• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi

Menurut Maxwell (2003), ular sanca hijau mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Filum Chordata, Sub Filum Vertebrata, Kelas Reptilia, Sub Kelas Lepidasauria, Ordo Squamata, Sub Ordo Serpentes, Famili Boidae, Sub Famili Pythoninae, Genus Morelia, dan Spesies Morelia viridis.

Masih terdapat kerancuan pada beberapa literatur dan sumber-sumber informasi dari situs internet ular sanca hijau dimasukan dalam genus Chondropython, sehingga spesiesnya menjadi Chondropython viridis. Hal ini dikarenakan perubahan taksonomi dari Genus Chondropython menjadi Morelia baru terjadi tahun 1994. Perubahan taksonomi ini dikarenakan adanya keeratan hubungan antara ular sanca hijau dengan salah satu Genus dari Sub Famili Pythoninae, yaitu Morelia. Salah satu contoh ular dari Genus Morelia adalah ular sanca karpet (Morelia spilota), yang memiliki banyak kemiripan dengan ular sanca hijau (Bartlett dan Wagner, 1997).

Habitat dan Penyebaran

Selama proses evolusi berlangsung, margasatwa beradaptasi dengan berbagai faktor fisik, vegetasi dan margasatwa lain. Hasil adaptasi tersebut menyebabkan margasatwa menetap di suatu daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kehidupannya. Kondisi lingkungan tersebut meliputi tempat-tempat untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat berkembang biak yang secara keseluruhan disebut habitat (Alikodra, 1980).

Ular sanca hijau hidup di daerah beriklim tropis, dengan kelembaban relatif sekitar 80%, vegetasi lebat, suhu berkisar antara 22–32°C (Maxwell, 2003). Penyebarannya meliputi hutan hujan tropis, pegunungan di Papua, kepulauan Salomon dan sedikit terdapat di Australia bagian utara (Stoops dan Wright, 1993).

Secara umum pada habitat aslinya ular muda akan memakan mamalia kecil seperti tikus, reptila seperti cicak, kadal atau tokek, dan kodok. Ular dewasa akan memakan mamalia, reptilia, dan burung (O’Shea dan Halliday, 2001). Makanan yang

terbaik bagi ular di penangkaran adalah seperti keadaan yang ada di alam, seperti tikus, burung, tokek, dan kadal (Schmidt, 1995).

Karakteristik Biologis Morfologi dan Anatomi

Ular adalah binatang yang mempunyai sisik, memiliki sepasang tulang rusuk

pada setiap ruas tulang belakang, mempunyai paru-paru, telurnya bercangkang, dan berdarah dingin. Ular hanya dapat mendengar melalui tulang tengkorak, yang meneruskan getaran dari tanah. Matanya tidak pernah berkedip tertutup sisik bening mengkilat (Carr, 1980). Ular sanca hijau memiliki semua organ dalam yang umum dimiliki oleh hewan bertulang belakang, seperti jantung, lambung, hati, empedu, usus, dan memiliki dua paru-paru (Weidensaul, 2004).

Semua jenis ular memiliki organ yang membantu dalam indera penciuman yang dinamakan Organ Jacobson’s. Semua jenis partikel di udara seperti: bau, tetes air, serbuk sari dan lain sebagainya ditangkap melalui lidah. Setelah lidah

dimasukkan semua unsur yang tertangkap kemudian di transfer ke unit khusus yang terdapat di langit-langit mulut yaitu Organ Jacobson’s. Lidah ular bercabang berguna untuk mengecap secara stereo, sehingga dapat menentukan arah mangsanya dari jauh. Ular memiliki tulang rahang yang unik, bagian rahang atas dan bawah terbagi dua dan memiliki pangkal tulang rahang yang berbentuk segiempat, yang secara keseluruhan dihubungkan dengan otot elastis sehingga ular dapat menelan mangsa yang lebih besar dari kepalanya (Stafford, 1986).

Menurut Schmidt (1995) ular sanca hijau yang masih muda mempunyai warna yang lebih bervariasi mulai dari kuning terang, coklat keputihan, coklat kemerahan, dan bahkan merah (Gambar 1). Ular ini memiliki sisik yang halus terutama pada bagian kepala, pupil mata yang vertikal, dan mempunyai ujung ekor prehensile berwarna hitam dengan sedikit putih. Semua jenis ular tidak memiliki kaki tetapi dalam famili ular-ular besar (Boidae), hal tersebut masih dapat dilihat dalam bentuk cakar yang terdapat di bagian anal (Geus, 1995). Selanjutnya

dinyatakan oleh Stafford (1986), ular dari famili Boidae adalah salah satu dari sedikit famili ular yang memiliki sisa kaki yang kecil akibat proses rudimenter berupa kuku terletak di mulut kloaka, yang merupakan peninggalan dari masa lalu.

Gambar 1. Ular Sanca Hijau Muda Sesaat Setelah Menetas

Sumber: Maxwell, (2003)

Terdapat empat perbedaan ras ular sanca hijau yang telah diketahui (Gambar 2), empat ras tersebut adalah ras Pulau Biak, ras Pulau Aru, ras daratan Sorong, dan ras dataran Merauke atau Cape York, Wamena (Maxwell, 2003).

a b

Gambar 2. Empat Ras Ular Sanca Hijau a) Ras Aru, b) Ras Sorong, c) Ras

Biak, dan d) Ras Wamena

Sumber: Maxwell, (2003)

Perubahan dari fase anakan, remaja, menuju dewasa ditandai dengan adanya perubahan warna tiap individu. Tidak terdapat ketentuan di dalam proses perubahan warna pada ular sanca hijau seekor individu dapat berubah dengan cepat, bahkan dalam waktu semalam. Beberapa individu ada yang membutuhkan waktu sampai beberapa tahun untuk menyelesaikan perubahan warna dari anakan, remaja, menuju dewasa. Individu yang menetas dengan warna kuning memiliki perbedaan kelajuan dalam proses perubahan warna dibandingkan dengan individu yang menetas dengan warna gelap seperti merah, oranye, coklat atau hitam. Rata-rata ular sanca hijau muda akan memulai proses perubahan warna pada umur kira-kira enam bulan sampai satu tahun. Anakan yang lahir dengan warna kuning biasanya memulai proses

perubahan warna ditandai dengan munculnya beberapa warna hijau pada sisiknya. Beberapa sisik warna hijau kemudian akan menyebar ke seluruh bagian tubuh dan setelah beberapa lama akan menutupi hampir ke seluruh bagian tubuh. Proses perubahan ini kadang memakan waktu sangat cepat, tetapi seringkali membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (Maxwell, 2003).

Ular sanca hijau mempunyai panjang tubuh maksimal 2,0 m, dengan panjang rata-rata 1,2 m. Ular sanca hijau jantan dewasa memiliki panjang tubuh rata-rata 1,2– 1,5 m dengan bobot yang berkisar antara 900–1.200 g, sedangkan ular sanca hijau betina dewasa memiliki panjang tubuh sedikit lebih panjang daripada jantan dengan bobot yang berkisar antara 1.200–1.500 g, bahkan dapat mencapai 2.000 g (Maxwell, 2003). Ular ini mempunyai badan yang tampak padat jika dilihat dari samping, dan memiliki kepala yang tampak besar dengan leher yang semakin mengecil,

mempunyai warna dasar hijau terang, terdapat juga sedikit warna kuning atau putih kusam berupa garis yang terletak di punggung (Coborn, 1992).

Ular sanca hijau jantan dan betina dapat dibedakan dari segi fisiknya, ular jantan memiliki bentuk kepala lebih ramping, memiliki ekor lebih panjang dan ramping, memiliki kuku di bagian anal (sisa kaki) lebih besar, serta memiliki badan lebih ramping daripada ular betina, akan tetapi dengan cara melihat secara fisik belum tentu dapat diketahui jenis kelaminnya secara pasti. Penentuan jenis kelamin

ular sanca hijau dapat melalui pengamatan pada bagian alat reproduksi dengan

menggunakan sex proof (Gambar 3).

Gambar 3. Berbagai Macam Ukuran Sex Proof

sex proof adalah sebuah alat yang dipakai untuk mengetahui jenis kelamin satwa reptil (ular dan kadal) yang penggunaannya dilakukan dengan cara dimasukkan ke dalam lubang kloaka, dimana ciri jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat panjang sex proof yang masuk ke dalam lubang kloaka. Individu jantan mempunyai ukuran sex proof lebih panjang dibandingkan dengan betina. Panjangnya ukuran sex proof individu jantan disebabkan oleh adanya organ hemipenis dengan saluran kloaka yang lebih panjang (Gow, 1989).

Tabel 1. Data Morfologi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Kriteria (satuan) Keterangan

Panjang untuk dewasa

Jantan (m) 1,3-1,5 Betina (m) 1,5-2,0 Panjang lahir (cm) ± 30,0 Bobot dewasa Jantan (g) 900-1.200 Betina (g) Bobot lahir (g) 1.800-2.000 ± 9,0

Sumber: Maxwell, (2003) dan Schmidt, (1995)

Reproduksi

Menurut Goin dan Goin (1978) daerah tropis dengan kondisi suhu cukup stabil dan curah hujan cukup tinggi mempengaruhi reproduksi reptil, sehingga potensi induk berkembang biak sepanjang tahun stabil. Waktu alami ular sanca hijau bertelur di habitat aslinya berkisar dari bulan Mei hingga Agustus (Schmidt, 1995).

Di daerah tropis dimana periode hibernasi tidak ada, menjadikan dewasa kelamin lebih cepat dicapai karena pertumbuhan tidak terputus (Goin dan Goin, 1978). Ular sanca hijau di kandang penangkaran mencapai dewasa kelamin pada umur tiga tahun dan memiliki bobot badan paling tidak 1.000 g dimana pada umur ini ular betina sudah dapat bertelur untuk yang pertama kalinya, sedangkan untuk jantan membutuhkan waktu 18 bulan (Maxwell, 2003).

Pada umumnya Reptilia adalah ovipar yaitu bertelur dan menetas diluar tubuh induk (Goin dan Goin, 1971). Menurut Gow (1989) ular sanca hijau adalah salah satu spesies ular ovipar. Selama pengeraman terbentuk gigi telur di bagian moncong bayi ular yang berguna dalam mempercepat proses penetasan. Selanjutnya dikatakan setelah bagian kepala bayi ular keluar dari cangkang telur, gigi telur ini akan tanggal. Secara alami induk ular sanca hijau di habitat aslinya membuat sarang dari dedaunan kering, kemudian meletakkan telurnya di dasar hutan maupun lubang-lubang kayu pada tempat yang cukup lembab dan cukup panas sehingga proses penetasan dapat berlangsung dengan baik. Telur yang dikeluarkan akan diikat oleh lendir sehingga telur tidak terpisah satu persatu. Bentuk telur umumnya agak bundar atau oval dengan kulit telur yang tidak mudah retak atau elastis (Gambar 4).

Gambar 4. Telur Ular Sanca Hijau

Sumber: Maxwell, (2003)

Setelah ular sanca hijau bertelur segera telur-telur tersebut dikumpulkan dengan cara menggerakkan ekor dan tubuhnya. Selanjutnya telur-telur ditutup dengan material di sekitarnya sehingga membentuk piramid yang dilingkarinya (Gambar 5). Tubuh melingkar membentuk spiral dan kepala menutupi bagian atas. Selama pengeraman tubuh induk mengalami peningkatan suhu tubuh di atas suhu lingkungan. Peningkatan suhu ini disebabkan oleh kontraksi otot-otot secara spasmodik yang dilakukan selama pengeraman (Gow, 1989).

Gambar 5. Ular Sanca Hijau Sedang Mengeram

Sumber: Maxwell, (2003)

Goin dan Goin (1971) menjelaskan bahwa panas dibutuhkan bagi pertumbuhan embrio. Pada Aves dan Mamalia endotermik, embrio memerlukan panas konstan yang berasal dari tubuh induknya. Akibatnya periode embriotik selalu konstan untuk setiap spesies. Pada Reptilia yang bersifat ektotermik penetasan sangat tergantung pada temperatur lingkungan yang sangat bervariasi dari tempat dan waktu. Kondisi ini menjadikan periode embriotik sangat bervariasi meskipun dari spesies yang sama.

Ular sanca hijau memiliki masa bunting antara 110-120 hari, dan bertelur selama 18–19 hari dengan jumlah telur 15–25 butir, dengan rata-rata ukuran telur

3,9x2,5 cm dan bobot rata-rata 15 g (Maxwell, 2003). Ular sanca hijau termasuk

pengeram sejati, karena menghasilkan panas yang berasal dari otot-otot yang mengejang. Dalam keadaan dierami secara alami oleh induknya telur ular sanca hijau akan menetas dalam waktu 50–62 hari, tetapi dalam inkubator dengan suhu 28-29°C membutuhkan waktu antara 50–65 hari (Schmidt, 1995).

Tabel 2. Performa Reproduksi Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Kriteria (satuan) Keterangan

Umur dewasa kelamin

Jantan (bulan) ± 18,0

Betina (bulan) 25,0-27,0

Umur dikawinkan pertama kali

Jantan (tahun) ± 2,0

Betina (tahun) ± 3,0

Waktu bunting (hari) Masa pengeraman alami (hari)

Masa inkubasi (hari) Jumlah telur (butir)

Ukuran telur (cm) Bobot telur (g) 110-120 50-62 50-65 15-25 3,9x2,5 ± 15,0

Sumber: Maxwell, (2003) dan Schmidt, (1995)

Tingkahlaku

Menurut Tinbergen (1969), perilaku hewan adalah gerak-gerik hewan, dan cenderung dianggap sebagai gerak atau perubahan gerak, termasuk dari bergerak ke tidak bergerak. Tingkahlaku ini meliputi antara lain gerak pada waktu makan, kawin, mengeluarkan bunyi, bahkan perilaku ini dapat juga berupa sikap diam.

Tingkahlaku hewan dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar dari individu yang bersangkutan. Faktor dalam antara lain hormon dan sistem syaraf, sedangkan faktor luar berupa cahaya, suhu dan kelembaban (Grier, 1984). Aktivitas ular secara

umum dapat berupa diam (istirahat), bergerak: melata, melompat atau memanjat, makan, minum, memeriksa, eliminasi, ganti kulit, kawin, dan bertelur (Taylor dan

O’Shea, 2004) .

Tingkahlaku istirahat dan bergerak (lokomotive behaviour). Menurut Coborn (1992) ular sanca hijau mempunyai tingkahlaku istirahat yang sangat unik yaitu dengan menggulung badannya pada batang pohon dengan letak kepalanya berada

tepat ditengah (Gambar 6). Menurut Taylor dan O’Shea (2004) ular memiliki empat

cara dalam bergerak; serpentine (gerakan ke samping bergelom-bang/berombak), rectilinear (gerakan seperti garis lurus), concertina (gerakan pegas), dan sidewinding

(gerakan menyamping). Kemudian diketahui bahwa ular bergerak tidak hanya dalam satu cara saja melainkan kombinasi dari empat cara tersebut tergantung kondisi.

Gambar 6. Tingkahlaku Istirahat Ular Sanca Hijau Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku makan dan minum (ingestive behaviour). Tingkahlaku makan ular sanca hijau sama seperti ular sanca yang lainnya yaitu memulai gerakan dengan membentuk posisi huruf “S” (Gambar 7), kemudian dengan cep at menerkam dan membunuh mangsanya terlebih dahulu dengan membelit hingga mangsanya sulit untuk bernapas, setelah itu dengan bergantung di cabang batang pohon menggunakan ekornya ular ini akan mencari bagian kepala dari mangsanya (jika dalam keadaan normal) dan menelan mulai dari bagian kepala untuk menghindari kesulitan dalam menelan, lalu menelannya secara utuh (Maxwell, 2003). Pada tingkahlaku minum ular sanca hijau akan menjulurkan lidahnya sebagai indera perasa secara berulang-ulang untuk mendeteksi keberadaan sumber air, kemudian setelah mengetahui adanya sumber air ular sanca hijau akan meminumnya dengan menjulurkan lidahnya secara berulang-ulang (Stafford, 1986).

Gambar 7. Ular Sanca Hijau Membentuk Posisi Huruf “S” Sebelum

Menerkam Mangsanya

Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku seksual (sexual behaviour). Pada tingkahlaku kawin awalnya pejantan akan menggosokkan dagunya disepanjang punggung tubuh betina secara berulang-ulang. Selanjutnya pejantan berusaha menyejajarkan tubuhnya di atas tubuh betina, membuat gerakan kejang dan mengkerut. Tindakan selanjutnya adalah pejantan membuat gerakan seperti gelombang dari arah ekor ke arah kepala, gerakan ini dimaksudkan merangsang betina untuk kopulasi. Pejantan akhirnya akan menggosokkan tubuh betina, mengangkat atau mendorong bagian bawah ekor betina untuk mendapatkan posisi yang cocok untuk kopulasi. Perilaku ini berulang-ulang sampai betina menjadi benar-benar responsif dan ekor mereka bergulung (Gambar 8). Apabila betina tidak siap untuk kopulasi ia akan mengibaskan ekornya kemudian melata menjauhi pejantan. Famili Boidae (Pythons dan Boas) pejantan menggunakan cloacal spurs untuk merangsang betina, pada saat kopulasi berlangsung kemudian diikuti dengan gerakan ekor yang kejang (Gow, 1989). Ular sanca hijau di penangkaran cenderung untuk melakukan perkawinan pada waktu malam, dan tidak menghiraukan manipulasi cahaya lampu (Stoops dan Wright, 1993).

Gambar 8. Tingkahlaku Kawin Ular Sanca Hijau

Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku ganti kulit dan merawat tubuh (epimiletic behaviour). Ular sanca hijau sama seperti semua ular secara periodik akan melakukan proses pergantian kulit. Bayi ular sanca hijau secara normal akan mengganti kulit untuk pertama kali pada umur sekitar sepuluh hari setelah menetas, dan akan mengganti kulit secara periodik setiap empat sampai enam minggu sekali semasa hidupnya (Maxwell, 2003). Tingkahlaku dalam mengganti kulit ular sanca hijau akan menggesekkan badannya hingga seluruh kulit yang sudah tua terlepas (Gambar 9). Sebelum proses pergantian kulit terjadi akan tampak tanda-tanda fisik yaitu berupa mata dari ular tersebut akan tampak berwarna kebiruan, dan warna pada sisik menjadi kusam. Lapisan epidermis kulit ular yang dipenuhi oleh sisik sebagian besar terdiri dari keratin, benda mati sekaligus materi infleksibel. Jadi untuk perkembangan tubuhnya seekor ular harus sering mengganti kulit (Stafford, 1986).

Gambar 9. Tingkahlaku Ganti Kulit Ular Sanca Hijau

Sumber: Maxwell, (2003)

Tingkahlaku eliminasi (eliminative behaviour). Ular sanca hijau muda akan lebih sering melakukan eliminasi karena memiliki metabolisme lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa. Ular sanca hijau seringkali eliminasi setelah proses mengganti kulit selesai. Perilaku eliminasi (defekasi dan urinasi) dari ular sanca hijau ditandai dengan melakukan gerakan menjulurkan ekornya hingga menyentuh dasar kandang kemudian dilanjutkan dengan mengeluarkan kotoran padat dan urin (Maxwell, 2003).

Penangkaran

Penangkaran merupakan kegiatan pembesaran dan pengembangbiakan satwa liar dan tumbuhan alam, dengan tetap mempertahankan galur murninya (Dephut, 1997). Dasar hukum penangkaran ular sanca hijau adalah sebagai berikut:

1) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya;

2) KEPPRES No. 43. Tahun 1978 tentang Ratifikasi Konservasi Internasional Perdagangan Flora dan Fauna Langka (CITES);

3) KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN No. 556/Ktps-II/1989 tentang Pemberian Ijin, Menangkap/Mengambil, Memiliki, Memelihara, dan Mengangkut, baik di dalam Negeri maupun ke Luar Negeri Satwa Liar,Tumbuhan Alam dan/ atau Bagian-bagiannya;

4) KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN No. 25/Ktps-II/1994 tentang Pembentukan Tim Akreditasi Penangkaran Satwa Liar dan Hasilnya; dan

5) KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PHPA No. 07/Ktps/Dj-IV/1998 tentang Penangkaran Satwa Liar dan Tumbuhan Alam.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di penangkaran CV Terraria Indonesia yang berada di Desa Gunung Sindur, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Bogor. Penelitian berlangsung mulai awal bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2005.

Materi dan Peralatan

Hewan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini ular sanca hijau (Morelia viridis) yang tersedia di penangkaran CV Terraria Indonesia, terdiri dari enam ekor ular sanca hijau dewasa (umur lebih dari 500 hari). Ular sanca hijau dikandangkan dalam enam buah kandang yang masing-masing berisi satu ekor.

Kandang

Kandang yang digunakan terbuat dari plastik berventilasi dengan ukuran 40x20x25 cm. Kandang tersebut diletakkan dalam ruangan beukuran 8x6 m.

Pakan

Ular sanca hijau diberi pakan berupa tikus (Rattus norvegicus) dewasa sebanyak satu ekor untuk sekali pemberian, dengan interval waktu pemberian satu minggu. Air minum diberikan ad libitum yang ditaruh di dasar kandang.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian antara lain: alat tulis, lampu berwarna merah, stopwatch dan kamera.

Pengumpulan Data

Tingkahlaku harian

Tingkahlaku harian diamati dengan metode ad libitum sampling. Ad libitum sampling adalah metode pencatatan semua tingkahlaku yang dilihat dan diperagakan

pada waktu pengamatan (Altman, 1973). Pengamatan tingkahlaku hewan dapat diarahkan pada siklus harian yaitu pengamatan dengan menggunakan metode ad libitum sampling dan metode pencatatan one-zero sampling. One-zero sampling ialah

teknik pencatatan untuk mengetahui intensitas tingkahlaku dalam bentuk jumlah kali suatu tingkahlaku yang dilakukan pada waktu tertentu (Altman, 1973). Pengamatan

dengan menggunakan metode ad libitum sampling dibagi kedalam empat fase pengamatan dengan interval waktu pengamatan 15 menit, yaitu hari 1 (Fase I:

06.00-12.00 WIB) dan (Fase III: 18.00-24.00 WIB), hari 2 (Fase II: 06.00-12.00-18.00 WIB) dan (Fase IV: 24.00-06.00 WIB), sehingga setiap ulangan dilakukan pengamatan selama 24 jam. Pada tahap ini digunakan metode pencatatan one-zero sampling, jika hewan melakukan perilaku tertentu pada waktu selang pengamatan, diberi nilai satu dan jika

tidak ada perilaku diberi nilai nol. Waktu yang dibutuhkan untuk mengamati satu ekor ular dua hari, untuk seluruh individu sebanyak enam ekor ular dibutuhkan waktu 12 hari, dengan dua kali ulangan dibutuhkan waktu 24 hari. Tahap berikutnya

akan ditentukan urutan dan jenis perilaku ular sanca hijau.

Peubah-peubah yang akan diamati sebagai pengamatan tingkahlaku harian, adalah sebagai berikut:

a) tingkahlaku istirahat;

b) tingkahlaku bergerak (lokomotive behaviour); c) tingkahlaku memeriksa (investigative behaviour); d) tingkahlaku makan dan minum (ingestive behaviour);

e) tingkahlaku ganti kulit dan merawat tubuh (epimiletic behaviour); dan f) tingkahlaku eliminasi (eliminative behaviour).

Tingkahlaku makan

Tingkahlaku makan diamati dengan Focal animal sampling. Focal animal sampling adalah metode pegamatan tingkahlaku dengan mengamati hewan tertentu yang menjadi fokus pengamatan dengan waktu yang sudah ditentukan dan mencatat secara rinci semua gerakan yang terjadi, biasanya digunakan untuk berbagai kategori tingkahlaku yang berbeda (Martin dan Bateson, 1993). Periode waktu focal animal sampling adalah pada waktu pemberian pakan di penangkaran, diamati pada delapan

ekor ular sanca hijau pada kandang yang berbeda. Perilaku makan dicatat sejak ular mengamati, memeriksa, menerkam, menggigit, membelit hingga mangsa ditelan.

Pencatatan meliputi deskripsi perilaku secara rinci dan waktu berlangsungnya perilaku makan.

Informasi lokasi, organisasi, dan manajemen penangkaran didapat melalui

wawancara dan pengamatan langsung.

Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai jenis aktivitas yang dilakukan, lama beraktivitas, frekuensi setiap aktivitas yang dilakukan dan ritme aktivitas. Informasi mengenai kejadian-kejadian tingkahlaku harian dan tingkahlaku makan ular sanca hijau di lokasi penangkaran meliputi peubah-peubah yang berhubungan dengan tingkahlaku.

Analisis perhitungan hasil pengolahan data mengenai tingkahlaku harian untuk mengetahui persentasi tingkahlaku dengan menggunakan persamaan

matematika (Martin dan Bateson, 1993):

=

y

x

x100%

Keterangan:

= persentasi tingkahlaku,

x

= jumlah kali kegiatan tingkahlaku yang diamati, dan

y

= jumlah kali seluruh tingkahlaku yang terjadi.

Selanjutnya data diinterpretasikan dalam bentuk persentase yakni menggambarkan proporsi pengggunaan lama waktu satwa beraktivitas dan frekuensi setiap aktivitas, tabel, dan grafik yakni menggambarkan peubah-peubah yang diukur dengan penyajian grafik yang menggambarkan intensitas tingkahlaku.

Dokumen terkait