• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rabies di Indonesia

Rabies di Indonesia di duga telah lama ada karena dalam bahasa sansekerta lama sudah ada istilah rabas yaitu rabies, namun secara resmi pertama kali dilaporkan oleh Esser di Jawa Barat tahun 1884. Kemudian dilaporkan oleh Penning pada anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan dan selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui secara pasti (Deptan 2007).

Kurun waktu 35 tahun setelah merdeka (1945-1980), rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lainnya, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan 1978 di Kalimantan Tengah (Deptan 2007).

Pada dekade 1990-2000 rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular yaitu Pulau Flores (1998) Pulau Ambon dan Pulau Seram (2003), Halmahera dan Morotai (2005), Ketapang (2005), Pulau Buru (2006) serta Pulau Bali (2008), Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di provinsi Riau (2009) dan Pulau Nias (2010). Sampai saat ini ada 24 provinsi yang terinfeksi rabies dan 9 provinsi bebas Rabies diantaranya adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta dan lima provinsi merupakan bebas historis yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua Barat, dan Papua (Usman 2010).

Kasus gigitan hewan tersangka rabies dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) menyatakan bahwa selama tahun 2003-2008, gigitan HPR cenderung meningkat namun kasus lyssa cenderung menurun seperti terlihat pada Grafik 1 (Depkes 2009). Hal ini disebabkan karena semakin baiknya perlakuan (post exposure

treatment) terhadap korban gigitan dan kepedulian masyarakat untuk melaporkan

Ket: GHPR: gigitan HPR, PE Gambar 1 Situasi rabies

Laporan WHO (20 dari tahun 1998 hingga terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kasus kematian

Tahun 1990 1991 19

Jml kasus

62 93 5

Sumber : WHO 2005a

Menurut WHO ( kejadian rabies yang ting besar baik anjing pelih penanganan kasus gigita penanganan kasus gigita obat-obat lainnya (seper semakin tinggi.

Pada jangka waktu orang dan pada tahun 20

Sumber : Ditjen

, PET: post exposure treatment, Lyssa: kematian akib ies di Indonesia tahun 2003-2008.

2005a) menyatakan bahwa terjadi peningkatan ka ga tahun 2000, yaitu dari 83 menjadi 110 kasu

an manusia akibat rabies di Indonesia tahun

1990-1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 19

58 93 115 75 65 50 83 14

(2005b), beberapa faktor yang mempengaruh tinggi di Indonesia antara lain 1) jumlah anjing y

iharaan maupun anjing liar, 2) kurangnya fasil itan anjing, 3) kurangnya pengetahuan masyarakat gitan serta 4) terbatasnya jumlah vaksin pasca g perti serum anti rabies) membuat tingkat kematia

ktu 2000-2004, rata-rata kasus lyssa di Indoesia 2011 menjadi 125 setiap tahunnya (Suryanto 20

tjen P2PL 2008 ibat rabies. kasus rabies asus, seperti -2000 1999 2000 144 110 ruhi tingkat yang cukup silitas untuk kat mengenai gigitan dan tian manusia ia adalah 91 2011). Data

Ditjen Peternakan menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir (1997-2007) kasus positif rabies pada HPR di Indonesia berfluktuasi namun ada kecenderungan meningkat. Tabel 2 adalah laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia dalam 10 tahun terakhir (1997-2007).

Tabel 2 Laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia 10 tahun terakhir (1997-2007)

NO PROV. TAHUN

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2009+ 2010X 1 Pem. Aceh 15 5 5 3 9 11 3 5 TAD 4 5 3 3 2 Sumut 110 107 91 13 94 150 89 110 60 83 101 151 150 3 Sumbar 352 368 385 233 198 178 34 114 TAD 125 157 85 4 Riau 206 187 190 164 177 190 148 16 46 TAD 140 6 1 5 Jambi 161 120 80 37 86 124 85 14 37 69 88 927 6 6 Sumsel 16 16 20 6 15 8 10 45 2 TAD 3 5 5 7 Bengkulu 69 37 50 29 56 28 12 12 36 TAD 31 3 1 8 Lampung 30 27 21 14 19 28 12 12 11 3 50 10 14 9 Babel 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 Kep. Riau 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 SUMATERA 959 867 842 266 689 737 537 248 306 159 543 1262 265 11 Jabar 20 1 1 0 2 0 0 0 1 1 6 2 2 12 Jateng 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 Jatim 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 DIY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15 DKI JKT 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 Banten 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 9 JAWA 20 1 1 0 2 0 0 0 1 1 6 3 11 17 Kalten 12 11 16 24 10 7 18 9 46 46 18 2 31 18 Kalsel 11 25 30 3 13 9 9 17 30 7 16 71 2 19 Kaltim 4 0 4 3 0 2 2 4 1 9 7 1 20 Kalbar - - - - - - - - 1 - - 0 0 KALIMANTAN 27 36 50 30 23 18 29 26 80 54 43 80 34 21 Sulut 190 203 177 203 324 394 573 627 7 32 509 22 Sulteng 32 54 42 37 66 135 61 71 2 3 96 1 12 23 Sulsel 83 90 52 42 145 142 175 63 102 263 14 62 47 24 Sultra 6 9 3 0 42 29 19 33 10 32 2 4 1 25 Gorontalo 4 2 4 6 - - 2 1 26 Sulbar 1 3 TAD 1 2 SULAWESI 311 356 274 282 581 702 832 800 122 333 623 69 62 27 Bali 67 421 28 NTT 20 50 23 31 10 10 16 17 42 TAD 20 1 29 NTB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30 Maluku 12 2 18 12 TAD 8

31 Mal. Utara 8 5 TAD

32 Papua 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

33 P. Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

NASIONAL 1317 1280 1217 601 1326 1467 1420 1092 552 606 1215 1501 802

Ket: TAD: tidak ada data. Sumber: Deptan 2008, +: Deptan 2011a, x: Deptan 2011b

Informasi terbaru yang dikeluarkan Ditjen P2PL adalah bahwa pada tahun 2010 kasus gigitan anjing sebanyak 78 203 dan pada tahun 2011 sebanyak 73 296, terjadi penurunan sebesar 6.7%. Kasus lyssa 2011 juga terdapat penurunan sebesar 33.5% dibanding 2010, tahun 2011 ada 137 kasus sementara pada tahun

2010 ada 206 kasus. Yang penting juga adalah kasus gigitan anjing di Bali telah turun dari 67 021 kasus (2010) menjadi 51 389 (2011), serta penurunan lyssa

sebesar 70% di Bali dari 82 kasus pada tahun 2010 menjadi 23 kasus pada tahun 2011 (Aditama 2012).

Epidemiologi Rabies

Rabies telah dikenal kurang lebih 4000 tahun yang lalu. Saat ini rabies terdapat di lebih 150 negara di dunia dan beberapa negara termasuk dalam negara bebas rabies seperti Australia, New Zealand, Singapura, Taiwan, Jepang, Fiji, Finlandia, Irlandia, Jamaica, Norwegia, Swedia, UK, Uruguai. Kematian akibat rabies setiap tahun di seluruh dunia sekitar 55 000 dan sebanyak 95% terjadi di Asia dan Afrika dengan 40% korbannya adalah anak-anak dibawah umur 15 tahun. Kematian akibat rabies pada manusia 99% utamanya bersumber dari gigitan anjing yang terinfeksi rabies dan kematian umumnya disebabkan oleh tidak adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment) dari korban yang terkena rabies (Defra 2011).

Hewan-hewan utama pembawa rabies umumnya berbeda untuk setiap benua. Di Eropa hewan utama pembawa rabies adalah rubah dan kelelawar, di Timur Tengah adalah srigala dan anjing, di benua Afrika adalah anjing, mongoose

dan antelop, di Asia anjing, di USA rakun dan skunk, di Kanada skunk dan rubah, di Meksiko anjing, di Brazil marmoset, di Amerika Utara rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga dan Amerika Selatan utamanya adalah anjing dan kelelawar vampire (Tamayo 2011).

Hewan domestik yang dapat terinfeksi rabies adalah anjing, kucing dan ternak, sedangkan satwa liar umumnya adalah sigung, kelelawar, rubah, tupai, rakun, badgers dan mongoose. Rabies pada satwa liar umumnya melibatkan satwa karnivora dan kelelawar. Satwa-satwa liar merupakan sumber penularan rabies ke hewan-hewan domestik bahkan ke manusia (WHO 2012).

Di negara-negara berkembang, rabies pada hewan domestik masih merupakan ancaman utama dibandingkan dengan hewan liar. Hal ini disebabkan oleh derajat kedekatan antara hewan domestik seperti anjing tanpa pemilik atau menjadi liar dengan manusia serta tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah.

Kondisi ini membuat rabies pada anjing di negara-negara berkembang dapat memelihara proses siklus virus rabies di alam hingga menuju manusia. Di Indonesia HPR utama pada hewan domestik adalah anjing, kucing dan monyet. Penularan rabies di Indonesia umumnya berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara atau tanpa pemilik (rural Rabies) yang berkembang hingga mencapai populasi yang sulit dikendalikan (Deptan 2007). Keadaan ini yang menyebabkan daerah-daerah di Indonesia menjadi endemis terhadap rabies.

Sekilas tentang SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 Surat keputusan tersebut berisi tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya). SK ini merupakan penjabaran dari SK Menteri Pertanian No.1096/Kpts/TN.120/10/1999 tentang Pemasukan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya ke Wilayah/Daerah Bebas Rabies di Indonesia, namun dalam SK No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 ditambahkan pemasukan HPR antar area. Secara garis besar pemasukan HPR dari luar negeri adalah sebagai berikut :

1. Dari Luar Negeri

Dari negara bebas rabies sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian No.1096 Tahun 1999 yang dapat diperbaharui sesuai perkembangan status bebas rabies dunia.

2. Kelengkapan dokumen

a. Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit

b. Surat Persetujuan Pemasukan (SPP)

c. Pasport hewan atau surat keterangan identitas hewan dalam bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara asal yang memuat antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya enam bulan di negara asal sebelum diberangkatkan, dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur enam bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur enam minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan. Pasport hewan mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas atau memiliki

d. Penanda identitas permanen dengan identifikasi elektronik (microchip). Bila

microchip yang digunakan tidak sesuai dengan alat baca pada pelabuhan/ bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut.

e. Hewan yang akan masuk ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian Cq. Dirjen Peternakan dan otoritas veteriner di negara transit memberikan keterangan transit

f. Surat keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi, yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan : - untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya

enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal tiga bulan.

- Untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya satu bulan atau tidak lebih dari satu tahun sebelum diberangkatkan.

g. Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal. Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari enam bulan setelah vaksinasi yang telah diakreditasi.

Selanjutnya dalam SK No.344.b/PD.670.370/L/12/06 tersebut juga di jelaskan tentang tindakan karantina terhadap pemasukan HPR dari luar negeri yang bebas rabies berupa :

1. Pemeriksaan dokumen persyaratan karantina 2. Pemeriksaan fisik hewan

3. Pengasingan atau isolasi minimal selama 14 hari di dalam instalasi karantina hewan untuk di observasi. Dalam masa observasi / masa karantina dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium terhadap titer antibodi rabies. Masa karantina dapat kurang dari 14 hari apabila menunjukan titer antibodi > 0.5 IU/ml bagi hewan yang bersal dari negara bebas rabies dengan vaksinasi atau titer nol bila berasal dari negara bebas tanpa vaksinasi. 4. Perlakukan.

- Untuk negara asal yang melakukan vaksinasi dengan vaksin inaktif, titer antibodi minimal 0.5 IU/ml (≥ 0.5 IU/ml). Bila kurang dari 0.5 IU/ml

dilakukan vaksinasi ulang bagi hewan yang akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi (pulau Jawa) atau wilayah endemis.

- Untuk negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi atau wilayah endemis maka wajib dilakukan vaksinasi.

- Untuk negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas tanpa kegiatan vaksinasi, maka tidak perlu divaksin (titer antibodi nol.

5. Penolakan

- Bila dokumen tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan

- Bila hewan berasal dari negara bebas yang tidak melaksanakan kegiatan vaksinasi terdapat antibodi ≥ 0.1 IU/ml

- Untuk hewan yang berasal dari negara bebas yang melaksanakan kegiatan vaksinasi dan akan masuk ke daerah bebas tanpa vaksinasi, maka dilakukan penolakan bila terdapat antibodi < 0.5 IU/ml.

6. Pemusnahan

- Bila setelah penolakan tidak segera meninggalkan wilayah RI, serta batas waktu penahanan telah habis dan dokumen tidak dapat dilengkapi.

- Bila selama pengamatan hewan menunjukan gejala rabies maka dilakukan pemusnahan dibawah pengawasan dokter hewan karantina, disaksikan oleh instansi terkait dan pemilik sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 7. Pembebasan

Bila dokumen persyaratan lengkap, titer antibodi minimal 0.5 IU/ml (≥ 0.5 IU/ml) dan selama pengamatan tidak menunjukkan gejala rabies serta hewan dinyatakan sehat oleh dokter hewan karantina dilakukan pembebasan.

persyaratan dan tindak karantina terhadap pemasukan antar area di rinci menjadi (1) daerah bebas rabies ke daerah bebas rabies, (2) dari daerah bebas rabies ke daerah endemis, (3) dan dari daerah endemis ke daerah endemis rabies. Secara lengkap persyaratan dan tindak karantina terhadap pemasukan antar area seperti terlampir.

Tabel 3, 4 dan 5 dibawah ini adalah tindakan karantina penahanan, penolakan dan pemusnahan yang dilakukan UPTKP di seluruh Indonesia terhadap HPR dalam rangka pencegahan penyebaran rabies.

Tabel 3 Rekapitulasi penahanan HPR impor di UPTKP tahun 2010-2012 No Jenis HPR Jumlah (ekor) Negara Asal Daerah Tujuan Alasan Penahanan (KH8a) Tindak Lanjut Tahun 2010

1 Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina KH8b

2 Anjing 4 Thailand Surabaya,

cengkareng

Persyaratan karantina, SPP

3 Anjing 1 Singapura Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 4 Anjing 1 Kanada Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

5 Anjing 5 USA Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

6 Anjing 1 Frankfurt Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 7 Anjing 2 Hungaria Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 8 Anjing 2 Australia Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 9 Anjing 1 Filipina Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 10 Anjing

Kucing 1 1

Jerman Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

11 Anjing 2 Malaysia Entikong Persyaratan karantina, SPP KH8b 12 Kucing 1 Inggris Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

13 Kucing 4 Rusia Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

Tahun 2011

1 Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina, SPP

2 Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina, SPP 3 Anjing

Kucing 1 1

Portugal Denpasar Pelarangan pemasukan / kawasan karantina

4 Anjing 1 Jerman Denpasar Pelarangan pemasukan

5 Kucing 4 Malaysia Surabaya Persyaratan karantina

Tahun 2012

1 Anjing 1 Kanada Palembang Persyaratan karantina, SPP

2 Anjing 1 Argentina Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 3 Anjing 1 Korsel Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 4 Anjing

Kucing 2 3

Rusia Denpasar Pelarangan pemasukan

Sumber : Barantan

Tabel 4 Rekapitulasi penahanan HPR domestik di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis

HPR Frekuensi Volume

Alasan Penahanan (KH8a)

Tahun 2010

Anjing 18x 29 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 11 16

Tahun 2011

Anjing 33x 145 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 11x 34

Tahun 2012

Anjing 7x 10 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 2x 2

Tabel 5 Rekapitulasi penolakan HPR impor di UPTKP tahun 2010-2012 No Jenis HPR Jumlah Negara Asal Daerah

Tujuan Alasan Penolakan (KH8b)

Tahun 2010

Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Anjing 2 Malaysia Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Tahun 2011

Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Anjing Kucing

1 1

Portugal Denpasar Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Jerman Denpasar Pelarangan pemasukan

Tahun 2012

Anjing Kucing

2 2

Rusia Denpasar Pelarangan pemasukan

Sumber : Barantan

Tabel 6 Rekapitulasi pemusnahan HPR domestik di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis HPR Jumlah Daerah Asal Daerah Tujuan Alasan Penolakan (KH8b) Tahun 2010 Anjing Kucing 4 2

Ketapang Gilimanuk Pelarangan pemasukan

Anjing 1 1 Sulut Ambon Jayapura Sorong Pelarangan pemasukan Pelarangan pemasukan Anjing 1 1 Denpasar Sumba timur

Tenau Pelarangan pemasukan Pelarangan pemasukan

Tahun 2011

Anjing 18 Jatim Gilimanuk Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Bandung Lombok Pelarangan pemasukan

Anjing 5 Ambon

Bitung Ternate Jakarta Susel

Jayapura Pelarangan pemasukan

Anjing 3 Sorong Biak Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Sulut Sorong Pelarangan pemasukan

Anjing 2

1

Rote ndao Waingapu

Bolok Pelarangan pemasukan

Anjing Kucing 2 2 Bima Jatim

Tenau Pelarangan pemasukan

Anjing 1 M. utara Manado

Kucing 1 Jateng Kumai Persyaratan karantina

Tahun 2012

Anjing 2

1

Ternate Jatim

Jayapura Pelarangan pemasukan

Anjing 1 Depok Ternate

Sumber : Barantan

Implementasi Kebijakan Terdapat beberapa definisi implementasi antara lain:

1. Van Meter dan Van Horn (1975), implementasi merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu, pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok

pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

2. Mazmanian dan Sabatier (1983), implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan penelitian.

3. Jones (1991), implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan.

Definisi kebijakan menurut beberapa pakar antara lain:

1. Mustopadidjaja (2002), kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu, melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan, dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah, negara dan pembangunan.

2. Eulau dan Prewit (dalam Jones 1991), kebijakan adalah suatu keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan mereka yang memenuhi keputusan tersebut, kebijakan sebagai suatu hasil keputusan dimaksud untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Dari pendapat para ahli tersebut, implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang dituangkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga negara lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam kebijakan tersebut.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2008) menyatakan bahwa mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sesudah suatu kebijakan diberlakukan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara baik itu menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa.

Implementasi kebijakan merupakan salah satu komponen dari keseluruhan proses kebijakan yang meliputi isu kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kinerja kebijakan, yang perlu dilakukan dalam rangka pemantauan, pengawasan, dan pertanggungjawaban (Nugroho 2011). Dengan demikian penelitian implementasi kebijakan merupakan tahap ke empat dari proses kebijakan yaitu evaluasi kebijakan terutama pada kinerja kebijakan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ripley dan Franklin (1982) bahwa proses kebijakan terdiri atas: tahap formulasi, tahap implementasi, dan tahap penilaian terhadap kinerja.

Namun proses implementasi bukanlah proses mekanis dimana setiap aktor akan secara otomatis melakukan apa saja yang di minta oleh pembuat kebijakan, tetapi merupakan proses kegiatan yang acap kali rumit, diwarnai benturan kepentingan antar aktor yang terlibat baik sebagai administrator, petugas lapangan atau kelompok sasaran.

Hal senada disampaikan oleh Jones (1991) bahwa implementasi kebijakan mudah dimengerti dalam bentuk abstrak (teori dan konsep) tetapi tidaklah demikian dalam bentuknya yang konkrit. Artinya implementasi kebijakan dengan mudah dapat dipahami, akan tetapi dalam pelaksanaan dan realisasinya secara nyata bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini jugalah yang sering menjadi penyebab mengapa suatu kebijakan publik tidak berhasil dijalankan secara mulus sesuai yang diharapkan. Inilah yang disebut dengan implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan (Wahab 2004). Disini pula urgensinya untuk melakukan kajian terhadap implementasi kebijakan pencegahan penyebaran rabies.

Saat ini tidak sedikit implementation gap yang ditemui termasuk kebijakan dalam pencegahan penyebaran rabies. Hal ini banyak disebabkan oleh lemahnya proses implementasi. Dalam batas tertentu kesenjangan ini masih dapat dibiarkan, sekalipun dalam monitoring harus diidentifikasi untuk segera diperbaiki. Kesenjangan yang lebih besar dari batas toleransi harus segera diperbaiki. Besar kecilnya implementation gap tersebut sedikit banyak tergantung pada apa yang oleh Walter Williams (dalam Wahab 2008) disebut sebagai implementation capacity dari organisasi/ aktor atau kelompok organisasi yang dipercaya untuk

mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation capacity tidak lain adalah kemampuan suatu organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai (Wahab 2008).

Kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn (1986), kegagalan kebijakan (policy failure) dapat disebabkan antara lain (1) karena tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya (non implementation) dan (2) karena tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan (unsuccesful implementation).

Non implementation berarti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka bekerja secara tidak efisien, atau tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang dihadapi diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi .

Sementara itu, unsuccessful implementation biasanya terjadi ketika kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi pergantian kekuasaan, bencana alam, dan lainnya), kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang mempunyai resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya itu sendiri yang jelek (bad policy), atau kebijakan tersebut memang bernasib jelek (bad luck).

Makinde (2005) dalam tulisannya menyarankan bahwa untuk memperoleh implementasi kebijakan dengan hasil yang optimal, harus mempertimbangkan sebagai berikut:

a. Sasaran penerima manfaat harus terlibat mulai dari tahap formulasi kebijakan agar masyarakat sasaran dapat memberi masukan. Hal ini juga akan membuat masyarakat mempunyai rasa memiliki dan mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan.

b. Sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang akan diperlukan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

c. Harus ada komunikasi yang efektif antara masyarakat sasaran dengan pelaksana kebijakan.

d. Menghentikan budaya tidak melanjutkan kebijakan bila terjadi pergantian pemerintahan. Harus ada kesinambungan dalam kebijakan kecuali jika kebijakan tersebut ternyata tidak berguna untuk rakyat.

e. Keputusan harus selalu dipantau dengan cara yang tepat.

Model Implementasi Kebijakan

Penelitian tentang implementasi kebijakan adalah penelitian tentang bagaimana suatu kebijakan diterapkan. Implementasi kebijakan mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang ada. Variabel-variabel dalam model implementasi kebijakan akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Model implementasi kebijakan ini tentunya diharapkan merupakan model yang semakin operasional sehingga mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang terkait dengan kebijakan (Wahab 2008).

Terdapat berbagai model implementasi kebijakan antara lain: 1. Edwards III (1980).

Menurut Edwards ada empat variabel yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dan secara simultan yang akan menjadi prasyarat dan karenanya harus diperhitungkan dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan, yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi atau sikap pelaksana atau implementor serta (4) struktur birokrasi. Keempat variabel beroperasi secara bersamaan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu atau menghalangi pelaksanaan kebijakan.

2. Menurut Van Meter dan Van Horn (1975).

Menurut ahli ini ada enam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, (1) standar dan sasaran kebijakan, (2) sumber daya, (3) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, (4) karakteristik tujuan, (5) komunikasi antar organisasi dan (6) sikap pelaksana.

Dokumen terkait