2.1.1 Work-Family Conflict
Work-Family Conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran
didalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban
kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya konflik
pekerjaan-keluarga (Work-Family Conflict ), dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan
dipakai untuk bekerja mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa
digunakan untuk melakukan aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003).Sedangkan
menurut Dahrendorf salah satu jenis dari konflik adalah konflik antara atau dalam
peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan - peranan dalam keluarga atau
profesi atau disebut juga dengan konflik peran ( Role Conflict ).
Frone (2003) kehadiran salah satu peran (pekerjaan) akan menyebabkan
kesulitan dalam memenuhi tuntutan peran yang lain (keluarga), dimana harapan orang
lain terhadap berbagai peran yang harus dilakukan seseorang dapat menimbulkan
konflik. Konflik terjadi apabila harapan peran mengakibatkan seseorang sulit
membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya
peran yang lain.
Jadi Work Familly Conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik
dua tekanan peran. Kehadiran salah satu peran akan menyebabkan kesulitan
dalam memenuhi tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit
membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran
yang lain.
Greenhaus dan Beutell (dalam Triaryati 2003:86) mengidentifikasikan tiga jenis Work
Family Conflict, yaitu:
1. Time Based Conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu
tuntutan keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan
tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga).
2. Strain Based Conflict. Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran
mempengaruhi kinerja peran yang lainnya.
3. Behavior-Based Conflict. Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola
perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian yaitu pekerjaan atau keluarga.
Work Family Conflic terdiri dari dua aspek yaitu Work interfering with family dan Family Interfering With Work (Frone2003; Greenhaus & Beutell, 1985). Adapun
asumsi dari Work interfering with family lebih dikarenakan akibat tuntutan waktu
yang terlalu berlebihan atau Time-based conflict dalam satu hal (contoh: saat bekerja)
akan mencegah pelaksanaan kegiatan dalam hal lain (contoh: di rumah), yang terjadi
pada akhirnya adalah ketegangan dan tekanan atau Strain-Based Conflict pada
satu hal ditumpahkan pada hal lain, seperti: pulang ke rumah dengan suasana hati
yang buruk setelah bekerja, atau contoh lainnya misal individu sebagai orangtua akan
tinggal di rumah menjaga anaknya yang sakit. Sementara Family Interfering With
Work lebih kepada pola perilaku yang berhubungan dengan kedua peran atau bagian (pekerjaan atau keluarga) Behavior-based conflict (Frone, 2003).
Work interfering with family dan Family Interfering With Work dapat dilihat dari tiga hal yaitu, tanggung jawab dan harapan, tuntutan psikologis, serta kebijakan
dan kegiatan organisasi (misalnya dukungan sosial). Greenhaus & Beutell (1985)
Work-Family Conflict yang terjadi akan menimbulkan konsekuensi yang negative. Contohnya, konflik antara pekejaan dengan keluarga dapat meningkatkan tingkat
absensi, meningkatkan turnover, menurunkan performance, dan menurunkan kesehat
an individu tersebut baik secara psikologis maupun kesehatan fisik.
2.1.2 Absensi ( ketidakhadiran )
Absensi adalah ketidakhadiran (Kamus Bahasa Indonesia :2008). Absensi
pegawai adalah ketidakhadiran seseorang pegawai ke tempat kerja baik
ketidakhadiran penuh (1 hari kerja ) maupun ketidakhadiran setengah hari kerja,
termasuk keterlambatan minimal dua jam keterlambatan serta izin karena urusan
keluarga. Absensi juga merupakan salah satu dampak dari ketidakpuasan pegawai
terhadap kebijakan organisasi (Conlon & Stone 1992 ).
Kehadiran seseorang ke tempat kerjanya dipengaruhi oleh Tiga hal Steers &
Rhodes (dalam Triaryati 2003:87) :
1.Situasi Kerja yang terdiri dari; lingkup pekerjaan (Job Scope ),tingkat pekerjaan(job
kepemimpinan (leader style), hubungan dengan pekerja lainnya (co-worker relation),
dan kesempatan untuk pengembangan (opportunity for advancement).
2. Kepuasan terhadap situasi pekerjaannya.
3. Motivasi untuk hadir yang timbul dari kepuasan terhadap situasi kerja.
Dari ketiga pengaruh utama tersebut ada beberapa hal lagi yang memiliki
pengaruh tidak langsung terhadap kehadiran karyawan ke tempat kerjanya. Seperti
yang dapat dilihat pada Gambar 1,1 pada halaman 14 Pengaruh situasi kerja
kepada kepuasan tehadap situasi kerja dipengaruhi atau dimoderasi oleh nilai-nilai
karyawan dan harapan tentang pekerjaannya. Nilai dan harapan ini berasal dari
karakteristik seseorang seperti; pendidikan, masa jabatan, usia, jenis kelamin, dan
ukuran keluarga. Kemudian motivasi karyawan untuk hadir ke tempat
kerjanya selain dipengaruhi oleh kepuasan terhadap situasi kerja, dipengaruhi juga
oleh tekanan untuk hadir di tempat kerjanya seperti : kondisi ekonomi, sistem
reward dan insentif perusahaan, norma kelompok kerja, etika pekerjaan seseorang, dan komitmen organisasi. Terakhir, kehadiran karyawan yang
dipengaruhi oleh motivasi karyawan untuk hadir, dimoderasi oleh kemampuan
seseorang untuk hadir ke tempat kerjanya yang dipengaruhi oleh : kemungkinan sakit
dan kecelakaan, tanggungjawab keluarga, dan masalah transportasi.
Selain itu ada beberapa hal yang juga dapat mempengaruhi tingkat kehadiran
karyawan ke tempat kerjanya. Martocchio (1992) menyatakan bahwa sesuai dengan
theory of reasoned action, perilaku absen seseorang dikonseptualisasikan sebagai suatu tingkatan yang berurutan dimana Absence attitude dan subjective norm
mengenai absen mempengaruhi dan dapat memperkirakan keputusan seorang untuk
hadir atau tidak ke tempat kerjanya. Absence attitude dipengaruhi oleh personal
characteristic seseorang. Menurut Blau (1995), norma sosial untuk absen ke tempat kerja dipengaruhi oleh tiga reference group, Pertama dan kedua berasal dari dalam
organisasi yaitu rekan sekerja dalam kelompok kerja individu yang utama dan
Model kehadiran Karyawan
Job situation
Gambar 2.1 Model kehadiran karyawan
Sumber : Mobley ( Dalam Nyoman Triaryati 2003:89)
Personel characteristics: Educations Tenure Age Sex Family size Ability To Attend Illness & Accident Family Responsibility Transportasion Problem
Employes value & job expectation
Job scope Role stress Work group size Leader style Co-worker relations Opportunity for Satisfactio n with job situasion Attendance motivation Employee attendance Preasure to attend Economic narket condition Incentive reward system
Work group norm Personal work ethic Organizational commitment
Dalam hubungannya dengan masalah Work Family Conflict, berikut
dijelaskan salah satu bagian dari job situasion yaitu role stress yang bisa disebabkan
oleh Work-Family Conflict dan dipengaruhi oleh jenis kelamin (sex), yang
kemudian mempengaruhi job satisfaction dan motivasi untuk hadir ke tempat
kerja. Pemilihan salah satu bagian ini juga sesuai dengan tiga dari empat prediktor
absen yang dikemukakan oleh Stell & Rentsch (1995) yaitu: job satisfaction,
job envolvement, personal demographic variable (seperti : gender, umur, dan tingkat pendidikan), stress kerja seperti: konflik peran, dan turnover atau
underutilized skill.
2.2 Penelitian Terdahulu
Triaryati (2003) Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work Family Issue
Terhadap Absen dan Turnover. Hasil penelitian menunjukkan kesimpulannya bahwa
ketidakmampuan perusahaan untuk mengadaptasi kebijakan yang diperlukan oleh
karyawannya, dalam halini Work Family Conflict dapat mengakibatkan stress dan
ketidakpuasan, yang kemudian berpengaruh pada keputusan ketidakhadiran karyawan
dan dalam waktu tertentu dapat meningkatkan turnover karyawan atau
melatarbelakangi keputuasan berhenti bekerja bagi karyawan. Turnover
mengakibatkan beberapa kerugian bagi perusahaan, seperti biaya yang harus
training agar mendapatkan karyawan yang memiliki kualitas yang sama dengan yang keluar dari perusahaan.
Nurul Mahvira Harahap (2010) Hubungan Work-Family Conflict Dengan
Komitmen Organisasi Pada Perempuan Menikah Yang Bekerja. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara Work Family Conflict terhadap
Komitmen Organisasi dengan nilai korelasi (rxy) sebesar -0,870 dengan nilai p =
0.000, yang berarti semakin tinggi Work Family Conflict semakin rendah
Komitmen Organisasi pada perempuan menikah yang bekerja. Sebaliknya semakin
rendah Work-Family Conflict semakin tinggi Komitmen Organisasi pada perempuan
menikah yang bekerja.
2.3 Kerangka Konseptual
Work-Family Conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran
didalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban
kerja yang berat merupakan potensi akan terjadinya konflik pekerjaan-keluarga
(WFC), dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja
mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan untuk melakukan
aktivitas-aktivitas keluarga (Frone, 2003). Konflik antara tanggungjawab pekerjaan
absensi, menurunkan motivasi karyawan dan dalam jangka waktu tertentu dapat
mengakibatkan turnover pegawai (Abbot at all 1998).
Sedangkan menurut Conlon & STONE (1992) Absen adalah ketidakhadiran
seseorang ke tempat kerja nya yang bisa diakibatkan oleh ketidakpuasan pegawai
terhadap kebijakan organisasi, situasi kerja serta motivasi untuk hadir ke tempat kerja
(Conlon & Stone 1992 ).
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan, maka model kerangka konseptual
dari penelitian ini adalah :
Kerangka Konseptual
Gambar 2.2
Sumber : (Abbot at all 1998)
2.4 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual di atas, maka
peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut. “Work Family Conflict berpengarauh
terhadap Absensi Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kota Medan”. Work family conflict
(X)
Absensi pegawai ( Y )
BAB III
METODE PENELITIAN