• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Sistematika Penulisan Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yang meliputi: Pertama mengenai Tinjauan Umum Tentang Hakim dan Kekuasaan Kehakiman diantaranya yaitu : Pengertian Hakim; Tugas, Kewajiban Hakim. Kedua, Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim diantaranya yaitu : Pengertian dan Jenis Putusan Hakim, Formalitas Yang harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim. Ketiga, Tinjauan Umum Tentang Putusan Bebas diantaranya yaitu : Pengertian dan Landasan Putusan Bebas; Macam-Macam Putusan Bebas; Putusan Bebas ditinjau dari Asas Pembuktian. Keempat, Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pelanggaran Undang-undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya diantaranya yaitu : Pengertian Tindak Pidana; Pengertian Tindak Pidana Pelanggaran, tindak pidana pelanggaran Undang-undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Pembahasan yang kedua adalah mengenai kerangka pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penjelasan dari penelitian, yang berupa Analisis Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri surakarta dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa Hashim S. Djojohadikusumo dalam perkara pelanggaran Undang-undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

BAB IV : PENUTUP

Bab akhir ini berisi simpulan serta saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan penulis.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Hakim

Diantara aparat penegak hukum yang paling dominan dalam melaksanakan penegakan hukum ialah hakim. Hakimlah yang pada akhirnya menentukan putusan terhadap suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap nilai-nilai keadilan. a. Pengertian Hakim

Pengertian hakim terdapat dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP yang menyebutkan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili. Selain di dalam KUHAP, pengertian hakim juga terdapat dalam Pasal 31 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-undang. b. Tugas dan Kewajiban Hakim

Dalam rangka penegakan hukum di Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Untuk menegakkan hukum dan keadilan, seorang hakim mempunyai kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab hukum. Kewajiban hakim sebagai salah satu organ lembaga peradilan tertuang

dalam Bab IV Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban-kewajiban hakim tersebut adalah sebagai berikut :

1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004)

2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang vbaik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 2004)

3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera ( Pasal 29 ayat (3) Undang-undang No.4 Tahun 2004 ) 4) Ketua majelis, hakim anggota, wajib mengundurkan diri dari

persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri mesipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat ( Pasal 29 ayat (4) Undang-undang No.4 Tahun 2004)

5) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara ( Pasal 29 ayat (5) Undang-undang No.4 Tahun 2004 )

6) Sebelum memangku jabatannya, hakim untuk masing-masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janjinya

menurut agamanya ( Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 )

2. Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim a. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim

Pengertian putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI tahun 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. ( Evi Hartanti, 2006: 52)

KUHAP memberikan definisi terhadap putusan yakni “ pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas daripada segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara apa yang diatur dalam Undang-undang ini”(Pasal 1 butir 11 KUHAP).

Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan permufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara :

1) Putusan diambil dengan suara terbanyak.

2) Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Menurut Yahya Harahap bahwa putusan akan dijatuhkan pengadilan, tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan

dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. ( M.Yahya Harahap, 2005: 347)

Jenis-jenis putusan hakim dalam perkara pidana, antara lain : a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili

Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum

terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan eksepsi ( tangkisan ). Eksepsi tersebut antara lain dapat memuat bahwa

Pengadilan Negeri tersebut tidak berkompetensi ( wewenang ) baik secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili ( Pasal 156 ayat (2) KUHAP ).

b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan karena Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan tidak cermat, kurang jelas dan tidak lengkap. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung Registrasi Nomor: 808/K/Pid/1984 tanggal 6 Juni yang menyatakan : “Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum.” c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima

Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima pada dasarnya termasuk kekurangcermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena :

1) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik aduan, tidak ada;

2) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah diadili ( ne bis in idem ); dan

3) Hak untut penuntutan telah hilang karena daluwarsa (verjaring) d. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala

tuntutan hukum

Putusan ini dijatuhkan jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum ( Pasal 191 ayat (2) KUHAP ). Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena :

1) Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana,

2) Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. Keadaan istimewa tersebut antara lain :

(a) tidak mampu bertanggung jawab ( Pasal 44 KUHP )

(b) melakukan di bawah pengaruh daya paksa atau overmacht ( Pasal 48 KUHP )

(c) adanya pembelaan terdakwa ( Pasal 49 KUHP ) (d) adanya ketentuan Undang-Undang ( Pasal 50 KUHP ) (e) adanya perintah jabatan ( Pasal 51 KUHP )

Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas ( Pasal 191 ayat (1) KUHAP )

Pada penjelasan pasal tersebut, untuk menghindari penafsiran yang kurang tepat, yaitu yang dimaksud dengan “ perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti sah dan meyakinkan ” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

f. Putusan pemidanaan pada terdakwa

Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan padanya ( Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Hakim dalam hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan memahami setiap yang terungkap dalam persidangan.

b. Formalitas yang Harus Dipenuhi dalam Putusan Hakim

Secara umum formalitas yang harus ada dalam suatu putusan hakim bertitik tolak pada ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Dari ketentuan tersebut sedikitnya 10 ( sepuluh ) buah elemen harus terpenuhi. Dan menurut ayat (2) pasal tersebut, apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g dan i, maka putusan batal demi hukum ( “van rechtswege nietig ” ).

Ketentuan-ketentuan formalitas tersebut adalah sebagai berikut : a. Kepala putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa ; c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam Surat Dakwaan

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa ;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar

pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa ;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal ;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan ;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti ;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu ;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan ;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. ( Lilik Mulyadi, 2000: 147-148 ) 3. Tinjauan Tentang Putusan Bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat ( 1) KUHAP yang berbunyi “ Jika Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.

Dari ketentuan tersebut diatas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. ( M.Yahya Harahap, 2005: 348 )

b. Macam-macam Putusan Bebas ( vrijspraak )

Dalam praktek peradilan, bentuk-bentuk putusan bebas ( vrijspraak ) adalah sebagai berikut :

a. Putusan bebas Murni ( de “zuivere vrijspraak” )

Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti (Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89 ).

Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya tuduhan secara terselubung atau “pembebasan” yang menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidakterbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuduhan. ( Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981: 89 ).

Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti ( Oemar Seno Adjie, 1989: 167 ).

Putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut :

1) Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan.

2) Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya ( Oemar Seno Adjie, 1989: 164 ).

c. Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya ( de ”vrijskpraak op grond van doelmatigheid overwegingen”),

Pembebasan berdasarkan alasan pertimbangan kegunaannya adalah pembebasan yang didasarkan atas pertimbangan bahwa harus diakhiri suatu penuntutan yang sudah pasti tidak akan ada hasilnya. ( Rd. Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).

Pembebasan yang terselubung pembebasan yang dilakukan dimana hakim telah mengambil keputusan tentang ”feiten” dan menjatuhkan putusan ”pelepasan dar tuntutan hukum”, padahal putusan tersebut berisikan suatu ”pembebasan secara murni”. ( Rd. Achmad S. Soemadipradja, 1981: 89).

c. Putusan Bebas ditinjau dari Asas Pembuktian

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia mmeperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas, terkandung dua asas mengenai pembuktian, yaitu :

1) Asas minimum pembuktian, yaitu untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

2) Asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti, harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa.

Berdasarkan kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP tersebut, apabila dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan penilaian dan pendapat hakim bahwa :

1) kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

dan petunjuk, serta pengakuan terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai, atau

2) Pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi batas minimum pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan hanya satu orang saksi. Dalam hal ini, selain tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian itu juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unnus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi.

Putusan bebas disini bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim jadi sekalipun secra formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim. Dalam keadaan penilaian seperti ini, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan adalah membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum. ( M.Yahya Harahap, 2005: 348 )

4. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Pelanggaran Undang-undang Cagar Budaya

a. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-Undang di Indonesia menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu

straafbaar dan feit. Perkataan feit dalan bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedang straafbaar berarti “dapat

dihukum”. Sehingga jika diartikan secara harafiah straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum”.

Sedangkan Moeljanto memberikan pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi bagi barangsiapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana. Dalam hal ini larangan ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan. (Evi Hartanti, 2005: 7 )

Dari pengertian straafbaarfeit ( tindak pidana ) tersebut di atas, maka untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur-unsur yang dipenuhi, antara lain :

a. perbuatan ( manusia )

b. memenuhi rumusan undang-undang ( syarat formil ) c. bersifat melawan hukum ( syarat materiil )

b. Pengertian Tindak Pidana Pelanggaran

Menurut Moeljatno perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan dan pelanggaran. Pembagian atas kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas perbadaan yang prinsipil. Dikatakan bahwa kejahatan adalah “ rechtsdeliten”,yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang , sebagai perbuatan pidana,telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada hukum yang menentukan demikian.

Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab

Undang-undang Hukum Pidana melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam peraturan perundang-undanagan pidana sebagai keseluruhan.

Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran seperti yang dimaksud di atas membawa berbagai akibat hukum yang bersifat hukum material yaitu :

1) Undang-undang tidak membuat suatu perbedaan antara kesengajaan dan ketidaksengajaan di dalam pelanggaran;

2) Percobaan untuk melakukan suatu pelanggaran tidak dapat dipidana(Pasal 54 ); keturutsertaan di dalam pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 60 KUHP);

3) Keturutsertaan dalam pelanggaran tidak dapat dipidana;

4) Di dalam pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris itu hanya dapat dipidana apabila pelanggaran itu telah tejadi dengan sepengetahuan mereka.;

5) Di dalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya suatu pengaduan itu merupakan syarat bagi penuntutan;

6) Jangka waktu daluarsanya hak untuk melakukan penuntutan (Pasal 78 ayat (1) KUHP) dan hak untuk menjalani hukuman (Pasal84 ayat 2 KUHP) pada pelanggaran itu pada umumnya adalah lebih singkat;

7) Peraturan mengenai hapusnya hak untuk melakukan penuntutan karena adanya suatu pembayaran secara sukarela dan nilai denda yang setingi-tingginya (Pasal 82 ayat (1) KUHP) hanya berlaku bagi pelanggaran;

8) Adanya ketentuan yang tersendiri mengenai dapat disitanya benda-benda yang diperoleh karena pelanggaran (Pasal 39 ayat 2 KUHP); 9) Tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang warga Negara

Indonesia di luar negeri hanya menimbulkan hak untuk melakukan penuntutan bagi penuntut umum, apabila tindak pidana tersebut

oleh Undang-undang Pidana yang berlaku di Indonesia telah dikualifikasikan sebagai kajahatan dan bukan pelanggaran;

10)Ketentuan-ketentuan pidana menurut Undang-undang Indonesia itu hanya dapat diberlakukan terhadap pegawai negeri yang di luar Negara Indonesia telah melakukan kejahatan-kejahatan jabatan dan bukan pelanggaran-pelanggaran jabatan;

11)Pasal-Pasal penadahan (Pasal480 KUHP dan seterusnya) selalu mensyaratkan bahwa benda-benda yang bersangkutan haruslah diperoleh karena kejahatan dan bukan karena pelanggaran;

12)Ketentuan-ketentuan pidana khusus mengenai keturutsertaan di dalam tindak pidana yang telah dilakukan dengan alat cetak di dalam Pasal-Pasal 61 dan Pasal 62 KUHP itu hanya berlaku untuk kejahatan-kejahatan dan bukan untuk pelanggaran- pelanggaran. (Lamintang,1997,212).

c. Pengertian Tindak Pidana Pelanggaran Undang-undang No.5 tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No.5 tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang meyebutkan bahwa setiap pemilikan, pengalihan hak dan pemindahan tempat Benda Cagar Budaya tertentu wajib didaftarkan. Dan dalam Pasal 6 Undang-undang No.5 Tahun 1992 tersebut menyatakan bahwa Benda Cagar Budaya tersebut dapat dimiliki adalah Benda Cagar Budaya yang dimiliki secara turun temurun atau merupakan warisan, jumlah dan jenisnya cukup Banyak dan sebagian telah dimiliki oleh Negara. Mengenai pengalihan pemilikan cagar budaya yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dapat disertai pemberian imbalan yang wajar (Pasal 7 ayat(2) Undang-undang No.5 Tahun 1992). Sedangkan pengertian Benda Cagar Budaya seperti termuat dalam Pasal 1 Undang-undang No.5 Tahun 1992 adalah benda buatan manusia , bergerak dan tidak

bergerak yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh tahun) serta dianggap nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, serta dapat juga benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Mengenai syarat –syarat pendaftaran Benda Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang memiliki Benda Cagar Budaya wajib mendaftarkannya (diatur dalam ayat (1)),dan pendaftaran Benda Cagar Budaya dilakukan pada instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas pendaftaran Benda Cagar Budaya tersebut berada (diatur dalam ayat(2)). Sedangkan pendaftaran tersebut disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi data mengenai :

1) identitas pemilik

2) riwayat pemilikan Benda Cagar Budaya

3) jenis,jumlah,bentuk dan ukuran Benda Cagar Budaya (diatur dalam ayat(3)).

Dalam Undang-undang No.5 tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya memuat Pasal 28 huruf a memuat sanksi dan ketentuan-ketentuan yang menyatakan bahwa seseorang secara sah dan meyakinkan telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana tidak melakukan kewajiban pendaftaran pemilikan ,pengalihan hak, dan pemindahan tempat sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1).

Dari ketentuan Pasal 28 huruf a Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tersebut, maka pada dasarnya suatu tindak pidana dapat tergolong

sebagai suatu tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1) Unsur barang siapa; 2) Dengan sengaja;

3) Tidak mendaftarkan pemilikan,pengalihan hak dan pemindahan tempat Benda Cagar Budaya.

B. Kerangka Pemikiran

Seperti dalam putusan hakim pada umumnya, dalam menjatuhkan putusan bebas hakim harus memiliki pertimbangan-pertimbangan. Hakim harus benar-benar jeli dalam memeriksa suatu perkara sebelum hakim tersebut menjatuhkan putusan.

Hakim

Putusan

Pertimbangan

Bebas Murni Bebas Tidak

Murni Putusan Bebas ( Pasal 191 ayat (1) KUHAP ) Pemidanaan ( Pasal 193 ayat (1) KUHAP ) Lepas dari Segala Tuntutan Hukum ( Pasal 191 ayat (2) KUHAP ) Terdakwa Hashim s Dojohadikusumo ( Perkara Pelanggaran Undang-undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya) Hakim

Putusan

Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dijatuhkan karena hakim berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di persidangan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, artinya tidak terbukti menurut penilaian

Dokumen terkait