• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Tentang Pendidikan Seks a.Pengertian Pendidikan Seks

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

3. Tinjauan Tentang Pendidikan Seks a.Pengertian Pendidikan Seks

Istilah pendidikan seks (sex education) berasal dari masyarakat Barat. Negara Barat yang pertama kali memperkenalkan pendidikan ini dengan cara sistematis adalah Swedia, dimulai sekitar tahun 1926. Dan untuk Indonesia pembicaraan mengenai pendidikan seks ini secara resmi baru dimulai tahun 1972, tepatnya tangal 9 September 1972, dengan penyampaian satu ceramah dengan tema: Masalah Pendidikan Seks, dengan Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran sebagai pencetusnya (Marzuki Umar Sa’abah, 2001: 243). Gerakan untuk pendidikan seks, kadang-kadang juga dikenal sebagai pendidikan seksualitas, dimulai di Amerika Serikat pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh (http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3401803820.html diakses tanggal 2 November jam 14.11 WIB).

Pendidikan seks yang sarat dengan etika dan moral telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu melalui berbagai cara. Dalam buku “Asmaragama” misalnya, memuat pendidikan seks yang diajarkan secara lugas, terus terang, dan tersaji secara sopan, yang didalamnya memuat mengenai hari-hari baik, lafal, maupun mantera, larangan dan tabu, sampai kepada petunjuk bersenggama bila menginginkan anaknya yang memilki sifat mulia yang dikehendaki. Dalam Literatur klasik yang sangat terkenal, yaitu buku “Kamasutra” dari India yang

telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, memuat gambar-gambar patung yang menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan yang dijelaskan dengan sangat rinci pada uraian tekstualnya. Versi lain dari buku ini bisa ditemukan di masyarakat dan budaya Asia. Di Bali, Jepang, dan Cina buku ini digolongkan sebagai “nasehat” atau petunjuk tentang bagaimana pendidikan seks harus diberikan dengan tujuan untuk pemuliaan keturunan, menjaga keutuhan perkawinan dan meningkatkan pemahaman tentang seluk beluk hubungan suami istri.

Dalam ajaran Islam, pendidikan seks juga menjadi perhatian serius dan telah diberikan sejak zaman Nabi, di mana didalamnya memuat tentang ahlak hubungan suami istri yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis nabi serta ucapan para sahabat dan tabiin (alim ulama yang hidup setalah zaman Nabi Muhammad SAW, namun masih bertemu dengan sahabat Rasululah). Inti dari pendidikan seks yang diberikan adalah untuk mendapatkan keturunan yang shaleh, menjaga martabat perempuan, memelihara kesehatan reproduksi serta menguraikan berbagai teknik senggama yang diijinkan oleh agama.

Dalam lembaga pendidikan, pendidikan seks akan memberikan pengetahuan dasar tentang kebersihan dan perlindungan diri, dengan cara ilmiah dan mudah dimengerti: menjelaskan kepada para siswa fisiologi masa puber serta perubahan psikologi dan emosi; ekspresi kelainan fisiologi seks, serta cara pengaturan diri dan bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh perilaku seks tanpa perlindungan; menanamkan kesadaran keamanan seks para siswa serta rasa

tanggung jawab mereka terhadap perilaku seks

(http://korananakindonesia.wordpress.com/2009/10/29/paradigma-pendidikan-seks-sebagai-pesan-moral/diakses tanggal 2 November 2009 jam 09.59 WIB).

Sex education is defined as “learning about physical, moral and emotional development (Pendidikan seks didefinisikan sebagai "belajar tentang fisik, moral

dan perkembangan emosi)

(http://eduwight.iow.gov.uk/parent/my_child/Sex_and_Relationship_Education Guidance/ diakses tanggal 6 November 2009 16.05 WIB). Sementara itu, pendidikan seks dapat juga diartikan sebagai sebagai semua cara pendidikan yang

dapat membantu anak muda untuk menghadapi persoalan hidup yang berpusat pada naluri seks, yang kadang-kadang timbul dalam bentuk tertentu dan merupakan pengalaman manusia yang normal (Warnaen dalam Sri Esti Wuryani.D, 2008: 5). Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa (Sarlito Wirawan Sarwono, 2004: 188).

Pendidikan seks adalah masalah mengajarkan, memberi pengertian, dan menjelaskan masalah-masalah yang menyangkut seks, naluri dan perkawinan kepada anak sejak akalnya mulai tumbuh dan siap memahami hal-hal di atas (Abdullah Nashih Ulwan, 1992:1). Wimpie Pangkahila menjelaskan, “Pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas, suatu pendidikan mengenai seksualitas dalam arti luas,” tambahnya. Seksualitas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, yaitu aspek biologik, orientasi, nilai, sosiokultur dan

moral, serta perilaku

(http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2008/03/10/17342624/pendidikan.seks.un tuk.anak.segera.berikan diakses tanggal 4 November 2009 jam 17.08 WIB).

b. Tujuan Pendidikan Seks

Sesuai dengan kesepakatan International Conference of Sex Education and Family Planning tahun 1962, tujuan pendidikan seks adalah untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, serta bertanggungjawab terhadap dirinya dan orang lain (Rono Sulistyo dalam Bgd Armaidi Tanjung, 2007: 217). Tujuan lain dari pendidikan seksualitas tidak hanya mencegah dampak negatif dari perilaku seksual di usia dini sebagaimana dikutipkan oleh banyak orang, tetapi yang lebih penting menekankan pada kebutuhan akan informasi yang benar dan luas tentang perilaku seksual serta berusaha untuk memahami seksualitas manusia sebagai bagian penting dari kepribadian yang menyeluruh (Bruess & Greenberg, dalam Alimatul Qibtiyah,

2006: 5). Tujuan penting lainnya adalah untuk menghindari seksualitas yang tidak sehat, prematur, hubungan seksual yang tidak aman, kekerasan, dan pelecehan seksual (Powell & Cassidy dalam Alimatul Qibtiyah, 2006: 5) dan juga untuk mensosialisasikan pandangan positif tentang seksualitas (Darling & Hollo dalam Alimatul Qibtiyah, 2006: 5). Memahami seksualitas secara positif bukan berarti menginnginkan untuk melakukan hubungan seksual tetapi lebih pada bagaimana mempunyai pemahaman dan sikap positif terhadap seksualitas diri kita sendiri (Parvaz dalam Alimatul Qibtiyah, 2006: 5-6).

Pendidikan seks dapat diperoleh dari tiga unsur, yaitu orang tua, sekolah, dan lingkungan sekitar. Sex Education does not assume that sex education takes place only in educational institutions and the family. Contributions are therefore welcomed which, for example, analyse the impacts of media and other vehicles of culture on sexual behaviour and attitudes. Medical and epidemiological papers (e.g. of trends in the incidences of sexually transmitted infections) will not be accepted unless their educational implications are discussed adequately (Pendidikan seks tidak menganggap bahwa pendidikan seks hanya terjadi di lembaga pendidikan dan keluarga. Oleh karena itu, disambut kontribusi yang misalnya, menganalisis dampak media dan alat budaya lain pada perilaku seksual dan sikap. Tulisan medis dan epidemologi (misalnya dari tren dalam insiden infeksi menular seksual) tidak akan diterima kecuali implikasi pendidikannya dibahas secara memadai) (http://www.gender-and-sexuality-arena.com/journals/Sex-Education-1468-1811 diakses tanggal 3 November 2009 jam 15.45 WIB).

c. Materi Pendidikan Seks

Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ke lain tempat, tetapi sebuah survei Margarett Terry Orr 1982 dalam Sarlito Wirawan Sarwono, 1994: 186-187) di Amerika Serikat menunjukkan pada umumnya materi pendidikan seks adalah sebagai berikut :

1. Masalah-masalah yang banyak dibicarakan di kalangan remaja sendiri : a. Perkosaan

c. Homoseksualitas d. Disfungsi seksual *) e. Eksploitasi seksual *)

2. Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan : a. Alat KB

b. Pengguguran

c. Alternatif-alternatif dari pengguguran 3. Nilai-nilai seksual :

a. Seks dan nilai-nilai moral b. Seks dan hukum

c. Seks dan media massa *) d. Seks dan nilai-nilai religi *)

4. Perkembangan remaja dan reproduksi manusia : a. Penyakit menular seksual

b. Kehamilan dan kelahiran

c. Perubahan-perubahan pada masa puber d. Anatomi dan fisiologi

e. Obat-obatan alkohol dan seks

5. Ketrampilan dan perkembangan sosial : a. Berkencan

b. Cinta dan perkawinan 6. Topik-topik lainnya :

a. Kehamilan pada remaja b. Kepribadian dan seksualitas c. Mitos-mitos yang dikenal umum d. Kesuburan

e. Keluarga Berencana

f. Menghindari hubungan seks g. Teknik-teknik hubungan seks **)

Catatan : *) Tidak diberikan dan tidak boleh diberikan pada 31-40% sekolah yang disurvei.

**) Tidak diberikan dan tidak boleh diberikan pada 74% sekolah yang disurvei.

d. Persepsi Pendidikan Seks

Biasanya kata "seks" menjadi pangkal perdebatan dalam pendidikan seks. Padahal, kata seks itu mempunyai arti jenis kelamin yang memberi kita pengetahuan tentang sesuatu sifat atau ciri yang membedakan antara jenis laki-laki dengan perempuan. Seks sudah lama didasarkan dalam ‘hidden culture’ (kebudayaan bersembunyi). Seks juga sebuah biologi yang terkonstruksi secara ideal atau termaterialisasikan secara paksa oleh waktu (Butler dalam Moh. Yasir Alimi, 2005: 65). Adolescents rate sex education as one of their most important

educational needs (Cairns, Collins, & Hiebert, 1994). However, sexual health education (SHE) is often a controversial topic, with perhaps no other subject sparking as much debate. School administrators have identified fear of parental or community opposition as major barriers to the provision of SHE2( Reis & Seidl, 1989; Scales & Kirby, 1983). (Tingkat pendidikan seks remaja sebagai salah satu dari kebutuhan pendidikan yang paling penting (Cairns, Collins, & Hiebert, 1994). Namun, pendidikan kesehatan seksual (SHE) seringkali merupakan topik kontroversial, mungkin tidak ada subjek lain yang memicu banyak perdebatan. Administrator sekolah telah mengidentifikasi ketakutan orangtua atau masyarakat oposisi sebagai hambatan utama penyediaan SHE).

Tentu saja pendidikan seks bukanlah yang lebih menekankan pada sisi aman dan sehat dalam berhubungan seks bebas, tapi pendidikan seks yang menjaga harga diri dan kehormatan diri (Nurhayati Syarifuddin, S.Pd., disampaikan pada acara Seminar perempuan dengan Tema Seksologi; Antara

Perlu dan Tabu 22 November 2007)

(http://korananakindonesia.wordpress.com/2009/10/29/paradigma-pendidikan-seks-se b a g a i-pesan-moral/diakses tanggal 2 November 2009 jam 09.59 WIB).

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung lebih sering melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (Sarlito Sarwono Wirawan, 2004: 184). Senada dari pendapat di atas, seperti dikutip Boyke, survei oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan, pendidikan seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan, yang berarti pula mengurangi tertularnya penyakit-penyakit akibat hubungan seks bebas (peperonity.com/go/sites/mview/shinonesex/17331162 diakses tanggal 4 November 2009 jam 13.23 WIB).

Makna pendidikan seks itu sangat luas, tidak hanya berkisar masalah jenis kelamin dan hubungan seksual. Tapi di dalamnya ada perkembangan manusia (termasuk anatomi dan fisiologi organ tubuh, terutama organ reproduksi); hubungan antar manusia (antar keluarga, teman, pacar dan perkawinan); kemampuan personal (termasuk di dalamnya tentang nilai, komunikasi, negosisasi dan pengambilan keputusan); perilaku seksual; kesehatan seksual (meliputi kontrasepsi, pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV/AIDS, aborsi dan kekerasan seksual); serta budaya dan masyarakat (tentang jender, seksualitas dan agama) (pajak98.wordpress.com/.../pentingnya-pendidikan-seks-bagi-keluarga-remaja-dan-anak/ - 6 November 2009 15.33 WIB).

Dengan tidak adanya pendidikan seks yang memadai dan pandangan orang tua yang menabukannya hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan tentang seks membuat anak lebih cenderung tekena imbas seks dari pergaulan bebas, baik dari lingkungan masyarakat maupun dari lingkungan teman sebaya (Panut dan Umami dalam I Nyoman Sukma Arida, 2005: 41).

e. Sumber Pendidikan Seks

Selama ini remaja memperoleh pendidikan seks dari tiga unsur yaitu orang tua, sekolah, dan lingkungan sekitar (di luar keluarga dan sekolah) seperti dari media massa dan teman sebaya.

1. Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai unsur terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga sebagai unit sosial terkecil memberikan pondasi primer bagi perkembangan anak. Keluarga merupakan tempat pertama kali seorang anak berhubungan dengan manusia dan belajar nilai-nilai yang nantinya dijadikan bekal baginya untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya.

Keluarga merupakan wadah pembentukan kepribadian masing-masing anggotanya terutama anak. Dengan dasar pertimbangan sebagai berikut:

a. Keluarga adalah tempat perkembangan awal seorang anak sejak kelahiran sampai proses perkembangan dan jasmani berikutnya.

b. Keluarga adalah tempat pertama kali mengalami hubungan dengan manusia lain.

c. Hubungan antar individu dalam keluarga dilihat dengan pertalian hubungan batin yang tidak dapat digantikan.

d. Keluarga merupakan tempat pemupukan dan pendidikan untuk hidup bermasyarakat dan bernegara agar mampu berdedikasi dalam tugas dan tanggung jawabnya.

e. Keluarga merupakan tempat pemupukan dan pendidikan dalam untuk hidup bermasyarakat dan bernegara agar mampu berdedikasi dalam tugas dan tanggung jawabnya.

f. Dalam keluarga dapat terealisasi makna kebersamaan, solidaritas, cinta kasih dan pengertian rasa hormat menghormati dan rasa memiliki. g. Keluarga menjadi pengayom, tempat beristirahat rekreasi, studi, dan

penyaluran hobi dan kreativitas (Y. Bambang Mulyono, 1993: 40-41).

Keluarga dalam hal ini orang tua mempunyai peran penting dalam perkembangan anak-anaknya, khususnya pada masa remaja. Masa remaja adalah periode penuh dengan perubahan, baik dalam hal jasmani maupun hal mental dan sosial. Orangtua harus mampu membimbing anak-anaknya selama masalah-masalah periode ini, sambil memberi informasi dan saran untuk kehidupan sehat. Dewasa ini, orangtua berperan bertindak untuk melindungi anak-anaknya dari pengaruh sosial yang tidak sehat. Cara terbaik memenuhi peran ini adalah bersahabat dengan anak remaja dan tidak menghindari pertanyaan sulit, khususnya tentang masalah seks.

Masalah seks dianggap sulit dibahas oleh kebanyakan orangtua. Padahal lingkungan keluarga merupakan tempat yang tepat dan baik untuk penyuluhan masalah seks. Sampai sekarang, kesempatan ini jarang digunakan oleh orangtua, karena masalah seks disampingkan atau ditutupi. Dalam keadaan ini, kaum remaja sering mencari sumber informasi lain untuk memenuhi keingintahuannya yaitu, media massa. Dengan tidak adanya pendidikan seks yang memadai dan pandangan orang tua yang menabukannya hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan tentang seks membuat anak lebih cenderung terkena imbas seks dari pergaulan bebas, baik dari lingkungan masyarakat maupun dari lingkungan teman sebaya (Panut dan Umami dalam I Nyoman Sukma Arida, 2005: 41).

Dalam kaitannya dengan pendidikan seks, sebagai pendidik yang utama dan pertama orang tua diharapkan dapat memberikan pengetahuan seputar seks secara tepat pada anaknya. Tentunya akan lebih baik jika orang tua bisa berdialog terbuka dan kritis dengan anak-anak di rumah, dan berdiskusi tentang informasi yang di dapat anak dari sumber di luar lingkungan keluarga seperti media massa dan teman sebaya.

2. Lingkungan sekolah

Lingkungan pendidikan formal, yakni sekolah melakukan pembinaan pendidikan pada anak (peserta didik) yang didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh keluarga dan masyarakat. Kondisi itu muncul karena keluarga dan masyarakat memiliki keterbatasan dalam melaksanakan pendidikan. Akan tetapi, tanggung jawab pendidikan anak seutuhnya menjadi tanggung jawab orang tua. Sekolah hanya meneruskan dan mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh di lingkungan keluarga sebagai lingkungan pendidikan informal yang telah dikenal anak sebelumnya.

Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap berlangsungnya proses pendidikan, yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu: tanggung jawab formal, tanggung jawab keilmuan dan tanggung jawab fungsional. Lingkungan sekolah juga sangat mempengaruhi pola hidup dan perkembangan jiwa seorang anak atau individu sebab kelompok sepermainan biasanya tumbuh di lembaga pendidikan formal tersebut. Kondisi sekolah dan sistem pengajaran yang kurang menguntungkan peserta didiknya dapat menjerumuskan mereka pada kenakalan remaja. Pola hidup yang berkembang di sekolah dewasa ini terutama memberikan tekanan pada materialisme (Soerjono Soekanto, 2004: 25). Mengenai masalah pendidikan seks pengetahuan yang diberikan oleh pihak sekolah terhadap peserta didiknya dinilai masih kurang. Masih banyak pula ditemui sekolah yang tidak memberikan pendidikan seks pada siswanya. Kurikulum sekolah pun tidak mencantumkan adanya pendidikan seks. Pengetahuan yang diberikan seputar pengetahuan reproduksi masih berkisar pada pengetahuan yang umum dan tidak terlalu khusus atau mendalam.

3. Lingkungan sekitar

Lingkungan sekitar merupakan lingkungan yang sangat kompleks sifatnya dan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja. Mulai dari teman pergaulan, masyarakat dan juga teknologi yang menjamur di sekitar kita seperti internet, handphone, dll. Dewasa ini, media massa adalah sangat mudah dipergunakan kaum remaja. TV, film, musik, media cetak atau elektronik dan internet adalah sumber informasi yang cukup murah dan mudah diakses oleh para remaja. Melalui media massa beragam informasi disajikan pada penggunanya, salah satunya adalah informasi dan pengetahuan tentang seks. Dari sinilah remaja memperoleh berbagai informasi sehingga remaja harus pandai-pandai memfilter informasi yang mereka dapatkan. Selebihnya informasi dari massa dinilai lebih transparan dan terbuka dibandingkan dengan sumber lainnya. Akan tetapi terkadang konten informasinya masih kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.