• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1, dinyatakan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata. Kemudian di dalam Undang-undang tersebut dijelaskan pula bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Pariwisata menurut Yoeti (1985) merupakan suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan hidup guna bertamasya dan rekreasi atau memenuhi keinginan yang beraneka ragam.

Institute of Tourism Britain menyatakan bahwa pariwisata adalah kepergian orang-orang sementara dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar tempat tinggal dan bekerja sehari-hari dengan berbagai kegiatan selama seharian atau lebih. Kegiatan wisata erat kaitannya dengan pengunjung. Pengunjung sendiri adalah orang-orang yang datang ke suatu kawasan rekreasi dengan maksud dan tujuan tertentu (Muntasib, 2007).

2.2. Rekreasi

Lieber (1983) mendefinisikan rekreasi sebagai suatu bentuk penyegaran mental dan jasmani melalui aktivitas yang dikehendaki. Sedangkan menurut

Cooper (1993) dalam Vanhove (2005), rekreasi dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dilakukan pada waktu luang, dan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk bersenang-senang tetapi tidak harus dengan melakukan perjalanan. Rekreasi juga diartikan segala kegiatan yang dilakukan dalam waktu luang untuk kembali ke kreatif dan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia saat ini (Muntasib, 2007). Menurut Smith (1989) dalam Pangemanan (1993), ciri-ciri umum dari rekreasi adalah :

1. Aktifitas rekreasi tidak mempunyai bentuk dan macam tertentu. Semua kegiatan manusia dapat dijadikan aktifitas rekreasi asalkan dilakukan dalam waktu senggang dengan tujuan dan maksud-maksud positif dari rekreasi. 2. Rekreasi bersifat luwes, ini berarti bahwa rekreasi tidak dapat dibatasi oleh

tempat, dapat dilakukan dimana saja sesuai dengan bentuk rekreasi yang dilakukan.

3. Rekreasi dapat dilakukan oleh perorangan maupun oleh sekelompok orang. 4. Rekreasi bersifat universal, tidak terbatas oleh umur, jenis kelamin, dan

kedudukan sosial.

Secara umum Clawson dan Knetsch (1975) membedakan rekreasi ke dalam dua golongan, yaitu rekreasi pada tempat tertutup (indoor recreation) dan rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation). Rekreasi alam merupakan rekreasi yang dilakukan di alam terbuka dan memerlukan sumberdaya untuk memperoleh kepuasan rohani dengan modifikasi tapak seminimal mungkin.

Rekreasi alam adalah salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang berdasarkan atas prinsip kelestarian alam. Melalui rekreasi alam dengan berbagai bentuknya seperti jalan kaki, berkemah, berburu, memancing, menikmati

pemandangan yang indah dan lain-lain, setiap individu dapat mengembangkan kemampuannya. Rekreasi alam atau wisata alam merupakan salah satu bagian dari kebutuhan hidup manusia yang khas.

2.3. Permintaan Rekreasi Alam

Menurut Nicholson (1995), permintaan merupakan hubungan antara harga barang tertentu dengan jumlah yang diminta konsumen. Permintaan merupakan sejumlah barang atau jasa yang ingin dibeli oleh individu dan mampu untuk dibeli dengan harga tertentu dan waktu tertentu (Muntasib, 2007). Sedangkan permintaan masyarakat terhadap jasa–jasa lingkungan seperti tempat rekreasi alam juga sama dengan permintaan barang dan jasa. Permintaan rekreasi adalah banyaknya kesempatan rekreasi yang diinginkan oleh masyarakat atau gambaran keseluruhan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rekreasi secara umum yang dapat diharapkan, bila fasilitas-fasilitas yang tersedia cukup memadai dan dapat memenuhi keinginan masyarakat (Douglas, 1970).

Permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga barang atau jasa lingkungan tersebut, selera konsumen, harga barang lain yang memiliki daya guna yang sama dan pendapatan (Vanhove, 2005). Apabila faktor yang mempengaruhi ini tetap sedangkan harga barang dan jasa naik, maka jumlah permintaan barang dan jasa lingkungan ini akan menurun, dan sebaliknya jika harga turun maka permintaan barang dan jasa akan naik. Begitu dengan permintaan terhadap jasa lingkungan wisata alam semakin dekat tempat tinggal seseorang maka akan semakin kecil biaya yang di keluarkan untuk dapat menikmati jasa lingkungan tersebut, tetapi sebaliknya jika tempat tinggal seseorang jauh dari lokasi wisata alam tersebut maka akan semakin

besar biaya yang dikeluarkan untuk dapat menikmati jasa lingkungan wisata alam tersebut.

Permintaan wisata dapat dibagi menjadi :

1. Effective (Actual) Demand, yaitu jumlah orang yang melakukan kegiatan wisata sebagai jumlah orang yang melakukan perjalanan atau kunjungan. 2. Suppressed (Potential) Demand, yaitu suatu populasi orang yang tidak dapat

melakukan perjalanan karena suatu keadaan tertentu (kurangnya daya beli atau purchasing power atau keterbatasan waktu liburan).

Knetsch dan Driver (1974) dalam Darusman (1991) mengemukakan bahwa permintaan rekreasi akan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kemajuan teknologi. Perubahan kebutuhan rekreasi yang terjadi adalah sebagai akibat dari perubahan pola hidup, kenaikan standar hidup, penambahan waktu luang sebagai akibat efisiensi kerja, serta kemajuan transportasi, yang semuanya itu berubah sejalan dengan berkembangnya teknologi.

Lieber (1983) juga menyatakan bahwa terdapat lima unsur permintaan terhadap rekreasi alam terbuka, yaitu :

1. Mudah dimanfaatkan (dirasakan manfaatnya).

2. Kegiatan yang ada sesuai dengan gambaran yang diinginkan oleh pemakai. 3. Keadaan harus memungkinkan pengidentifikasian gambaran tersebut. 4. Terdapat kesempatan untuk mendemonstrasikan.

Apabila unsur-unsur tersebut dapat dipenuhi pada suatu kegiatan rekreasi maka kegiatan tersebut akan dapat menjadi populer, sehingga permintaan masyarakat dapat diukur.

2.4. Penawaran Rekreasi Alam

Penawaran adalah kuantitas dari barang-barang ekonomi yang ditawarkan dengan semua harga yang mungkin dapat dicapai pada waktu tertentu (Nicholson, 1995). Penawaran rekreasi dalam kepariwisataan meliputi seluruh daerah tujuan yang ditawarkan kepada wisatawan. Penawaran rekreasi terdiri dari unsur-unsur daya tarik alam seperti iklim, flora dan fauna, hutan belukar dan sebagainya, dan hasil ciptaan manusia seperti monumen, rumah ibadah, dan sebagainya yang dapat mendorong orang untuk mengunjunginya.

Douglas (1970), mengemukakan bahwa unsur-unsur penawaran rekreasi yang terdiri dari ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) dapat mempengaruhi rekreasi di alam terbuka. Penawaran pariwisata ditandai oleh tiga ciri khas utama, yaitu :

1. Merupakan penawaran jasa-jasa. Dengan demikian, apa yang ditawarkan tidak mungkin ditimbun dan harus dimanfaatkan di tempat produk tersebut berada.

2. Penawaran bersifat kaku (rigrid), artinya dalam usaha pengadaan untuk keperluan wisata akan sulit sekali untuk mengubah sasaran penggunaannya di luar pariwisata.

3. Pariwisata belum menjadi kebutuhan pokok manusia sehingga penawaran pariwisata harus bersaing ketat dengan penawaran barang dan jasa lain.

Dalam hal ini, hukum substitusi (the law of the substitution) akan sangat berpengaruh.

2.5. Pendekatan Penilaian Manfaat Rekreasi

Manfaat fungsi ekologis sering tidak terkuantifikasi dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (Cost-Benefit Analysis atau CBA) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan tersebut karena konsep CBA yang konvensional sering tidak memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Hal tersebut pada akhirnya menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-market (Fauzi, 2004).

Secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willingness To Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility Model.

Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survey di mana WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup populer dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method, dan Discrete Choice Method. Pada umumnya, nilai ekonomi manfaat rekreasi dihitung dengan menggunakan Contingent Valution Method, Hedonic Pricing dan Travel Cost Method.

Sumber : Fauzi (2004)

Gambar 1. Klasifikasi Valuasi Non-Market

2.5.1. Contingent Valution Method

Metode valuasi kontigensi adalah suatu metode survey untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti barang lingkungan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan dalam menilai keuntungan dari penyediaan barang lingkungan dan juga mampu menentukan pilihan estimasi pada kondisi yang tidak menentu.

Prinsip yang mendasari metode ini adalah bahwa bagi orang yang memiliki preferensi tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan mentransformasi preferensi ke dalam bentuk nilai moneter atau uang. Asumsi selanjutnya bahwa orang tersebut akan bertindak seperti yang dikatakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Asumsi tersebut menjadi dasar metode ini untuk menanyakan berapa jumlah

Valuasi Non-Market Tidak Langsung (Revealed WTP) Langsung (Survei) (Expressed WTP)  Hedonic Pricing  Travel Cost  Random Utility Model  Contingent Valuation  Random Utility Model  Contingent Choice

tambahan uang yang ingin dibayar oleh seseorang atau rumah tangga (willingness to pay) untuk memperoleh peningkatan kualitas lingkungan. Pertanyaan tersebut digunakan untuk menentukan suatu pasar hipotesis terhadap perubahan lingkungan yang diinginkan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotetik harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik barang yang ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotetik yang dipergunakan untuk pembayaran.

Pendekatan CVM dilakukan dengan cara menentukan kesediaan membayar (willingness to pay) dari konsumen. Pendekatan ini dapat diterapkan pada keadaan yang dapat menimbulkan kesenangan (estetic) seperti pemandangan alam, kebudayaan, historis dan karakteristik lain yang unik serta situasi yang data harganya tidak ada. Penilaian kontigensi atau teknik survey dilakukan untuk menemukan nilai hipotensi konsumen atau rekreasi (Hufschmidt et al, 1987). Metode ini lebih fleksibel dan diakui bersifat judgment value, sebab pertanyaan diperoleh dari pertanyaan hipotesis. Namun, dalam pelaksanaannya CVM mempunyai kelemahan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya. Kelemahan utamanya adalah munculnya bias. Bias terjadi jika terdapat nilai yang kurang dari nilai yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat ataupun nilai yang melebihi dari nilai yang sebenarnya diinginkan. Sumber-sumber bias menurut Fauzi (2004) ditimbulkan oleh dua hal yang utama yaitu :

1. Bias yang timbul karena strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika kita melakukan wawancara dan dalam kuesioner kita nyatakan bahwa responden

akan dipungut biaya untuk perbaikan lingkungan, sehingga timbul kecenderungan responden untuk memberi nilai kurang dari yang sebenarnya. Sebaliknya, jika kita nyatakan bahwa wawancara semata-mata hanya hipotesis belaka, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai yang lebih dari sebenarnya.

2. Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian. Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, karcis masuk harus dinaikkan. Hal tersebut tentu saja akan memberikan nilai willingness to pay yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain (misalnya melalui yayasan, trust fund, dan sebagainya).

2.5.2. Hedonic Pricing

Lingkup penerapan Hedonic Pricing relatif terbatas, misalnya keuntungan adanya fasilitas rekreasi atau kesenangan yang diperoleh penghuni lokasi tertentu karena peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya. Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa. Metode ini didasarkan pada gagasan bahwa barang pasar menyediakan pembeli dengan sejumlah jasa, yang beberapa diantaranya bisa merupakan kualitas lingkungan. Misalnya pembangunan rumah dengan kualitas udara segar disekitarnya, pembelinya akan menerima sebagai pelengkap, mereka mau membayar lebih untuk rumah yang berada diarea dengan kualitas lingkungan yang baik, dibandingkan dengan rumah yang sama pada

tempat lain yang kualitas lingkungannya buruk. Hubungan antara nilai properti dengan kualitas lingkungan adalah sebagai berikut :

Sumber : Fauzi (2004)

Gambar 2. Hubungan antara Nilai Properti dan Kualitas Lingkungan

Dari gambar di atas, maka dapat dikatakan bahwa semakin buruk kualitas lingkungan seperti adanya pencemaran maka nilai properti, dalam hal ini adalah rumah, akan semakin menurun. Situasi sebaliknya yaitu jika semakin baik kualitas lingkungan maka nilai properti akan semakin mahal.

2.5.3. Travel Cost Method

Travel Cost Method (TCM) dikembangkan untuk menilai kegunaan dari barang non-market, daerah yang letak geografisnya khusus dan lokasi yang dipergunakan untuk rekreasi. Misalnya, alam yang seringkali digunakan untuk rekreasi (kebun raya, hutan, pantai, danau, dll). Alam secara khusus tidak memegang harga dalam pasar sehingga kita harus menemukan alternatif yang dimaksudkan untuk memperkirakan nilainya (Pierce et al, 2006).

Menurut Hufschmidt et al (1987), pendekatan biaya perjalanan merupakan suatu cara menilai barang yang tidak memiliki harga. Di negara maju, pendekatan ini telah dipakai secara meluas untuk mendapatkan kurva permintaan barang– barang rekreasi. Rekreasi di luar (outdoor recreation) merupakan contoh yang

Kualitas lingkungan membaik Pencemaran

Kualitas lingkungan Nilai properti

biasa digunakan bagi barang-barang yang tidak memiliki harga. Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mengunjungi tempat rekreasi. Dengan mengetahui pola pengeluaran dari konsumen ini, dapat dikaji berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumber daya alam dan lingkungan.

Pendekatan biaya perjalanan berhubungan dengan tempat khusus dan mengukur nilai dari tempat tertentu dan bukan rekreasi pada umumnya (Hufschmidt et al, 1987). Secara umum terdapat dua teknik yang digunakan dalam menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu Zonal Travel Cost Method (ZTCM) dan Individual Travel Cost Method (ITCM). ZTCM merupakan pendekatan yang relatif mudah dan murah. Pendekatan ini bertujuan untuk mengukur nilai dari jasa rekreasi dari sebuah tempat secara keseluruhan. ZTCM diaplikasikan dengan mengumpulkan informasi dari jumlah kunjungan ke tempat rekreasi dari berbagai daerah atau zona. Dalam hal ini, biaya perjalanan dan waktu akan meningkat seiring dengan meningkatnya jarak, maka informasi yang didapat memungkinkan peneliti untuk memperhitungkan jumlah kunjungan di berbagai harga. Informasi tersebut digunakan untuk membangun fungsi permintaan dan mengestimasi surplus konsumen, atau keuntungan ekonomi untuk jasa rekreasi dari sebuah tempat.

Peralihan metode biaya perjalanan dari ZTCM menjadi ITCM dalam menurunkan nilai surplus konsumen disebabkan beberapa hal, pertama sering analisa yang dilakukan didasarkan pada willingness to pay individual. Hal yang kedua adalah karena pengamatan sering kali teramat kecil dibandingkan dengan keseluruhan zona, ketiga sering ditemui situasi dimana sejumlah individu

melakukan perjalanan dari daerah asal yang umum dan selanjutnya terdispersi dalam kelompok-kelompok kecil menuju lokasi wisata sekitarnya. Sebab lain yaitu karena individu tidak semata-mata ingin menikmati pariwisata saja tetapi mungkin kombinasi dari melihat-lihat, berburu, dan sebagainya. Metodologi ITCM secara prinsip sama dengan ZTCM (Mehmet dan Turker, 2006) namun ITCM menggunakan data dari survei setiap pengunjung dalam analisis statistik bukan data dari masing-masing zona. Sehingga metode ini memerlukan data yang lebih banyak dan analisis lebih rumit, tetapi akan memberikan hasil yang lebih tepat.

2.6. Taman Hutan Raya

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Ditjen PHKA - Departemen Kehutanan, 2008). Adapun kriteria penunjukkan dan penetapan sebagai kawasan Tahura :

1. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah.

2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam.

3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.

Kawasan Tahura dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.

Suatu kawasan taman wisata alam dikelola berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaan Tahura sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Sesuai dengan fungsinya, Tahura dapat dimanfaatkan untuk :

1. Penelitian dan pengembangan (kegiatan penelitian meliputi penelitian dasar dan penelitian untuk menunjang pengelolaan kawasan tersebut).

2. Ilmu pengetahuan dan pendidikan 3. Kegiatan penunjang budidaya. 4. Pariwisata alam dan rekreasi. 5. Pelestarian budaya.

Prestasi sebuah Tahura sebenarnya dapat dilihat pada kemampuannya menampung sebanyak mungkin spesies tumbuhan yang mewakili bioregionnya, atau lebih bagus lagi jika dibatasi pada biolocalnya. Tetapi dalam kondisi praktis tertentu, terkadang sebuah Tahura hanya memperhitungkan kepadatan dan kerimbunan hutannya, bukan keragaman jenis penyusun hutannya. Tahura sebenarnya adalah sebuah etalase bagi wilayahnya, yaitu pada ketika seseorang memasuki hutan raya tersebut, langsung dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kondisi, keragaman, keunikan, dan berbagai hal lainnya yang terkait dengan keadaan flora dan fauna setempat.

Sampai dengan tahun 2008, di Indonesia telah ditetapkan Tahura pada 21 lokasi, dengan luas total 343.454,41 ha. Adapun Tahura yang telah ditetapkan di Indonesia tersebut tersaji dalam Tabel 1 :

Tabel 1. Daftar Taman Hutan Raya di Indonesia

Nama Luas (ha) Lokasi

Taman Hutan Raya Cut Nyak Dien Taman Hutan Raya Bukit Barisan

Taman Hutan Raya Dr. Mohammad Hatta Taman Hutan Raya Sultan Sarif Hasyim Taman Hutan Raya Raja Leo

Taman Hutan Raya Thahasaifudin Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda

Taman Hutan Raya Pancoran Mas Depok Taman Hutan Raya Ngargoyoso

Taman Hutan Raya Gunung Bunder Taman Hutan Raya R. Suryo Taman Hutan Raya Ngurah Rai Taman Hutan Raya Nuraksa

Taman Hutan Raya Prof. Ir. Herman Yohanes Taman Hutan Raya Sultan Adam

Taman Hutan Raya Bukit Soeharto Taman Hutan Raya Palu

Taman Hutan Raya Paboya-Paneki Taman Hutan Raya Murhum Taman Hutan Raya Bontobahari

6.220 51.600 500 5.920 1.122 15.830 22.244 590 6 231,3 617 25.000 1.373,5 3.155 1.900 112.000 61.850 8.100 7.128 8.146 3.475

Propinsi Daerah Istimewa Aceh Propinsi Sumatera Utara Propinsi Sumatera Barat Propinsi Riau

Propinsi Bengkulu Propinsi Jambi Propinsi Lampung Propinsi Jawa Barat Propinsi Jawa Barat Propinsi Jawa Tengah Propinsi DI Yogyakarta Propinsi Jawa Timur Propinsi Bali

Propinsi Nusa Tenggara Barat Propinsi Nusa Tenggara Timur Propinsi Kalimantan Selatan Propinsi Kalimantan Timur Propinsi Sulawesi Tengah Propinsi Sulawesi Tengah Propinsi Sulawesi Tenggara Propinsi Sulawesi Selatan

Sumber : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2008

2.7. Penelitian Terdahulu

Studi mengenai pengukuran manfaat sumberdaya alam dan lingkungan dalam bentuk nilai moneter telah banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur manfaat yang diterima oleh seseorang yang melakukan kegiatan rekreasi. Pada umumnya metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode biaya perjalanan. Terdapat perbedaan pendekatan yang dipakai dalam penerapan metode tersebut diantaranya pendekatan zonal dan pendekatan individual. Beberapa penelitian yang menggunakan metode zonal diantaranya telah dilakukan oleh Djijono (2002) dan Jalil (2006). Sedangkan penelitian yang menggunakan pendekatan individu dilakukan oleh Adrianto (2003), Nurdini (2004) dan Sari (2007).

Djijono (2002) melakukan penelitian di salah satu Tahura di Indonesia yaitu Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman yang berlokasi di Propinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan biaya perjalanan dengan teknik pendekatan zonasi dengan alat analisis regresi, zona dibagi berdasarkan daerah kecamatan tempat tinggal pengunjung. Dari penelitian tersebut didapatkan surplus konsumen sebesar Rp 9.275,2137 per 1000 penduduk. Berdasarkan analisis yang dilakukan diketahui bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap permintaan atau tingkat kunjungan adalah biaya perjalanan, jumlah penduduk dan waktu kerja.

Adrianto (2003) melakukan penelitian terhadap permintaan dan surplus konsumen di Taman Bunga Nusantara. Dari hasil analisis diperoleh nilai surplus konsumen tahunan sebesar Rp 11.040.439.050,00 per tahun. Sedangkan nilai manfaat lokasi sebesar Rp 12.486.469.050,00. Biaya perjalanan bagi individu ke lokasi wisata tidak menjadi masalah karena adanya keinginan mereka untuk mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah mereka kunjungi.

Penelitian dengan pendekatan individual yang dilakukan oleh Nurdini (2004) di Hutan Mangrove Muara Angke. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permintaan rekreasi dan surplus konsumen. Dari penelitian yang dilakukan diketahui nilai dari surplus konsumen tahunan total responden sebesar Rp 52.623,00 per kunjungan sedangkan rata-rata nilai surplus konsumen setiap individu adalah Rp 900,00 per kunjungan. Variabel tingkat pendapatan kategori pendapatan rendah, jumlah tanggungan, waktu luang, pengetahuan pengunjung dan frekuensi kunjungan berpengaruh nyata dan negatif.

Penelitian yang dilakukan Jalil (2006) yang menilai manfaat ekonomi pada Taman Wisata Alam Grojogan Sewu (TWAGS) menunjukkan bahwa tingkat

kunjungan rekreasi di TWAGS dipengaruhi oleh biaya perjalanan secara nyata dan negatif. Nilai manfaat rekreasi yang didapatkan adalah sebesar Rp 2.904.032.238,00.

Sari (2007) melakukan penelitian mengenai permintaan dan nilai ekonomi dari obyek wisata Air Panas Gunung Salak Endah. Dalam penelitian tersebut, nilai surplus konsumen total dari responden yang mampu mensubstitusikan waktu dengan pendapatan lebih besar dibandingkan dengan nilai surplus konsumen dari responden yang tidak mampu mensubstitusikan waktu dengan pendapatan. Surplus konsumen total pertahun yang dijumlahkan dengan pendapatan total dari

Dokumen terkait