• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI STATISTIK

TINJAUAN PUSTAKA

Avian Influenza Virus Avian Influenza

Virus influenza merupakan virus RNA dari famili Orthomyxoviridae. Virus ini memiliki asam nukleat beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza juga mempunyai selubung atau simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Terdapat tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang spesifik pada sel inang saat menginfeksi. Ada dua jenis spikes pada virus ini yaitu yang mengandung hemaglutinin (H) dan yang mengandung neuraminidase (N), keduanya terletak dibagian terluar virion (Gambar 1).

Gambar 1 Morfologi virus Avian Influenza (Davidson 1995)

Horimoto dan Kawaoka (2001), menyatakan bahwa virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri dari hemaglutinin, neuraminidase, protein nukleokapsid, dan protein matriks. Menurut Murphy dan Webster (1996), berdasarkan perbedaan antigenik pada nukleoprotein dan protein matriks, virus influenza diklasifikasikan sebagai tipe A, B, dan C, sedangkan virus AI sendiri termasuk dalam virus influenza tipe A.

Virus Influenza tipe A sangat patogen bagi manusia dan hewan, sehingga mempunyai peran penting dalam bidang kesehatan karena menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh dunia. Virus influenza tipe A ini

dapat menyebabkan pandemi karena mudah bermutasi, baik berupa antigenic drift

ataupun antigenic shift sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih patogen. Virus influenza B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia, sedangkan virus influenza C jarang ditemukan walaupun dapat menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan. Jenis virus influenza B dan C jarang sekali menyebabkan wabah pandemi atau bahkan tidak sama sekali. Pengelompokan virus influenza berdasarkan sifatnya dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengelompokan virus influenza berdasarkan jenisnya

Spesies influenza A B C

Reservoir Hewan Ya Tidak Tidak

Transmisi Manusia Pan atau epidemic epidemi Epidemic

Mutasi Shift dan Drift Drift Drift

Jumlah segmen RNA 8 8 7

Jumlah protein permukaan 2 2 1

Keterangan :

oPandemi (kejadian penyakit yang dalam waktu singkat menyebar ke beberapa Negara), oEpidemi (kejadian penyakit yang mengalami peningkatan)

oShift (istilah mutasi virus AI = bentuk determinan antigen berubah secara perlahan dan

lambat menjadi bentuk yang berbeda pada setiap generasi virus),

oDrift (istilah mutasi virus AI = mudah mengkombinasikan HA dan NA untuk

menghasilkan variasi antigenik baru) Sumber : maksum 2010

Penyakit flu burung atau Avian Influenza (AI) dikelompokkan menjadi dua, yakni flu burung yang sangat patogenik (Highly Pathogenic Avian Influenza

atau HPAI) yang dahulu lebih dikenal dengan fowl plaque dan flu burung yang kurang patogenik (Low Pathogenic Avian Influenza atau LPAI). Kedua jenis flu burung tersebut disebabkan oleh virus famili Orthomyxoviridae tipe A (Easterday and Hinshaw 1991). Menurut Office International des Epizooties (OIE) pada tahun 2000, subtipe yang menimbulkan HPAI hanya H5 dan H7, namun infeksi virus HPAI pada ayam sangat fatal dan menular. Umumnya unggas yang hidup di air merupakan reservoir utama dari penyakit ini.

Perubahan Patologis

Perubahan makroskopik pada kasus flu burung atau Avian Influenza (AI) ditemukan sangat bervariasi pada unggas. Hal tersebut sesuai dengan lokasi lesio

yang terjadi, derajat keparahan, spesies unggas dan patogenisitas virus influenza itu sendiri. Bentuk ringan ditemukan dengan adanya salah satu atau campuran dari eksudat kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus pada sinus. Bentuk akut terlihat jika unggas mati dalam waktu yang singkat namun biasanya tidak ditemukan adanya perubahan makroskopik tertentu karena lesio pada jaringan belum berkembang (Davison et al. 1999).

Berbagai subtipe virus influenza tersebut dapat menimbulkan lesio pada stadium awal, yang meliputi edema pada kepala yang disertai oleh pembengkakan sinus, sianosis, kongesti dan hemoragi pada pial dan balung. Kongesti dan hemoragi mungkin ditemukan juga pada kaki bahkan ditemukan adanya fokal nekrotik pada hati, limpa, ginjal dan paru jika penyakit berlanjut. Perubahan mikroskopik pada lesio yang ditimbulkan oleh fowl plaque (HPAI) ditandai oleh adanya gambaran histopatologi berupa edema, hiperemi, hemoragi dan

perivascular cuffing sel limfoid, terutama pada miokardium, limpa, paru, otak, balung dan dengan frekuensi yang lebih rendah pada hati dan ginjal (Hooper 1989).

Pemeriksaan serologis dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap AI yang dapat diamati 7-10 hari pasca-infeksi. Adapun uji serologis yang sering digunakan adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) dan agar gel presipitasi (AGP) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap neuraminidase (N). Uji serologis lainnya adalah uji netralisasi virus (VN), neuraminidase-inhibition

(NI), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antibodi monoclonal,

hibridisasi in situ, dan imunofluorescence. Penyakit yang mirip gejala klinisnya dan dapat dijadikan sebagai diagnosa banding dengan Avian Influenza (AI) adalah

Newcastle Disease (ND), Pigeon paramyxovirus, Infectious Bronchitis (IB),

Swollen Head Syndrome (SHS), dan avian mikoplasmosis (Tabbu 2000). Epidemiologi

Menurut Office International des Epizooties (OIE) 2004, terdapat 16 jenis subtipe H dan 9 jenis subtipe N dari virus AI. Berdasarkan data kasus sero- prevalensi secara epidemiologi menunjukkan bahwa beberapa subtipe virus

influenza A telah menyebabkan wabah pandemi selama beberapa tahun antara lain H7N7 (1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan H2N2 (1889). Kasus AI dalam perkembangan, tidak hanya menyerang unggas, tetapi juga menyerang mamalia lainnya bahkan manusia, seperti yang terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Siklus penyebaran virus Avian Influenza (Nanocid 2008)

Kamps dan Reyes (2006) menyatakan bahwa virus Avian Influenza (AI) dikenal cerdik dan susah diberantas karena sifatnya yang mudah merubah asam intinya. Selain itu, karena sifatnya dapat melakukan penyebaran melalui udara menyebabkan virus ini cepat berpindah ke hewan lainnya. Penyakit AI yang sangat patogen (HPAI) telah terdaftar sebagai penyakit list A (OIE 2000). Di Indonesia terjadi wabah penyakit unggas yang fatal pada bulan September hingga Oktober 2003 dan wabah tersebut telah menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar bahkan menimbulkan kematian yang sangat tinggi (hampir 90%) pada unggas di beberapa peternakan.

Penggunaan Hewan Coba

Ayam, kalkun, bebek dan unggas lainnya merupakan hewan yang biasa digunakan sebagai hewan coba laboratorium karena menurut Tabbu (2000), virus AI menimbulkan mortalitas yang tinggi pada hewan tersebut dalam kondisi alami.

Ayam broiler adalah galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, masa panen pendek dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan daging baik, dada lebih besar dan kulit licin (North and Bell 1990). Gambaran performa ayam broiler secara umum terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Ayam broiler (Jackie Deems 2010)

Klasifikasi ayam broiler menurut Sarwono (2003), adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Divisi : Chordata Kelas : Aves Sub kelas : Neonithes Ordo : Galiformis Genus : Gallus

Spesies : Gallus domesticus.

Menurut Rasyaf (1999) ayam broiler merupakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan pesat pada umur 1–5 minggu, bahkan ayam yang berumur 6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama 8 bulan. Keunggulan ayam broiler tersebut didukung oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan seperti makanan, temperatur dan pemeliharaan.

Umumnya di Indonesia ayam broiler sudah dipasarkan pada umur 5-6 minggu dengan berat 1,3–1,6 kg walaupun laju pertumbuhannya belum maksimum, karena ayam broiler yang sudah berat sulit dijual (Cahyono 1995). Menurut Mountney (1983) ayam broiler yang baik adalah ayam yang cepat tumbuh dengan warna bulu putih, tidak terdapat warna-warna gelap pada karkasnya, memiliki konfirmasi dan ukuran tubuh yang seragam. Ayam broiler akan tumbuh optimal pada temperatur lingkungan 19–21oC (Soeharsono 1976). Gejala klinis yang ditimbulkan akibat AI lebih cepat terlihat pada ayam broiler dibandingkan ayam layer.

Paru–Paru Unggas

Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak di dalam rongga dada dan toraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Tiap paru-paru mempunyai apeks (bagian atas paru-paru), basis (bagian bawah paru–paru), pembuluh darah paru-paru, bronkhial, saraf dan pembuluh limfe yang memasuki tiap paru-paru, terutama pada bagian hilus dan akan membentuk akar paru-paru (Johnson 2008).

Paru–paru ayam bentuknya berlobus, secara utuh menempel pada pleura, dan memiliki berat normal sekitar 40-60 gram. Jika paru–paru berukuran terlalu besar maka bisa saja merupakan patologi, seperti bengkak karena berbagai penyakit atau terjadi akumulasi peradangan yang menimbulkan eksudat berlebih. Paru–paru yang baik berwarna merah jingga dan seperti spons, dapat terisi udara dengan baik. Secara umum, paru–paru dibagi menjadi system penyalur udara intra pulmonari, parenkim ataupun sistem respirasi dan pleura.

Paru–paru ayam yang baik umumnya berwarna merah, berukuran kecil, dan menempel di kiri-kanan collumna vertebralis pada septum dorsalis di dalam ruangan cavum pulmonale. Di bagian ventral facies septalis terdapat hillus pulmonalis, yaitu tempat masuknya pembuluh darah dan bronkhi primer (Ritchson 2009).

Histologi dan Fisiologi Paru–paru

Paru-paru ayam normal terdiri dari bronkhus intrapulmonum, parabronkhus, dan alveoli. Bronkhus intrapulmonum memiliki mukosa dan adventisia. Tulang rawan jarang sekali tampak, karena sejak di vestibulum tulang rawan sudah tidak ada. Epitel mukosa berbentuk silinder banyak baris bersilia, dengan propria submukosa banyak mengandung pembuluh darah (Brown 1992). Kapiler pembuluh darah berfungsi untuk tempat pertukaran gas yang kaya O2 dan

miskin O2, sistem tersebut dikenal dengan blood air barrier. Parabronkhus pada

paru–paru ayam merupakan saluran yang berfungsi menyalurkan udara dari dan atau ke paru–paru. Epitel parabronkhus berbentuk kubus, di bawahnya terdapat jaringan ikat dan otot polos. Alveoli merupakan bagian terpenting dari paru–paru, karena di jaringan ini dapat mengembang bila terisi udara (fleksibel). Alveolus juga berperan atas terjadinya pertukaran gas yang kaya O2 dan miskin O2 bersama

dengan kapiler sekitarnya. Histologi normal paru-paru terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Histologi umum paru-paru (Caceci 2006)

Pada dinding paru-paru yakni di sekitar alveolus terdapat sel pneumosit, yang terdiri dari pneumosit type I (memranous pneumocytes) dan pneumosit type II (Granular Pneumocytes) seperti yang terlihat pada Gambar 5. Secara normal, sel pneumosit type I ini melapisi 95% dinding alveoli dan menjalankan fungsi utama paru-paru sebagai tempat pertukaran udara. Sel ini sangat rentan terhadap kekurangan oksigen (Codd et al. 2005). Sel pneumosit type II yang terdapat di epitel alveoli merupakan sel penghasil surfaktan. Surfaktan berfungsi untuk

mengurangi tekanan permukaan cairan yang menyelimuti alveol, menurunkan tekanan yang diperlukan oleh alveol-alveol kecil sehingga mencegah kerobekan alveol-alveol kecil menjadi alveol besar (Daniels et al. 1998).

Gambar 5 Histologi alveolus (Slomianka 2009)

Unggas tidak mempunyai alveoli paru–paru seperti yang terdapat pada paru–paru mamalia, namun unggas mempunyai jutaan faveolar paru–paru yang biasa disebut dengan parabronkhi dan akan berhubungan dengan saluran terakhir melalui dorsobronchi (Romers dan Parsons 1977). Parabronkhi berasal dari

bronchi medioventrales di satu sisi dan bronkhi mediodorsales serta bronkhi lateroventrales di sisi lainnya. Tiap parabronkhus merupakan pipa-pipa panjang yang berdiameter 0.2-0.5mm tergantung ukuran unggas. Selanjutnya parabronkhi dari kedua sisi akan bertemu di suatu tempat dasar yang disebut planum anastomicum. Parenkim atau daerah pertukaran gas kira–kira 85% dari paru– paru, terdiri dari duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli (Frandson 1992).

Sistem penyalur udara intrapulmonar (bronchus dan bronchiolus), mencapai 6% paru–paru. Gambar 6, menunjukkan mesobronkhus yang secara struktural sangat mirip dengan bronkhus mamalia (Gambar 4). Mesobronkhus memiliki tulang rawan dan otot polos di dinding, tidak memiliki fungsi langsung dalam pertukaran gas, seperti bronkhus pada mamalia (Caceci 2006).

Gambar 6 Histologi paru-paru unggas (Caceci 2006)

Ketika udara kotor yang dibawa aliran darah dari jantung, kemudian masuk dalam paru–paru akan ditukar dengan udara kaya oksigen yang diperoleh paru-paru dari lingkungan luar, melalui proses yang disebut bernafas (Guyton 2008). Sistem respirasi merupakan tempat terjadinya pertukaran gas antara darah dan udara. Sistem respirasi dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: bagian konduksi dan bagian respirasi. Bagian konduksi berperan sebagai pencuci, memanasi atau mendinginkan dan membuat udara lebih lembab, sedangkan bagian konduksi merupakan tabung yang menghubungkan dunia luar dan paru- paru, terdiri atas: hidung, faring, laring, trakea, bronkhi dan bronkhioli (Cunningham 1994).

Patogenesa

Penyebaran virus Avian Influenza terjadi melalui udara. Virus yang tertanam pada membran mukosa akan terikat dengan mukoprotein yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Tetapi virus yang mengandung neuraminidase (N) pada permukaannya dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran nafas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel didekatnya. Masa inkubasi virus 18 jam hingga 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis.

Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan inklusi (Nainggolan 2007).

Sirih Merah (Piper crocatum)

Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Tumbuhan tersebut dapat memberikan manfaat pada berbagai bidang antara lain bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, bahan dasar obat-obatan dan sebagainya. Tumbuhan yang digunakan sebagai obat dikenal dengan nama obat tradisional dan sampai saat ini masih banyak digunakan oleh masyarakat. Hal itu perlu dilestarikan, karena obat tradisional harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan obat sintesis, serta bahan-bahannya pun mudah didapat (Wijayakusuma 2000).

Ciri khas tanaman tropis ini, berbatang bulat hijau keunguan dan tidak berbunga. Seperti sirih hijau, tanaman sirih merah juga tumbuh merambat di pagar atau pohon yang tumbuh berselang-seling dari batangnya. Penampakan Daunnya bertangkai membentuk jantung hati dan bagian atasnya meruncing. Permukaan daun mengkilap dan tidak merata yang berwarna merah keperakan (Gambar 7). Daunnya berasa pahit getar, namun beraroma lebih wangi dibanding sirih hijau. Bila dirobek, daun sirih merah akan berlendir (Duryatmo 2006).

Adapun kedudukan tanaman sirih merah yang termasuk dalam famili Piperaceae. Menurut Backer (1963) dalam sistematik (taksonomi) sirih merah (Piper crocatum) diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (dikotil/berkeping dua) Sub kelas : Magnoliidae

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae (suku sirih-sirihan) Genus : Piper

Spesies : Piper crocatum

Zat-Zat yang Terkandung dalam Sirih Merah (Piper crocatum)

Daun sirih (Piper crocatum) mengandung ragam senyawa kimia seperti minyak atsiri yang terdiri dari senyawa kavikol, karvakol, sineol, metal kavikol, eugenol, dan kavibetol. Selain itu, daun sirih juga mengandung tanin, gula, dan amilum. Menurut Rahmadi (2009), dalam daun sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkaloid, saponin, tanin dan flavonoid. Menurut Sudewo (2007), dari hasil kromotogram dapat dilihat bahwa daun sirih merah mengandung flavonoid, polifenolad, tanin dan minyak atsiri. Diketahui bahwa senyawa tersebut mempunyai sifat antibakteri.

Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan 1999). Menurut Dwidjoseputro (1994), flavonoid merupakan senyawa fenol dan dapat bersifat koagulator protein. Flavonoid adalah kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuhan (Harborne 1987). Flavonoid dapat dikasifikasikan menjadi 3 yaitu flavoniod, isoflavonoid, dan neoflavonoid. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang memiliki gugus –OH.

Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dan diduga mekanisme kerjanya dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson 1991). Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang paling banyak diproduksi tanaman. Alkaloid adalah bahan organik yang mengandung nitrogen sebagai bagian dari sistim heterosiklik. Sampai saat ini semakin banyak alkaloid yang ditemukan dan diisolasi untuk obat modern. Alkaloid bersifat basa, di alam berada sebagai garam dengan asam-asam organik. Adanya sifat basa ini mempermudah memisahkan ekstrak total alkaloid dari komponen lainnya (Harborne 1987). Alkaloid di dalam sirih merah berfungsi sebagai antikanker, antiinflamasi dan antimikroba. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dan diduga dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut.

Tanin, salah satu fitokimia yang terdapat dalam sirih merah (Piper crocatum), merupakan astringen, polifenol dalam tumbuhan yang mengikat dan menciutkan protein (McGee 2004). Tanin merupakan senyawa fenol dan terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh (angiospermae) dan terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin dapat juga ditemukan dalam jaringan daun, tunas, biji, akar, dan batang (Hemingway dan Karchesy 1989). Tanin dapat digunakan dalam bidang medis sebagai obat yang berfungsi sebagai penyembuh sakit perut khususnya antidiare, hemostatik, antihemoroid dan juga dapat digunakan sebagai obat antiseptik pada luka. Di samping itu, tanin memiliki efek moluskisida, antiviral, antiinflamasi dan mempercepat penyembuhan luka. Tanin juga dapat menyebabkan regresi tumor yang sudah terdapat di jaringan (Bajaj 1999). Menurut batasannya, tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kapolismer kuat yang tidak larut dalam air.

Tanin memiliki aktivitas antibakteri, secara garis besar mekanisme yang diperkirakan menurut Akiyama et al. (2001) adalah sebagai berikut : toksisitas tanin dapat merusak membran sel bakteri, senyawa astringen tanin dapat menginduksi pembentukan kompleks senyawa ikatan terhadap enzim atau substrat mikroba dan pembentukan suatu kompleks ikatan tanin terhadap ion logam yang

dapat menambah daya toksisitas tanin itu sendiri. Menurut Ajizah (2004) tanin diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya permeabilitas sel, maka sel tersebut tidak dapat melakukan aktivitas hidup dan pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati. Masduki (1996) menyatakan bahwa tanin juga mempunyai daya antibakteri dengan cara mempresipitasi protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin antara lain melalui : reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik.

Saponin, yang merupakan glikosida yang membentuk basa dalam air. Apabila dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan gula dan spogenin yang sesuai, saponin merupakan senyawa kimia aktif permukaan yang dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne 1987). Berdasarkan Sholikhah (2006), saponin dapat dipakai sebagai antimikroba.

Zat lainnya yang terkandung pada tanaman sirih merah yakni minyak atsiri pada sirih merah ini berfungsi sebagai antiradang dan antiseptik. Menurut Fitriani (1999), sejak dahulu orang mengetahui bahwa bunga, daun dan akar dari berbagai tumbuhan mengandung bahan yang mudah menguap dan berbau wangi yang disebut minyak atsiri. Minyak atsiri berperan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna (Ajizah 2004).

Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami penguraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata dan Dewi 2008).

Tanaman sirih merah (Piper crocatum) juga memproduksi berbagai macam bahan kimia lainnya untuk tujuan tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman tersebut merupakan bahan yang tidak

esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid, flavonoid, cyanogenik, glukosida, glukosinolat, dan protein non asam amino.

Menurut Hariana Arief (2008) kandungan kimia lain yang juga terdapat pada daun sirih merah (Piper crocatum), seperti : hidroksikavicol, kavikol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, p-cymene, cineole, caryofelen, kadimen estragol, ter-penena, dan fenil propada. Karena banyaknya kandungan zat atau senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Karvakol bersifat desinfektan, anti jamur, sehingga bisa digunakan untuk obat antiseptik pada bau mulut dan keputihan. Eugenol dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri (analgesik).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli hingga Agustus 2008 yang terdiri atas pemeliharaan dan perlakuan dengan pemberian ekstrak tanaman terhadap ayam broiler yang bertempat di kandang hewan laboratorium. Di Laboratorium berfasilitas Biosafety Level Three (BSL-3) PT. Vaksindo Satwa Nusantara- Cicadas, ayam broiler tersebut kemudian ditantang dengan virus Avian Influenza

(AI) untuk dilihat efektifitas dari tanaman obat terhadap infeksi virus tersebut. Pengamatan histopatologi paru-paru ayam dilakukan di laboratorium histopatologi bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain syringe 1 ml untuk masing-masing jenis ekstrak, tempat makan dan minum, kandang hewan coba yang terbuat dari papan kayu, lampu, sekam kering, botol ekstrak, skalpel, pinset anatomis, dan gunting. Adapun peralatan yang digunakan untuk pembuatan dan pengamatan sediaan histopatologi terdiri atas tissue casset, automatic tissue processor, mikrotom, alat embedding, pencetak parafin, peralatan pewarnaan HE, mikroskop cahaya, dan alat mikrofotografi.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 14 ekor ayam broiler, pakan konsentrat, air dan ekstrak tanaman obat sirih merah (Piper crocatum) 10%. Adapun bahan yang digunakan untuk pewarnaan histopatologis yaitu : larutan Mayer’s hematoksilin dan eosin, alkohol dengan konsentrasi bertingkat, xilol, eter, buffered neutral formalin (BNF) 10% dan parafin cair.

Prosedur Penelitian

Persiapan Ekstrak Tanaman Obat Sirih Merah (Piper crocatum)

Penyiapan bahan baku dimulai dari panen bahan baku sampai proses pasca panen dan pembuatan ekstraksi tanaman obat yang dilakukan dan disiapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO). Adapun prosedur pembuatan sediaan berupa : simplisia, penggilingan, ekstraksi dan pengujian

Dokumen terkait