• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah

Besarnya usaha peternakan sapi perah tergantung pada luas lahan yang tersedia dan daerah dimana peternakan tersebut didirikan. Pendapatan suatu usaha peternakan akan berubah dengan reorganisasi usaha peternakan tersebut dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan peternak. Fakor-faktor produksi yang dapat diatur untuk reorganisasi usaha peternakan sapi perah ialah : 1). Jumlah sapi yang diperah, 2). Luas lahan yang ditanami hijauan pakan ternak, 3). Kandang, 4). Peralatan, dan 5). Tenaga kerja (Sudono, 2002). Dibandingkan dengan usaha peternakan hewan lainnya, beberapa keuntungan usaha peternakan sapi perah adalah peternakan sapi perah merupakan usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori, memiliki jaminan pendapatan yang tetap, tenaga kerja yang tetap, pakan yang relatif mudah dan murah, kesuburan tanah dapat dipertahankan, menghasilkan pedet yang bisa dijual jika jantan atau menghasilkan susu jika betina (Sudono et al., 2003)

Bangsa/Rumpun Sapi. Telah umum diketahui bahwa tiap-tiap bangsa sapi mempunyai sifat-sifat sendiri dalam menghasilkan susu yang berbeda dalam jumlah yang dihasilkan, kadar lemak susu dan warna susu. Dilihat dari sudut jumlah susu yang dihasilkan, bangsa sapi Fries Holland (FH) adalah yang tertinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya baik di daerah sub-tropis maupun di daerah tropis (Sudono,1999).

Menurut Sudono (1999), Sapi FH di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau disingkat Holstein, sedangkan di Europa disebut Friesian. Bobot badan sapi betina dewasa yang ideal adalah 682 kg, sedangkan yang jantan dewasa bobotnya 1.000 kg. Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi, dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, dengan kadar lemak susu yang rendah. Produksi susu rata-rata di Amerika Serikat 7.245 kg/laktasi dan kadar lemak 3,65 %, sedangkan di Indonesia produksi susu rata-rata per hari 10 liter/ekor.

Kepemilikan Ternak Sapi Perah. Usahaternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80%), 4-7 ekor

(17%) dan lebih dari tujuh ekor (3%). Hal itu menujukkan bahwa produksi susu nasional sekitar 64 persen disumbangkan oleh usahaternak sapi perah skala kecil, sisanya 28 persen dan 8 persen diproduksi oleh usahaternak sapi perah skala menengah dan usahaternak sapi perah skala besar (Swastika et al., 2005).

Effendi (2002), dalam penelitiannya mengatakan bahwa secara umum peternak di Kecamatan Cisarua memiliki sapi perah sekitar 7,57 Satuan Ternak(ST)/peternak. Pemilikan sapi terbanyak terdapat di kelompok Baru Sireum, yaitu 11,39 ST/peternak, sedangkan pemilikan sapi perah terkecil berada pada kelompok Tirta Kencana, yaitu 4,66 ST/peternak.

Bibit. Bibit sapi perah yang dipelihara sangat menentukan keberhasilan usaha sapi perah. Pemeliharaan bibit hendaknya dipersiapkan dengan memperhatikan genetik atau keturunan, bentuk ambing, eksterior atau penampilan, dan umur bibit. Umur bibit sapi perah betina yang ideal adalah 1,5 tahun dengan bobot badan sekitar 300 kg. Sementara itu umur pejantan 2 tahun dengan bobot badan sekitar 350 kg (Sudono et al., 2003)

Menurut penelitian Suherni (2006), upaya peningkatan produksi susu selain ditentukan oleh pakan yang diberikan, juga ditentukan oleh kondisi bibit yang tersedia. Umumnya sapi perah yang dipelihara di Kelurahan Kebon Pedes yaitu sapi perah peranakan FH. Peternak dapat bibit dari sesama peternak/pasar ternak di wilayah Bogor maupun daerah Jakarta. Peternak melakukan Inseminasi Buatan (IB) dalam rangka perbaikan dan perbanyakan bibit. Angka yang menunjukkan keberhasilan IB tersebut sudah memadai dengan rata-rata Service per Conception (S/C) = 1,81 yang artinya betina dewasa sudah dapat beruntung dengan 2 kali IB.

Hariyaman (2002) dalam penelitiannya mengatakan bahwa salah satu upaya dalam memperbaiki mutu genetik ternak, disarankan agar pejantan yang dipakai dalam program IB memiliki nilai genetik yang benar-benar teruji. Pejantan yang diuji memiliki keturunan anak betina yang banyak dan tersebar pada beberapa peternakan untuk meningkatkan keakuratan dalam penelitian.

Perkandangan. Perkandangan merupakan syarat penting bagi pemeliharaan ternak. Kandang sapi perah yang baik adalah yang sesuai dan memenuhi persyaratan

kebutuhan dan kesehatan sapi perah. Jika dilihat dari peruntukannya, kandang sapi perah dapat dibagi menjadi 5 jenis kandang, yakni kandang pedet (0-4 bulan), kandang sapi lepas sapih (4-8 bulan), kandang sapi dara (8 bulan-2 tahun), kandang sapi dewasa (lebih dari 2 tahun dan masa laktasi), dan kandang sapi yang akan beranak (Sudono et al., 2003).

Menurut Agustina (2007), kandang merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam peternakan sapi perah, hal ini menyangkut pada pengawasan dan kesehatan ternak. Peternakan CV Cisarua Integrated Farming (CIF) membedakan konstruksi kandang menurut kegunaan dan tingkatan umur sapi yang dipelihara. Sistem kandang yang digunakan adalah sistem kandang ganda Tie Stall yang terdiri atas 6 unit kandang sapi dewasa dan 1 unit kandang sapi dara. Kandang pedet dibuat secara terpisah yaitu sistem Free Stall (kandang bebas) dengan menggunakan alas dari serbuk gergaji atau sekam.

Berbeda dengan penelitian Rofik (2005), semua peternak di Pondok Rangon karena terbatasnya lahan yang tersedia membangun kandang berdekatan dengan rumah. Sistem pekandangan yang digunakan adalah Head To Head untuk memudahkan pemberian pakan. Kandang yang digunakan untuk sapi perah oleh peternak berbentuk kandang permanen yang beratap genteng/asbes dan berlantai semen. Setiap ternak memiliki tempat makan dan minum sendiri-sendiri.

Tipe lahan dimana peternakan akan didirikan merupakan hal yang penting dan harus diselidiki tingkat kesuburannya. Pada dasarnya lahan yang baik dapat ditingkatkan kesuburannya, tetapi lahan yang kurus tidak dapat atau sulit ditingkatkan kesuburannya. Disamping itu tipologi iklim (curah hujan dan temperatur) perlu diperhatikan. Hal penting yang tidak dapat diabaikan adalah tersedianya air bersih dalam jumlah yang banyak, karena peternakan sapi perah selalu membutuhkan air untuk minum, pembersihan kandang dan kamar susu. Setiap liter susu yang dihasilkan sapi membutuhkan air minum sebanyak 3,5-4 liter (Sudono, 1999).

Menurut Suherni (2006), lahan merupakan kendala dalam pengembangan usahatenak sapi perah di Kelurahan Kebon Pedes, karena untuk meningkatkan populasi ternak berarti harus menambah kebutuhan lahan untuk kandang, sedangkan

lahan di Kelurahan Kebon Pedes sebagian besar (63 %) sudah digunakan untuk pemukiman. Sehingga ketersediaan lahan untuk kandang sangat terbatas sekali.

Perkawinan. Pengaturan perkawinan merupakan faktor yang sangat penting dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah, juga merupakan salah satu faktor untuk mengetahui apakah betina induk dapat beranak setiap tahun. Jumlah sapi yang bunting sebaiknya tidak kurang dari 60 persen dari jumlah sapi dewasa, agar produksi susu dapat dipertahankan sepanjang waktu. Perkawinan sapi perah dapat dilakukan dengan dua cara, yakni kawin alam dan kawin suntik (Inseminasi Buatan (IB)) (Sudono et al., 2003).

Menurut penelitian Khoiriyah (2002), secara umum pengelolaan reproduksi di Koperasi Unit Desa (KUD) Jatinom, Klaten Jawa Tengah sudah cukup baik. Seleksi dilakukan untuk memperoleh produksi susu dan pedet yang baik. Perkawinan ternak 91,18 persen dengan IB. Rata-rata umur sapi beranak pertama adalah 2,6 tahun, jarak beranak (Calving Interval) 13,6 bulan, dan service per conception 2.

Pakan. Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya peternakan sapi perah yaitu pemberian pakan. Sapi perah yang produksinya tinggi, bila tidak mendapat pakan yang cukup baik kuantitas maupun kualitasnya tidak akan menghasilkan susu yang sesuai dengan kemampuannya. Cara pemberian pakan yang salah dapat mengakibatkan penurunan produksi, gangguan kesehatan bahkan dapat juga menyebabkan kematian (Sudono, 1999). Secara umum, pakan sapi perah adalah rumput dan konsentrat sebagai pakan penguat. Pemberian pakan harus sesuai dengan bobot badan sapi, kadar lemak susu, dan produksi susunya, terutama bagi sapi-sapi yang telah bereproduksi (Sudono et al., 2003). Menurut Sutardi (1981), untuk memperoleh ransum yang murah dengan koefisien cerna yang tinggi digunakan pakan hijauan sebanyak-banyaknya 50% dari bahan kering dan sisanya 50% berasal dari konsentrat.

Menurut penelitian Kadarini (2005), perbandingan pemberian pakan jumlah BK hijauan dan BK konsentrat yang dilakukan oleh peternak adalah sebesar 65:35. Selain itu pemberian konsentrat oleh peternak di KUD Cipanas dibandingkan jumlah produksi susu yang dihasilkan belum optimal. Hal ini dikarenakan jumlah pemberian

konsentrat lebih besar dari 50 persen jumlah produksi susu. Selain itu kebiasaan peternak yang tidak pernah memperhitungkan secara tepat kebutuhan pakan untuk ternaknya. Berdasarkan penelitian Hidayat (2001) di Kecamatan Cipogo Kabupaten Boyolali menunjukkan bahwa rata-rata pakan hijauan yang diberikan peternak adalah 62 Kg per hari atau 2,71 Kg/ST/hari, ampas tahu sebesar 1 Kg/peternak/hari atau 0,3 Kg/ ST/hari.

Tenaga Kerja. Penggunaan ketenagakerjaan di bidang pertanian dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Skala usaha akan mempengaruhi besar kecilnya berapa tenaga kerja yang dibutuhkan dan juga menentukan macam tenaga kerja yang bagaimana yang diperlukan (Soekartawi, 2002). Usaha peternakan sapi perah modern harus mempunyai tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman, karena itu diperlukan fasilitas perumahan untuk dapat menarik tenaga tersebut dan bekerja dengan baik di perusahaan peternakan (Sudono, 1999).

Menurut penelitian Ratna (2000), rata-rata produktivitas teknis tenaga kerja di Kecamatan Sukaraja sebesar 4,31 ST/HKP, artinya setiap satu HKP tenaga kerja mampu menangani 4,31 ST/Hari. Perbandingan produktivitas teknis antara tenaga kerja keluarga dan luar keluarga yaitu 4,32 ST/HKP : 4,29 ST/HKP. Rata-rata produktivitas teknis dan ekonomis tenaga kerja pada usahaternak sapi perah di Kecamatan Sukarajadisajikan pada Tabel 1.

Rataan produktivitas ekonomis tenaga kerja Rp 9.441,46/HKP berarti sumbangan tenaga kerja pada usaha ternak sapi perah sebesar Rp 9.441,46 setiap harinya. Tingkat produktivitas ekonomis tenaga kerja ini lebih tinggi nilainya dari UMR Sukabumi tahun 1999.

Tabel 1. Produktivitas Teknis dan Ekonomis Tenaga Kerja pada Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Sukaraja

Tenaga Kerja Produktivitas

Keluarga Luar Keluarga Rata-rata Teknis (ST/HKP) 4,32 4,29 4,31 Ekonomis (Rp/HKP) 8.510,60 10.372,32 9.441,46 Sumber : Ratna (2000)

Pencegahan Penyakit Ternak. Program kesehatan pada peternakan sapi perah hendaknya dijalankan secara teratur, terutama di daerah-daerah yang sering

terjangkiti penyakit menular, misalnya Tuberkulosis (TBC), Brucellosis, Penyakit Mulut dan Kuku, Radang Limpa dan lain-lain. Di daerah-daerah dimana sering terjadi penyakit-penyakit, hendaklah dilakukan vaksinasi secara teratur terhadap penyakit (Sudono, 1999). Pemeliharaan yang tidak baik bisa menyebabkan kematian anak sapi, terutama yang baru berumur 2-3 minggu. Beberapa peternakan yang baik manajemennya dapat menekan kematian anak sapi sampai serendah-rendahnya satu persen, sedangkan peternakan yang tidak baik, angka kematiannya bisa mencapai 20- 25 persen (Sudono et al., 2003).

Beberapa penyakit tidak menyebabkan kematian pada anak sapi. Namun, anak sapi yang lemah dan kurus sangat peka terhadap penyakit dan mudah terserang penyakit lainnya. Umumnya penyakit-penyakit pada anak sapi disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau karena tata laksana pemberian pakan yang buruk (Sudono et al., 2003).

Menurut penelitian Agustina (2007), pencegahan penyakit yang dilakukan CV CIF adalah dengan memandikan sapi 3 x 1 hari dan membersihkan kandang sapi agar tetap bersih dan terhindar dari bakteri. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan kesehatan ternak sapi perah di peternakan CIF setiap hari. Supervisor dalam menangani kesehatan ternak merangkap sebagai pengawas kandang. Sapi yang sakit ditangani dengan cepat, tetapi jika tidak dapat ditangani, sapi tersebut dijual dengan persetujuan manajer dan direktur. Penyakit yang banyak menyerang CV CIF adalah diare dan mastitis. Beberapa feed aditif yang tersedia adalah vitamin, antibiotik, dan hormon.

Produksi Susu. Menurut Sudono (1999), bahwa sapi yang telah dikawinkan dan bunting akan menghasilkan susu yang lebih sedikit daripada sapi setelah melahirkan sampai dia dikawinkan kembali. Pada masa produksi, peternak harus melakukan manajemen secara optimal, sehingga hasil yang diperoleh optimal pula.

Menurut penelitian Kadarini (2005), puncak produksi susu sapi perah peternak di KUD Cipanas terjadi pada bulan ketiga setelah beranak kemudian turun secara bertahap. Pada bulan keempat produksi susu mengalami penurunan yang sangat jelas dari 10 liter/ekor/hari menjadi 9,38 liter/ekor/hari. Hal ini kemungkinan disebabkan sapi pada usia ini mulai bunting kembali. Pada bulan kesembilan rataan

produksi susu kembali meningkat, disebabkan pada populasi yang diamati terdapat dua ekor sapi yang berusia 6 tahun dan 1 ekor berusia 5 tahun.

Sapi-sapi yang beranak pada umur yang lebih tua (3 tahun) akan menghasilkan susu yang lebih banyak daripada sapi-sapi yang beranak pada umur muda (2 tahun). Produksi susu akan terus meningkat dengan bertambahnya umur sapi sampai sapi itu berumur 7 tahun atau 8 tahun, yang kemudian setelah umur tersebut produksi susu akan menurun sedikit demi sedikit sampai sapi berumur 11-12 tahun. Hal ini disebabkan kondisi telah menurun sehingga aktivitas kelenjar ambing sudah berkurang dan senilitas (Sudono, 2002). Menurut Sudono (1999), meningkatnya hasil susu tiap laktasi dari umur 2 sampai 7 tahun disebabkan bertambahnya besar sapi karena pertumbuhan dan jumlah tenunan dalam ambing juga bertambah.

Menurut penelitian Kadarini (2005), puncak produksi susu sapi perah peternak di KUD Cipanas terjadi pada umur 7 tahun. Pada saat sapi berumur 3,5 tahun terjadi kenaikan produksi susu. Peternak di KUD Cipanas cenderung untuk memelihara sapi yang produksinya masih tinggi, meskipun umurnya sudah tua.

Frekuensi Pemerahan. Menurut Sudono (2002), pengaturan jadwal pemerahan yang baik memberi kesempatan bagi pembentukan air susu di dalam ambing secara berkesinambungan, tidak ada saat berhenti untuk mensintesa air susu, sehingga produksinya menjadi maksimal. Bila sapi diperah dua kali sehari dengan selang waktu yang sama antara pemerahan itu, maka sedikit sekali terjadi perubahan kualitas susu. Bila sapi diperah 4 kali sehari, kadar lemak akan tinggi pada besok paginya pada pemerahan yang pertama. Makin sering sapi itu diperah, produksi susu akan naik seperti yang ditunjukkan oleh penelitian dari Sudono (2002) :

Tabel 2. Umur Sapi, Pemerahan, dan Persentase Susu yang Dihasilkan

Umur sapi Pemerahan 3 kali/hari Pemerahan 4 kali/hari

2 tahun + 20 % + 35 %

3 tahun + 17 % + 30 %

4 tahun + 15 % + 26 %

Sumber : Sudono, 2002

Pemasaran Hasil. Peternak harus mencari tempat dimana pengangkutan/transport mudah atau mudah menyalurkan susu yang dihasilkan secara ekonomis dan cepat

karena susu mudah busuk, sehingga peternak akan mendapatkan keuntungan yang baik dari penjualan susu. Peternak harus dapat menyalurkan susu ke penjual (dealer) di kota, atau secara teratur membayar pada tingkat harga yang tinggi dan mempunyai reputasi menjual hasil yang berkualitas tinggi (Sudono, 1999).

Menurut penelitian Suherni (2006), harga jual produk output merupakan imbalan/ balas jasa dari penggunaan faktor-faktor produksi. Harga jual susu yang berkisar antara Rp 2.000 - Rp 4.000/ liter di Kebon Pedes merupakan suatu peluang besar bagi pengembangan usahaternak sapi perah di daerah tesebut. Tingginya harga jual susu dikarenakan penjualan susu dilakukan melalui loper dan konsumen langsung.

Penerimaan dan Biaya

Kadarsan (1995), penerimaan adalah semua hasil agribisnis yang dipakai untuk konsumsi keluarga pun harus dihitung dan dimasukkan sebagai penerimaan perusahaan, walaupun akhirnya dipakai pemilik perusahaan secara pribadi. Tujuan pencatatan penerimaan adalah untuk memperlihatkan sejelas mungkin seberapa besar penerimaan kotor dari penjualan hasil operasional dan penerimaan lainnya.

Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomis yang diperlukan, yang tidak dapat dihindarkan, dapat diperkirakan, dan dapat diukur untuk menghasilkan sesuatu produk. Biaya bagi perusahan adalah nilai faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output (Boediono, 2002). Ada dua macam biaya dalam usaha tani, yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja luar keluarga, biaya untuk pembelian input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan, dan bawon panen. Biaya ini dalam usaha peternakan meliputi biaya pengembalaan, biaya pembelian pakan, biaya pembersihan kandang, dan jenis upah kegiatan lainnya (Daniel, 2004)

Pengeluaran adalah semua uang yang dikeluarkan perusahaan sebagai biaya produksi, baik itu biaya tetap maupun biaya variabel atau biaya-biaya lainnya. Pendapatan bersih atau kerugian bersih dari suatu perusahaan, guna keperluan menganalisis keuangan, bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu pendapatan atau kerugian bersih operasional, pendapatan atau kerugian bersih tunai, dan pendapatan atau kerugian bersih perusahaan (Kadarsan, 1995). Menurut Makeham dan Malcolm

(1990) biaya total produksi adalah biaya tetap total ditambah biaya variabel total. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani (Net Farm Income).

Menurut penelitian Khoiriyah (2002), biaya tetap pada Koperasi Unit Desa Jatinom Klaten, Jawa Tengah meliputi biaya pembuatan dan perawatan kandang, pembelian milk can dan peralatan serta biaya listrik. Sedangkan biaya tidak tetap meliputi biaya pembelian sapi, pakan, obat-obatan, perkawinan, pemeliharaan pedet dan biaya air. Penerimaan yang didapat oleh KUD Jatinom berasal dari penjualan susu, penjualan pedet, Salvage value sapi afkir, penjualan pupuk kandang dan karung bekas pakan.

Analisis Kelayakan Finansial

Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek dilaksanakan dengan berhasil. Proyek investasi umumnya memerlukan dana yang cukup besar dan mempengaruhi perusahaan dalam jangka panjang, karenanya diperlukan studi agar jangan sampai setelah menginvestasikan dana yang sangat besar, ternyata proyek tersebut tidak menguntungkan (Husnan, dan Suwarsono, 2000). Analisis kelayakan usaha yang dimaksud untuk mengetahui kelayakan investasi yang telah kita tanamkan dengan membandingkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh. Kriteria analisis kelayakan yang digunakan yaitu Net Present Value (NPV), Benefit-Cost Ratio (BCR), Internal Rate Of Return (IRR), dan Analisis Sensitivitas (Husnan dan Suwarsono, 2000) .

Hasil penelitian Rofik (2005) pada usaha sapi perah Pondok Rangon Jakarta Timur menunjukkan bahwa analisis pada kelompok I dengan tingkat suku bunga pinjaman 14,85% memiliki nilai NPV sebesar Rp 74.420.770,00, NPV untuk kelompok II sebesar Rp. 152.071.340,00, NPV untuk kelompok III sebesar Rp 311.022.350,00. Nilai tersebut merupakan pendapatan bersih yang diterima peternak selama 8 tahun pengembangan. BCR untuk kelompok I sebesar 1,35 artinya peternak akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 0,35,- dari setiap pengeluaran Rp 1,00, untuk kelompok II sebesar 1,43 artinya peternak akan mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 0,43,- dari setiap pengeluaran Rp 1,00, sedangakan untuk kelompok III sebesar 1,52 artinya peternak akan mendapatkan tambahan

penerimaan sebesar Rp 0,52,00 dari setiap pengeluaran Rp 1,00. Semua nilai tersebut menunjukkan bahwa perbandingan penerimaan yang diterima peternak lebih besar dari biaya yang dikeluarkannya. Nilai IRR pada kelompok I sebesar 23,32%, pada kelompok II sebesar 36,07%, dan pada kelompok III sebesar 29,88% artinya investasi yang ditanamkan layak dan menguntungkan karena tingkat pengembalian internalnya lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku. Secara keseluruhan berdasarkan nilai-nilai pada kriteria investasi tersebut secara finansial usaha ternak Sapi Perah Pondok Rangon layak untuk dikembangkan.

Tabel 3. Hasil Perhitungan Kelayakan Finansial Sapi Perah Pondok Rangon

Uraian Kriteria Investasi

NPV (Rp) BCR IRR (%) Kel. I 74.420.770 1,35 23,32 Kel. II 152.071.340 1,43 36,07 Kel. III 311.022.350 1,52 29,88 Sumber : Rofik (2005) Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali suatu analisis proyek. Analisis ini dapat melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah. Oleh karena itu disimulasikan dengan penurunan harga jual maupun peningkatan biaya produksi. Analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui sampai titik berapa peningkatan maupun penurunan suatu komponen yang dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak ataupun sebaliknya (Kadarsan, 1995).

Menurut Kadariah (1999), analisis sensitivitas dikerjakan dengan merubah suatu unsur atau dengan mengkombinasikan beberapa unsur, kemudian menentukan pengaruh dari analisis yang dilakukan pada hasil analisis finansial. Tujuan analisis sensitivitas adalah untuk melihat perubahan yang akan terjadi pada hasil analisis, jika terjadi perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya dan manfaat.

Menurut penelitian Agustina (2007) Hasil analisa sensitivitas tanpa pembiayaan dengan bunga 12%, peningkatan harga pakan 5% perusahaan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 120.155.660,70. Nilai BCR sebesar 1,10

artinya setiap penambahan pengeluaran Rp1,00 maka akan mengahasilkan manfaat sebesar Rp 0,10. IRR sebesar 14,36% artinya pada tingkat suku bunga tersebut NPV perusahaan akan 0 atau BCR=1. PbP sebesar 15,74 artinya dengan investasi sebesar Rp. 2.038.961,52 akan kembali selama 15,74 tahun.

Tabel 4. Hasil Analisa Sensitivitas Perencanaan Pengembangan Perusahaan Peternakan CV. Cisarua Integrated Farming Tanpa Pembiayaan dan dengan Pembiayaan

Peningkatan Harga Pakan 5%

i = 12 % i = 16 % NPV(Rp) 120.155.660,70 -9.102.885,00 BCR 1,10 0,99 IRR (%) 14,36 15,68 PbP 15,74 22,5 Sumber : Agustina (2007)

Hasil analisa sensitivitas dengan pembiayaan dengan bunga 16%, peningkatan harga pakan 5%, secara finansial tidak layak untuk dikembangkan karena NPV sebesar -Rp. 9.102.885,00. Nilai BCR sebesar Rp. 1,00 artinya setiap penambahan pengeluaran Rp1,00 maka tidak akan menghasilkan manfaat, malah merugi sebesar Rp 0,01. IRR sebesar 15,68% artinya berada di bawah tingkat suku bunga yang digunakan. PbP sebesar 22,5 artinya dengan investasi sebesar Rp. 2.038.961,52 akan kembali selama 22,50 tahun.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa hasil uji analisis sensitivitas proyek terhadap perubahan harga pakan sebesar 5 persen menunjukkan bahwa proyek masih layak untuk dilaksanakan hanya pada tingkat suku bunga 12 persen tanpa pembiayaan, sedangkan hasil analisis sensitivitas yang terjadi pada tingkat suku bunga kredit 16 persen dengan adanya perubahan harga pakan 5 persen perusahaan mengalami kerugian sehingga perusahaan harus mengantisipasi jika terjadi peningkatan harga pakan.

MEODE PENELITIAN

Dokumen terkait