2. 1 Pohon saga Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Fabales Famili : Fabaceae Upafamili : Mimosoideae Genus : Adenanthera Spesies : A. Pavonina
Pohon saga diduga merupakan salah satu pohon asli dari Australia dan Filipina. Namun pada kenyataannya terdapat juga secara alamiah di hutan musim dan hutan pantai di Indonesia serta di hutan-hutan tropis di daerah tropis lainnya. Pohon saga dapat tumbuh di habitat hutan pantai atau pada daerah yag berketinggian tempat kurang dari 100 m dpl, meskipun sering kali ditemui di hutan tropis dan hutan musim (Indriyanto, 2012).
Pohon saga termasuk dalam famili Leguminosae. Pohon saga dapat mencapai tinggi 30 m. kulit batang berwarna abu-abu dan bertekstur halus. Pohon saga berdaun majemuk menyirip ganda dengan jumlah anak daun yang berjumlah
9 genap dan tata daun berseling. Helaian anak daun berukuran kecil dengan lebar 0,75—1 cm dan panjangnya 2—2.5 cm. Bentuk helaian anak daun memanjang (oblong), bentuk pangkal dan ujung helaian anak daun membulat, serta bertepi rata. Bunga pohon saga tersusun dalam bentuk bunga tandan yang panjang tandannya 25—40 cm, berwarna kuning dan beraroma harum. Bunga terletak secara terminal di ujung ranting. Buah saga bertipe buah polong, jika sudah tua akan pecah. Panjang polong buah saga 5—11 cm dan setiap buah berisi sebanyak 1—6 butir biji. Kulit buah muda berwarna hijau dan kulit tua berwarna coklat. Biji yang telah tua berkulit keras dan berwarna merah tua (Indiyanto, 2012). 2.2 Perkecambahan Benih
Dormansi yaitu sifat benih yang sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada tempat yang secara umum dianggap telah memenuhi syarat bagi proses perkecambahan. Penyebab dormansi benih antara lain kulit benih yang keras, embrio yang belum sempurna struktur dan perkemabangan jaringannya, serta adanya zat penghambat (inhibitor) dalam perkembangan benih. Benih yang telah masak fisiologis memiliki viabilitas tinggi yang ditandai dengan kemampuan benih tersebut tumbuh menjadi kecambah normal dalam kondisi optimum. Proses perkecambahan tersebut dimulai dengan imbibisi air ke dalam benih untuk mengaktifkan kembali aktivitas pertumbuhan benih dan menginisiasi pertumbuhan embrio kemudian dilanjutkan dengan kemunculan akar yang
10 Pertumbuhan dan perkembangan bibit di tingkat nurseri sangat ditentukan oleh keberhasilan biji atau benih membentuk semai yang diawali dengan perkecamba-han benih. Secara agronomis, perkecambaperkecamba-han suatu biji (benih) diartikan sebagai semai yang telah atau mulai muncul di permukaan media tanam, sehingga secara teknis agronomis perkecambahan adalah permulaan munculnya pertumbuhan aktif yang mengakibatkan pecah kulit biji dan kemudian muncul semai di permukaan tanah (Santoso dkk., 2007).
Perkecambahan merupakan suatu proses benih berkembang menjadi kecambah yang mencapai pada stadia munculnya bagian dari struktur-struktur esensial benih. Kecambah tersebut akan menunjukkan kemampuan untuk berkembang lebih lanjut menjadi tanaman normal dalam kondisi optimal (Balai Pengembangan Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2006).
Bibit yang baik dan seragam sangat bergantung pada kecepatan berkecambah dan persentase berkecambah benih yang digunakan. Menurut (Sadjad, 1989 yang dikutip oleh Santoso dkk., 2007), kecepatan berkecambah dipengaruhi pula oleh kondisi fisiologis benih, umur benih dalam simpanan dan kesehatan
pathogenisnya selain itu kekuatan tumbuh benih dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan pada saat proses pembentukan biji dan penyimpanan hingga kondisi saat perkecambahan. Biji yang akan dikecambahkan/disemaikan harus berasal dari buah yang sudah masak betul. Tanda-tanda tua biji saga adalah adanya polong pecah dan terbelah dan tangkupan kulit polong membentuk susunan spiral, biji sangat keras, kulit biji berwarna merah cemerlang, serta keping biji berwarna kuning kecoklatan (Pratiwiningsih, 1984).
11 2.3 Skarifikasi
Faktor internal yang berasal dari benih itu sendiri dan dapat mempengaruhi perke-cambahan benih salah satunya adalah adanya sifat dormansi suatu benih. Widajati dkk. (2013) menyatakan dormasi benih merupakan suatu kondisi dimana benih hidup tidak berkecambah sampai batas waktu akhir pengamatan perkecambahan walaupun faktor lingkungan optimum untuk perkecambahannya. Balai Pengem-bangan Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (2005) menyatakan struktur kulit benih sering sekali menjadi faktor pembatas pada dormansi benih. Pembatasan tersebut dapat berupa penghambatan dalam pemasukan air dan oksigen serta pembatasan mekanik sehingga menghambat pembesaran embrio. Pengecambahan benih bertujuan mendapatkan jumlah benih yang mampu
berkecambah lebih banyak pada kondisi yang optimum. Benih-benih yang berpo-tensi memiliki sifat dormansi diperlukan perlakuan pra perkecambahan untuk mematahkan dormansi benih tersebut sehingga benih dapat tumbuh serempak (Balai Pengembangan Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2005). Pematahan dormansi pada benih yang berkulit keras dapat dilakukan secara mekanis, salah satunya adalah skarifikasi. Teknik skarifikasi salah satunya adalah dengan melakukan perendaman terhadap benih. Perlakuan perendaman dalam air mengalir berfungsi untuk mencuci zat-zat yang menghambat perkecambahan dan dapat melunakkan kulit benih. Perendaman dapat merangsang penyerapan lebih cepat (Silomba, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian (Yuniarti, 2002) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan yang tepat untuk benih saga pohon sebelum dikecambahkan adalah
12 benih direndam dalam larutan asam sulfat selama 30 menit akan menghasilkan daya kecambah lebih besar dibanding perlakuan lain seperti benih dikikir, benih direndam dalam air dingin selama 24 jam, benih dikikir kemudian direndam dalam air dingin selama selama 24 jam, benih direndam dalam air panas selama 24 jam, benih direndam dalam larutan H2O2 3% selama 24 jam, benih direndam dalam larutan H2SO4 selama 10 menit, benih direndam dalam larutan H2SO4 selama 20 menit, dan benih direndam dalam larutan H2SO4 selama 30 menit.. Perendaman dengan larutan H2SO4 selama 30 menit memberikan persentase daya kecambah sampai pada angka 92%. Kulit benih saga pohon termasuk kulit yang keras, maka faktor penyebab terjadinya dormansi benih adalah faktor kulit benih. Pematahan dormansi kulit benih diperlukan suatu perlakuan pendahuluan tertentu dan ternyata perendaman dalam larutan asam sulfat selama 30 menit sangat efektif dalam mematahkan dormansi tersebut.
Hasil penelitian Mali’ah (2014) menunjukkan bahwa, konsentrasi K2 (60%) dapat meningkatkan persentase perkecambahan dan panjang hipokotil benih saga, sedangkan konsentrasi K4 (80%) dapat meningkatkan laju perkecambahan. lama perendaman yang paling efektif adalah L3 (25 menit) yaitu mampu meningkatkan perkecambahan benih Saga Pohon pada semua parameter yang meliputi
persentase perkecambahan, laju perkecambahan dan panjang hipokotil. Interaksi konsentrasi 60% dan lama perendaman 25 menit dalam asam sulfat menunjukkan hasil terbaik pada parameter persentase perkecambahan, sedangkan parameter laju perkecambahan dan panjang hipokotil tidak ada pengaruh.
13 2.4 Air Kelapa
Gambar 2. Perkembangan buah kelapa
Buah kelapa mencapai maturitas maksimal umur 12-13 bulan. Pada umur 5 bulan, dinding endosperm mulai terbentuk lapisan tipis yang disebut kernel, yang mengelilingi air kelapa di dalamnya. Volume air kelapa mencapai maksimal pada umur 6-8 bulan, dan seiring dengan bertambahnya umur buah kelapa, volume air makin berkurang digantikan dengan kernel yang makin keras dan tebal. Saat ker-nel mencapai ketebalan maksimal (umur 12-13 bulan), volume air kelapa hanya sekitar 15% dari berat buah kelapa (Farapti dan Sayogo, 2014).
Hasil analisis kandungan kimia air kelapa menunjukkan komposisi ZPT kinetin (sitokinin) dalam air kelapa muda berusia 7-8 bulan adalah 273,62 mg/l dan zeatin 290,47 mg/l, sedangkan kandungan IAA (auksin) adalah 198,55 mg/l (Kristina dan Syahid,2008). Tingginya kandungan sitokinin maupun auksin terjadi karena ZPT tersebut diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif membelah (Gardner dkk., 1991). Berdasarkan hasil analisis hormon yang dilakukan oleh Savitri (2005) ternyata dalam air kelapa muda terdapat Giberelin (0,460 ppm GA3, 0,255 ppm GA5, 0,053 ppm GA7), Sitokinin (0,441 ppm Kinetin, 0,247 ppm Zeatin) dan Auksin (0,237 ppm IAA). Penelitian tentang penggunaan air kelapa untuk merangsang pertumbuhan akar stek telah dilakukan terhadap stek
14 batang sambung nyawa (Savitri, 2005), berdasarkan hasil penelitian tersebut terbukti bahwa stek yang direndam dalam air kelapa dapat meningkatkan persentase stek berakar dan meningkatkan jumlah dan kualitas akar.
Air kelapa merupakan ZPT alami yang banyak digunakan dalam perbanyakan in vitro berbagai tanaman hias diantaranya anggrek, karena memiliki sitokinin. Pada kelapa muda, yang kondisi endospermanya masih seperti susu, kandungan
sitokinin maupun auksin alami sangat tinggi. Seiring dengan bertambahnya umur kelapa, kandungan ZPT alaminya juga akan berkurang. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa penurunan kandungan ZPT alami terjadi karena energi yang ada dibutuhkan untuk pembentukan daging buah. Perlakuan sterilisasi dengan autoklaf menurunkan kandungan ZPT alami dalam air kelapa. ZPT alami memiliki sifat mudah terdegradasi sehingga akan terurai bila melalui proses pemanasan tinggi dengan autoklaf. Selain penurunan kandungan ZPT alami, warna air kelapa pun berubah menjadi kecoklatan.
Air kelapa mengadung hormon alami kelompok auksin dan sitokinin. Auksin berperan memacu pembentukan kalus, menghambat kerja sitokinin, membentuk klorofil dalam kalus, mendorong proses morfogenesis kalus, membentuk akar, dan mendorong proses embriogenesis. Sitokinin adalah salah satu jenis hormon tumbuhan yang berperan dalam pembelahan sel serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Mekanisme kerja sitokinin hampir sama dengan kinetin namun dalam praktek kultur jaringan umumnya peneliti menggunakan sitokinin
15 poliferasi meristem ujung, menghambat pembentukan akar dan mendorong
pembentukan klorofil pada kalus (Surachman, 2011).
Oknasari dkk. (2008) menyatakan bahwa perlakuan skarifikasi memberikan pengaruh dalam memacu perkecambahan (saat munculnya kecambah hari ke-45, persentase perkecambahan 100%, kecepatan perkecambahan 0,1 kecambah/hari), sedangkan perlakuan air kelapa dan interaksi antara skarifikasi dan konsentrasi air kelapa tidak memberikan pengaruh terhadap perkecambahan. Air kelapa yang diserap oleh biji nyamplung telah dapat menyebabkan embrio berkembang, tetapi radikula tidak mampu keluar menembus kulit buah nyamplung yang keras, sehingga proses perkecambahan tidak dapat terjadi, dan untuk radikula yang berhasil keluar menembus kulit buah yang keras akan berkecambah dan tumbuh menjadi kecambah normal, walaupun membutuhkan waktu yang lama.
2.5 Media berkecambah
Media tumbuh untuk perkecambahan benih tidak harus memiliki kandungan unsur hara yang banyak mengingat benih yang sedang dikecambahkan belum
memerlukan zat hara, akan tetapi harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut (Indriyanto, 2013).
1. Media perkecambahan harus mampu menyimpan air yang dibutuhkan untuk perkecambahan benih.
2. Mempunyai drainase dan aerasi yang baik. Drainase adalah sifat yang berkenaan dengan sirkulasi air dalam media tumbuh, sedangkan aerasi adalah sifat yang berkenaan dengan sirkulasi udara (gas-gas yang terkandung di dalam udara) dalam media tumbuh. Drainase dan aerasi yang baik pada media
16 tumbuh akan berpengaruh positif terhadap proses difusi gas dan infiltrasi air kedalam media tumbuh, meningkatnya persediaan oksigen dan air dalam media tumbuh, serta meningkatakan kapasitas benih maupun akar kecambah untuk mengabsorpsi dan mengangkut air.
3. Media perkecambahan harus mampu mempertahankan kelembapannya.
4. Media perkecambahan tidak mengandung racun atau zat pencemar yang dapat meracuni benih dan menghambat proses perkecambahan benih.
5. Media perkecambahan tidak menjadi sumber penyakit bagi benih yang dikecambahkan maupun bagi kecambah itu sendiri.
6. Media perkecambahan berupa bahan yang mudah didapatkan dan harganya murah.
Bahan-bahan yang pada umumnya digunakan untuk media perkecambahan benih antara lain : pasir dan tanah, pada skala laboratorium sering menggunakan bahan selain pasir dan tanah untuk uji viabilitas benih dengan mengecambahkan benih secara langsung pada media kecambah berupa kertas atau kapas (Indriyanto, 2013).