• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Sistematika Penulisan

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi kajian tentang perspektif kebijkan hukum pidana terhadap pelaksanaan program ASI eksklusif.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.

18

13

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu bagaimanakah perspektif kebijakan hukum pidana terhadap pelaksanaan program ASI eksklusif dan apa sajakah faktor penghambat pelaksanaan program ASI eksklusif.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan kumpulan tulisan mengenai kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang ada.

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perspektif Kebijakan Hukum Pidana

Perspektif19 kebijakan hukum pidana merupakan gambaran atau pandangan peristiwa dalam usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi tertentu. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan,20

yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

19

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ke-4, Jakarta: Balai Pustaka.

20

15

Terkait dengan hal tersebut perspektif kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, dimana penegakan hukum pidana merupakan upaya hukum untuk menterjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan yakni dengan melarang suatu yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.21

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum

(Law Enforcement Policy) atau pembangunan hukum. Dalam perspektif hukum pidana penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Hal ini berarti bahwa

21

Soerjono Soekanto, 2014, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 5.

16

dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak ada suatu keharusan yang mewajibkan untuk menanggulangi kejahatan tersebut dengan sarana hukum pidana (penal), mengingat penanggulangan kejahatan dengan menggunakan kebijakan hukum pidana berupa pemberian pidana memberikan dampak buruk seperti yang dikemukakan oleh Herman Bianchi bahwa lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-lamanya dan secara menyeluruh. Tidak sedikit pun (bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap di dalam sejarah kemanusiaan ini.22

Kebijakan penal yang bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur prefentif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik diharapkan ada efek pencegahan/penangkal (deterrent effect) nya. Di samping itu, kebijakan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan, karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk

menyalurkan “ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau pencelaan/kebencian sosial (social disapproval social abhorrence) yang sekaligus

juga diharapkan menjadi sarana “perlindungan sosial” (social defence). Oleh karena itulah sering dikatakan, bahwa penal policy merupakan bagian integral dari

social defence policy.23

22

Herman Bianchi dalam Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 37.

23

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

17

Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, beliau mengemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih diperlukannya pidana dan hukum pidana, adapun intinya sebagai berikut:24

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum; dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.

Sedangkan menurut Marc Ancel Kebijakan Hukum Pidana atau Penal Policy

adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan pearturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya untuk pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.25

24

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, hlm. 153.

25

Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep

18

Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum pidana, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.26

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:27

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).

Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. Pendekatan demikian terlihat pula misalnya, pada tulisan Satjipto Rahardjo yang

berjudul “Pembangunan Hukum yang Diarahkan kepada Tujuan Nasional”.

Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada

26Ibid., hlm. 23.

27

19

keputusan politik yang diambil dalam dua masa tersebut dan pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing.28

Penegakan hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu berfungsi, beroperasi atau bekerjanya dan terwujud secara konkret. Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana dibagi menjadi dua jenis kebijakan, yaitu:29

1) Kebijakan secara penal (hukum pidana)

Kebijakan hukum pidana melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat

“represif” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) setelah kejahatan tersebut

terjadi. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan upaya represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan atau tindak pidana, termasuk upaya represif yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dilakukannya pidana.

2) Kebijakan non penal (diluar jalur hukum)

Kebijakan hukum pidana melalui jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat

“preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) yang dilakukan sebelum

kejahatan tersebut terjadi. Sarana non penal biasa disebut sebagai upaya preventif, yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Non penal merupakan upaya pencegahan, penangkalan, dan pengendalian sebelum kejahatan terjadi maka sasaran utamanya adalah mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu

28Ibid., hlm. 230.

29

20

antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung menimbulkan kejahatan.

Usaha-usaha non penal penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral dan agama. Meningkatkan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya. Usaha-usaha non penal memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Dengan demikian, dilihat dari politik kriminal keseluruhan kegiatan preventif yang non penal itu sebenarnya mempunyai kedudukan yang sangat strategis, memegang posisi kunci diintesifkan dan diefektifkan.

Kegagalan dalam mengarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penegakan hukum. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non penal itu kedalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur. Tujuan utama dari sarana non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu. Penggunaan sarana non penal adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan yaitu meliputi bidang yang sangat luas sekal di seluruh sektor kebijakan sosial.30

Penegakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahapan, yaitu:31

a. Tahap formulasi, yaitu tahapan penegakan hukum in abstracta oleh pembuat undang-undang, tahap ini pula disebut sebagai tahap kebijakan legislatif.

30

Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 42.

31

21

b. Tahap aplikasi, yaitu penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai dengan pengadilan, tahap ini dapat pula disebut dengan tahap kebijakan.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat-aparat pelaksanaan hukum pidana, tahap ini dapat pula disebut dengan tahap kebijakan eksekutif atau administratif.

Dokumen terkait