OH O OH N+ O O- OH OH OH HO O OH -

Gambar 3 Reaksi hidrolisis p-NPG oleh enzim α-Glukosidase menjadi p- nitrofenol dan glukosa (Sugiwati

et al. 2009).

Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses transfer selektif suatu komponen dari suatu fase pelarut (biasanya air) ke pelarut lain yang berbeda nilai kepolarannya (biasanya pelarut organik) (Meloan 1999). Proses ekstraksi terjadi akibat nilai konstanta distribusi solut yang berbeda di kedua fase. Proses transfer ini menggunakan prinsip like dissolve like. Pelarut polar akan melarutkan komponen polar, sedangkan pelarut non-polar akan melarutkan komponen non-polar (Skoog et al. 2004). Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses ekstraksi, di antaranya jenis dan volume pelarut, jumlah sampel, suhu dan waktu ekstraksi. Faktor-faktor tersebut harus dioptimasi sedemikian rupa untuk menghasilkan nilai recovery yang baik. Separasi selektif dari komponen target dengan rendemen maksimum dan atau penghilangan interferen merupakan tujuan utama proses ekstraksi (Dobiàš et al. 2010).

Dalam konteks analisis tanaman obat, proses ekstraksi akan memisahkan senyawa metabolit yang larut dari sel yang tak larut dalam pelarut. Produk yang diperoleh dari tanaman dalam bentuk cairan, semi-padat, maupun serbuk merupakan campuran metabolit yang kompleks, seperti flavonoid,

alkaloid, lignin, terpenoid, dan lain sebagainya (Henda et al. 2008). Proses industri tanaman obat dimulai dengan tahap ekstraksi dengan berbagai macam teknik dan teknologi. Teknik umum yang biasa digunakan untuk ekstraksi komponen fitokimia tanaman obat adalah maserasi, infusi, perkolasi, digesti, dekoksi, soxhletasi, ekstraksi arus-terbalik, microwave assisted extraction (MAE), ekstraksi ultrasonik,

supercritical fluid extraction, pressurized liquid extraction, dan subcritical water extraction merupakan beberapa teknik yang dapat digunakan untuk ekstraksi komponen fitokimia dari tanaman obat (Kumar et al

2006).

Subramanian et al (2008) memperoleh ekstrak sambiloto dengan teknik maserasi dingin menggunakan etanol 20% sebagai pelarut selama 7 hari, sedangkan Ahmad et al. (2006) menggunakan teknik ekstraksi refluks dengan air , etanol 95%, 50%, dan 20% sebagai pelarut. Noor et al. (1989) menggunakan air sebagai pelarut dengan teknik ekstraksi refluks untuk memperoleh ekstrak herba brotowali.

Maserasi. Maserasi merupakan salah satu teknik ekstraksi klasik dengan merendam sampel dalam pelarut yang sesuai selama beberapa waktu (biasanya selama 24 jam). Metode ini digunakan untuk sampel yang tidak tahan panas. Proses ekstraksi yang terjadi pada teknik maserasi merupakan difusi molekular yang berjalan sangat lambat, pengadukan perlahan membantu terjadinya difusi dan memastikan pengumpulan larutan berkonsentrasi tinggi pada permukaan partikel. (Kumar et al. 2006). Pelarut akan menembus dinding sel tanaman dan masuk ke dalam rongga sel simplisia yang mengandung zat aktif dan melarutkannya (Indraswari 2008). Kelebihan metode ini adalah murah, sederhana, dan menghindari kerusakan komponen yang tidak tahan panas. Sedangkan kekurangannya antara lain tidak efisien karena tidak ada gaya lain yang membantu proses ekstraksi (hanya direndam), membutuhkan pelarut yang banyak, dan waktu ekstraksi yang dibutuhkan cukup lama.

Ultrasonikasi. Ekstraksi ultrasonik merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Metode ini tidak membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan metode maserasi ataupun soxhletasi. Prinsip ekstraksi ultrasonik adalah peningkatan transfer massa yang disebabkan oleh meningkatnya penetrasi pelarut ke dalam jaringan tumbuhan lewat

efek kapiler. Gelembung kavitasi akan terbentuk pada dinding sel tanaman akibat adanya gelombang ultrasonik. Efek dari pecahnya gelembung kavitasi ini dapat mengakibatkan peningkatan pori-pori dinding sel. Pecahnya gelembung kavitasi disebabkan oleh tipisnya bagian kelenjar dalam sel tumbuhan yang mudah dirusak dengan sonikasi. Hal tersebut memudahkan pelepasan komponen esensial ke dalam pelarut (Melecchi et al. 2006)

Dengan kata lain, gelombang ultrasonik dapat memfasilitasi terjadinya pembengkakan sel dan pelarutan komponen dalam tanaman yang disebabkan pembesaran pori-pori dinding sel. Pembengkakan pori yang lebih besar akan meningkatkan transfer massa sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi waktu ekstraksi (Melecchi et al. 2006). Kelebihan lain dari ekstraksi ultrasonik adalah keterulangan ekstraksi baik, waktu ekstraksi yang jauh lebih singkat, lebih efisien, dan dapat digunakan untuk ukuran sampel yang beragam. Ekstraksi ultrasonik sangat baik digunakan untuk ekstraksi komponen organik polar (Said 2009).

Uji Toksisitas Larva Udang (Brine Shrimp Lethality Test).

Komponen bioaktif hampir selalu memiliki efek racun pada konsentrasi tinggi. Farmakologi dapat dikatakan sebagai toksikologi pada dosis rendah, begitu pula sebaliknya, toksikologi dapat dikatakan sebagai farmakologi pada dosis tinggi (McLaughlin et al. 1998). Letalitas in vivo

organisme sederhana dapat digunakan untuk memprediksi aktivitas sitotoksik dari ekstrak bahan alam (Mann et al. 2011). Pengujian sitotoksisitas menggunakan larva udang air laut (Artemia salina) merupakan metode yang aman, praktis, dan murah. Telur udang

(Artemia salina) dapat dengan mudah

diperoleh dan disimpan bertahun-tahun dalam keadaan kering. (McLaughlin et al. 1998).

Udang air laut termasuk ke dalam divisi

Arthropoda, kelas Crustacea. Siklus hidupnya dimulai saat penetasan telur. Telur yang awalnya inaktif, ketika terkena air laut akan mengalami rehidrasi dan pertumbuhan berlanjut hingga menetas menjadi larva. Larva tersebut sangat sensitif terhadap zat racun. Nisbah antara larva mati dan hidup yang dikoreksi terhadap kontrol digunakan sebagai perkiraan toksisitas bahan (Milhem et al.

2008), biasanya dinyatakan sebagai nilai LC50, yaitu konsentrasi bahan atau zat yang

5

mengakibatkan kematian pada 50% binatang uji.

Analisis Sidik Jari dan Kromatografi

Secara umum, satu atau dua komponen aktif farmakologis digunakan sebagai penciri untuk mengevaluasi kualitas dan autentisitas tanaman obat. Namun, penentuan seperti ini tidak memberikan gambaran utuh susunan komponen suatu produk herbal karena efek terapi yang dihasilkan biasanya merupakan hasil dari beragam komponen yang terdapat di dalam produk tersebut (Liang et al. 2004). Oleh karena itu diperlukan suatu gambaran utuh komponen-komponen yang terdapat di dalam suatu tumbuhan dan merupakan suatu sidik jari sehingga dapat digunakan sebagai kontrol kualitas dan autentisitas suatu produk obat (Cui et al. 2009).

Analisis sidik jari merupakan teknik analisis yang dikembangkan dengan tujuan kontrol kualitas (autentisitas, identitas, mutu, dan reliabilitas) obat herbal yang berasal dari tumbuhan. Metode kromatografi dapat digunakan sebagai penduga konsistensi kualitas dan stabilitas ekstrak atau produk herbal lewat observasi visual (kromatogram) dan dilakukan dengan pembandingan pola sidik jari dengan sidik jari standar (Rajkumar & Sinha 2010).

Cui et al. (2009) melakukan analisis sidik jari komponen aktif sambiloto menggunakan metode KCKT pada beberapa tanaman sambiloto dengan tempat tumbuh berbeda.

Kromatografi. Kromatografi merupakan teknik pemisahan berdasarkan perbedaan daya adsorpsi suatu komponen di antara dua fase (fase gerak dan diam). Teknik pemisahan ini dilakukan dengan melewatkan fase gerak yang mengandung sampel melalui fase diam di dalam suatu sistem tertentu sehingga terjadi partisi komponen dalam sampel di antara fase gerak dan fase diam. Komponen yang memiliki rasio distribusi lebih besar terhadap fase diam akan membutuhkan waktu lebih lama untuk melewati sistem tersebut, begitu juga sebaliknya (Harvey 2000).

Beberapa teknik kromatografi seperti kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), kromatografi gas (KG), dan elektroforesis kapiler telah secara luas digunakan dalam analisis sidik jari. Sidik jari kromatografi merupakan pola kromatorgrafik dari ekstrak yang mengandung komponen kimia yang aktif secara farmakologi. Profil kromatografik dapat menyatakan ekstrak yang dianalisis memiliki

persamaan atau perbedaan sehingga dapat digunakan sebagai alat kontrol kualitas suatu ekstrak atau produk herbal (Liang et al. 2004).

Kromatografi Lapis Tipis. Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu teknik kromatografi partisi. KLT menggunakan lapisan tipis silika gel, alumunium oksida, atau selulosa sebagai fase diam yang dilapiskan pada gelas, kaca, atau logam. Fase geraknya adalah pelarut atau campuran pelarut yang ditempatkan pada bejana pengembang. Sampel diaplikasikan pada bagian bawah pelat KLT, pelat ini kemudian ditempatkan pada bejana pengembang yang telah jenuh oleh fase gerak pengembang. Perbedaan nisbah distribusi komponen pada dua fase akan menghasilkan pemisahan komponen- komponen penyusunnya. KLT dapat digunakan untuk pemisahan senyawa yang berbeda seperti senyawa organik dan senyawa organik sintetik, serta kompleks anorganik- organik (Gritter et al. 1991).

KLT dapat memberikan informasi mengenai banyaknya komponen yang terdapat di dalam suatu sampel dan dapat pula digunakan untuk tujuan identifikasi dengan membandingkan nilai retention factor (Rf) komponen uji dengan Rf standar dalam kondisi sistem yang sama. Rf adalah perbandingan jarak tempuh komponen dengan garis depan pelarut. KLT merupakan teknik yang cepat, meyakinkan, dan murah sehingga secara luas digunakan dalam analisis produk herbal. KLT memiliki kelebihan dalam menguji banyak contoh pada satu pelat di saat yang sama (Gu et al. 2006). Saat dilakukan analisis campuran kompleks seperti sampel herba menggunakan KLT, konsentrasi dari solut seringkali tidak diketahui, trial and error

perlu dilakukan pada pelat KLT dengan tujuan mengetahui konsentrasi yang tepat untuk penotolan sampel, konsentrasi yang digunakan untuk penotolan sampel biasanya disesuaikan dengan metode deteksi yang digunakan (Fernand 2003).

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan salah satu teknik kromatografi cair. KCKT memiliki kelebihan dibanding kromatografi gas yang hanya terbatas pada sampel tahan panas dan volatile, sampel yang tidak tahan panas dan nonvolatile dapat dianalisis menggunakan metode ini. Pada KCKT, sampel cair atau sampel padat dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, kemudian dilewatkan melalui kolom oleh fase gerak cair. Pemisahan komponen di dalamnya

ditentukan oleh interaksi komponen dengan fase diam (Harvey 2000).

KCKT dapat digunakan untuk analisis kuantitatif maupun kualitatif bagi sampel industri kosmetik, farmasi, dan lain sebagainya. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari analisis menggunakan KCKT antara lain waktu pemisahan yang cepat, dapat menganalisis sampel yang beragam, dan presisi pengukuran yang lebih baik (Harvey 2000).

Gambar 4 Skema umum instrumen KCKT (Harvey 2000)

KCKT merupakan metode yang umum digunakan dalam analisis obat herbal karena mudah digunakan dan tidak terbatas oleh sifat volatilitas dan stabilitas dari komponen sampel. Secara umum KCKT dapat menganalisis hampir seluruh komponen dalam obat herbal. Kolom fase terbalik pada KCKT merupakan kolom yang paling banyak digunakan dalam pemisahan analitis komponen obat herbal. Kondisi pemisahan optimum menggunakan KCKT dipengaruhi banyak faktor, seperti komposisi fase gerak, pengaturan pH, tekanan pompa, dan lain sebagainya (Liang et al. 2004).

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait