• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gunung volkanik bukanlah suatu bentuk yang permanen. Gunung volkanik memiliki masa aktif. Para ilmuan mengklasifikasikan gunung volkanik berdasarkan aktivitasnya (kejadian erupsi) menjadi empat kategori yaitu gunung volkanik aktif, intermiten, dorman, dan tidak aktif. Gunung volkanik aktif selalu mengalami erupsi. Volkanik intermiten mengalami erupsi dengan selang waktu tertentu. Gunung volkanik dorman ialah gunung api yang inaktif saat ini, tetapi ada kemungkinan aktif kembali dimasa mendatang. Adapun gunung volkanik tidak aktif (extinct) adalah gunung api yang sudah tidak mengalami erupsi lagi dan tinggal sejarah (Hackett et al., 2012). Wilayah atau lahan disekitar gunung volkanik disebut lahan volkan. Pada masing-masing tipe gunung volkanik diatas, karakteristik lahan yang dimiliki juga yang berbeda-beda.

Di Sumatera Utara, satuan lahan volkan dibedakan atas dua yaitu, volkan tua dan volkan muda. Satuan lahan volkan tua adalah lahan yang berbahan induk dari gunung volkanik yang telah berumur Tersier. Sedangkan volkan muda merupakan lahan yang berbahan induk dari gunung volkanik yang telah berumur Kuarter (Darul dkk, 1989).

Dalam catatannya tentang geologi Sumatera, van Bemmelen (1949) menjelaskan, aktivitas volkanik pada zaman Tersier dan Kuarter terjadi dalam tiga siklus yang berbeda, tetapi terus - menerus, yaitu: Neogin Tua (Oligosin Akhir- Mid Miosin); Neogin Muda (Mid Miosin - awal Kuarter ); dan Kuarter Muda. Siklus pertama dimulai dengan 'Andesit Tua', dan berakhir dengan pengangkatan Bukit Barisan pada zaman Mid-Miosin. Siklus kedua dimulai dengan letusan

bahan beku dasar dan diakhiri dengan fase asam yang bertepatan dengan episode kedua dari pengangkatan Bukit Barisan (Crow, 2005).

Aktifitas volkanik Tersier yang ada seluruh Sumatera terjadi pada zaman Paleosin; Akhir Mid - Eosin; Eosin Akhir - Oligosin Akhir (akhir Eosin - Oligosin Awal dan fase Akhir Oligosin - Awal Miosin); Akhir Miosin Awal – Mid Miosin; dan Miosin Akhir – Pliosin. Berdasarkan geologi Sumatera, diketahui aktifitas Gunung Sipiso – piso dan Gunung Simbolon dimulai pada zaman Miosin Akhir – Pliosin (Crow, 2005).

Menurut USGS Geologic Names Committee and the Association of American State Geologists (AASG), zaman Kuarter terbagi menjadi dua yaitu Pleistosin dan Holosin. Di Sumatera Utara, aktifitas volkanik berumur Kuarter di mulai dari zaman Pleistosin (Gasparon, 2005).

Gunung volkanik yang telah berumur Tersier telah mengalami proses – proses geomorfik (erosi, penorehan dan pendataran) dipermukaannya serta terjadi

proses tektonik lainnya (pelipatan, pematahan). Akibatnya landscap volkanik tua telah kehilangan bentuk kerucut aslinya. Sebaliknya, gunung volkanik yang berumur Kuarter belum mengalami perubahan bentuk akibat pelipatan

ataupun pengangkatan sehingga bentuk kerucutnya masih jelas dan utuh (Darul dkk, 1989).

Bahan induk volkan tua tersusun dari bahan lava intermedier dan basis. Abu volkan intermedier dicirikan oleh sedikitnya kandungan gelas volkan, sedikit atau tanpa kuarsa, sedikit hornblende, sedikit atau tanpa biotit. Komposisi mineral dengan asosiasi augit, hiperstin dan labradorit menunjukkan bahan volkan bersifat intermedier (Arifin, 1994; Hikmatullah, 2009).

Bahan induk pada satuan lahan volkan muda di Sumatera Utara umumnya tersusun dari bahan tuf masam dan intermedier. Tanah yang berkembang dari bahan tuf masam dan intermedier didominasi oleh gelas vulkanik 23%, augit 11%, hiperstein 14%, labradorit 8%, bitownit 3%, dan turmalin 1%. Mineral

mudah lapuk lainnya yang dijumpai dalam jumlah sedikit adalah epidot (Sukarman dan Dariah, 2014).

Tanah Berbahan Induk Volkan Genesis dan Morfologi

Tanah vulkanis merupakan tanah yang berasal dari hasil letusan gunung api, dimana pada saat gunung api mengalami erupsi mengeluarkan tiga jenis bahan yang siap untuk dimuntahkannya yaitu berupa bahan padatan, cair dan gas. Bahan padatan dapat berupa pasir, debu dan abu vulkan (tefra), batu apung sedangkan bahan cair dapat berupa lava. Bahan-bahan volkanis tersebut memiliki fraksi koloid yang didominasi oleh mineral non kristalin seperti alofan, imogolit, ferihidrit, atau komplek Al-humus. Selanjutnya, bahan volkanis ini akan menjadi bahan induk penyusun tanah (Hardjowigeno, 1993; Shoji, 1993a).

Produk-produk volkanik yang akan menjadi bahan induk tanah mengalami proses yang berbeda-beda. Lava merupakan magma pijar yang keluar melalui patahan (celah) akan membeku menjadi batuan dan mengalami pelapukan menjadi bahan induk. Produk lainnya adalah lahar yang merupakan aliran material volkanik berupa campuran batu, pasir dan kerikil akibat adanya aliran air yang terjadi di lereng gunung akan mengendapkan aluvium volkanik disepanjang alirannya,dan menghasilkan tanah Andisol (Mukhlis, 2011).

Tanah yang terbentuk dari material hasil letusan gunung volkanik memiliki banyak perbedaan sifat morfologi, fisik dan kimia yang jarang

ditemukan pada tanah-tanah yang berasal dari bahan induk lainnya. Sifat-sifat khas yang dimiliki, sebagian besar disebabkan oleh pembentukan bahan non- kristalin dan akumulasi karbon organik, yang merupakan dua proses pedogenik dominan yang terjadi pada tanah vulkanik. Pembentukan bahan non-kristalin secara langsung berhubungan dengan sifat-sifat dari produk-produk keluaran erupsi gunung volkanik sebagai bahan induk, yaitu pelapukan cepat dari partikel kaca (Ugolini dan Dahlgren, 2002).

Ejekta volkanik berupa tefra (abu vulkanik) yang mengalami pelapukan akan menghasilkan sejumlah besar bahan berbentuk non kristalin dan proses ini disebut ‘Andosolisasi’. Namun, pembentukan bahan non kristalin dari pelapukan tefra , tidak spesifik untuk Andisol tapi juga ditemukan pada Spodosol. Terdapat perbedaan utama antara andosolisasi dengan podsolisasi. Andosolisasi ditandai dengan akumulasi Fe, Al, dan karbon organik terlarut dalam horizon A dengan sedikit pencucian ke horizon B, dan pembentukan horizon B didominasi oleh pelapukan in situ. Lain halnya dengan podsolisasi yang merupakan proses penambahan lapisan atas oleh kanopi dan lapisan humus yang menyebabkan horizon yang seharusnya diatas (0, E dan Bhs) terdorong kedalam dengan bantuan asam organic. Asam organik memainkan peran yang signifikan seperti penurunan pH, mencegah disosiasi asam karbonat, pembentukan kompleks mobile dengan Fe, Al dan logam lainnya dan migrasi logam larut - kompleks humus ke horizon B di mana mereka dijerap (Shoji et al., 1993a).

Pada tanah-tanah abu vulkanik yang berada di wilayah tropika basah, proses pembentukan tanah meliputi : hidrolisis secara intensif, andosolisasi, irreversible drying, melanisasi dan pembentukan padas. Proses hidrolidis secara

intensif merupakan proses yang sangat penting terutama pada tingkat awal perkembangan tanah (Munir, 1995).

Debu vulkanis (tefra) kaya akan mineral liat amorf atau alofan yang mengandung Al dan Fe larut. Logam – logam ini akan dibebaskan oleh proses hancuran iklim yang kemudian membentuk kompleks stabil dengan bahan organic hasil pelapukan tanaman, terakumulasi pada permukaan membentuk warna gelap atau coklat kegelapan pada horizon A (Kimble et al.,1999).

Tanah dari bahan volkanik dapat memiliki horizon AC, ABC atau multisekuen. Tanah muda dibentuk dari abu tebal, pumice, atau cinder menunjukkan profil AC. Pengendapan tefra yang terputus-putus dan pembentukan tanah terjadi berkali-kali menghasilkan Andisol dengan profil multisekuen (berulang). Tanah seperti ini dikelompokkan kedalam sub group thaptik. Pengaruh vegetasi pada pengembangan Andisol diketahui untuk biosekuen Melaudand dan Fulvudand (Shoji et al., 1993b).

Meskipun secara umum tanah Andosol di Indonesia mempunyai susunan horison A-Bw-C, tetapi mungkin bisa mememiliki memiliki horison AC atau horison tertimbun. Sebagai contoh, tanah Andosol muda terbentuk dari abu vulkanik tebal, batu apung atau scoria (cinder) menunjukkan profil AC. Tanah Andosol juga banyak yang mempunyai horison timbunan (A-Bw-C-2A-2Bw-2C) yang diakibatkan oleh kejadian erupsi gunung berapi yang berulang-ulang. Sebagai contoh tanah Andosol dari Gunung Kimangbuleng, Flores merupakan salah satu tanah Andosol tertimbun atau multisequum (Sukarman dan Dariah, 2014). Dalam klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff 2014), sifat

multisequum ini dijadikan sebagai salah satu pembeda kategori subgrup (sifat Thaptic), contohnya adalah Thaptic Hapludands (Sukarman dan Dariah, 2014). Sifat Fisik dan Kimia

Ciri khas tanah yang berasal dari bahan vulkanik adalah memiliki kumpulan mineral unik yang didominasi oleh mineral liat non - kristalin. Umumnya, mineral liat non - kristalin pada tanah - tanah berbahan induk ejekta vulkanik meliputi: alofan, imogolit, opaline silika, dan ferihidrit. Keunikan sifat fisika dan kimia dari tanah berbahan induk vulkanik dipengaruhi oleh Al dan Fe aktif (Dahlgren et al., 1993).

Tanah abu volkanik menampilkan berbagai karakteristik kimia yang mencerminkan pengaruh dari bahan induk dan tingkat pelapukannya. Dari sifat kimia, bahan organik tanah, alumunium, besi dan silika aktif adalah unsur-unsur yang paling menonjol mengatur reaksi kimia pada tanah vulkanis. Bentuk-bentuk utama Al dan Fe aktif adalah alofan, imogolit, kompleks Al-humus, dan ferihidrit (Nanzyo et al., 1993a).

Sifat kimia yang muncul pada tanah abu volkanik, selain karena komposisi yang kaya unsur aluminium, juga disebabkan oleh sifat yang sangat reaktif dari fraksi koloid dan luas permukaan yang tinggi. Karakteristik kimia yang ditemukan pada tanah berbahan vulkanik antara lain kapasitas tukar kation, KTK meningkat pada saat pH meningkat dan sebaliknya, kejenuhan basa umumnya rendah (kecuali jenis eutric dan tanah yang sangat muda). Saat liat secara dominan mengandung alofan dan imogolit, pH relative tinggi (>5), sebaliknya saat liat dominan mengandung kompleks Al dan Fe - humus bersama dengan lapisan silikat, pH relative rendah (<5) dan Aldd biasanya hadir dan terkadang dalam

jumlah yang toksik bagi tanaman, reaksi kuat dengan fluoride pada saat pembebasan ion hidroksil. Melimpahnya jumlah unsur aluminium pada komposisi

tanah tersebut, diperoleh setelah terjadinya pencucian dari Si, Na, Ca dan sebagainya selama pembentukan tanah. Selain itu, umumnya tanah

berbahan volkanik memiliki retensi yang tinggi terhadap ion fosfat (Mizota dan Reeuwijk, 1989; Nanzyo, 2002).

Karakteristik kimia lainnya untuk tanah yang terbentuk dari bahan induk volkanik ialah pH0 (ZPC). Merupakan parameter yang menunjukkan muatan permukaan. Tanah bermuatan positif jika kondisi pH tanah rendah, tetapi apabila pH tanah tinggi maka tanah akan bermuatan negatif. Keberadaan Al dan Fe dalam bentuk oksihidroksida ditanah volkanik, diketahui memiliki reaksi pertukaran yang cepat dengan silika dan fosfat pada kompleks ligan (Uehara dan Gilman, 1981). Ketika fosfat/silika teradsorpsi, muatan positif dari mineral oksida menurun. Muatan permukaan menjadi sangat negatif dengan jumlah tinggi P/Si

terserap, dan menyumbang peningkatan kapasitas tukar kation (KTK) (Tan, 2011).

Keberadaan humus pada tanah abu vulkanik sama pentingnya dengan mineral liat non-kristalin yang juga mempengaruhi karakteristik kimia dan fisika tanah (Nanzyo et al., 1993). Sejumlah besar humus disimpan di horizon A dan horizon terkubur dari tanah abu volkanik. Alasan yang penting untuk akumulasi humus yang tinggi adalah stabilisasi humus akibat kompleksasi dengan Al (Nanzyo, 2002).

Keberadaan mineral sekunder non-kristalin dan sedikit mengkristal mempengaruhi sifat fisik tanah berbahan volkanik. Alofan, imogolit, ferrihidrit,

dan humus membentuk struktur tanah yang stabil dan teragregasi tinggi yang memiliki banyak pori mikro, meso, dan makro. Struktur yang sangat porous memegang sejumlah besar air higroskopis dan air tersedia bagi tanaman. Struktur porous ini juga menyebabkan tingginya konduktivitas hidraulik tanah dan merupakan alasan untuk rendahnya bulk density tanah. Oleh karena agregat mikro berporous sangat stabil dan menyimpan air, maka tanah ini memiliki batas cair dan batas plastis yang tinggi (Mukhlis, 2011).

Sifat fisika tanah yang terbentuk dari bahan volkanik atau Andosol yaitu memiliki berat isi yang rendah, kandungan air pada 15 bar yang tinggi, dan kandungan air tinggi, ketersediaan air bagi tanaman sedang sampai rendah, memiliki batas mencair yang tinggi dan indeks plastisitas yang rendah, tanah ini sulit didispersi serta terjadi perubahan yang irreversible pada semua sifat-sifat tersebut apabila telah dikeringkan. Berat isi tanah Andosol selain ditentukan oleh kandungan mineral alofan yang ada di dalamnya, tetapi juga berhubungan erat dengan kandungan bahan organik (Tan, 2011).

Tanah yang terbentuk dari ejekta volkanik memiliki bulk densiti yang rendah, biasanya <0.9 g cm-3 , hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan bahan organik dan mineral amorfus. Kondisi ini merupakan media yang baik bagi perakaran tanaman, namun di sisi lain, tanah ini memiliki daya dukung yang rendah, sangat rentan terhadap erosi angin and air ketika penutup permukaan dirusak, dan masalah ini dari sudut pandang rekayasa. karena sifat dari ejekta, cukup banyak mengandung kerikil dan batu (Kimble et al., 1999).

Retensi air yang tinggi pada tanah abu volkanik karena besarnya volume mesopori dan mikropori. Pori-pori ini terbentuk dalam aggregat tanah yang stabil.

Pembentukan aggregat ini sangat didukung dengan adanya bahan non-kristalin dan bahan organik tanah. Bahan non-kristalin terdiri dari liat alofan dan ferihidrit (Nanzyo et al., 1993b).

Tanah Berbahan Volkanik

Berbagai macam tanah dapat terbentuk dari abu vulkanik tergantung pada faktor pembentuk tanah di lokasi masing-masing. Tanah - tanah yang akan terbentuk dari abu vulkanik menunjukkan sifat unik karena di dalamnya terdapat bahan non-kristalin yang melimpah seperti kompleks alofan, imogolit, Al-humus, ferihidrit dan sebagainya (Nanzyo, 2002). Berikut ini, contoh-contoh ordo tanah yang terbentuk dari bahan induk volkan:

a. Andisol

Andisol adalah tanah yang berkembang pada ejekta volkanik seperti abu volkan, sinder, batu apung, lava dan bahan volkaniklastik; memiliki fraksi koloidal yang didominasi oleh mineral orde rentang pendek atau kompleks Al- humus (Leamy, 1988; Mizota dan van Rewijk, 1989).

Suatu tanah disebut Andisol apabila memiliki sifat andik yaitu : mengandung bahan organik ≤ 25 % (berdasarkan berat) karbon organik, dan

memenuhi satu atau kedua syarat berikut, (1) memenuhi semua syarat berikut a) bulk densiti, ditetapkan pada retensi air 33 kPa yaitu ≤ 0.90 g/cm 3, b) retensi

fosfat ≥ 85 %, c) jumlah persentase Al + ½ Fe (ekstrak ammonium oksalat)

≥ 2.0 %, atau (2) memenuhi semua syarat berikut: a) mengandung ≥ 30 % fraksi tanah yang berukuran 0.02 – 2.00 mm, b) retensi fosfat ≥ 2 5 %, c) ju mlah persentase Al + ½ Fe (ekstrak ammonium oksalat) ≥ 0.4 %, d) mengandung

volcanic glass ≥ 5 %, dan e) [(%Al + ½ Fe) × (15.625)] + [% volcanic glass]

≥ 36.25 (Soil Survey Staff, 2014).

Andisol muda memiliki sedikit memiliki alofan. Alofan dapat menjadi dominan setelah ratusan hingga ribuan tahun pelapukan, dan mungkin di tahap selanjutnya diubah menjadi kristal pilosilikat, seperti haloisit, kaolinit, dan lebih jarang, smektit. Pengeringan secara periodic kristali alofan menjadi pilosilikat,

menyebabkan hilangnya sifat khas dari alofan. Andisol dapat berubah menjadi jenis tanah lain, tergantung pada iklim, perkembangan tanah

selanjutnya akan menjadi: Spodosol, Inseptisol, Molisol dan Oksisol (Van Breemen dan Burman, 2002).

b. Spodosol

Bahan induk dari Spodosol umumnya berpasir untuk tekstur liat kasar dan dominasi mineral utama yang stabil. Namun, Spodosol bisa terbentuk dari tephra (abu volkan) meskipun tephra kaya kaca volkanik yang sangat rentan terhadap pelapukan. Transisi Andisol menjadi Spodosol telah didokumentasikan dalam

kondisi mesic dan cryic dengan pencucian intens di timur laut Jepang (Shoji et al., 1993a).

Pada tanah Spodosol, horizon Iluvial mungkin menunjukkan kandungan debu dan liat yang lebih tinggi. Fraksi liat dapat terdiri dari alofan dan imogolit, yang terakumulasi dari horizon atas sebelumnya atau selama

podzolisasi, atau pilosilikat yang dibentuk oleh pelapukan in situ (Van Breemen dan Burman, 2002).

Podsolisasi yang intens diperlukan untuk pembentukan Spodosol yang berasal dari tefra yang bahan induknya didominasi oleh bahan yang sangat lapuk seperti

kaca vulkanik. Karena faktor mendukung podsolisasi diamati hanya dalam lingkup kecil, distribusi tanah Spodosol yang berasal dari tefra sangat terbatas (Shoji et al., 1993a).

c. Inseptisol

Pelapukan tanah Andisol menjadi Inseptisol dan Ultisol telah diamati pada tanah yang berkembang dari abu andesit di berbagai ketinggian terkait dengan kondisi iklim yang berbeda di Irazu-Turrialba Kosta Rika. Pada tanah Andisol muda, mineral sekunder akan didominasi oleh haloisit. Namun, pada tanah Andisol yang lebih tua (perkembangan lanjut) haloisit akan berubah bentuk menjadi kaolinit. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya liat utama dalam Humitropepts dan Palehumults di Irazu-Turrialba Kosta Rika adalah kaolinit dan gibsit (Shoji et al., 1993a; Van Breemen dan Burman, 2002).

Hasil penelitian Chen et al., (2001) menunjukkan bahwa tanah Inseptisol yang terbentuk pada landskap volkanik di Taiwan berasal dari tanah Andisol yang mengalami pelapukan lebih lanjut. Hal ini semakin didukung dengan ditemukannya sifat Andik pada tanah Inseptisol tersebut, seperti rendahnya nilai BD, tingginya retensi air, fosfat serta nilai interaksi Al dengan humus. Tanah Inseptisol terbentuk secara tidak langsung dengan urutan pembentukannya adalah : Entisol → Andisol → Inseptisol. Proses penting yang terjadi didalamnya adalah berkurangnya basa-basa tukar tanah dan asidifikasi, brunifikasi, bioturbasi, akumulasi bahan organik, pelapukan dan pembentukan mineral liat.

d. Oksisol

Oksisol yang berbahan induk tefra terbentuk di bawah rezim udic rezim kelembaban/perudic dan rezim suhu isohyperthermic. Tanah ini

mengumpulkan sejumlah besar bahan bentuk non-kristalin, tetapi mereka cenderung didominasi oleh lempung aktivitas rendah seperti oxyhydroxides dari aluminium atau besi besi. Oksisol seperti ini memiliki kerapatan terbesar dari 1,1-

1,2 gcm seperti yang ditunjukkan pada pedon dari Samoa Barat dan Chile (Kimble dan Eswaran, 1988).

Sistem Klasifikasi Tanah

Klasifikasi tanah pertama disusun oleh E.C.J. Mohr pada tahun 1910. Klasifikasi tanah ini didasarkan atas prinsip genesis, dan tanah-tanah yang diklasifikasikan diberi nama atas dasar warna. Klasifikasi tanah selanjutnya adalah klasifikasi White yang mulai dikembangkan pada tahun 1931. Kemudian, berkembang lagi sistem klasifikasi tanah yang diperkenalkan oleh Dudal dan Soepraptohardjo (1957). Sistem ini banyak digunakan secara nasional oleh para praktisi lapang/penyuluh pertanian serta Instansi teknis di daerah dan pusat. Pada

Kongres Nasional Himpunan Ilmu Tanah di Surakarta tahun 2011, para pakar telah sepakat untuk menggunakan kembali Sistem Klasifikasi Tanah Nasional (Sistem klasifikasi tanah Dudal dan Soepraptohardjo) (Utomo dkk, 2015).

Klasifikasi tanah nasional ditetapkan berdasarkan sifat-sifat horison penciri (diagnostic horizon). Sifat penciri dapat diukur dan diamati secara kualitatif dari sifat morfologi tanah di lapangan, dan secara kuantitatif dari hasil analisis tanah di laboratorium. Sistem klasifikasi tanah nasional dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami dan diterapkan oleh para praktisi lapang di bidang pertanian. Sistem klasifikasi tanah nasional secara dibangun

sesuai dengan kondisi sumberdaya tanah di Indonesia dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tanah (Subardja dkk, 2014).

Lain halnya dengan klasifikasi tanah nasional, Soil Taxonomy merupakan sistem klasifikasi tanah dunia dari USDA yang diperkenalkan pada tahun 1975. Sistem “Soil Taxonomy” dinilai oleh para pakar memiliki banyak kelebihan, sehingga lebih banyak dipelajari dan dipromosikan oleh para peneliti dan staf pengajar perguruan tinggi lulusan dari Amerika Serikat dan Eropa untuk diterapkan pada kegiatan pemetaan tanah di Indonesia. Semakin mendesaknya kebutuhan untuk tujuan survei dan pemetaan tanah, maka pada Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Medan tahun 1989 memutuskan penggunaan “Soil Taxonomy” sebagai sistem klasifikasi tanah yang formal digunakan secara nasional untuk keperluan survei dan pemetaan tanah, pendidikan ilmu tanah di perguruan tinggi dan praktek-praktek pertanian di Indonesia (Subardja dkk, 2014).

Sistem “Soil Taxonomy” merupakan sistem klasifikasi tanah yang dibangun secara komprehensif, sistematik dan menggunakan pendekatan morfometrik (kuantitatif). Sistem ini menuntut data yang lengkap dengan metode analisis yang baku. Soil Taxonomy (USDA) digunakan oleh para peneliti dan staf pengajar di Perguruan Tinggi di Indonesia. Soil Taxonomy biasanya digunakan sebagai referensi dan alat berkomunikasi khususnya dengan para pakar tanah di dalam dan di luar negeri. Sistem klasifikasi ini sangat detil dan memerlukan data analisis tanah lengkap tetapi tidak mudah untuk mengkomunikasikannya diantara para pengguna dan pelaksana di lapangan (Subardja dkk, 2014)

PENDAHULUAN

Dokumen terkait