• Tidak ada hasil yang ditemukan

Domba adalah anggota golongan atau kingdom hewan, filum chordata (hewan bertulang belakang), kelas mamalia (hewan menyusui), ordo artiodactyla (hewan berkuku genap), famili bovidae (hewan memamah biak), genus ovis dan spesies ovis aries (Blakely dan Bade, 1998).

Menurut Mason (1980), ada tiga bangsa domba asli yang terdapat di pulau Jawa yaitu Domba lokal ekor tipis, domba Priangan dan domba Ekor Gemuk. Jenis domba lokal Indonesia yaitu domba ekor tipis, domba ini populasinya tersebar di daera Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan ciri khusus berekor tipis dan domba betina umumnya tidak bertanduk. Populasi ternak domba di Indonesia pada tahun 2003 berkisar 37,26% dari total populasi ternak ruminansia (Tabel 1) dan populasi domba di Pulau Jawa tersebar, yakni sebesar 88,10% dari total populasi domba.

Tabel 1. Populasi Ternak Ruminansia di Indonesia Tahun 1999 – 2003

Tahun Jenis 1999 2000 2001 2002 2003 ... (000 ekor) ... Sapi Potong 11.276 11.008 11.138 11.298 11.396 Sapi Perah 332 354 347 358 368 Kerbau 2.504 2.405 2.310 2.403 2.455 Domba 7.226 7.427 7.394 7.641 8.133 Kambing 12.701 12.566 12.323 12.549 13.276 Total 21.338 33.760 33.512 34.249 35.628

Sumber : Dirjen Peternakan (2003)

Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan dapat beranak sepanjang tahun. Domba lokal mempunyai tubuh relatif kecil, warna bulunya beragam, ekor kecil dan tidak terlalu panjang. Domba jantan mempunyai tanduk kecil dan melengkung ke belakang dengan bobot hidup dewasa berkisar 30-40 kg sedangkan yang betina tida k bertanduk dengan bobot hidup berkisar 15-20 kg. Domba lokal juga mempunyai perdagingan sedikit dan disebut juga domba kampung atau domba negeri.

Peningkatan produktivitas domba diperlukan dukungan akan ketersediaan pakan yang kontinyu, sehingga ternak domba dapat tumbuh dengan baik dan memberikan produksi yang optimal. Oleh karena itu, domba harus mendapat ransum dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Menurut Lubis (1952) ransum adalah makanan baik terdiri hanya satu maupun lebih dari satu bahan makanan yang diberikan kepada hewan untuk kebutuhan 24 jam, yang mengandung semua zat-zat makanan yang diperlukan hewan dalam keadaan serba cukup dan seimbang.

Tanaman Teh (Camelia sinensis) dan Potensinya

Tanaman teh berasal dari spesies Camelia sinensis dan famili Theaceae (Thorne, 1995). Menurut Takeda (1994) teh secara umum terdiri dua varietas, yaiu Camelia sinensis varietas sinensis dan Camelia sinensis varietas asamica. Tanaman teh pada varietas sinensis memiliki karakteristik tanaman semak-semak dengan daun-daun yang kecil, resisten terhadap cuaca dingin dan cocok untuk dibuat menjadi teh hijau dan teh semi fermentasi. Dalam arti luas varietas sinensis dihubungkan sebagai varietas Cina. Tanaman teh Camelia sinensis varietas assamica memiliki karakteristik tipe pohon yang tinggi dengan daun lebar, kurang tahan terhadap cuaca dingin dan cocok dibuat menjadi teh hitam.

Teh assamica masuk ke Indonesia pada tahun 1928 dan mulai saat itu perkebunan teh di pulau Jawa berkembang pesat (Adisewojo, 1982). Teh assamica tumbuh subur dan memiliki produktifias yang tinggi, sedangkan teh Jawa yang termasuk varietas sinensis (teh Cina) pertumbuhannya lambat, jarak cabang dengan tanah sangat dekat, daun kecil, ujung daun tumpul, dan berwarna tua serta produksinya tidak baik (Setiawati dan Nasikun, 1991).

Menurut Adisewojo (1982) air teh adalah minuman yang bermanfaat berasal dari pucuk tanaman teh melalui proses pengolahan tertentu. Berdasarkan cara pengolahannya, teh di Indonesia dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu teh hita m (black tea atau fermented tea), teh hijau (green tea atau unfermented tea) dan teh Oolong (semi fermented tea). Teh hitam adalah jenis teh yang dalam pengolahannya melalui proses fermentasi secara penuh. Teh hijau adalah jenis teh yang dalam pengolahannya tidak mengalami fermentasi dan teh Oolong adalah jenis teh yang dalam pengolahannya hanya mengalami setengah proses fermentasi (Spillane, 1992).

Bahan-bahan kimia dalam daun teh dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu : (1) substansi fenol, (2) substansi bukan fenol, (3) substansi aromatis dan (4) enzim (Arifin et al., 1994). Senyawa fenol terdiri dari tanin atau katekin dan flavonol. Katekin adalah senyawa tidak berwarna yang perubahannya dalam proses pengolahan selalu dihubungkan semua sifat seduhan teh, yaitu rasa, warna dan aroma. Yudana (1998) menambahkan bahwa senyawa polyphenol dalam teh dapat memperlancar sistem sirkulasi, menguatkan pembuluh darah, menurunkan kadar kolesterol dalam darah, menambah jumlah sel darah putih dan bertanggung jawab dalam melawan infeksi.

Menurut Nasution dan Tjiptadi (1985) di dalam daun teh juga terkandung protein dan asam-asam amino yaitu sebesar 16 dan 19 % bahan kering, asam organik, mineral serta vitamin diantaranya C, K, A, B, B2 serta asam-asam nikotinad da n asam-asam pantotenat. Kandungan vitamin B2 dalam teh kira-kira sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat pada sereal dan sayuran (Yudana, 1998). Sedangkan kandungan vitamin C (Ascobenzur) 2-4 mg dalam tiap-tiap gram bahan kering pada daun teh segar, yang akan hilang karena terurai dan berubah sifatnya (Adisewojo, 1982). Kandungan mineral dalam daun teh dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Mineral Daun Teh

Mineral Mikro % BK Mineral Mikro % BK Kalium (K) 1,76 Aluminium (Al) 0,069 Kalsium (Ca) 0,41 Tembaga (Cu) 0,002 Pospor (P) 0,32 Silika (Si) 0,024 Magnesium (Mg) 0,22 Seng (Zn) 0,003 Natrium (Na) 0,03 Mangan (Mn) 0,120

Sumber : Eden (1976)

Komoditas teh merupakan salah satu produk perkebunan yang masih bertahan sebagai sumber pendapatan devisa bagi negara. Produksi teh dari tahun ke tahun semakin meningkat, sehingga dilakukan pemanfaatan terhadap ampas teh. Data produksi teh di Indonesia disajikan pada Tabel 3. Menurut PT. Sosro (2003), produksi amaps teh dari produksi teh botol selama satu bulan adalah sebesar 150 ton. Produksi teh di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik (2002) yaitu :

Tabel 3. Produksi Teh di Indonesia

Tahun Produksi (ton)

1997 121.000

1998 132.700

1999 130.465

2000 127.902

2001 129.260

Sumber : Biro Pusat Statistik (2002)

Pengolahan teh menurut Nasution dan Tjiaptadi (1985) dibagi menjadi empat tahapan yaitu pelayuan, penggulungan, fermentasi dan pengeringan. Ampas teh untuk pakan ternak diperoleh setelah tahap pengeringan , teh diseduh dengan air, kemudian dikeringkan dan dihaluskan untuk dicampur dengan bahan makanan lain. Ampas teh tersebut harus nampak segar, dengan warna tembaga yang merata, tidak ”dull” (hitam kecoklatan), suram / coklat tua (Emden dan Deij, 1968).

Pemanfaatan Ampas Teh sebagai Pakan Ternak

Penggunaan ampas teh untuk ransum ruminansia belum banyak dilakukan peternak, tetapi untuk ransum unggas telah dilakukan penelitian oleh Ginting (1993). Yang melaporkan bahwa ampas teh digunakan dalam ransum ayam broiler sampai taraf 5 persen tidak berbeda nyata terhadap pertambaha n bobot badan.

Terbatasnya penggunaan ampas teh dalam ransum unggas ini disebabkan kandungan serat kasar yang tinggi dan faktor penghambat pertumbuhan seperti senyawa alkaloid seperti, kafein, teobromin, theofilin serta zat penyamak yaitu tanin. Belitz dan Grosh (1986) mengemukakan bahwa daun teh mengandung kafein sebanyak 2,5–5,5 persen bahan kering teh, theobromin 0,07–0,17 persen dan theofilin berkisar 0,002–0,013 persen. Akan tetapi di dalam ampas teh masih terdapat faktor pembatas yang dapat mengurangi pemanfaatan ampas teh sebagai pakan ternak.

Menurut Kuntadi (1992) ampas teh mengandung lignin sebesar 29,01% bahan kering. Sedangkan menurut Arora (1989) bahwa kandungan lignin yang tinggi dalam ransum akan menghambat proses pencernaan, karena lignin da pat membentuk ikatan hidrogen yang membatasi aktivitas enzim selulase sehingga menurunkan

kecernaan bahan kering ransum. Selain itu didalam ampas teh juga terdapat kandungan anti nutrisi tanin. Kandungan tanin pada ampas teh sebesar 1,35 % (Istirahayu, 1993). Chang dan Fuller (1964) dalam Istirahayu (1993) mengatakan bahwa tingkat 0,1 % asam tanin dalam makanan tidak bersifat sebagai racun. Pada tingkat 0,5–2 % dapat menurunkan pertumbuhan berhubungan dengan tingkat konsumsi.

Menurut Soebarinoto (1986) tanin merupakan senyawa poliphenol yang mempunyai kemampuan mengikat protein sehingga menghalangi kerja enzim protease. Tanin dalam jumlah kecil dipandang menguntungkan ruminansia karena dapat mencegah degradasi protein yang berlebihan oleh mikroorganisme rumen sehingga protein asal rumen lebih banyak tersedia untuk proses pencernaan enzimatik pasca rumen. Kandungan tanin yang tinggi dalam ransum akan mengganggu metabolisme protein dan karbohidrat sehingga dapat menurunkan penampilan ternak.

Ampas teh untuk pakan ternak diperoleh setelah dari tahap pengeringan, penggilingan untuk dicampur dengan bahan makanan lain. Ampas teh harus tampak segar dengan warna tembaga yang merata, tidak hitam kecoklatan, suram atau coklat tua (Kuntadi, 1992). Kandungan zat-zat makanan pada ampas teh berdasarkan hasil laoratorium, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Nutrisi Ampas Teh

Kandungan Nutrien % Bahan Kering

Bahan kering 43,87 Abu 4,76 Protein Kasar 27,42 Serat Kasar 20,39 Lemak 3,26 BETN 44,20 Ca 1,14 P 0,25 Tanin 1,35

Gross Energi (kkal/kg) 4994,00

Tabel 4 terlihat bahwa kandungan protein dari ampas teh cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber serat kasar dan sumber protein untuk ternak ruminansia maupun unggas. Penggunaan ampas teh untuk ternak ruminansia belum banyak dilakukan peternak, tetapi untuk pakan ruminansia cukup banyak. Sutardjo (1996) melaporkan penggunaan ampas teh sampai taraf 45% masih menghasilkan performan yang cukup baik pada domba.

Bungkil Kedelai

Bungkil kedelai merupakan limbah dari pembuatan minyak kedelai yang banyak dimanfaatkan untuk ternak. Bungkil kedelai mengandung protein kasar sebesar 44,0% dan energi metabolis 2230 kkal/kg (Tangendjaja, 1987).

Bungkil kedelai merupakan suplemen protein yang biasa digunakan dalam ransum domba, karena mempunyai palatabilitas yang tinggi, daya cerna yang tinggi dan asam amino yang seimbang (Cheeke et al., 1982). Keuntungan bungkil kedelai sebagai penyusun ransum antara lain adalah dapat meningkatkan kualitas protein yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein. Bungkil kedelai mempunyai kandungan protein yang tinggi dan berkualitas baik, tetapi rendah akan kandungan kalsium dan phospor serta tidak mengandung vitamin A dan D (Parakkasi, 1983). Kandungan nutrisi bungkil kedelai menurut NRC (1994), yaitu portein kasar = 44%, lemak = 0,8%, serat kasar = 7%, Ca = 0,29%, P = 0,275% dan energi metabolis = 2230 kkal/kg. Selain kandungan nutrisi yang telah disebutkan diatas, bungkil kedelai juga mengandung asam amino yang sangat penting untuk domba. Susunan asam amino dari bungkil kedelai dan tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tepung Ikan

Tepung Ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar air, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging dan ikan atau bagian ikan yang biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut ikan dan lain-lain). Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering (Ilyas, 1982). Indrajaja (1988), menjelaskan bahwa tepung ikan yang akan digunakan sebagai sumber protein pakan harus memenuhi kualitas yang dipersyaratkan baik secara organoleptik, fisik, kimiawi dan bakteriologis maupun metode pengolahannya.

Secara umum tepung ikan berkualitas baik mengandung prote in kasar antara 60% hingga 70% dan kaya akan asam amino esensial terutama lisin dan metionin yang selalu kurang dalam bahan makanan ternak asal nabati (Rasyaf, 1990). Anggorodi (1995), mengemukakan bahwa protein adalah bahan makanan yang paling mahal harganya dalam ransum sehingga harus digunakan seefisien mungkin. Harga tepung ikan yang tinggi merupakan pembatas penggunaannya dalam ransum untuk hewan monogastrik (unggas). Kandungan nutrisi tepung ikan yaitu bahan kering = 92%, protein kasar = 61%, lemak = 10%, serat kasar = 0,5%, Ca = 1,23%, P = 1,63%, GE = 4094 kkal/kg (NRC, 1994). Tepung ikan ini juga memiliki kelarutan total yang mencerminkan kecernaan dari bahan tersebut. Bahan pakan yang kelarutannya tinggi (mudah larut) artinya memiliki kecernaan yang tinggi pula. Kelarutan total bahan pakan sumber nabati lebih tinggi daripada bahan pakan sumber hewani (Qomariyah, 2004). Selain kandungan nutrisi yang telah disebutkan di atas tepung ikan ini juga mengandung asam amino yang lengkap. Susunan asam amino dari tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Asam Amino Bungkil Kedelai dan Tepung Ikan

Asam amino Bungkil kedelai Tepung ikan

Arginin 3,14 3,68 Glysin 1,90 4,46 Serin 2,29 2,37 Histidin 1,17 1,42 Isoleusin 1,96 2,28 Leusin 3,39 4,16 Lysin 2,69 4,51 Methionin 0,62 1,63 Cystin 0,66 0,57 Phenylalanin 2,16 2,21 Tyrosin 1,91 1,80 Threonin 1,72 2,46 Tryptophan 0,74 0,49 Valin 2,07 2,77 Keterangan : NRC (1994)

Konsumsi Bahan Kering Ransum

Konsumsi (voluntary feed intake) adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila diberikan secara ad libitum (Parakkasi, 1986). Menurut Maynard dan Loosly (1979), tujuan ternak mengkonsumsi adalah untuk dapat hidup, bertumbuh maupun produksi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah pa latabilitas yang tergantung pada beberapa hal yaitu penampilan dan bentuk makanan, bau, rasa, tekstur dan temperatur lingkungan (Church, 1977), sedangkan menurut Parakkasi (1999) tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh faktor-faktor : (a) hewannya sendiri, (b) makanan yang diberikan, dan (c) lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara. Oleh karena itulah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak merupakan indikator produktivitas hewan tersebut (Arora, 1989). Menurut Cole dan Ronning (1970) tingkat konsumsi sangat dipengaruhi oleh koefisien cerna, kualitas atau komposisi kimia makanan, fermentasi dalam rumen dan pergerakan makanan dalam saluran pencernaan serta status fisiologi hewan. Daya cerna makan diikuti kecepatan aliran makanan yang tinggi dalam saluran pencernaan dapat meningkatkan konsumsi (Tillman dkk., 1989).

Peningkatan konsumsi pakan biasanya menaikkan kecepatan aliran pakan. Hal ini berhubungan dengan ukuran partikel pakan, yaitu bahwa ukuran partikel pakan yang kecil menaikkan konsumsi pakan dari pada ukuran partikel yang besar. Konsumsi pakan juga bertambah jika diberikan pakan yang nilai kecernaannnya lebih tinggi dari pada pakan yang kecernaanya rendah (Arora, 1989).

Pertambahan Bobot Badan

Pertumbuhan pada domba bukanlah sekedar pertamba han beratnya saja, namun berhubungan erat dengan perbandingan antara tinggi dan panjang badannya. Agar ternak dapat tumbuh dengan baik dan memberi hasil yang optimal, maka ia harus dapat makanan yang bergizi dalam jumlah yang cukup. Jumlah pakan yang diberikan pada ternak dalam sehari harus lebih banyak dari yang dibutuhkan untuk hidup pokok, agar tidak mengalami kesulitan produksi (Sucipto, 2001).

Penggilingan biasanya memberikan peningkatan yang relatif besar dalam performan hewan ternak untuk hijauan be rkualitas rendah, karena partikel serat menjadi kecil (Church and Pond, 1989). Menurut Juarini et al. (1995) mengatakan

bahwa makin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak, akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi.

Pertumbuhan dinyatakan dengan pengukuran kenaikan berat badan yang dengan mudah dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang (Tillman dkk.,1998). Menurut NRC (1985) pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi total protein yang diperoleh se tiap hari, jenis ternak, umur, keadaan genetik, lingkungan, kondisi fisiologis ternak dan tata laksana. Mathius (1989) melaporkan bahwa tingkat kenaikan bobot badan harian domba dan kambing di pedesaan berkisar antara 20-40 g/ekor.

Konversi Ransum

Konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah ransum yang di konsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu yang telah ditentukan (North, 1984).

Menurut Rasyaf (1990) konversi ransum sangat baik digunakan sebagai pegangan efisiensi produksi karena erat kaitannya dengan biaya produksi. Keefisienan ransum dapat dilihat dari nilai konversi pakan, semakin rendah nilai konversi pakan maka efisiensi penggunaan pakan semakin tinggi.

Konversi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, potensi genetik, nutrisi, kandungan energi dan penyakit (Nesheim et al., 1979). Sedangkan menurut North (1984) konversi ransum dipengaruhi antara lain oleh jumlah ransum yang dikonsumsi, bobot badan, gerak badan, musim, dan temperatur kandang. Menurut Budisatria (1996) semakin tinggi angka konversi pakan, semakin efisien memanfaatkan pakan.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dikandang Ilmu Produksi Ternak, Ruminansia Kecil, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yaitu bulan November 2003 sampai dengan Januari 2004.

Materi Penelitian

Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri 20 ekor domba, yang didapat dari peternakan rakyat didaerah Sukabumi, sehingga asal usul genetiknya tidak diketahui dengan jelas. Rataan bobot badan domba pada awal penelitian adalah 20,87 ± 1,8 Kg.

Kandang dan Peralatan

Ternak ditempatkan dikandang individu dengan ukuran 1,25 x 1 x 0,75 m3. Setiap kandang dilengkapi tempat makan dan minum. Kandang individual terletak disuatu bangunan dengan luas 80 m2 yang beratap asbes. Tiap kandang individual dilengkapi dengan tempat makan yang menempel dan tempat minum berupa ember. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan, kertas label dan jarum suntik.

Obat-obatan

Penanggulangan cekaman stres akibat pengangkutan, maka diberikan Biosalamin selama 3 hari pertama di kandang yang diberikan dalam air minum. Sedangkan Piperazin diberikan pada domba yang terkena cacingan dengan cara disuntikan.

Ransum

Ransum yang diberikan selama penelitian adalah ransum bentuk pelet yang disusun secara isoprotein dengan ampas teh sebagai bahan makanan perlakuan. Sedangkan bahan makanan yang digunakan dalam penyusunan ransum adalah ampas teh, bungkil kedelai, tepung ikan, pollard, minyak, molases dan premix. Ampas teh yang dipergunakan didapatkan dari PT. Sosro, Bekasi. Rumput lapang diperoleh dari lapangan kandang peternakan, sedangkan bahan makanan lainnya diperoleh dari Indofeed.

Pemberian makan dan minum dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari yang diberikan secara ad libitum, seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi Bahan Pakan dalam Ransum Perlakuan (%)

Bahan baku R1 R2 R3 R4 R5 Ampas teh (%) 70 70 70 70 70 Bungkil Kedelai (%) 10 7,5 5 2,5 0 Tepung Ikan (%) 0 2,5 5 7,5 10 Pollard (%) 10 10 10 10 10 Molases (%) 4 4 4 4 4 Minyak (%) 5 5 5 5 5 Premix (%) 1 1 1 1 1 Jumlah 100 100 100 100 100

Keterangan : Premix yang digunakan mengandung vitamin A, B1, B2, B6, B12, C, D, E, K, Ca- d-Pantothenate, niacin, choline, I, Zn, Co, Mg, copper, Iron, santoquin (antioksidan), Zn bacitracin.

Sedangkan kandungan zat makanan ransum perlakuan berdasarkan hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Komposisi Zat Makanan Penelitian Berdasarkan Perhitungan

Zat Makanan R1 R2 R3 R4 R5 Bahan Kering (%) 51,61 51,68 51,75 51,83 51,91 Protein Kasar (%) 25,08 25,80 26,23 26,66 27,09 Serat Kasar (%) 15,87 15,72 15,58 15,43 15,29 Kalsium(%) 0,52 1,06 0,87 0,86 0,72 Phospor(%) 0,30 0,91 0,65 0,60 0,46

Peng ukuran Pertambahan Bobot Badan

Pengukuran pertambahan bobot badan dilakukan sekali sekitar jam 6-7 pagi dengan tujuan mencegah terjadinya stres pada domba. Penimbangan dilakukan sebelum domba diberi makan. Setiap ekor domba diukur bobot badannya menggunakan timbangan elektrik merk Presica. Pengukuran dilakukan dengan cara menggendong domba diatas timbangan dan sebelumnya timbangan disetarakan ke nol. Penanganan domba dilakukan oleh orang sama dan tidak menggunakan sarung tangan untuk mengurangi stres pada domba.

Pengukuran konsumsi Pakan

Pakan diberikan sebanyak 3% dari bobot badan dan terus meningkat 10% hari berikutnya sampai maksimal. Pemberian pakan hari ini dikurangi sisa pakan berikutnya merupakan data dari konsumsi. Apabila terdapat pakan yang basah maka pakan tersebut dijemur terlebih dahulu sebelum dihitung sebagai sisa. Setelah didapat data konsumsi pakan, konversi pakan didapat dengan cara membagi antara konsumsi dengan pertambahan bobot badan.

Metode

Pembuatan Ransum

Ampas teh yang masih dalam keadaan basah dijemur di bawah sinar matahari sampai kering, kemudian digiling menjadi tepung dan dicampur dengan bahan makanan lain yang juga dalam bentuk tepung sampai homogen lalu dimasukkan kedalam mesin pelet. Pelet yang dihasilkan diangin-anginkan te rlebih dahulu, lalu dimasukkan kedalam karung dan disimpan.

Pelaksanaan Penelitian

Satu minggu sebelum domba ditempatkan, kandang dan seluruh peralatan dibersihkan terlebih dahulu dengan masa penyesuaian selama dua minggu. Tujuan dari masa penyesuaian ini adalah untuk mencegah adanya pengaruh dari makanan awal (bukan ransum perlakuan) yang diberikan sebelum penelitian dan agar domba tidak stres akibat ransum perlakuan pada saat pemeliharaan dimulai.

Pada awal penelitian domba ditimbang untuk mendapatkan bobot badan awal, kemudian dilakukan pengacakan terhadap perlakuan yang akan diberikan. Ransum perlakuan terdiri dari lima taraf ampas teh yang sama dengan bungkil kedelai dan tepung ikan yang berbeda, dengan susunan ransum sebagai berikut :

R1 : 10% Bungkil Kedelai + 0% Tepung Ikan + 70% Konsentrat R2 : 7,5% Bungkil Kedalai + 2,5% Tepung Ikan + 70% Konsentrat R3 : 5% Bungkil Kedelai + 5% Tepung Ikan + 70% Konsentrat R4 : 2,5% Bungkil Kedelai + 7,5% Tepung Ikan + 70% Konsentrat

R5 : 0% Bungkil Kedelai + 10% tepung Ikan + 70% Konsentrat

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumsi bahan kering (g/ekor/hari)

KBK = (Ransum yang diberikan – Sisa ransum) x % BK 2. Pertambahan bobot badan (g/ekor/hari)

PBB = Bobot akhir – Bobot awal Ó Hari

3. Konversi Ransum

Konversi pakan dihitung berdasarkan perbandingan konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan.

4. Nilai ekonomis (Income Over Feed Cost) IOFC = Pendapatan – Pengeluaran

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Model matematikanya adalah sebagai berikut :

Yij = µ + ói + åij

Yij : Hasil pengamatan perlakuan ke -I dan ulangan ke-j µ : Nilai rata an umum hasil pengamatan

ói: : pengaruh perlakuan ke -i

åij : Pengaruh galat ke-i dan ulangan ke-j i : Perlakuan yang diberikan (1,2,3,4,5)

j : Ulangan dari masing-masing perlakuan (1,2,3,4)

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan jika terda pat perbedaan nyata dilakukan uji wilayah berganda Duncan (Steel and Torrie, 1995).

Dokumen terkait