Asal Usul Itik
Itik merupakan salah satu jenis unggas air yang termasuk dalam Kelas: Aves, Ordo: Anseriformes, Famili: Anatidae, Sub Famili: Anatinae, Genus: Anas. Para ahli mempunyai pendapat bahwa ternak itik domestik yang kita kenal sekarang merupakan keturunan dari itik liar yang mempunya nama ‘Mallard’ atau ‘With Mallard’ (Anas plathyrynchos), yang sampai saat ini masih banyak tersebar di beberapa bagian dunia. Proses perubahan sifat-sifat liar dari ‘Mallard’ menjadi ternak itik yang kita kenal sekarang terutama akibat domestikasi. Perubahannya menyangkut bentuk badan yang ramping (slender) dan menjadi bentuk yang mempunyai ukuran lebih besar pada itik pedaging (Srigandono, 1997).
Karakteristik Itik Peking
Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah Cina. Setelah mengalami beberapa perubahan dan perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik peking ini menjadi popular dikalangan masyarakat. Itik Peking dapat dipelihara di daerah sub tropis maupun tropis. Itik Peking sangat mudah beradaptasi dan keinginan untuk terbang sangat minim. Umumnya dipelihara secara intensif dengan dilengkapi dengan kolam yang pendek (Murtidjo, 1996).
Marhijanto (1993), menyatakan bahwa itik peking bukan suatu jenis itik yang cocok untuk petelur, melainkan lebih cocok dijadikan ternak untuk diambil dagingnya. Sebagai unggas pedaging, itik peking mempunyai kelebihan yang diantaranya pertumbuhannya cepat, mudah dalam pemeliharaannya, ekonomis dan tahan terhadap penyakit.
Itik peking mempunyai kepala besar dan bundar, paruhnya lebar, pendek dan ujungnya berwarna kuning, akan tetapi ada juga yang berwarna putih, lehernya pendek, gemuk dan tegak dan warna bulunya putih seperti burung kenari. Pada jantan ditemukan bulu yang pada leher tengah agak dipanjangkan dan diatas kepala kadang-kadang ditemukan bulu seperti jambul (Samosir, 1993).
Dari golongan itik pedaging (Peking, Muscovy dan Entok), itik peking mulai popular di Indonesia. Produksi dagingnya bisa mencapai 3-3,5 kg pada umur 7-8 minggu (Anggorodi, 1995).
Kebutuhan Nutrisi Itik Peking
Bahan makanan pada dasarnya mengandung zat-zat yang diperlukan tubuh untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi (Tillman, et, al., 1991). Berdasarkan unsur yang dikandung oleh bahan makanan yang perlu disediakan zat-zat nutrisi yang dibutuhkan ternak.
Pada prinsipnya makanan itik tidak berbeda dengan makanan ayam. Perbedaan terletak pada kadar protein dalam ransum yang relatif lebih tinggi. Disamping itu penyediaan air lebih banyak diperhatikan. Itik yang dipelihara secara intensif atau dikurung, kebutuhan air biasanya disediakan dalam kolam-kolam kecil yang ditempatkan dekat bak makanan (Wahyu, 2004).
Rasyaf (1992), menyatakan bahwa bahan makanan yang biasa dipakai sebagai campuran ransum itik adalah jagung kuning, dedak, bungkil-bungkilan, kulit kerang, tepung ikan, daun lamtoro, minyak atau lemak, tepung darah dan lainnya.
Ransum pada itik pada dasarnya sama seperti ayam, kesamaannya terutama pada bagian penggunaan bahan pakan. Ransum itik umumnya diberikan
agak basah. Air perlu ditambahkan ke dalam ransum untuk membuat pakan ransum saling melekat, akan tetapi ransum tidak boleh begitu basah sampai becek (Anggorodi, 1995).
Itik pedaging harus diberi pakan yang memiliki gizi tinggi untuk mendukung pertumbuhan yang cepat. Kebutuhan utama zat gizi berupa protein dengan kandungan asam amino esensial yang berimbang serta mempunyai kandungan energi yang memadai. Disamping itu pakan tersebut harus memiliki kadar vitamin dan mineral yang harus diperhatikan. Itik pada periode starter membutuhkan ransum dengan kadar protein antara 20-22% dan energi metabolismenya antara 2800-3000 kkal/kg ransum. Memasuki fase finisher, kadar protein diturunkan menjadi 16-17% dan energi metabolismenya sebesar 2900-3000 kkal/kg. Untuk mencapai berat badan sekitar 3,5 kg pada umur 8 minggu, itik peking harus menghabiskan pakan sebanyak 9,5 kg dengan rata-rata konsumsi pakan 170 g/hari selama 8 minggu (Srigandono, 1998).
Tabel 1. Laju pertumbuhan dan konsumsi itik pedaging Umur
Minggu
Berat badan (Kg) Konsumsi makanan mingguan (Kg)
Konsumsi makanan komulatif (Kg) Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
1 0,06 0,06 0,00 0,00 0,00 0,00 2 0,27 0,27 0,22 0,22 0,22 0,22 3 0,78 0,74 0,77 0,73 0,99 0,95 4 1,38 1,28 1,12 1,11 2,11 2,05 5 1,96 1,82 1,28 1,28 3,40 3,33 6 2.49 2,30 1,48 1,43 4,87 4,76 7 2,96 2,73 1,63 1,59 6,50 6,35 8 3,34 3,06 1,68 1,63 8,18 7,98 9 3,61 3,29 1,68 1,63 9,86 9,61
Kebutuhan nutrisi untuk itik peking dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Kebutuhan nutrisi itik peking
Nutrisi Starter (0-2 minggu) Grower (2-7 minggu) Finisher (7-8 minggu) EM (Kkal/kg) 2900 2900 2900 Protein (%) 22,0 16,0 15,0 Arginin (%) 1,1 1,0 - Lisin (%) 1,1 0,9 0,7 Methionin+sistin (%) 0,8 0,6 0,55 Kalsium (%) 0,68 0,6 2,75 Fosfor tersedia (%) 0,40 0,35 0,35 Natrium (%) 0,15 0,15 0,15 Khlor (%) 0,12 0,12 0,12 Magnesium (mg) 500 500 500 Mangan (mg) 40,0 40,0 40,0 Zinkum (mg) 60,0 60,0 60,0 Selenium (mg) 0,14 0,14 0,14 Vitamin A (IU) 4000 4000 4000 Vitamin D (IU) 220 220 220 Vitamin K (mg) 0,4 0,4 0,4 Riboflavin (mg) 4,0 4,0 4,0 Asam pantothenat (mg) 11,0 11,0 11,0 Niasin (mg) 55,0 55,0 55,0
Sumber: NRC (1984) disitasi Anggorodi (1995)
Kebutuhan Air Minum
Ketersediaan air minum dalam kandang pemeliharaan itik pedaging juga harus selalu ada agar itik dapat minum setiap saat. Jumlah air minum yang diberikan disesuaikan dengan banyak itik. Air yang digunakan harus air bersih diganti setiap hari dan tempat minum dibersihkan secara rutin, ada baiknya tempat pakan diletak berdekatan dengan tempat minum agar itik mudah menyelingi kegiatan makan dan minum (Wakhid, 2013).
Untuk mendapatkan kecepatan pertumbuhan badan yang yang baik, itik pedaging sangat memerlukan ransum yang cukup jumlahnya dan tepat mutunya, ditambah dengan air minum yaang cukup, bersih dan segar. Jadwal pemberian ransum dan air minum yang tidak menentu baik disengaja maupun yang tidak
disengaja sangat merugikan, sebab dapat menimbulkan sifat kanibal dan memperbesar timbulnya penyakit (Santoso, 1986).
Limbah Udang
Udang sebagai salah satu komoditi ekspor terbagi atas tiga macam, yaitu (1) produk yang terdiri dari bagian badan dan kepala secara utuh , (2) badan tanpa kepala dan (3) dagingnya saja. Pengolahan produksi udang berdasarkan ketiga macam produk tersebut, menyebabkan terdapat bagian-bagian udang yang terbuang seperti kepala, ekor dan kulitnya. Bagian tersebut merupakan limbah industri pengolahan udang beku yang disebut limbah udang (Abun 2009).
Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan ternak berdasarkan pada dua hal, yaitu jumlah dan mutunya. Seiring dengan maraknya ekspor udang beku kebeberapa negara, seperti Jepang, Taiwan, Amerika Serikat maka limbah yang dihasilkan akan bertambah pula. Limbah udang tersebut pada umumnya terdiri dari bagian kepala, kulit, ekor dan udang kecil - kecil disamping sedikit daging udang (Parakkasi, 1983).
Kandungan khitin yang tinggi menyebabkan limbah udang mempunyai kecernaan yang rendah yaitu kadar khitin 3 % dalam ransum ayam broiler yang akan menekan konsumsi ransum dan pertumbuhan. Oleh sebab itu sebelum digunakan sebagai bahan pakan dalam ransum broiler limbah udang itu harus mendapat penanganan dan pengolahan yang baik untuk meningkatkan nilai gizinya. Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung Isolasi khitin dari limbah udang dilakukan secara
bertahap yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa (Neely dan Wiliam, 1999).
Kualitas tepung udang sangat bergantung pada bagian tubuh udang yang menjadi limbah, cara pengeringan dan jenis udang yang digunakan kandungan protein kasarnya sebanyak 32% dan mineralnya 18% sehingga cukup baik digunakan untuk bahan ransum. Penggunaan tepung udang yang terlalu banyak juga tidak baik karena dari total 100% tepung udang sebagian besar adalah kulitnya (Rasyaf, 1997).
Kandungan protein limbah udang yang cukup tinggi merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan. Disamping itu, limbah udang juga mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu berupa khitin. Purwaningsih (2000), menyatakan bahwa limbah udang terdiri dari 30% khitin dari bahan keringnya. Adanya khitin ini mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan limbah udang untuk dijadikan bahan penyusun ransum ternak unggas jika digunakan secara langsung tanpa dilakukan pengolahan.
Dedak Padi
Dedak padi musim panen sangat melimpah, sebaliknya pada musim kemarau menjadi berkurang. Selain itu, dedak padi tidak dapat disimpan dengan lama, dikarenakan kegiatan enzim yang bisa menyebabkan kerusakan atau bau
tengik oksidatif pada komponen minyak yang ada didalam dedak (Balitnak, 2010).
Dedak merupakan limbah yang dibuat menjadi bahan ransum yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan dari penumbukan padi. Dedak
merupakan salah satu hasil ikutan dalam proses pengolahan gabah menjadi beras yang mengandung bagian luar yang tidak tebal, akan tetapi tercampur dengan penutup beras. Dimana hal ini dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya kandungan serat kasar dedak yang diperoleh (Parakkasi, 1999).
Dedak cukup mengandung energi dan protein yang baik, juga kaya akan vitamin. Hal inilah yang menyebabkan dedak dapat digunakan sebagai campuran formula ransum untuk unggas terutama itik (Rasyaf, 1992).
Kandungan nilai gizi dari dedak padi dapat kita lihat pada Tabel 4. Tabel 3. Komposisi nutrisi dedak padi
Nutrisi Kandungan Energy metabolis (Kkal/kg) 1630a Protein kasar (%) 13a Lemak kasar (%) 13a Serat kasar (%) 13a Abu (%) 11,7b Sumber: a Siregar (2009) dan bHartadi (1997)disitasi Muzakki (2011).
Tepung Jagung
Jagung hingga saat ini merupakan butiran yang paling banyak digunakan masyarakat dalam ransum unggas di seluruh Indonesia. Jagung adalah salah satu bahan makanan terbaik bagi unggas terutama itik yang digemukkan karena jagung memiliki energi netto yang tinggi (Anggorodi, 1985).
Jagung mempunyai kadar triptofan yang rendah, paling rendah adalah kadar metioninnya, kemudian lisin. Mertz mendapatkan suatu strain jagung yang mengandung lebih banyak glutelin yang ada hubungannya dengan zein dibanding dengan hibrida jagung normal (Wahyu, 2004).
Tabel 4. Komposisi nutrisi tepung jagung
Nutrisi Kandungan Energi metabolis (Kkal/kg) 3370a Protein kasar (%) 8,6a Lemak kasar (%) 3,9a Serat kasar (%) 2a Abu (%) 11,7b Sumber: aSiregar (2009) dan bHartadi (1997) disitasi Muzakki (2011).
Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa salah satu sumber protein di beberapa daerah tropis, bungkil kelapa ini dirasa digunakan dalam ransum unggas. Peneltitian-penetlitian terdahulu yang dilakukan di Philipina menunjukkan bahwa bungkil kelapa tidak digunakan dalam ransum unggas lebih dari 20% (Wahyu, 2004).
Bungkil kelapa juga merupakan salah satu sumber protein yang penting di seluruh Indonesia. Bungkil kelapa dapat memperbaiki defisiensi methionin dan lisin yang dimana bungkil kelapa merupakan bahan makanan yang potensial bagi unggas (Anggorodi, 1995).
Tabel 5. Komposisi nutrisi bungkil kelapa
Nutrisi Kandungan Energi metabolis (Kkal/kg) 1540a Protein kasar (%) 18,56a Lemak kasar (%) 1,8a Serat kasar (%) 15a Abu (%) 11,7b Sumber: a Siregar (2009) dan bHartadi (1997) disitasi Muzakki (2011).
Bungkil Kedelai
Bungkil kedelai merupakan bahan pakan sumber protein yang biasa digunakan dalam formulasi pakan unggas. Bungkil kedelai mengandung protein tinggi dan kaya lisin, tetapi metioninnya rendah. Ketersediaan bungkil kedelai di Indonesia memang ada, tetapi umumnya di impor dari beberapa negara seperti Amerika dan India. Kandungan nutrisi bungkil kedelai bervariasi, tergantung dari
jenis pengolahannya seperti solvent dan expeller. Kualitas bungkil kedelai tercantum dalam SNI 01-4227-1996 yang terdiri atas dua mutu, yaitu mutu 1 yang proteinnya lebih tinggi daripada mutu 2. Faktor pembatas yang menjadi perhatian
adalah kadar afltoksin yang tidak boleh lebih dari 50 ppb (Suci dan Hermana, 2012).
Tabel 6. Komposisi nutrisi bungkil kedelai
Nutrisi Kandungan Protein kasar (%) 46 Lemak kasar (%) 3,5 Serat kasar (%) 6,5 Abu (%) 7 Ca (%) 0,2-0,4 P (%) 0,5-0,8 Sumber: Suci dan Hermana (2012).
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit merupakan hasil dari ikutan proses ekstraksi inti sawit. Dimana bahan ini bisa didapat dengan melalui proses kimia atau dengan cara mekanik (Davendra, 1997).
Tabel 7. Komposisi nutrisi Bungkil inti sawit
Nutrisi Kandungan Energi metabolis (Kkal/kg) 2810a Protein kasar (%) 15,40b Lemak kasar (%) 6,49a Serat kasar (%) 9b Abu (%) 5,18a Sumber: a. laboratorium Ilmu makanan ternak program studi peternakan
fakultas pertanaian USU (2000) dan b. pusat penelitian kelapa sawit disitasi Muzakki (2011).
Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan sumber protein utama bagi unggas, karena bahan makanan tersebut mengandung semua asam-asam amino yang dibutuhkan dalam jumlah cukup dan teristimewa merupakan sumber lisin dan methionin yang baik.
Penggunaan tepung ikan dalam ransum unggas sering kali harus dibatasi untuk mencegah bau ikan yang meresap kedalam daging atau telur. Tepung ikan mudah busuk sehingga terjadi penurunan kadar protein kasar (Anggorodi, 1995).
Tepung ikan dapat digunakan sebagai kalsium. Kandungan protein tepung ikan sangat dipengaruhi oleh bahan ikan yang digunakan dalam proses pembuatannya. Pemanasan yang berlebih akan membuat tepung ikan menjadi berwarna cokelat dan kadar proteinnya cenderung menurun atau bisa menjadi rusak (Boniran, 1999).
Tabel 8. Komposisi nutrisi tepung ikan
Nutrisi Kandungan Energi metabolis (Kkal/kg) 2565a Protein kasar (%) 55a Lemak kasar (%) 8a Serat kasar (%) 1a Abu (%) 11,7b Sumber: aSiregar (2009) dan bHartadi (1997) disitasi Muzakki (2011).
Pertambahan Bobot Badan
Kemampuan ternak untuk mengubah zat–zat makanan yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan dari ternak tersebut. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan. Pertumbuhan dapat dinyatakan dalam pertumbuhan bobot badan abolut dan relatif. Pertambahan bobot badan absolut (rata–rata) adalah selsih bobot badan akhir dan awal dibagi dengan waktu pengamatan. Pertambahan bobot badan yang relatif adalah selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal (Parakkasi, 1982).
Pertumbuhan murni mencakup pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, jantung, otak dan semua jaringan tubuh lainnya kecuali jaringan lemak dan alat-alat tubuh. Penambahan
berat akibat penimbunan lemak atau penimbunan air bukanlah merupakan pertumbuhan murni (Anggorodi, 1990).
Laju komponen pertumbuhan berlangsung dengan kadar yang berbeda, sehingga perubahan ukuran komponen menghasilkan diferensiasi atau perubahan karakteristik individual sel dan organ. Perubahan morfologi ataupun kimiawi misal perubahan sel-sel otot, tulang, hati, jantung, ginjal, otak, saluran pencernaan, organ reproduksi dan alat pernapasan. Terjadi dalam proses diferensiasi (Soeparno, 1992).
Pertumbuhan dapat diukur dengan jalan menimbang hewan hidup pada saat-saat tertentu secara berurutan, untuk menghilangkan bias karena isi saluran pencernaan maka digunakan bobot hewan puasa yaitu hewan setelah dipuasakan 18-24 jam. Pertumbuhan dapat dilihat melalui kurva hubungan antara bobot badan dengan umur adalah S (Sigmoid). Ada fase awal yang pendek dimana bobot badan meningkat dengan meningkatnya umur. Hal ini diikuti oleh pertumbuhan yang eksplosif kemudian akhirnya ada suatu fase dengan tingkat pertumbuhan sangat rendah (Lawrie, 1994).
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan sejumlah pakan yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan jumlah pakan yang diberikan dan sisa yang diberikan atau penghamburan. Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya jumlah ransum yang dikomsumsi. Peningkatan energi metabolis dalam pakan mengurangi konsumsi pakan pada unggas (Anggorodi, 1995).
Tingkat konsumsi ransum banyak ditentukan oleh palatabilitas ransum, sistem tempat pakan dan pengisian tempat pakan, kepadatan ternak perkandang. Dilain pihak tingkat konsumsi dipengaruhi oleh nafsu makan ternak itu sendiri dan dipengaruhi oleh kesehatan ternak itu sendiri (Wahyu, 1985).
Temperatur lingkungan merupakan pengaruh yang besar terhadap konsumsi harian. Konsumsi rendah bila temperatur tinggi dan meningkat bila temperatur rendah. Suhu 16-24OC adalah suhu yang ideal bagi produksi yang
efisien dan memungkinkan dicapainya produksi yang maksimum (Gillespie, 1987).
Konversi Ransum
Konversi ransum didefinisikan sebagai banyaknya ransum yang dihabiskan untuk menghasilkan setiap kilogram pertambahan bobot badan.
Angka konversi ransum yang kecil berarti banyaknya ransum yang digunakan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Konversi ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan ransum serta kualitas ransum. Konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu. Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara jumlah ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging atau telur atau output (Rasyaf, 1995).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan sangat menentukan keberhasilan budidaya ternak. Biaya yang dikeluarkan untuk bahan pakan (ransum) pada peternakan unggas adalah biaya terbesar yaitu berkisar 60 – 70 persen dari seluruh biaya produksinya. Tinggi atau rendahnya harga bahan baku pakan akan sangat menentukan tingkat keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan ternak akan zat gizi tertentu bahan baku pakan yang berkualitas masih didatangkan dari luar negeri. Oleh karena itu, penggunaan bahan pakan lokal alternatif perlu diupayakan secara optimal, dengan catatan bahan baku pakan tersebut ditingkatkan kualitasnya dan terjamin ketersediaannya sepanjang tahun. Tepung ikan adalah bahan baku pakan yang menyebabkan mahalnya harga ransum, karena tidak dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri, sehingga lebih dari setengah, yaitu 200 ribu ton/tahun kebutuhan tepung ikan Indonesia disuplai dari impor. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan peternak skala kecil dan menengah perlu bahan pakan alternatif sebagai pengganti tepung ikan ini. Salah satu bahan pakan alternatif adalah limbah udang.
Industri pengolahan udang beku Indonesia berkembang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir ini, sejalan dengan meningkatnya produksi udang. Indonesia termasuk negara pengekspor udang terbesar di dunia. Data BPS tahun 2004 menunjukkan produksi udang Indonesia sebesar 240.000 ton dan produksi ini meningkat sebesar 14% per tahun. Tahun 2005 produksi udang mencapai
angka 250.000 ton. Apabila udang segar ini diolah menjadi udang beku, maka sebesar 35% – 70% dari bobot utuh akan menjadi limbah udang, kualitasnya bervariasi tergantung jenis udang dan proses pengolahannya. Oleh karena itu perlu dilakukan pembahasan yang lebih mendalam mengenai kemungkinan penggunaan tepung limbah udang ini untuk menggantikan tepung ikan dalam ransum itik peking.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Subtitusi tepung limbah udang dengan tepung ikan komersil dalam ransum terhadap performans itik peking umur 1 hari - 8 minggu”.
Tujuan Penelitian
Mengetahui pengaruh pemberian limbah tepung udang sebagai subtitusi tepung ikan komersil dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum ternak itik peking umur 1 hari – 8 minggu.
Hipotesis Penelitian
Pemanfaatan tepung limbah udang mampu mensubtitusi tepung ikan komersil dalam ransum terhadap performans (pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum) itik peking umur 1 hari – 8 minggu.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti, peternak itik peking dan masyarakat tentang pemanfaatan limbah udang sebagai subtitusi tepung limbah udang dalam ransum terhadap itik peking umur 1 hari - 8 minggu.
ABSTRACT
JERNI PETERIKSON G , 2015: " The substitution of Commercial Fish Meal With Shrimp In Waste flour rations Against Performance of Peking ducks Age 1 Day - 8 Weeks " . Guided by R. Edhy MIRWANDHONO and TRI HESTI WAHYUNI .
This study aims to determine the extent of the effect of the use of flour shrimp waste (TLU) with filtrate water treatment husk ash (FAAS) and fermentation of EM-4 in the ration on body weight gain, feed intake and feed conversion peking duck. The design used was completely randomized design with 5 treatments and 4 replications. The treatment consists of P0 (0% shrimp meal, 10% fish meal), P1 (2.5% flour shrimp, fish meal 7.5%), P2 (5% shrimps flour, 5% fish meal), P3 (7, 5% shrimp meal, fish meal 2.5%), P4 (10% flour shrimp, 0% fish meal). Parameters studied were feed consumption, body weight gain and feed conversion.
The results showed the average consumption (g / head / week) P0; 158.77, P1; 157.33, P2; 157.95, P3; P4 151.54; 149.34. Mean body weight gain (g / bird / day) P0; 202.91, P1; 198.71, P2; 196.78, P3; P4 197.92; 200.88. The average feed conversion P0; 2.03, P1; 1.99, P2; 1.94, P3; 1.94 and P4; 1.90. ANOVA results showed that the treatment was not significant effect on feed intake, body weight gain and feed conversion (P> 0.05). Kesimpulanya is that the shrimp waste flour can be used in rations up to the level of 10% for the peking duck.
ABSTRAK
JERNI PETERIKSON G, 2015: “Subtitusi Tepung Ikan Komersial Dengan Limbah Tepung Udang Dalam Ransum Terhadap Performans Itik Peking Umur 1 Hari – 8 Minggu”. Dibimbing oleh R. EDHY MIRWANDHONO dan TRI HESTI WAHYUNI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh penggunaan tepung limbah udang (TLU) dengan pengolahan filtrat air abu sekam (FAAS) serta fermentasi EM-4 dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum itik peking. Rancangan yang dipakai adalah rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan terdiri dari P0 (0% tepung udang, 10% tepung ikan), P1 (2,5% tepung udang, 7,5% tepung ikan), P2 (5% tepung udang, 5% tepung ikan), P3 (7,5% tepung udang, 2,5% tepung ikan), P4 (10% tepung udang, 0% tepung ikan). Parameter yang diteliti adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum.
Hasil penelitian menunjukkan rataan konsumsi (g/ekor/minggu) P0;158,77, P1;157,33, P2;157,95, P3;151,54 dan P4;149,34. Rataan pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) P0;202,91, P1;198,71, P2;196,78, P3;197,92 dan P4;200,88. Rataan konversi ransum P0;2,03, P1;1,99, P2;1,94, P3;1,94 dan P4;1,90. Hasil anova menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum (P>0,05). Kesimpulanya adalah bahwa tepung limbah udang dapat digunakan dalam ransum hingga level 10% untuk itik peking.