• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka penelitian, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian dimana penulis melakukan penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisanya.

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang dilakukan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Upaya Kesejahteraan Sosial

2.1.1 Pengertian Upaya Kesejahteraan Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, upaya merupakan ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dsb). Sedangkan berupaya merupakan mencari upaya (akal); berusaha; berikhtiar. Pengertian upaya hampir bisa disamakan dengan pengertian usaha itu sendiri. Usaha adalah kegiatan dengan mengarahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan, prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu.

Kesejahteraan sosial dapat didefinisikan sebagai keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalam tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi budaya, dan lain sebagainya (Sulistiati, dalam Huda, 2009: 73).

Upaya kesejahteraan sosial adalah kegiatan yang terorganisir yang terdiri dari berbagai program, pelayanan maupun kegiatan-kegiatan untuk membantu individu ataupun kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan dan fungsi sosial penyandang cacat dilaksanakan melalui:

a. Kesamaan kesempatan

Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat diarahkan untuk mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang cacat, agar dapat berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesbilitas, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, dan kesamaan kesempatan dalam ketenagakerjaan.

b. Rehabilitasi

Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman. Rehabilitasi bagi penyandang cacat meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan dan sosial.

c. Bantuan sosial

Bantuan sosial diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Bantuan sosial diberikan dalam bentuk : materiil, finansial, fasilitas pelayanan, informasi.

d. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial

Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang cacat dapat memperoleh taraf hidup yang wajar. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diberikan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak tergantung pada bantuan orang lain. Pemeliharaan tarah kesejahteraan sosial diberikan dalam bentuk materiil, finansial, dan pelayanan. (Peraturan Pemerintah R.I 1998, 1999)

2.1.2 Ruang Lingkup Upaya Kesejahteraan Sosial

Upaya pelaksanaan kesejahteraan sosial sudah dimulai dari periode masa penjajahan hingga masa sekarang ini. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang ruang lingkup upaya kesejahteraan sosial hanya berbatas kepada kesetiakawanan sosial yang berwujud kepada tanggung jawab sosial di dalam alam penderitaan yang nampak pada usaha-usaha untuk menolong sesama anggota masyarakat yang menderita akibat penjajahan. Upaya-upaya tersebut berwujud dalam upaya perorangan ataupun organisasi yang bergerak dibidang perawatan atau pelayanan kepada para fakir miskin, yatim piatu, lanjut usia maupun penyandang cacat. Upaya-upaya kesejahteraan sosial masih bersifat kemanusian, keagamaan dan belum berdasar atas profesi pekerja sosial.(http://www.bulletinbiru.blogdrive.com/ archive/ 46.html yang diunduh pada hari rabu, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 18.30 WIB).

Pada periode awal kemerdekaan sampai pada tahun 1950, dimulailah babak baru dalam upaya kesejahteraan sosial atas dasar pekerjaan yang berdasarkan keilmuan (profesi). Permasalahan sosial yang telah timbul sesudah dan sebelum kemerdekaan menimbulkan banyak

permasalahan sosial yang lebih kompleks. Korban akibat peperangan, pengungsian, bekas romusha harus dapat ditanggulangi dengan segera dengan keterbatasan kemampuan dan daya yang ada. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan kondisi yang ada, maka titik berat usaha kesejahteraan sosial masih tetap berdasar atas sifat-sifat pelayanan sosial, perawatan dan bantuan sosial.

Pada periode tahun 1950 sampai dengan tahun 1959, upaya kesejahteraan sosial mulai melirik peran serta masyarakat itu sendiri. Dengan pendekatan kursus-kursus bimbingan sosial serta penyuluhan sosial dapat menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari masyarakat yang akhirnya meningkat untuk mau berperan serta secara terorganisir dan terencana untuk turut mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungannya. Upaya kesejahteraan sosial yang awalnya lebih banyak bersifat represif dan rehabilitatif. Maka pada periode ini, upaya kesejahteraan sosial lebih bersifat preventif serta promotif. Upaya-upaya kesejahteraan sosial tidak lagi disentralisasikan kepada Kementerian Sosial tetapi sudah dibebankan kepada daerah-daerah tingkat I di Indonesia. Desentralisasi upaya kesejahteraan sosial menuntut pekerja-pekerja sosial profesional yang lebih banyak lagi.(http://www.bulletinbiru.blogdrive.com/ archive/ 46.html yang diunduh pada hari rabu, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 18.30 WIB).

Pada periode tahun 1959 sampai dengan 1965, profesi pekerjaan sosial sebagai dasar pelaksanaan upaya kesejahteraan sosial yang berpandangan prinsip penghargaan akan martabat manusia sebagai individu dan makhluk sosial tanpa memandang ras, agama, kebangsaan, afiliasi politik, status ekonomi, pendidikan ataupun status sosial benar-benar mendapat ujian berat. Pada periode tahun 1966 sampai dengan 1969, orientasi pembangunan orde baru yang lebih

menyeluruh dan proporsional, termasuk pembangunan bidang kesejahteraan sosial di masa orde baru memiliki sifat-sifat ilmiah, kordinatif dan pembangunan. Dan arah yang ditentukan di dalam pelaksanaan pekerjaan sosial serta usaha kesejahteraan Indonesia ditetapkan yaitu:

1. Menghilangkan faktor-faktor yang menghambat kemampuan. 2. Menyediakan sumber fasilitas dan kesempatan

3. Pencegahan dan pengendalian 4. Keterlibatan dalam penelitian ilmiah

5. Keterlibatan dalam interpretasi masalah-masalah ekonomi dan politik yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial

Untuk menuangkan arah pembangunan pelaksanaan pekerjaan sosial di Indonesia tersebut pada awal orde baru prioritas programnya adalah:

1. Pembinaan lembaga sosial desa

2. Pendidikan tenaga/pekerja sosial agar memiliki profesionalisme yang mantap 3. Penelitian sosial

Pada periode sekarang ini, upaya kesejahteraan sosial yang bernilai kualitatif dan berjangka panjang dilengkapi dengan pola penanganan masalah kesejahteraan sosial serta pola pembinaan perangkat penunjang. Semenjak awal orde baru hingga dewasa ini pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial terutama yang menjadi tugas dan tanggung jawab kementerian sosial semakin berkembang dan meningkat.(www.rc-solo.depsos.go.id, yang diakses pada hari Kamis, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 20.15).

Prinsip-prinsip dasar, strategi pendekatan, metode operasional secara jelas mulai meninggalkan sifat-sifat charity, philanthropis dan residual ke arah sifat-sifat pelayanan dan rehabilitatif, pembinaan dan pengembangan kesejahteraan sosial serta peningkatan peran serta

masyarakat secara profesional dengan pendekatan yang mengefektifkan koordinasi dan keterpaduan intra sektor (lintas program) dan inter program (lintas sektoral) dengan pelaksanaan kegiatan secara komprehensif dan interdisipliner.

Sasaran garapan usaha kesejahteraan sosial tidak lagi terbatas dan mengutamakan para penyandang masalah kesejahteraan sosial, melainkan menjangkau pula kesatuan masyarakat desa/kelurahan dan kesatuan masyarakat di daerah terpencil termasuk masyarakat terasing. Posisi sasaran populasi tidak lagi dipandang dan diperlukan sebagai obyek pelayanan, melainkan lebih ditempatkan sebagai subyek yang berperan serta dalam mengatasi masalah-masalahnya sendiri dengan bantuan usaha kesejahteraan sosial untuk mengefektifkan sumber-sumber kesejahteraan sosial di lingkungannya.(www.rc-solo.depsos.go.id, yang diakses pada hari Kamis, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 20.15).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pendekatan dasar usaha kesejahteraan sosial menjadi pendekatan kemanusiaan, pendekatan kekeluargaan dan gotong royong serta pendekatan keadilan sosial dilengkapi dengan orientasi ke arah perubahan, pengembangan dan ketuntasan dengan metode persuatif motivatif, konsultatif dan partisipasi.

Pengembangan upaya-upaya kesejahteraan sosial yang mencakup bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial, peningkatan dan pengembangan kesejahteraan sosial, perlindungan sosial dan jaminan kesejahteraan sosial, peningkatan dan pengembangan peran serta masyarakat.

Upaya pengembangan tersebut secara operasional terwujud melalui kegiatan-kegiatan: 1. Sistem pelayanan dan rehabilitasi sosial di dalam panti (intitusional care services).

2. Sistem pelayanan dan rehabilitasi sosial di luar panti atau di masyarakat (community based). 3. Sistem lingkungan pondik sosial (liposisi) sistem penanganan masalah kesejahteraan sosial

4. Sistem peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat (mendekati model community development dan community organizaziton) dengan masukan input intervensi melalui pola konsentrasi.

5. Sistem perlindungan dan jaminan kesejahteraan sosial berdasarkan kekeluargaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan dalam hidup bermasyarakat.

6. Sistem peningkatan peran serta masyarakat

(http://www.bulletinbiru.blogdrive.com/archive/46.html yang diunduh pada hari rabu, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 18.30 WIB).

2.1.3 Upaya Kesejahteraan Sosial Untuk ODK 2.1.3.1. Perlindungan Hukum Terhadap ODK

Pada bagian ini akan diuraikan dan dianalisis dua hal, yaitu menyangkut peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepentingan kaum ODK, khususnya menyangkut aksesibilitas bagi mereka. Selanjutnya, akan dianalisis mengenai konsepsi hukum yang dibangun dalam peraturan perundang-undangan yang ada tersebut.Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyandang cacat khususnyayang memberikan jaminan aksesbilitas bagi mereka ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain yaitu:

A.Hukum Internasional

Dalam Deklarasi mengenai Hak-hak bagi Penyandang Cacat (The Declaration on The Rights of The Disabled Persons), yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum 3447 pada tanggal 9 Desember 1975, dinyatakan bahwa deklarasi ini merupakan tindak lanjut dari niat komunitas untuk menciptakan standar kehidupan yang tinggi, pemenuhan hak-hak tenaga kerja dan kemajuan dan pengembangan kondisi sosial ekonomi, serta memperkuat kepercayaannya

dalam Hak Asasi Manusia, kebebasan mendasar dalam prinsip-prinsip perdamaian, martabat dan nilai dari kemanusiaan individu dan keadilan sosial. Deklarasi ini membedakan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan mental. Pembahasan di sini hanya sebatas pada penyandang cacat yang oleh Deklarasi diartikan sebagai berikut:

“any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities.”

Dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh para penyandang cacat dinyatakan oleh pasal 4 yang berbunyi:

“disabled persons have the same civil and political rights as other human beings; paragraph 7 of the Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons applies to any possible limitation or suppression of those rights for mentally disabled persons.”

Dengan adanya pembedaan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan mental maka dimungkinkan pembedaan dalam hal keluasan hak-hak yang disandang oleh kedua kelompok. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh pasal 4 di atas. Atau dengan kata lain, penyandang cacat memiliki hak-hak sipil dan politik penuh sebagaimana layaknya orang-orang ‘normal’.

Mengenai hukum HAM para penyandang cacat di tingkat internasional tidak bisa dilepaskan dari pertemuan para ahli mengenai hak-hak para penyandang cacat yang diadakan oleh PBB yang bekerjasama dengan Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley dan The World Institute on Disability (Oakland, California USA) di Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley pada tanggal 8-12 Desember 1998. Dalam pertemuan tersebut dipilih Professor Andrew Byrness dari University of Hong Kong sebagai

ketua dan Dr. Marcia Rioux dari the Roeher Institute, Canada, sebagai Rapporteur; Professor Alison Dundes Renteln of University of Southern California dan Dr. Ana Maria de Frappola dari the Inter-American Uniton Child-hood, Families and Disabilities of the Organisation of American States, sebagai Sekretaris Pertemuan.

Pertemuan tersebut ditujukan bagi pengkajian dan peninjauan ulang terhadap persoalan-persoalan dan kecenderungan yang terkait dengan aplikasi praktis dari norma-norma internasional yang tertuju pada promosi HAM para penyandang cacat. Secara garis besar pertemuan menghendaki akan terciptanya sebuah upaya yang lebih serius dalam kaitannya dengan sosialisasi pemahaman dan upaya-upaya yang berupa legislasi di tingkat domestik. Kehendak ini tidak terlepas dari keinginan untuk menjadikan norma-norma yang berada di tingkat internasional dapat lebih membumi. (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2010)

Pendekatan yang digunakan oleh rezim HAM internasional terhadap hak-hak para penyandang cacat adalah sebagai berikut. Pendekatan pertama, memandang bahwa para penyandang cacat bukan sebagai bagian dari isu kesehatan dan kesejahteraan. Sehingga, harus dipahami dalam kaitannya dengan persoalan kemurahan hati dari seseorang atau hanya mendasarkan pada dorongan-dorongan moral belaka. Menurut kelompok para ahli konvensional para penyandang cacat telah dipandang sebagai ‘abnormal’, yang patut dikasihani dan dipedulikan. Bukan juga sebagai individu yang berhak penuh sebagaimana halnya individu ‘normal’ lainnya yang dapat menjalani kehidupan normal sebagai bagian dari anggota masyarakat lainnya. Sebagai konsekuensinya, para penyandang cacat sering termarjinalisir dan dikeluarkan dari masyarakat dan seringkali hak-hak dan kebebasan fundamentalnya sebagai manusia ditolak.

Evolusi pemikiran ini kemudian tercermin dari sikap komunitas internasional yang mulai berkonsentrasi pada pembentukan norma-norma yang diharapkan dapat menjamin penikmatan hak-hak dasar oleh para penyandang cacat. Pendekatan yang disebut oleh para kelompok ahli disebut sebagai:

“the move from the partonising and paternalistic approach to persons with disabilities represented by the medical model to viewing them as members of the community with equal right.”

Pendekatan inilah yang kemudian diadopsi oleh instrumen-instrumen internasional HAM. Pada era 1970-an, kepedulian masyarakat internasional terhadap HAM para penyandang cacat dimanifestasikan oleh makin banyaknya inisiatif PBB dalam kaitannya dengan konsepsi HAM para penyandang cacat yang berhubungan dengan persamaan kesempatan. Untuk merealisasikan penikmatan HAM secara penuh oleh para penyandang cacat terdapat sebuah kerangka yang disebut sebagai The United Nations Decade of Disabled Persons(1982-1993). Satu tahun sebelumnya, 1982, telah dinobatkan sebagai tahun para penyandang cacat. Sebagai pencapaian utamanya adalah dihasilkannya The World Programme of Action concerning Disabled Persons (1982), yang merupakan rencana global bersifat komprehensif yang menjadikan persamaan hak sebagai prinsip dasar bagi pencapaian para penyandang cacat dalam kaitannya dengan kehidupannya pada aspek sosial dan ekonomi.

Aturan standar tentang persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat (1993) merupakan hasil utama dari the Decade of Disabled Persons, yaitu merupakan sebuah instrument bagi pembentukan kebijakan dan sebagai basis bagi kerjasama teknis dan ekonomi. Disamping itu, masih terdapat sejumlah konvensi-konvensi umum dan rekomendasi-rekomendasi yang dapat

dikenakan pada para penyandang cacat yang telah diadopsi oleh berbagai badan-badan inter-government dan kelembagaan-kelembagaan internasional seperti ILO, UNESCO dan ECOSOC.

Pengakuan dan dimasukkannya HAM para penyandang cacat dalam dokumen-dokumen seperti theVienna Declaration and Programme of Action (1993), the Copenhagen Declaration and Programme of Action (1995), dan the Beijing Declaration and Platform for Action (1995) menunjukkan bahwa para penyandang cacat mempunyai HAM sebagaimana layaknya manusia ‘normal’. (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2010)

B. Hukum Nasional yang meliputi: 1. Amandemen II UUD 45

Dalam Pasal 28 H ayat (2), disebutkan:

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

2. UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPD. Dalam Pasal 60 disebutkan, bahwa calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat:

a. warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya;

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

j. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan

k. terdaftar sebagai pemilih. (UU Pemilihan Umum, 2003)

Persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 88 menyebutkan:

(1)Jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 orang.

(2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapatmemberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.

3. UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan jaminan bagi setiap tenaga kerja untuk memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan

penghidupan yang layak. Kesempatan yang sama diberikan kepada penyandang cacat (Pasal 5). Selanjutnya dalam Pasal 67 Ayat (1), sebagai berikut: Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

4. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Dalamketentuan Pasal 5 disebutkan:

Dalam ketentuan ayat 2 disebutkan, bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang cacat selanjutnya setelah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.”

5. UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pasal 51 Ayat (2) disebutkan:

TPS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.Akomodasi hak-hak politik para penyandang cacat dalam kedua paket Undang-undang tersebut, secara normatif sudah cukup memadai, hanya saja dalam konteks praktis implementasinya masih jauh dari realita yang diharapkan, sebab masih terjadi pengabaian hak politikpenyandang cacat dalam Pemilu, antara lain:

a) Hak untuk didaftar guna memberikan suara; b)Hak atas akses ke TPS;

c) Hak atas pemberian suara yang rahasia; d)Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif;

f) Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam Pemilu, dan lain-lain.

6. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam ketentuan Pasal 21 disebutkan, bahwa:

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. 7. UU Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung

Dalam ketentuan Pasal 27 disebutkan, bahwa:

a) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi kemudahan hubungan ke, dari , dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.

b)Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesbilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

Dalam ketentuan Pasal 31 disebutkan:

a) Penyediaan fasilitas dan aksesbilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal.

b)Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesbilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya.

c) Ketentuan mengenai penyediaan aksesbilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

8. UU Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dalam Pasal 25 ayat (1) huruf h, disebutkan bahwa:

Pembebasan Bea Masuk diberikan atas impor barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya.

9. UU Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian

Dalam Pasal 35 ayat 1 disebutkan, bahwa “penderita cacat dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan keretaapi.”

10. UU Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Dalam ketentuan Pasal 49 ayat 1 disebutkan, bahwa “Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.”

11. UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan

Dalam ketentuan Pasal 42 ayat 1 disebutkan “Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga.”

12. UU Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran

Dalam Pasal 83 ayat (1) disebutkan “Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan di perairan.”

Dokumen terkait