• Tidak ada hasil yang ditemukan

polialkohol) merupakan pemanis alami yang terdapat pada sayuran dan buah-buahan seperti wortel, kembang kol, selada, bawang, bayam, pisang, stroberi, raspberry, plum kuning, dan apel. Xilitol dapat diaplikasikan di bidang kesehatan dan industri bahan makanan. Xilitol mempunyai harga tinggi yaitu 5-7$ US per pon, namun ketersediaannya dalam perdagangan masih rendah. Produksi xilitol secara komersial dilakukan melalui proses hidrogenasi xilosa (C5H10O5) pada suhu dan tekanan yang tinggi

(suhu 80-40oC, tekanan 50 atmosfer) dengan bantuan katalis, tetapi produksi xilitol tetap sedikit pada akhir reaksi. Produksi xilitol secara fermentasi memberikan harapan lebih ekonomis dibanding secara kimiawi (hidrogenasi) yang memerlukan sirup xilosa murni (Yulianto dkk. 2000). Bioproduksi xilitol dapat dilakukan dari hidrolisat hemiselulosa yang berasal dari residu pertanian (Carvalho et al. 2002). Oleh karena itu, produksi xilitol menggunakan bioteknologi merupakan jalan alternatif untuk mengurangi biaya produksi.

Bioproduksi xilitol dapat dilakukan dengan cara fermentasi, terutama fermentasi menggunakan Candida sp. Penelitian ini akan menggunakan Candida tropicalis dan Candida guilliermondii yang merupakan salah satu penghasil xilitol terbaik (Barbosa et al. 1988; Silva et al. 2007). Produksi xilitol oleh khamir dikatalis oleh enzim xilosa reduktase yang mengkonversi xilosa menjadi xilitol yang selanjutnya diubah lagi oleh enzim xilitol dehidrogenase menjadi xilulosa dan dipakai dalam jalur pentosa fosfat. Meskipun demikian, produksi xilitol menggunakan khamir ini mempunyai kekurangan yaitu xilitol yang dihasilkan oleh khamir digunakan untuk pertumbuhan sel yang menyebabkan rendahnya produksi xilitol (Sanchez et al. 2004; Silva & Felipe 2006). Dalam proses produksi xilitol, media fermentasi yang

digunakan harus mengandung unsur karbon, nitrogen, dan mineral yang penting dalam pertumbuhan sel. Penambahan nutrien ke dalam media bertujuan untuk memenuhi kebutuhan unsur mikro dari pertumbuhan sel sehingga dapat meningkatkan produksi xilitol. Bahan baku xilitol adalah xilosa atau hemiselulosa, tetapi kedua bahan tersebut akan menghasilkan residu berupa senyawa toksik berupa hidroksi metil furfural (HMF) yang akan menghambat pertumbuhan mikrob dan aktifitas fermentasi dari Candida guilliermondii (Carvalho et al. 2002; Rao et al. 2006).

Ada beberapa metode yang bisa dilakukan untuk mengurangi residu senyawa beracun antara lain adaptasi, pertukaran ion resin, adsorpsi menggunakan arang aktif, dan amobilisasi sel. Penelitian ini menggunakan teknik amobilisasi sel untuk memproduksi xilitol. Keunggulan dari amobilisasi sel adalah penggunaan kembali biokatalis yang sama pada jangka waktu yang lama, memfasilitasi pemisahan biokatalis dari fase cair dengan produk yang diinginkan sehingga hasil fermentasi lebih murni (Carvalho et al. 2000).

Penelitian bertujuan mengoptimasi produksi xilitol pada hidrolisat ampas tebu sebagai substrat utama dalam media fermentasi dengan amobilisasi sel dan penambahan nutrien pada media fermentasi. Hipotesis dari penelitian ini adalah hidrolisat ampas tebu mengandung xilosa yang dapat dimanfaatkan untuk produksi xilitol dengan menggunakan teknik amobilisasi sel dan penambahan nutrien dapat meningkatkan produksi xilitol. Manfaat dari penelitian ini adalah produksi xilitol dapat dilakukan secara ekonomis dengan memanfaatkan limbah ampas tebu dan meningkatkan nilai ekonomis limbah ampas tebu.

TINJAUAN PUSTAKA

Xilitol

Xilitol (C5H12O5) merupakan polialkohol

yang mempunyai beberapa manfaat dalam bidang farmasi, produk perawatan kesehatan, dan industri makanan. Gula ini dapat dimanfaatkan sebagai gula pengganti dan makanan penderita diabetes, senyawa yang sangat mudah diterima pada pasien pasca operasi bedah yang mempunyai kesulitan dalam metabolisme gula karena xilitol mempunyai tingkat kemanisan yang setara dengan sukrosa namun nilai kalorinya 40% persen lebih rendah dari kelompok karbohidrat lainnya. Xilitol merupakan gula

2

berkarbon 5 yang tidak dapat difermentasi oleh bakteri Streptococcus mutans penyebab kerusakan gigi sehingga xilitol ini bersifat nonkariogenik yang aman untuk kesehatan gigi (Uhari et al. 1996; Sampaio et al. 2003). Xilitol merupakan komponen penting dalam industri yang menghasilkan produk berupa pembersih mulut yang higienis, permen karet, permen, dan produk kesehatan gigi, seperti pasta gigi.

Xilitol dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu ekstraksi langsung, proses hidrogenasi xilosa, dan proses bioteknologi (Gambar 2). Metode ekstraksi langsung dilakukan pada sumber yang mengandung xilitol seperti buah dan sayuran, tetapi kandungan xilitol pada buah-buahan dan sayuran rendah yaitu kurang dari 1% sehingga tidak praktis dan ekonomis untuk memproduksi xilitol (Vandeska et al. 1996; Sampaio et al. 2003). Proses hidrogenasi xilosa yang dilakukan pada suhu dan tekanan yang tinggi (suhu 80-140oC, tekanan 50 atm) dengan bantuan katalis memerlukan biaya yang cukup tinggi karena diperlukan energi yang tinggi dan bahan baku utama seperti xilosa murni yang memiliki harga beli yang tinggi, serta xilitol yang dihasilkan pun masih memerlukan proses pemurnian yang ekstensif untuk memenuhi standar pemakaian pada industri makanan dan obat-obatan yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi (Rao et al. 2006). Metode yang ketiga adalah pendekatan melalui proses bioteknologi secara fermentasi dengan memanfaatkan mikrob sebagai alternatif yang diharapkan lebih ekonomis.

Gambar 1 Struktur kimia xilitol.

Gambar 2 Hidrolisis dan hidrogenasi xilosa menjadi xilitol

Produksi Xilitol oleh Khamir

Beberapa jenis khamir dapat mengkonversi xilosa menjadi D-xilulosa melalui reaksi redoks yang melibatkan dua rangkaian reaksi. Enzim yang mengkatalis reaksi pertama yaitu xilosa reduktase (XR) bekerja dengan menggunakan NADPH atau NADH untuk mengkonversi xilosa menjadi senyawa antara xilitol. Reaksi selanjutnya xilitol ditransformasi menjadi D-xilulosa oleh xilitol dehidrogenase (XDH) dengan menggunakan NAD+ atau NADP+ (Hahn- Hägerdal et al. 1996).

Dalam kondisi anaerobik atau oksigen yang terbatas, khamir yang mempunyai aktivitas enzim XR yang terkait dengan NADH dan NADPH (contohnya Pichia stipitis) dapat meregenerasi NAD+ yang terkonsumsi pada tahap kedua dari metabolisme xilosa. Pada kasus ini, hasil produk yang dihasilkan sebagian besar berupa etanol dan tidak terdapat akumulasi xilitol karena adanya keseimbangan redoks antara kofaktor XR dan XDH. Sedangkan khamir yang mengkonsumsi xilosa dengan akitivitas enzim XR yang hanya bergantung pada NADPH (contohnya C. guilliermondii) dapat mengakumulasi xilitol (Gambar 3). Pada reaksi tahap kedua, xilitol dioksidasi oleh enzim XDH dengan menggunakan NAD+ (Vandeska et al. 1996).

Mikrob yang melakukan biokonversi xilosa menjadi xilitol adalah khamir, bakteri, serta fungi. Mikroorganisme terbaik dalam memproduksi xilitol adalah khamir terutama dari genus Candida (C. guilliermondii, Candida tropicalis, Candida pelliculosu, Candida parapsilosis), dan spesies lainnya yaitu Debaryomyces hansenii, Saccharomyces sp., dan Penicillium sp. (Vandeska et al. 1995; Carvalho et al. 2000; Sampaio et al. 2003). Beberapa jenis Candida (Gambar 4) digolongkan sebagai khamir yang patogen, termasuk Candida tropicalis dan Candida albicans ( Hurley 1979).

Menurut Gong et al. 1981, dari 10 jenis khamir, ditemukan bahwa Candida tropicalis adalah penghasil xilitol terbaik yang berasal dari xilosa. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Barbosa et al. (1988), dari 44 golongan khamir yang berperan dalam biokonversi xilosa menjadi xilitol, diantaranya adalah Candida guilliermondii dan Candida tropicalis sebagai penghasil xilitol terbaik. Menurut Yahashi et al. (1996), Candida tropicalis ini dapat memproduksi xilitol sebanyak 84.5 g/L dengan konsentrasi substrat xilosa 150 g/L.

Gambar 3 Metabolisme xilosa oleh Candida guilliermondii (Barbosa et al. 1988). a b c d e

Gambar 4 Candida albicans (a), Candida tropicalis(b), C. elongisporus (c), C. guilliermondii (d), dan C. lusitaniae (e).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Xilitol

Xilitol yang diproduksi melalui metabolisme khamir dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pH, suhu, aerasi, konsentrasi substrat, dan konsentrasi kosubstrat (Parajo et al. 1998). Nilai pH 4-6 adalah pH yang baik untuk Candida sp. (Cao et al. 1994). Kemampuan khamir untuk memproduksi xilitol terjadi pada suhu antara 24-45oC dan suhu optimum biasanya antara 28-30oC (Parajo et al. 1998). Produksi xilitol secara konstan oleh Candida sp. terjadi antara 35-40oC (Cao et al. 1994). Jika suhu untuk pertumbuhan kurang optimal maka aktivitas dalam memproduksi xilitol pun akan berkurang. Aerasi merupakan faktor yang penting karena ketersediaan oksigen di dalam media dapat mempengaruhi pertumbuhan khamir, kecepatan pengambilan substrat, dan kecepatan pembentukan produk.

Komposisi media dan ketersediaan substrat berpengaruh pada produksi xilitol. Umumnya media fermentasi harus mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk metabolisme sel, yaitu berupa unsur makro seperti C, H, O, N, P dan unsur-unsur mikro seperti kalsium, magnesium. Media yang akan digunakan untuk proses fermentasi harus disterilisasi terlebih dahulu untuk

mencegah kemungkinan tumbuhnya mikrob lain yang tidak diinginkan. Adanya mikrob lain yang tidak diinginkan dapat menghambat pertumbuhan karena terjadi kompetisi untuk memperebutkan nutrisi yang terdapat dalam media. Media pertumbuhan mengandung ekstrak khamir, ekstrak malt, bakto pepton, dan glukosa. Glukosa pada media digunakan sebagai sumber karbon. Ekstrak khamir terbuat dari ragi pengembang roti atau pembuat alkohol yang mengandung asam amino dan vitamin B kompleks. Adanya bakto pepton dan ekstrak khamir dalam media berperan dalam memenuhi kebutuhan material sel untuk metabolime sel khamir (But-Thanh et al. 1988).

Amobilisasi Sel

Amobilisasi didefinisikan proses penghentian pergerakan secara total atau sebagian pada enzim, sel, atau organel. Proses ini biasanya menghasilkan bentuk tidak larut dalam air. Teknik amobilisasi sel secara umum terdiri atas empat teknik utama, yaitu adsorpsi, ikatan kovalen, ikatan silang, dan penjebakan. Penjebakan sel dalam matriks polimer merupakan teknik yg sejauh ini efektif untuk menjebak biomassa dalam proses fermentasi (Beshay 2003: Carvalho et al. 2003). Matriks polimer yg paling umum digunakan adalah matriks poliakrilamida, alginate, dan k-karagenan (Najafpour et al. 2004).

Penggunaan amobilisasi sel lebih popular akhir-akhir ini bila dibandingkan fermentasi sel biasa. Metode amobilisasi yang ideal harus mudah pengerjaannya dan tidak terdenaturasi akibat aktivitas dari enzim pada sel tersebut. Oleh karena itu suhu, perubahan pH dan radikal bebas selama proses amobilisasi harus ditetapkan kondisi optimumnya. Partikel amobilisasi sel harus kecil untuk meminimalisir difusi pada larutan

4

substrat yang mengalir (Wiseman 1985). Penjebakan sel di media gel adalah salah satu metode yang mudah digunakan dan luas cakupannya dalam amobilisasi sel. Penjebakan sel menggunakan gel alginat adalah metode yang sering digunakan karena mudah dan tidak berbahaya. Kemudahan suatu teknik amobilisasi akan meningkatkan tetesan-tetesan yang mengandung suspensi sel dalam natrium alginat diatas larutan kalsium klorida sehingga sel teramobilisasi didalam presipitasi kalsium alginat dalam bentuk beads. Penjebakan menggunakan beads gel kalsium alginat telah diaplikasikan untuk mengamobilisasi berbagai macam sel seperti bakteri, sianobakteria, alga, fungi, kapang, protoplasma tanaman, dan sel hewan dan tanaman.

Amobilisasi sel memiliki banyak keuntungan, seperti melindungi sel dari kerusakan, sel dapat digunakan berulang kali, serta mempermudah pemisahan produk (Ahmed 2006). Pada industri, sel atau enzim sering menggunakan teknik amobilisasi karena dapat menggunakan kembali atau penggunaan secara terus-menerus terhadap biokatalis yang tersedia sehingga dapat menghemat biaya produksi. Penggunaan kembali biokatalis sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang konstan dalam proses immobilisasi (Wiseman 1985). Sel amobil mempunyai banyak keuntungan dibanding sel bebas. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain relatif lebih mudah memisahkan produk yang dihasilkan, penggunaan kembali biokatalis, produktivitas volumetrik yang tinggi, meningkatkan proses kontrol dan mengurangi kerentanan sel terkontaminasi (Goksungur & Zorlu 2001).

Kurva Pertumbuhan Mikroba

Pertumbuhan mikrob terbagi atas empat fase, yaitu lag, log, stasioner dan kematian (Tortora et al. 2006). Fase lag ditandai dengan perubahan jumlah sel yang sangat kecil karena pada fase ini sel tidak langsung berproduksi dalam media baru. Pada fase ini, pembelahan sel yang terjadi sangat kecil. Selama fase ini sel-sel tidak aktif dan sedang mengalami aktivitas metabolik, khususnya sintesis enzim dan berbagai molekul (Tortora et al. 2006). Fase log merupakan fase ketika sel-sel mikrob mulai membelah dan memasuki masa pertumbuhan konstan yang mengikuti kurva logaritmik, serta terjadinya aktivitas metabolik yang paling aktif. Namun, selama fase ini mikrob sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan yang merugikan, seperti radiasi

dan beberapa antimikroba (Tortora et al. 2006). Fase ini dapat digunakan untuk menentukan waktu inkubasi untuk suatu mikrob ketika akan ditumbuhkan dalam media fermentasi. Fase stasioner ditandai dengan pertumbuhan sel yang berjalan lambat. Jumlah mikrob yang mati seimbang dengan jumlah sel yang hidup sehingga populasi pada fase ini adalah stabil. Aktivitas metabolik yang terjadi pada fase ini juga berjalan dengan lambat. Terhambatnya pertumbuhan pada fase ini disebabkan ketersediaan nutrisi yang tidak memadai, akumulasi produk limbah (Tortora et al. 2006). Fase pertumbuhan terakhir adalah fase kematian. Jumlah kematian pada fase ini melebihi jumlah sel yang masih hidup karena nutrisi yang ada sudah hampir habis. Fase ini berlanjut hingga jumlah sel hidup terus berkurang untuk sebagian kecil dari jumlah sel pada fase sebelumnya atau hingga kematian pada semua sel (Tortora et al. 2006).

Pertumbuhan mikrob dapat diukur dengan beberapa cara. Beberapa metode dengan cara menghitung jumlah sel, sedangkan metode lain dengan mengukur massa sel. Pengukuran jumlah sel dilakukan dengan cara perhitungan mikroskopik langsung (Petroff-Hausser, hemasitometer), menghitung sel yang hidup (hitung cawan), filtrasi, dan mengukur kemungkinan jumlah sel yang ada secara statistik (Most Probable Number, MPN). Pengukuran massa sel meliputi pengukuran berat sel kering, kekeruhan (turbiditas), pengukuran aktivitas metabolisme (Tortora et al. 2006).

BAHAN DAN METODE

Dokumen terkait